Namun, saat Ayra berbalik badan ia hampir saja bertabrakan dengan Sifa. Sifa nyengir melihat Ayra yang terpekik karena terkejut. "Hehehe, maaf, Mbak, kaget ya?" "Enggak! Tapi mati!" ketus Ayra. "Oh innalillahi. Kalau mati kok masih bisa jalan? Dikubur dong, Mbak." Ayra melotot mendengar ucapan Sifa. "Kamu doakan aku mati?" "Heheheh piss Mbak, aku cuma bercanda." "Eh kamu tahu siapa yang membuat kekacauan ini?" "Oh tentu saja tahu.""Siapa?" "Duo F sama si Nenek peot.""Jadi maksudnya si nenek peot itu enggak pulang?" Sifa mengangguk cepat dan kembali berkata, "Tadi malam aku sudh nyuruh pulang cuman aku ini siapa sih, Mbak, mana mau mereka dengarkan aku. Yang ada aku malah dimaki-maki." Ayra mengepalkan tangannya. Tidak ada lagi dalam kamusnya sekarang ini membiarkan seorang pelakor masuk ke dalam rumahnya. Tidak akan lagi mau Ayra mecolongan akan hal itu. Tidak akan lagi Ayra mau membiarkan rumah tangganya dirusak oleh seorang pelakor jahanam seperti Reni. Tidak akan! Ayra
"Ngapain kamu nginep di sini hey lacur!" Pletak. Lagi-lagi Ayra menggetokkan kepala Reni menggunakan gayung yang ada di tangannya. Hal itu lantas membuat Reni langsung tersadar. "Heh kamu bocah bau kencur berani-beraninya kamu perlakukan aku kayak begini!" pekik Reni yang membuat Ayra langsung menutup hidungnya. "Kenapa kamu menjauh begitu? Kamu takut ha! Makanya jangan sok-sok an angguin aku. Kamu pikir kamu itu siapa?!" "Tante itu yang Tante pikir emangnya Tante siapa? Aku menjauh karena mulut Tante bau bangkai. Busuk banget huek! Abis makan tikus mati apa cicak mati sih? Huek.""Ada apa kamu bangunin aku seperti ini? Kamu mau cari mati sama aku?""Heh seharusnya aku yang nanya. Ngapain kamu nginep di rumahku tanpa seijinku. Apa otakmu sudah geser ha!" "Rumahmu? Hello jangan ngadi-ngadi sehm ini tuh rumah Mas Ibra bukan rumahmu jadi gak usah ngaku-ngaku begitu." "Apa kamu lupa kalau Mas Ibra itu suamiku. Suamiku! Jadi aku berhak mengakui rumah ini juga rumahku." "Eh tunggu-t
"Mati aku," gumam Fahri dan menelan salivanya berkali-kali. Ia mengusap wajahnya agar penglihatannya jelas jika dia tidak sedang bermimpi. "Astaga bodohnya kau Fahri, kenapa bisa sampai lupa sih kalau udah cerai sama Ayra. Oh Ayraku kenapa kamu jadi semakin cantik dari hari ke hari sih! Kenapa gak pas waktu sama aku kamu itu cantik seperti ini? Kenapa harus setelah menikah dengan bandot tua ini baru aura kecantikanmu terpancar? Arghh sialan!" Lagi-lagi Fahri menggeram dalam hatinya. Karena untuk mengucapkan pun ia takut pada Ibra. Hahahaha. "M-maaf, Pi, aku keceplosan." "Kenapa? Kamu nyesel udah buang berlian demi mendapatkan sampah?""Kenapa Papi mengatakan hal itu? Fiona kan juga anak Papi?""Ralat! Dia hanya keponakan. Keponakan yang sama tak tahu dirinya dengan ibunya." Ibra menatap Fahri dan Reni bergantian dengan tajam. seolah-olah pandangan mata itu begitu menusuk sang lawan. "Tapi dia itu tetap ada hubungan darah denganmu, Mas! Kenapa kamu lebih memilih perempuan yang suat
Fiona, Fahri dan juga Reni terdiam seketika. Mereka saling pandang satu sama lain. Mereka tidak menyangka jika akhirnya Ibra akan mengusir mereka dari rumah yang besar dan mewah itu. "Kenapa? Mikir apa lagi? Sudah sana pergi! Apa kalian pikir aku sedang main-main?" "Ah ya! Papi pasti lagi main-main kan? Ya kan, Pi? Mana tega kan Papi ngusir aku secara Papi yang sudah merawat aku sejak kecil." Fiona tertawa tapi ia juga mengeluarkan air matanya. "Apa di wajah Papi ada tulisan kalau Papi lagi main-main? Tidak! Papi serius dalam hal ini.""Pi, tapi kenapa, Pi? Aku ini anak Papi, Papi yang lebih dulu mengenal aku ketimbang istri Papi itu. Kenapa hanya karena dia lantas Papi tega mengusirku?" "Dengar Fiona! Aku merawatmu hanya karena merasa bertanggung jawab atas dirimu sebab kamu ditinggal pergi Ibumu yang gila harta dan suka mengobral selangkangan itu ditambah lagi ayah kandung kamu yang sedang sakit. Karena aku memiliki nurani makanya aku dan mendiang istriku merawatmu. Tapi sekaran
