"Argh sialan! Tuh perempuan emang bener-bener bawa sial di kehidupan kita ya," ujar Meyla dengan menggebu-gebu. Napasnya pun tersengal saat mengingat dirinya dikuliti habis-habisan oleh Ibra di depan Ayra. Meyla dan Difa merasa jatuh harga diri mereka karena sudah dipermalukan sedemikian rupa di depan perempuan yang telah dihinanya. "Iya gue gak terima pokoknya diperlakukan seperti ini. Mana main pecat aja lagi," timpal Difa yang napasnya juga terdengar ngos-ngosan. Baik Difa maupun Meyla sama-sama tengah membereskan barang-barangnya dari ruangan mereka. Sejatinya mereka masih sangat membutuhkan pekerjaan itu tapi apa mau dikata semua sudah terjadi. Meyla dan Difs tak mau Ibra berubah pikiran dan berakhir dengan mereka berada di penjara. "Yuk kita pulang, nanti kita pikirkan lagi gimana caranya membalas ini semua. Jujur gue masih belum bisa terima dipecat secara sepihak begini," ajak Difa pada Meyla. Meyla tidak menanggapi ucapan Difa melainkan ia menggigit bibir bawahnya. Melihat
"Ngapain kamu senyum-senyum sendiri?" Suara Abey membuat lamunan Sifa tentang dirinya buyar seketika. Kepala Sifa celingak-celinguk mencari Difa dan Meyla. "Nyari siapa?" "Tuh duo racun pada kemana?" "Hongkong.""Eh jauh bener emangnya Mas ganteng lihat paspornya?""Iya barusan." "Lahhh grepe-grepe dong.""Siapa juga yang doyan sama bentuk body bulat begitu." Abey pergi meninggalkan Sifa karena dirasa sudah aman. Toh pembicaraan itu terlihat konyol dan garing. "Hey Mas ganteng mau kemana?""Nyari calon bini!" seloroh Abey yang membuat Sifa membelalakkan matanya. "Lahhh ini calon bini di depan mata udah." Abey mengabaikan celotehan Sifa dan terus melangkah menjauhi Sifa. Sifa yang sudah benar-benar kesengsem sama pesona Abey pun tak mau kalau pria itu sampai benar-benar mendapatkan calon istri. "Baru calon kan? Jadi aku masih ada kesempatan buat deketin kan? Mana tahu kita berjodoh," gumam Sifa dan mengikuti kemana Abey pergi. Sifa benar-benar ingin memanfaatkan kesempatan yang
Mata Fahri membelalak mendengar pernyataan Difa. "Maksud kamu?!" tanya Fahri dengan menekankan suaranya namun tetap lirih. "Ya kita dipecat gara-gara ketahuan suap uang orang yang mau masuk kerja.""Kok bisa?!" "Ya mana kita tahu. Lagian memang cepat atau lambat kalau hal beginian pasti ketahuan. Ini juga gara-gara Bapak yang menyuruh kita-kira untuk bermain kita jadinya dipecat!" sungut Difa lagi yang merasa kesal karena dirinya kini tidak memiliki pekerjaan. "Kok jadi saya? Salah kalian kenapa bodoh sekali sampai bisa ketahuan. Kan sudah saya katakan berkali-kali kalau kalian harus berhati-hati. Papi mertua saya itu kan licik jadi pasti kalian bakal ketahuan.""Lho, kita kurang apa, Pak? Kita selalu menjalankan apa yang Bapak perintahkan sama kita ya kan, Mey?" Meyla mengangguk cepat menjawab ucapan Difa. "Iya, Pak, yang Difa katakan itu benar. Kami sudah melakukan semua yang Bapak perintahkan termasuk menaruh sesuatu ke dalam minuman Bu Fiona. Jadi …." Meyla menjeda ucapanya i
Ayra masih bisa bertahan dan sabar karena ia yakin suatu saat akan berubah. Namun, ketika ia harus dihadapkan oleh Fahri hang bermain hati akhirnya membuat Ayra mundur itulah sebabnya saat Ayra diceraikan oleh Fahri di depan Fiona hatinya sudah mati. Yang ada hanya kebencian dan dendam semata tak ada sedikit pun di hatinya untuk pria itu lagi. "Ngeliatnya biasa aja, dia sudah bukan milikmu lagi. Berani kamu menatap dia lama-lama bakal aku colok itu dua bola mata kamu." Ucapan Ibra membuyarkan lamunan Fahri tentang dirinya dan Ayra. Lamunan tentang indahnya saat dirinya baru pertama menikah dulu dengan Ayra. Ayra yang cantik, Ayra yang lembut dan Ayra yang penurut juga penyayang. Dari segi financial Fiona memang juaranya tapi soap fisik dan hati? Fiona tidak ada apa-apanya dibanding Ayra. Dalam lubuk hati Fahri yang terdalam ia masih menginginkan wanita yang pernah menjadi istrinya itu. "M-maaf, Pi, bukan maksud Fahri begitu.""Kenapa kamu telat? Ini sudah jam berapa? Apakah begini
