Ibra yang baru saja selesai meeting bersama para klien nya mendadak terkejut saat ada salah seorang pria yang membisikkan sesuatu di telinganya. "Kamu serius?" tanya Ibra pada pria yang bernama Abey tersebut. Abey menganggukkan kepalanya mantap, ia sangat yakin atas apa yang ia sampaikan pada Ibra. "Maaf ya untuk semuanya, saya harus kembali ke ruangan kerja saya sekarang karena ada urusan." Ibra berpamitan pada para kliennya sebelum ia meninggalkan ruangan rapat itu. "Panggil orang-orang itu segera ke ruangan saya!" titah Ibra pada Abey sebelum ia beranjak dari ruang meeting. Abey menganggukkan kepalanya tanda mengerti. Setelah kepergian Ibra, Abey pun segera melakukan apa yang Ibra perintahkan. ***"Sayang? Maaf ya lama nunggunya," ucap Ibra pada Ayra saat dirinya baru saja masuk ke dalam ruang kerjanya. Ia melihat Ayra yang sibuk bermain ponselnya sembari duduk di atas sofa empuk yang ada di ruangan itu. Sedangkan Sifa? Bocil itu pun juga melakukan hal yang sama dengan Ayra.
"Tapi, Pak, ini gak adil buat kami! Kami ini sudah mengabdi selama 5 tahun lho. Kamu sudah membantu memajukan perusahaan Bapak! Apakah ini balasannya? Sungguh kami gak sangka kalau pemilik perusahaan tempat kami bekerja nyatanya sangat arogan sekali. Seharusnya kami ini mendapatkan penghargaan karena tanpa bantuan kami juga perusahaan ini gak akan maju." Meyla mencoba mencibir Ibra. Niatnya agar pria itu kena mental. Namun, nyatanya justru mereka telah memperlihatkan kebodohan mereka sendiri. Padahal mudah saja, tinggal mereka ber legowo minta maaf dengan tulus pada Ayra pastilah Ibra akan memaafkan mereka. Namun, nyatanya mereka juga lebih sombong dari yang Ibra perkirakan. "Cih! Benar-benar turunan iblis kalian itu. Jangan mengungkit soal apa yang sudah kalian berikan pada perusahaan karena faktanya apa yang perusahaan berikan kepada kalian sudah jauh lebih dari sekedar cukup. Bahkan, kami juga membiarkan kalian merasakan enaknya uang perusahaan bukan? Kalau saya mau, bisa saja s
"Maafkan aku ya, Mas." Ibra menoleh ke arah Ayra dengan kening berkerut. "Maaf untuk apa?""Ya karena aku kamu jadi marah-marah dan itu membuatmu pusing. Lagian kenapa kamu pecat mereka? Kalau bukan karena aku juga kamu gak akan pecat mereka kan? Seharusnya kamu jangan menghubungkan masalah pribadi sama urusan kerjaan kan kesannya gak profesional." Ibra menatap Ayra dalam dan medua tangannya terjulur dan memegang kedua pipi Ayra. "Dengarkan Mas ya Sayang, mereka dipecat bukan karena persoalan kamu. Anggaplah itu salah satu faktornya tapi sepenuhnya bukan karena itu. Bukankah tadi kamu dengar sendiri kalau Mas memecat mereka karena mereka sudah melakukan korupsi berbentuk sual di perusahaan ini. Mas gak mau semakin lama Mas membiarkan mereka membuat yang lain nanti ikut-ikutan. Jelas itu salah bukan? Perbuatan yang sangat merugikan bukan hanya perusahaan saja melainkan yang lainnya juga. Orang mau masuk kerja itu untuk mendapatkan uang bukan untuk mengeluarkan uang.""Tapi pada fakta
"Argh sialan! Tuh perempuan emang bener-bener bawa sial di kehidupan kita ya," ujar Meyla dengan menggebu-gebu. Napasnya pun tersengal saat mengingat dirinya dikuliti habis-habisan oleh Ibra di depan Ayra. Meyla dan Difa merasa jatuh harga diri mereka karena sudah dipermalukan sedemikian rupa di depan perempuan yang telah dihinanya. "Iya gue gak terima pokoknya diperlakukan seperti ini. Mana main pecat aja lagi," timpal Difa yang napasnya juga terdengar ngos-ngosan. Baik Difa maupun Meyla sama-sama tengah membereskan barang-barangnya dari ruangan mereka. Sejatinya mereka masih sangat membutuhkan pekerjaan itu tapi apa mau dikata semua sudah terjadi. Meyla dan Difs tak mau Ibra berubah pikiran dan berakhir dengan mereka berada di penjara. "Yuk kita pulang, nanti kita pikirkan lagi gimana caranya membalas ini semua. Jujur gue masih belum bisa terima dipecat secara sepihak begini," ajak Difa pada Meyla. Meyla tidak menanggapi ucapan Difa melainkan ia menggigit bibir bawahnya. Melihat
