"Jelas repot karena yang dia pakai itu uangku. Sekali lagi uangku!" ucap Fiona penuh dengan penekanan. "Kamu itu istrinya Fahri, jadi uangmu juga uang Fahri. Sedangkan surganya Fahri itu ada padaku jadi, sudah kewajiban dia menuruti apa yang aku mau dan sudah kewajiban dia untuk membuat Ibunya ini bahagia.""Dan mengorbankan kebahagiaan orang lain?""Orang lain bagaimana? Kamu dan Fahri kan suami istri jadi aku juga Ibumu. Sudah sepatutnya seorang anak menyenangkan orang tuanya bukan?""Yah patut asalkan orang tuanya itu tahu diri!" "Fahri! Apa maksudnya ini! Kamu dan istrimu nggak lupa kan kalau dulu janji kalian itu bagaimana?" "Eits jangan lupa juga Ibu mertua yang terhormat. Yang berjanji itu anakmu bukan aku.""Alah sama saja. Fahri! Pokoknya Ibu mau motor yang itu! Awas saja kalau gak kamu belikan!" "Memangnya kamu ada uang untuk membeli motor yang itu, Mas?" Fahri menggeleng dengan cepat menjawab pertanyaan Fiona. Mata bu Yuni mendelik mendengar ucapan dan jawaban dari anak
"Lho gak bisa gitu dong. Antarkan kami pulang dulu kok malah mau nyelonong saja.""Apa lagi? Kan sudah aku turuti kemauan membeli motor impian kalian.""Impianmu bukan impian kami.""Ah sama saja, seharusnya kalian bersyukur karena itu pun harganya cukup mahal. Yaudah yuk, Mas, kita pergi aku mau ke suatu tempat soalnya.""Bu maaf ya, kali ini Ibu pulang naik taksi online saja.""Eh eh kamu mau kemana?! Gak mau! Antarkan dulu Ibu dan Nazwa pulang. Lho Fahri, Fiona jangan pergi!" pekik bu Yuni. Ia benar-benar definisi manusia gak punya malu sebab sejak tadi teriak-teriak dan dilihat banyak orang. Bahkan, petugas penjual motor itu saja sampai menggelengkan kepalanya melihat tingkah bu Yuni. "Udah deh, Bu, kita pesan taksi online saja. Malu tuh dilihatin banyak orang," tegur Nazwa dan akhirnya mampu membuat bu Yuni terdiam. ***"Kita mau kemana ini, Dek?""Mau ke rumah Papi.""Mau ngapain?" Fahri sesekali menoleh melihat ke arah Fiona dan arah jalan karena ia juga harus fokus menyetir.
"Ya sama suami kamu lah, kan kami sudah menikah jadi itu ya tanggungjawab suami kamu dong."Fiona mendelik mendengar perkataan papinya. Tidak ada angin maupun hujan, tetapi entah kenapa papinya itu berubah. Mengherankan."Kenapa harus sama Mas Fahri sih, Pi? Selama ini kan Papi selalu kasih aku jatah bulanan. Kenapa sekarang tiba-tiba suruh minta ke Mas Fahri sih?" protes Fiona tidak terima."Fiona, Fiona ... kamu kok lucu banget sih. Di mana-mana perempuan itu kalau sudah menikah tanggung jawabnya sudah beralih ke suaminya. Jadi, mulai sekarang kamu jangan minta uang jatah bulanan ke papi lagi, tapi ke suamimu itu," tunjuk Ibra mengecilkan jarinya dapatkah arah Fahri.Kedua sudut bibir Ayra tertarik sempurna meski meski telah berusaha sekuat tenaga ditahannya. Pilihannya untuk menikahi Ibra memanglah sangat tepat. Dia bisa menyaksikan setiap kejatuhan dan penderitaan dari pasangan tidak tahu malu, Fahri dan Fiona. Ya, sepertinya ungkapan jodoh adalah cerminan diri adalah benar adanya
"Papi jahat! Tega sama aku! Kenapa pein lebih sayang sama dia dibanding aku? Aku anak kandungmu, Pi. Kenapa kamu biarkan perempuan miskin itu menikmati semua hartamu sedangkan aku gak?"Ibra hanya geleng-geleng kepala mendengar penuturan putrinya itu. Matanya telah tertutup oleh uang. Segala sesuatu diukirnya dengan benda itu."Papi bukannya jahat, Fiona. Tapi, kamu bukan lagi tanggung jawab papi. Sekarang kamu tanggung jawab Fahri," ucap Ibra melirik sekilas ke arah Fahri yang masih berdiri mematung di tempatnya. "Dan soal siapa yang bisa menikmati harta papi, semua itu tergantung papi, dong," imbuh Ibra dengan begitu santainya.Fiona mengalihkan pandangan ke arah Fahri dan menatapnya dengan tajam. Mungkin dia tidak pernah mengira jika keputusannya untuk menikahi pria itu justru menutup salah satu pintu rezekinya. Memang akta orang, jika pintu satu tertutup maka pintu lain akan terbuka. Akan tetapi, di mana dia bisa menemukan yang seperti papinya?Ibra menatap Fahri. "Bukannya kamu