Ayra tertawa terbahak mendengar ucapan Ibra. Ia tidak lagi bisa menahannya setelah sejak tadi berusaha menahan gelak tawanya agar tidak pecah. Fahri menatap Ayra dengan tatapan bingung. Juga Ibra melakukan hal yang sama. "Kenapa ketawa Sayang?" tanya Ibea lembut sembari mengelus rambut hitam Ayra. Fahri melengos karena tidak mau melihat pemandangan yang menyakitkan baginya itu. "Yah lucu aja, Mas, aku masih ingat banget Ibunya selalu berkata kalau aku gak pernah berhak atas gaji yang diterimanya padahal mungkin mereka lupa atau pura-pura lupa kalau hasil kerja dari tetesan keringatnya itu ada hak aku juga sebagai istrinya dulu. Yh, benar kata kamu, Mas, kalau tidak mau berbagi dengan menantu biar dia nikahi saja anaknya itu yang katanya paling tampan dan mapan sedunia. Cuih! Hal yang paling membuatku menyesal seumur hidupku adalah mendoakannya di setiap malamku agar memberikan rezeki yang berlimpah untuknya tapi nyatanya setelah dikabulkan oleh yang kuasa mereka menganggap aku han
"Sudah ngelihatnya itu lho ilermu sampe netes begitu. Jadi laki kok gak konsekuen banget dikasih lihat barang mulus dikit udah belok aja tuh mata. Makanya kalau jadi suami tuh yang bener, yang namanya rumput tetangga itu memang lebih hijau. Tapi pas disamperin eh gak taunya cuna rumput sintetis alias palsu. Hahahahaha," ejek Ibra lagi. Tawanya kali ini jauh lebih kencang dari pada yang tadi. Sedangkan Ayra hanya tersenyum sinis melihat ke arah Fahri yang lagi-lagi kembali menundukkan kepalanya. Huh, udah kayak kerupuk kesiram air. Benyek!"Kalau begitu saya permisi, Pi, mau lanjut bekerja."Sebelum Fahri meninggalkan ruangan Ibra lagi-lagi suara Ibra membuatnya mematung. "Mulai dari sekarang persiapkan dirimu karena tidak menutup kemungkinan kasus suap yang dimainkan oleh Meyla dan Difa juga akan menyeretmu." Kali ini wajah Ibra terlihat serius. Ayra juga melakukan hal yang sama hanya saja tangan Aura ja lipat di depan dada. "Maksud Papi apa?" Fahri menoleh dan menatap Ibra. Ia mene
"Heh Fahri ini bulan berikutnya kenapa disamakan dengan bulan lalu?" kesal ibu Fahri dengan suara yang ditinggikan.Wanita paruh baya itu tidak habis pikir dengan anak lelakinya yang seakan-akan lupa. Ah, atau memang sengaja pura-pura lupa? Yah, sepertinya begitu."Ya maaf, Bu. Seingatku belum lama aku kasih Ibu uang buat sekolah Nazwa. Maaf kalau bikin Ibu tersinggung. Tapi aku beneran gak ada maksud begitu, Bu.""Halah, jangan alasan kamu, Fahri. Kalau kamu udah gak mau kasih uang ke Ibu dan biayain adik kamu, bilang dong," imbuh ibunya Fahri yang semakin tersulut emosinya."Bukan begitu, Bu. Aku–""Bagus. Ibu tahu kalau kamu emang anak yang berbakti. Ibu tunggu transferanmu, ya," sela wanita itu memotong perkataan anaknya. Tidak memberi kesempatan kepada fahri untuk memberikan bantahan."CK! Iya Bu iya aku ngerti."Fahri lantas menyimpan kembali ponselnya ke dalam saku setelah ibunya memutuskan sambungan telepon. Dia menyugar rambutnya. Sedikit kesal dengan ibunya yang selalu menel
"Siapa yang kamu bilang gak punya otak hah?!" teriak ibunya Fahri tidak terima sambil berkacak pinggang.Fahri menelan salivanya dengan susah payah. Otaknya berputar mencari ide untuk berkilah."Ma-maksudku bukan Ibu. Iya, seperti itu. Aku cuma terbawa emosi setelah liat berita di TV tadi, Bu," kilah Fahri berbohong. Tentu dia tidak ingin mengatakan yang sebenarnya. Atau mungkin saja dia akan kena pites dan dikutuk menjadi batu tawas oleh ibunya."Ck! Beneran?" Fahri mengangguk cepat. "Awas kalau kamu bohong."Fahri hanya menampilkan cengiran kuda sambil menggaruk kepalanya yang tidak gatal sama sekali."Gak dong, Bu. Ayo, masuk dulu. Ibu pasti capek, kan?" bujuk Fahri mendorong pekan tubuh ibunya dari belakang. Sementara Nazwa mengikuti mereka di belakang. Berusaha menahan tawa melihat tingkah kakaknya itu.Sambil melangkah memasuki rumah, ibunya Fahri menatap ke sekeliling. Memperhatikan rumah beserta isinya. Tampak cukup luas dan tentunya lebih bagus dari rumah sang ibu. Ya, meski