"Kamu percaya sama aku?" Ayra merebahkan kepalanya di dada bidang Ibra. Ibra kembali mengelus surai panjang milik Ayra sembari sesekali ia mengecup pucuk kepala wanita itu. "Percaya, kalau enggak mana mungkin aku mengatakan seperti itu tadi.""Terima kasih ya, Mas, karena sudah percaya sama aku. Tidak pernah terpikirkan olehku akan memiliki suami sepertimu." Ayra mendongak. Wajahnya menatap Ibra intens. Sembari tersenyum Ibra mendekatkan bibirnya pada wajah Ayra hingga malam itu terjadilah pergumulan panas di antara keduanya seperti malam-malam sebelumnya. ***"Jadi ada apa Papi memanggilku kemari? Apakah Papi sudah sadar kalau Papi itu membutuhkanku secara aku ini adalah anakmu?" tanya Fiona setelah ia mendaratkan tubuhnya di atas sofa empuk di rumah Ibra. Ibra yang sudah menunggu kedatangan keponakan yang ia rawat sejak kecil hanya tersenyum mendengar ucapan percaya diri dari Fiona. Sedangkan Fahri yang selalu mengekor kemana pun Fiona pergi tentu saja ia juga ikut datang ke ruma
"Tapi, Pi. Ini gak adil dong buat aku. Aku yang sudah kenal lama dan hidup lama dengan Papi. Sedangkan dia? Dia itu baru Papi nikahi beberapa bulan ini. Kenapa Papi lebih memilih dia ketimbang aku anak yang sudah Papi rawat?" "Fiona dengarkan Papi. Meskipun kamu adalah anak kandung Papi tetap tanggung jawab Papi sudah berpindah ke Fahri. Karena setelah pengucapan ijab kabul itu adalah pelimpahan semua tanggung jawab Papi terhadapnya. Apa masih belum jelas? Masih bagus Papi masih memberikan solusi. Katakan pda Ayra jika memang kamu benar-benar membutuhkan sokongan dana dari Papi tapi tetap harus ada syaratnya. Syaratnya adalah dana itu untuk kebutuhan urgent bukan untuk menutupi gaya hidupmu dan keluarga suamimu yang hedon. Sampai di sini paham kan? Tidak ada penolakan atau pun protes karena Papi tidak menerimanya." Bungkam. Fiona dan Fahri hanya bisa bungkam. Tidak ada lagi celah untuk mereka meminta uang dari Ibra. Begitu juga dengan Fahri, ia mendesah karena sehabis ini bagaimana
"T-tiga juta, Pi? Papi pasti bercanda kan? Hahahahaha. Ini gak lucu tau, Pi, emm tapi okelah aku menghargai usaha Papi yang sedang melawak.""Siapa bilang Papi melawak? Papi serius. Kamu pikir apa di wajah Papi ada bakat jadi pelawak?" Fiona dan Fahri saling berpandangan. "P-Papi serius?" Ibra mengangguk dengan yakin. Setelahnya Fiona menganga karena benar-benar shock atas ucapan Fahri. "Tiga juta, Pi?! Astaga, Pi, uang segitu cukup buat beli apa?""Cukup untuk biaya makan kalian berdua. Fahri kan punya gaji sebagai manajer. Pastinya sangat-sangat cukup. Itu kalau kamu pandai bersyukur.""Pi, harga skincare dan perawatanku saja sebulannya bisa dua puluh hingga tiga puluh juta. Lalu baju-bajuku? Tas-tasku? Sepatu? Astaga, Pi, uang tiga juta manalah cukup.""Stop Fiona, kamu hanya membuang-buang waktumu kalau hanya ingin mendebat Papi soal keuangan. Keputusan Papi sudah tidak bisa diganggu gugat. Papi hanya bisa memberimu segitu. Kalau sudah tidak ada keperluan lagi kamu ajak suamimu
Fiona jengkel tak terperi merasakan kesenjangan ekonomi antara dunia maya dan realitanya sendiri, karena itu berarti ia hanya diberi jatah bulanan oleh Ibra, paman Fiona yang dipanggilnya Papi itu sebesar tiga juta saja. "Apa yang dipikirkan Papi? Apakah aku ini seperti ABG kemarin sore yang hanya akan puas hahahihi dari cafe satu dan lainnya untuk menjajankan uang segitu? Lalu, bagaimana dengan kebutuhanku lainnya? Kalau begini, bagaimana juga aku bisa berkembang?" omel perempuan itu yang akhirnya menghadap ke cermin dan menatap pantulannya sendiri dengan bengis."Tidak, ini tidak bisa kubiarkan begitu saja. Papi seharusnya lebih dermawan padaku, sebab beliau kan sayang dan memang mampu. Mungkin, kalau aku diam saja, aku tidak akan diberikan jatah lebih, karena pikirnya aku cukup-cukup saja dengan uang segitu. Argh ... masa sih, orang tua jaman sekarang tidak mengerti kebutuhan anak!" rutuk Fiona, masih di depan cermin.Perempuan itu mengetuk-ngetukkan ujung kaki kanannya di atas lan