"Kamu mau bilang apa pun, keputusan papi gak akan berubah. Daripada teriak-teriak di sini dan habis energi, mending kamu putar otak biar kebutuhanmu dan Fahri bisa tercukupi."Ibra menggenggam tangan Ayra dan segera meninggalkan ruang keluarga. Langkahnya menyusuri anak tangga dengan cepat, setapak demi setapak. Tidak peduli meski Fiona tetap memanggilnya.Fiona yang masih tidak terima dengan keputusan Ibra akhirnya menyusul menaiki tangga. Namun, entah dari mana seorang security tiba-tiba saja menghalangi jalannya bersamaan dengan Ibra yang menjentikkan jari."Maaf, non. Tuan bilang tidak ingin diganggu," ucap security itu dengan sopan. Meski takut akan kemarahan Fiona, tetapi perintah Ibra jauh lebih penting bagi mereka. Ya, secara papinya Fiona yang menggaji mereka dan bukan anaknya."Lepaskan! Berani betul kau menyentuh istriku!" sentak Fahri menarik segitu itu menjauh dari Fiona. Hampir saja security itu jatuh dari tangga.Ibra berdecak sembari menampilkan seringai. Memandang mir
"Halah! Gitu aja takut. Tapi kamu berani selingkuh. Kamu pikir dosanya gedean yang mana, ha?!"Fahri jadi serba salah jadinya. Mengiyakan atau tidak tetap saja dia salah di mata Fiona."Justru itu. Kamu gak perlu mempertanyakan gimana besarnya cintaku ke kamu. Aku rela ngelakuin dosa besar demi dapetin kamu, loh, Sayang."Seketika amarah Fiona luruh. Ya, meski tidak sepenuhnya menghilang. Akan tetapi perkataan manis yang tiba-tiba dilontarkan oleh Fahri membuatnya merasa sangat spesial dan merasa sangat dicintai.Fiona tampak tersipu malu dengan wajah yang bersemu kemerahan yang segera menjalari seluruh wajahnya."Ih, kamu kok malah ngegombalin aku sih, Mas." Fiona melayangkan pukulan lembut ke arah lengan Fahri dengan tangan kanannya. Sedangkan tangan yang lain menutupi wajahnya yang malu.Ah, tidak ada ruginya Fahri belajar menggombal dari Juki teman tongkrongannya dulu. Meski garing, bolehlah ya. Untuk membuat Fiona senang, bahkan kegaringan akan dibuatnya krenyes.Setidaknya gomba
"Ibu yakin bisa bikin Mas Fahri ganti motornya, 'kan?"Ibunya Fahri membalikkan tubuh dan menatap anak perempuannya itu. Satu tangannya bertolak pinggang, sedang tangan lainnya menunjuk tubuh dengan ibu jarinya. "Jangan panggil aku Ibu kalau aku gak bila luluhkan kakakmu itu."Wanita paruh baya itu berkata dengan begitu percaya dirinya. Tanpa tahu apa yang telah menimpa menantunya dan mereka pun pasti akan terkena imbasnya. Mungkin tidak akan lama lagi Fahri akan memangkas uang bulanan ibunya atau yang paling parah mungkin menghentikannya.Ah, tetapi rasanya itu tidak akan mungkin terjadi. Bisa terjadi perang dunia ketiga antara Fahri dan ibunya nanti.****Hari baru saja berganti dan matahari baru saja beranjak dari peraduannya. Akan tetapi Fiona telah terjaga semenjak tadi. Semua karena mimpi buruk hidup miskin. Hingga membuatnya memutar otak untuk mencari cara agar papinya kembali memberikan uang jatah bulanan untuknya."Aha! Aku tahu jika berpikir saat tenang dan damai pasti akan
Fiona seketika menghentikan tangisan palsunya. Matanya membelikan menatap ke arah maminya."Mami jangan sembarangan ya. Fahri gak akan pernah selingkuh atau KDRT sama aku. Kalau itu sampai terjadi, akan kubanting dia sampai masuk rumah sakit!" Penuh emosi Fiona mengepalkan kedua tangannya. Membayangkan jika Fahri benar-benar melakukan hal itu kepadanya.Reni malah tergelak melihat reaksi anaknya itu. Dengan santainya dia menghempaskan tubuh di sofa panjang berwana abu-abu yang tidak jauh dari tempat Fiona berdiri."Aku percaya Fahri gak akan berani ngelakuin itu sama kamu. Yang ada, justru kamu yang aniaya dia. Jadi kenapa kamu ke sini?"Fiona ikut duduk di samping maminya. "Ah, terserah Mami deh. Pokoknya Mami harus bantuin aku. Ini urgent. Super super penting dan mendesak."Rina mengubah posisi duduknya. Sedikit memiringkan tubuh hingga menghadap ke Fiona. "Apa sih?" tanya wanita paruh baya yang mulai penasaran itu."Masa Papi menstop uang jatah bulanan Fiona, Mi. Kan gak adil bang