"Ngapain kamu senyum-senyum sendiri?" Suara Abey membuat lamunan Sifa tentang dirinya buyar seketika. Kepala Sifa celingak-celinguk mencari Difa dan Meyla. "Nyari siapa?" "Tuh duo racun pada kemana?" "Hongkong.""Eh jauh bener emangnya Mas ganteng lihat paspornya?""Iya barusan." "Lahhh grepe-grepe dong.""Siapa juga yang doyan sama bentuk body bulat begitu." Abey pergi meninggalkan Sifa karena dirasa sudah aman. Toh pembicaraan itu terlihat konyol dan garing. "Hey Mas ganteng mau kemana?""Nyari calon bini!" seloroh Abey yang membuat Sifa membelalakkan matanya. "Lahhh ini calon bini di depan mata udah." Abey mengabaikan celotehan Sifa dan terus melangkah menjauhi Sifa. Sifa yang sudah benar-benar kesengsem sama pesona Abey pun tak mau kalau pria itu sampai benar-benar mendapatkan calon istri. "Baru calon kan? Jadi aku masih ada kesempatan buat deketin kan? Mana tahu kita berjodoh," gumam Sifa dan mengikuti kemana Abey pergi. Sifa benar-benar ingin memanfaatkan kesempatan yang
Mata Fahri membelalak mendengar pernyataan Difa. "Maksud kamu?!" tanya Fahri dengan menekankan suaranya namun tetap lirih. "Ya kita dipecat gara-gara ketahuan suap uang orang yang mau masuk kerja.""Kok bisa?!" "Ya mana kita tahu. Lagian memang cepat atau lambat kalau hal beginian pasti ketahuan. Ini juga gara-gara Bapak yang menyuruh kita-kira untuk bermain kita jadinya dipecat!" sungut Difa lagi yang merasa kesal karena dirinya kini tidak memiliki pekerjaan. "Kok jadi saya? Salah kalian kenapa bodoh sekali sampai bisa ketahuan. Kan sudah saya katakan berkali-kali kalau kalian harus berhati-hati. Papi mertua saya itu kan licik jadi pasti kalian bakal ketahuan.""Lho, kita kurang apa, Pak? Kita selalu menjalankan apa yang Bapak perintahkan sama kita ya kan, Mey?" Meyla mengangguk cepat menjawab ucapan Difa. "Iya, Pak, yang Difa katakan itu benar. Kami sudah melakukan semua yang Bapak perintahkan termasuk menaruh sesuatu ke dalam minuman Bu Fiona. Jadi …." Meyla menjeda ucapanya i
Ayra masih bisa bertahan dan sabar karena ia yakin suatu saat akan berubah. Namun, ketika ia harus dihadapkan oleh Fahri hang bermain hati akhirnya membuat Ayra mundur itulah sebabnya saat Ayra diceraikan oleh Fahri di depan Fiona hatinya sudah mati. Yang ada hanya kebencian dan dendam semata tak ada sedikit pun di hatinya untuk pria itu lagi. "Ngeliatnya biasa aja, dia sudah bukan milikmu lagi. Berani kamu menatap dia lama-lama bakal aku colok itu dua bola mata kamu." Ucapan Ibra membuyarkan lamunan Fahri tentang dirinya dan Ayra. Lamunan tentang indahnya saat dirinya baru pertama menikah dulu dengan Ayra. Ayra yang cantik, Ayra yang lembut dan Ayra yang penurut juga penyayang. Dari segi financial Fiona memang juaranya tapi soap fisik dan hati? Fiona tidak ada apa-apanya dibanding Ayra. Dalam lubuk hati Fahri yang terdalam ia masih menginginkan wanita yang pernah menjadi istrinya itu. "M-maaf, Pi, bukan maksud Fahri begitu.""Kenapa kamu telat? Ini sudah jam berapa? Apakah begini
Ayra tertawa terbahak mendengar ucapan Ibra. Ia tidak lagi bisa menahannya setelah sejak tadi berusaha menahan gelak tawanya agar tidak pecah. Fahri menatap Ayra dengan tatapan bingung. Juga Ibra melakukan hal yang sama. "Kenapa ketawa Sayang?" tanya Ibea lembut sembari mengelus rambut hitam Ayra. Fahri melengos karena tidak mau melihat pemandangan yang menyakitkan baginya itu. "Yah lucu aja, Mas, aku masih ingat banget Ibunya selalu berkata kalau aku gak pernah berhak atas gaji yang diterimanya padahal mungkin mereka lupa atau pura-pura lupa kalau hasil kerja dari tetesan keringatnya itu ada hak aku juga sebagai istrinya dulu. Yh, benar kata kamu, Mas, kalau tidak mau berbagi dengan menantu biar dia nikahi saja anaknya itu yang katanya paling tampan dan mapan sedunia. Cuih! Hal yang paling membuatku menyesal seumur hidupku adalah mendoakannya di setiap malamku agar memberikan rezeki yang berlimpah untuknya tapi nyatanya setelah dikabulkan oleh yang kuasa mereka menganggap aku han