"Jangan-jangan mereka sekongkol," celetuk Nazwa yang berhasil membuat ibunya naik darah.Bukannya membantu menenangkan, Nazwa justru menyiram bensin pada kobaran kemarahan ibunya. Akan tetapi, dia memang sengaja melakukannya agar motor jeleknya bisa segera terganti dengan motor impiannya."Awas saja kalau sampai hal itu terjadi. Mereka kan udah janji mau kasih apa pun yang ibu mau dan bikin ibu senang. Kalau sampai Fiona dan Fahri ingkar janji, Ibu akan bikin perhitungan sama sama mereka," geram ibunya Fahri dengan penuh emosi.Selama ini Fahri selalu yg akut dan menuruti semua keinginan ibunya. Jadi, kali ini pun Nazwa yakin jika kakaknya itu akan mengabulkan keinginannya. Dia hanya perlu menunggu dengan tenang.****Sesaat setelah memarkirkan mobilnya, Fiona dan Rini segera menuruni kendaraan tersebut. Tanpa bertanya pemilik rumah ada di tempat atau tidak."Papi! Papi!" teriak Fiona penuh semangat."Kamu benar-benar gak tahu sopan santun, ya. Kalau bertamu ke rumah orang itu harusny
"Sakit banget. Panggilin ambulans dan polisi, Fiona. Ayra sudah menganiaya Mami. Huhuhu," titah Reni yang tidak bisa menggerakkan tubuhnya karena terlalu sakit."Mami bertahan, ya. Aku akan buat perhitungan sama perempuan itu.""Ada apa ini?" tanya seorang security yang segera datang saat mendengar keributan dari dalam rumah. Pria itu tampak terkejut melihat Reni yang kesakitan di lantai dan Fiona yang berada di sampingnya."Bagus kamu datang. Cepat telepon ambulans dan polisi. Mami harus dibawa ke rumah sakit buat visum. Ayra udah menganiaya Mami, Pak!""Hah! Apa?" Security itu menatap Ayra dan Reni secara bergantian. Sepertinya dia tidak percaya jika wanita cantik dan anggun yang belum lama menjadi majikannya itu berbuat demikian."Tunggu apa lagi? Ayo, cepetan telepon polisi!" desak Fiona saat melihat pria itu kebingungan."Tapi ...." Lagi dan lagi pria itu memandang kebingungan ke arah Ayra."Telepon aja, Pak. Biar mereka ditangkap," ujar Ayra melipat kedua tangannya di depan dada
"Fiona! Apa yang kamu lakukan! Ayo kitw pulang! Jangan sampai nanti Papimu datang lalu kamu mendapatkan masalah." Fahri tiba-tiba saja datang dan menarik tangan Fiona. Fiona menatap tidak suka pada Fahri karena merasa Fahri terlalu ikut campur. "Kamu apa-apaan sih, Mas! Kamu ngapain malah nyusulin aku ke sini! Tau darimana kamu kalau aku di sini?""Feeling aja. Dan ternyata benar kamu di sini. Kamu tuh ngapain acara berantem gitu sama Ayra? Aku gak mau nanti kamu kena masalah. Masalah kita yang kemarin saja belum selesai.""Biang masalah itu kan mantan istri kamu, Mas! Memangnya salah kalau aku meluapkan kekesalanku?""Ya salah karena dia itu istri Papimu. Kalau nanti dia ngadu sama Papi gimana? Apa kamu mau nanti Papimu semakin marah dan semakin gak mau memberikan apa yang kamu minta?!" Fiona terdiam sejenak dan berpikir kalau apa yang Fahri katakan barusan sedikit ada benarnya. "Lalu gimana? Papi gak mau kasih uang sama aku lagi. Sedangkan keluargamu selalu saja merongrong keuan
"Hey kamu juga seharusnya sadar diri kalau kamu juga hanya seorang keponakan dari suamiku. Kamu yang sudah bertahun-tahun hidup dengan gelimangan harta dari suamiku. Bahkan hingga kau menikah pun kau masih meminta uang pada suamiku. Apakah itu bukan benalu? Sadar diri kalau kau saja masih berharap belas kasihan suamiku. Aku bisa saja membuat Mas Ibra tidak lagi menghiraukan kamu tapi sayangnya aku gak sejahat itu. Pergilah kalian dari sini karena sebentar lagi Mas Ibra akan pulang. Atau kalau kalian mau benar-benar berada di penjara ya silahkan saja aku gak masalah." Fiona mendengkus kesal dan Fahri kembali menarik tangan Fiina untuk keluar dari rumah besar itu. Reni hanya bisa mengikuti langkah panjang mereka dengan tergopoh-gopoh. Namun, sebelum Reni benar-benar menyusul Fiona dan Fahri, Ayra mencengkram tangan wanita tua itu. "Dan kau! Aku kita tunggu saja tanggal mainnya. Aku gak pernah terima atas perbuatanmu padaku barusan. Akan kubuat kau menyesal telah ikut campur dalam hidu