"Aduh kan sakit, Mas, main cubit aja sih.""Tapi kamu suka kan?" Ibra menaik turunkan alisnya. "Suka dong, kan suami sendiri yang nyubit kalau orang lain mah udah pasti aku tendang dia nya. Hahahaha." Ibra dan juga Ayra sama-sana tergelak mendengar jawaban Ayra. "Dasar istriku ini kenapa kamu barbae syekali.""Tapi kamu juga suka kan?" "Suka dong. Aku suka orang seperti kamu yang mempertahankan harga dirinya dengan caranya.""Ah maca ciii." Ayra membuat wajah gemas di depan Ibra. "Sudah stop jangan bermimik muka seperti itu.""Kenapa?" Ibra mendekatkan bibirnya ke telinga Ayra dan kembali berucap, "Karena aku sangat tidak tahan jika melihat ekspresi wajahmu itu. Ingin sekali rasanya aku memakanmu sekarang juga."BlushWajah Ayra memanas dan menghangat. Rona kemerahan pun tercipta di sana akibat ucapan Ibra padanya. "Mas genit deh.""Biarin, genit sama istri sendiri sah-sah saja dong." "Terserah deh. Yaudah aku mau ganti baju dulu ya."Sigap Ibra menahan tubuh Ayra agar tak menj
"Dia pemilik warung bakso langgananku tempatnya ada di seberang kantor. Gimana? Mau?" Sontak saja Sifa cemberut dan berwajah masam. Ibra tergelak melihat ekspresi Sifa yang tadinya berbinar kini berubah jadi masam. "Ya kali, Pak, dari seorang bodyguard berubah haluan jadi Mbak jualan bakso. Gak bonafit banget sih.""Lho, kamu jangan salah, Sif, meskipun kang bakso juga kalau duitnya banyak kan gak masalah.""Ya tapi gak gitu juga kali, Pak. Kalau kang baksonya yang ganteng gagah dan tampan sih gak masalah.""Lah kan tadi kamu yang minta dicarikan sugar daddy? Nah Pak Malik itu lah orangnya.""Au ah terserah Bapak aja."Ibra kembali tergelak karena Sifa semakin terlihat kesal. Sedangkan Ayra sejak tadi mengelilingi pandangannya yang ingin tahu dan melihat kalau para benalu itu masih ada ataukah tidak. "Tenang aja, Mbak, mereka udah gak ada. Sudah diusir sama Pak Tedi sama Pak Harun tadi," ucap Sifa seolah-olah mengerti apa yang Ayra pikirkan. "Oh, baguslah kalau begitu.""Ngomong-ng
Tiba-tiba saja rasa panas menjalar di kepala Ayra. Otaknya pun ikut mendidih mendengar cemoohan para karyawan Ibra. "Huft, kenapa sih ada saja orang-orang yang gak punya otak seperti mereka. Kenapa mereka harus nyinyir sama hidup orang? Kalau mereka mau kan mereka bisa mengikuti apa yang aku lakukan?" gumam Ayra dalam hatinya. Ayra bergegas menyudahi buang hajatnya karena ingin sekali ia menyumpal mulut para juliderwati itu. Namun, belum sempat ia keluar dari dalam wc tiba-tiba saja terdengar suara Sifa yang sangat khas yakni, cempreng bak kaleng rombeng itu memekakkan telinga. Ayra pun sangat yakin kalau suara Sifa mampu membuat para karyawati itu terkejut setengah mati. "Woi ngapain lu-lu pada ngimongin Bos gue? Mau gue laporin sama dia apa!" hardik Sifa yang baru saja keluar dari dalam wc setelah ia menuntaskan hajatnya. "Siapa lu? Keluar-keluar tuh suara dah kek kaleng rombeng berisik bener di kuping gue." Salah seorang karyawati itu menyahuti ucapan Sifa sembari tangannya me
"Kita? Iri sama lu? Hello memangnya lu siapa? Najis banget kita-kita iri sama lu." Kali ini Mayla yang menimpali ucapan mereka untuk membantu bestie nya yakni, Difa. "Bilang saja gak usah gengsi begitu. Tandanya orang iri tu ya seperti kalian ini. Iri tanda tak mampu.""Ngapain iriin kelakuan pelacur kek lu? Bergelayut manja sama si Bos. Dikira situ oke?" "Lho, apa yang salah kalau bergelayut manja sama suami sendiri. Situ sehat? Apa sakit otak? Oh mungkin gila kali ya. Masa meluk, rangkul suami sendiri dikatain pelcur? Kalian punya pacar kan? Sudah dibobol berapa kali? Lebih pelaxur mana gue apa kalian berdua? Dibobol tanpa dinikahi. Ups keceplosan i'm sorry. Hahahaha." Ayra menutup mulutnya seolah-olah ia tidak sengaja mengatakan itu. Padahal ia sengaja melakukannya untuk membalas nyinyiran Mayla dan Difa tadi. Dan hal itu ditambah semakin runyam dengan Sifa yang ikut tergelak mendengar ucapan Ayra pada Difa dan Mayla padahal sejak ucapan Ayra itu tangan Mayla juga Difa sudah meng