"Papi bicara apa sih! Siapa yang hamil juga.""Oh, ya siapa tau juga kan?""Ah tau ah, Papi mah nyebelin!"TutFiona mematikan sambungan teleponnya dan ia melempar ponsel itu ke atas kasur dan tanpa sengaja mengenai kepala Fahri yng masih sibuk mengorok di atas kasur. "Aahh kamu apa-apaan sih, Fi? Kepala aku sakit nih. Lagian jam berapa sih ini?""Jam tujuh!" sahut Fiona tampak sewot. "Apa! Jam tujuh! Astaga aku terlambat. Kenapa kamu gak bangunin aku sih?""Ish! Aku tuh kesel tau, Mas!""Kenapa lagi sih?""Papi nih masa aku beneran dikasih uang cuma tiga juta aja.""Yang benar kamu? Jadi, Papi kamu serius?"." Hemm.""Ck! Yasudah nanti aku habis pulang kerja kita ke rumah Papimu lagi.""Mau ngapain?""Ya membicarakan ini sama Papimu lah. Apa lagi!? Memangnya kamu mau terus-terusan dikasih jatah segitu apa?" Fiona menggeleng menjawab Fahri. "Yaudah makanya. Dah aku mau mandi dan berangkat kerja dulu. Nanti sore kita ke sana." Fiona kembali mengangguk menjawab Fahri. ***“Maksud ka
Meskipun begitu dia tidak ingin menampakkan perasaannya tersebut agar tidak membuat Fahri merasa benar dengan tindakannya.“Tapi Pi, kenapa sih Papi sama sekali tidak mendengarkan pendapatku dan Fahri?” tanya Fiona putus asa, ternyata Papinya sangat kekeuh tidak ingin mendengarkan pendapatnya .“Apa yang perlu aku dengarkan dari kalian, semua sudah jelas, keputusan tentang pemberian wewenang keuangan kepada Ayra bersifat final jadi kalian tidak perlu capek-capek memberikan usulan segala.”“Tapi Pi, bagaimana kalau tiba-tiba uangnya di bawa la—”Ddrrrtt… ddrrtt… ddrrtt…Tiba-tiba ponsel Ibra berbunyi, untuk itu dia mneyetop Fiona yang ingin melanjutkan kata-katanya. Ibra terlihat sangat serius dengan penelpon di sebrang sana.“…..”“Oohh jadi begitu, bapak bisa langsung kontak dengan Bu Ayra ya,” jawab Ibra.“….”“Iya, semua tagihan setelah melalui proses verifikasi, pasti dibayar, jadi Bapak tidak perlu khawatir, yang terpenting barang datang dengan benar, dokumen lengkap, lalu Bapak
Wajah Fiona tampak kecewa dan kesal. Sudah mati-matian memohon pada ayah angkatnya itu, tetapi tetap saja dia tidak mendapatkan apa-apa."Dasar pelit!" gusar Fiona sambil melangkah dengan menghentakkan kaki ke atas lantai yang tak bersalah. Bibirnya mengerucut sepanjang jalan yang dilewatinya.Setelah mendatangi Ibra untuk memprotes soal jatah yang diberikan Ibra kepadanya-yang berujung dengan tangan hampa, Fiona terlihat sangat kecewa dan marah.Setibanya di rumah, wanita yang tengah kesal itu melempar sembarang tas bahunya ke atas kasur. Dia mendudukkan bokongnya ke atas kasur, lalu melepaskan sepatu yang terasa semakin sesak di pergelangan kakinya setelah apa yang dia terima dari 'Papi Ibra' di kediamannya tadi.Fiona meremas rambutnya merasa jengkel sendiri. Bibirnya masih mengerucut ke depan, dengan bola mata yang melebar karena marah."Dia tidak akan kekurangan hartanya hanya dengan memberi jatah lebih padaku! Tapi memang dasar orang pelit! Bisa-bisanya dia menolak semua permint
Setelah beberapa detik, Ibra berkata, "Jelas itu adalah kesalahan! Jika aku berikan apa yang diminta oleh anak itu, maka itu adalah sebuah kesalahan! Apakah kau lupa pada semua perbuatan mereka terhadapmu? Untuk apa kau memikirkan mereka yang telah melakukan kejahatan padamu, Ayra?!" tegas Ibra sambil memendam rasa kecewanya pada Fiona. Dia menganggap kalau istrinya itu terlalu pemaaf, terlalu baik-atau apalah itu namanya. Ibra tidak menyukai hal itu.Ayra tertunduk. Apa yang Ibra katakan memang benar adanya. Fiona memang pernah melakukan perbuatan sangat jahat padanya beberapa waktu lalu. Tetapi …. Ayra tampak bimbang. Dia terdiam sesaat. Hati Ayra tidak tega melihat rona kekecewaan terpancar di wajah Fiona tadi. Dia pikir, jika Ibra menuruti apa yang diminta oleh Fiona, mereka juga tidak kan merugi sama sekali. Perusahaan Ibra sangat kuat. Jika hanya menambah nominal jatah untuk Fiona, rasanya tidak akan ada pengaruhnya pada perusahaan suaminya itu. Ayra tidak mengira kalau Ibr