"Kamu percaya sama aku?" Ayra merebahkan kepalanya di dada bidang Ibra. Ibra kembali mengelus surai panjang milik Ayra sembari sesekali ia mengecup pucuk kepala wanita itu. "Percaya, kalau enggak mana mungkin aku mengatakan seperti itu tadi.""Terima kasih ya, Mas, karena sudah percaya sama aku. Tidak pernah terpikirkan olehku akan memiliki suami sepertimu." Ayra mendongak. Wajahnya menatap Ibra intens. Sembari tersenyum Ibra mendekatkan bibirnya pada wajah Ayra hingga malam itu terjadilah pergumulan panas di antara keduanya seperti malam-malam sebelumnya. ***"Jadi ada apa Papi memanggilku kemari? Apakah Papi sudah sadar kalau Papi itu membutuhkanku secara aku ini adalah anakmu?" tanya Fiona setelah ia mendaratkan tubuhnya di atas sofa empuk di rumah Ibra. Ibra yang sudah menunggu kedatangan keponakan yang ia rawat sejak kecil hanya tersenyum mendengar ucapan percaya diri dari Fiona. Sedangkan Fahri yang selalu mengekor kemana pun Fiona pergi tentu saja ia juga ikut datang ke ruma
"Tapi, Pi. Ini gak adil dong buat aku. Aku yang sudah kenal lama dan hidup lama dengan Papi. Sedangkan dia? Dia itu baru Papi nikahi beberapa bulan ini. Kenapa Papi lebih memilih dia ketimbang aku anak yang sudah Papi rawat?" "Fiona dengarkan Papi. Meskipun kamu adalah anak kandung Papi tetap tanggung jawab Papi sudah berpindah ke Fahri. Karena setelah pengucapan ijab kabul itu adalah pelimpahan semua tanggung jawab Papi terhadapnya. Apa masih belum jelas? Masih bagus Papi masih memberikan solusi. Katakan pda Ayra jika memang kamu benar-benar membutuhkan sokongan dana dari Papi tapi tetap harus ada syaratnya. Syaratnya adalah dana itu untuk kebutuhan urgent bukan untuk menutupi gaya hidupmu dan keluarga suamimu yang hedon. Sampai di sini paham kan? Tidak ada penolakan atau pun protes karena Papi tidak menerimanya." Bungkam. Fiona dan Fahri hanya bisa bungkam. Tidak ada lagi celah untuk mereka meminta uang dari Ibra. Begitu juga dengan Fahri, ia mendesah karena sehabis ini bagaimana
"T-tiga juta, Pi? Papi pasti bercanda kan? Hahahahaha. Ini gak lucu tau, Pi, emm tapi okelah aku menghargai usaha Papi yang sedang melawak.""Siapa bilang Papi melawak? Papi serius. Kamu pikir apa di wajah Papi ada bakat jadi pelawak?" Fiona dan Fahri saling berpandangan. "P-Papi serius?" Ibra mengangguk dengan yakin. Setelahnya Fiona menganga karena benar-benar shock atas ucapan Fahri. "Tiga juta, Pi?! Astaga, Pi, uang segitu cukup buat beli apa?""Cukup untuk biaya makan kalian berdua. Fahri kan punya gaji sebagai manajer. Pastinya sangat-sangat cukup. Itu kalau kamu pandai bersyukur.""Pi, harga skincare dan perawatanku saja sebulannya bisa dua puluh hingga tiga puluh juta. Lalu baju-bajuku? Tas-tasku? Sepatu? Astaga, Pi, uang tiga juta manalah cukup.""Stop Fiona, kamu hanya membuang-buang waktumu kalau hanya ingin mendebat Papi soal keuangan. Keputusan Papi sudah tidak bisa diganggu gugat. Papi hanya bisa memberimu segitu. Kalau sudah tidak ada keperluan lagi kamu ajak suamimu
Fiona jengkel tak terperi merasakan kesenjangan ekonomi antara dunia maya dan realitanya sendiri, karena itu berarti ia hanya diberi jatah bulanan oleh Ibra, paman Fiona yang dipanggilnya Papi itu sebesar tiga juta saja. "Apa yang dipikirkan Papi? Apakah aku ini seperti ABG kemarin sore yang hanya akan puas hahahihi dari cafe satu dan lainnya untuk menjajankan uang segitu? Lalu, bagaimana dengan kebutuhanku lainnya? Kalau begini, bagaimana juga aku bisa berkembang?" omel perempuan itu yang akhirnya menghadap ke cermin dan menatap pantulannya sendiri dengan bengis."Tidak, ini tidak bisa kubiarkan begitu saja. Papi seharusnya lebih dermawan padaku, sebab beliau kan sayang dan memang mampu. Mungkin, kalau aku diam saja, aku tidak akan diberikan jatah lebih, karena pikirnya aku cukup-cukup saja dengan uang segitu. Argh ... masa sih, orang tua jaman sekarang tidak mengerti kebutuhan anak!" rutuk Fiona, masih di depan cermin.Perempuan itu mengetuk-ngetukkan ujung kaki kanannya di atas lan