"Lalu kalian mau papa yang bagaimana? Yang cuek? Yang membiarkan anak serta menantu disakiti oleh orang lain yang tidak tau diri? Papa tidak bisa seperti itu,"jawab Pak Alex dengan wajah resah yang tidak bisa disembunyikan. Hasna menghela nafas pelan. Memang tidak mudah untuk merubah watak seseorang."Pa, Robert bukan anak kecil lagi. Robert bisa menjaga diri sendiri dan juga keluarga,"pinta lirih Robertio.Pak Alex mengalihkan pandangan."Aku tidak yakin membiarkanmu sendiri dengan sifatmu yang selalu merendah Robert. Aku akui kamu cerdas. Tapi kamu juga begitu murah hati. Dan papa takut dengan segala kebaikanmu itu justru dimanfaatkan oleh orang lain,"Tidak ada yang menyahut. Semua diam. Merasa masing-masing berada pada garis kebenaran. Hati Zaki turut bergetar. Lebih tepatnya merasa bersalah. Kenapa ia semudah itu menuduh Hasna dan suami. Padahal mereka masih menaruh iba terhadap hidupnya. "Ki, bisa bantu saya mengambil titipan Pak Alex?"tanya Pak Ahmad yang membuat ia terbuy
Zaki sudah mengira bahwa reaksi sang ibu akan seperti biasa. Marah. Atau memaki mantan menantunya tersebut. Tetapi ternyata Zaki salah. Justru sang ibu tidak bereaksi. Masih asyik dengan masakan di penggorenganya. "Bu, ibu masak apa sih? Ibu dengar Zaki ngomong kan?"Ibunya menoleh pelan. "Untuk apa Zaki? Untuk menjadi bahan hinaan mereka? Sudahlah. Kita tinggal disini saja. Nanti kalau sudah" ada cukup uanh, kita beki rumah sederhana, "jawab Bu Ratih dengan lirih.Zaki benar benar tidak menyangka. Kata kata bijak itu keluar juga dari bibir sang ibu. "Oh iya. Ibu mau jualan di pasar,"Zaki semakin menganga mendengar penuturan sang ibu. Ia pastikan bahwa pendengaranya tidaklah salah."Jualan? Jualan apa bu? Ibu yakin?"tanya Zaki memastikan lagi. Bu Ratih kembali mengangguk penuh mantap. "Kentucky,"jawabnya. Ya Zaki akui, ibunya selalu tak pernah gagal membuat masakan itu terasa enak, krispi dan bumbunya begitu terasa dan meresap. Zaki mendudukan tubujhnya di kursi. "Kena
"Si Dito anaknya Pak Lurah mau melamar Neng Fatihah,"Degg. Kaki Zaki terasa lemas. Ia kalah cepat. Bahkan hanya dalam hitungan menit. Lagipula semestinya ia harus berkaca. Bagaimana dia. Dan seperti apa masa lalunya.Sementara Fatihah adalah wanita baik-baik. Secara logika, apa iya juga mau dengan Zaki yang berstatus duda? Ah dunia tidak akan sebercanda itu. Zaki berbalik badan. Kembali pulang. Dan kembali menelan kecewa. Rasanya baru kali ini ia benar benar kecewa dengan seorang wanita. Ibunya menatap heran, belum sampai hitungan menit sang anak keluar dengan membawa niat baiknya. Justru sekarang ia kembali dengan lemas. Ibunya menatap trenyuh."Ditolak kah ki?"tanya sang ibu yang harap harap cemas. Zaki menghela nafas pelan. Sementara sang ibu terus menatap lekat wajah Zaki. Menantikan jawabanya"Fatihah sudah dilamar anak Pak Lurah bu,"Bu Ratih kini terduduk lemas. Ia bahkan berfikir mungkin ini hukuman untuknya. Berharap mendapat menantu baik, namun semuanya tidak s
"Lamaran?"tanya Fatihah dengan tatapan bingung. Zaki merintih. Berharap Fatihah tidak membuat hati nya kembali berharap lagi."Aku tau Fat tanpa kamu beri tau,"ujar Zaki. Tapi nyatanya ia gagal menyembunyikan wajah kecewanya yang bercampur cemburu itu."Memangnya Mas Zaki sudah pernah bertemu kakak Fatihah?"tanya wanita itu. Kini Zaki yang semakin bingung dibuatnya. Melihat sutuasi ini, Bu Ratih mencoba angkat bicara."Begini nak Fatihah, jadi lamaran di rumah mu kemarin itu, lamaranya siapa?"tanya Bu Ratih dengan tidak sabar. "Oh. Itu lamaran Mas Dito kepada kakak Fatihah. Tapi ia kerja duar kita. Jadi jarang ketemu,"Zaki bernafas lega. Tanpa sadar ia melebarkan senyumnya tanda bahagia. "Jadi bukan untuk kamu?"tanya Bu Ratih lagi memastikan. Fatihah menggeleng pelan. "Nanti sore aku akan datang Fat,"ucap Zaki dengan spontan.Alis Fatihah bertaut. "Akan ku minta kamu kepada orang tuamu,"lanjut Zaki. Hati Fatihah berdebar. Pipinya menjadi bersemu merah. Ia menunduk. "B
Fatihah tampak diam mematung mengamati sosok laki laki yang datang dengan kemeja putih itu. Tak ada yang aneh. Pemuda tersebut tampak ramah. Sepertinya ia juga seumuran dengan Fatihah. Dia cukup tampan.Sepupu Fatihah yang juga turut membantu acara ini juga tampak berlarian kecil mendatangi Fatihah di pelaminan.“Dia datang, kak,” ujar Erlin dengan raut wajah yangkhawatir.“Sudah biarkan saja. Sebenarnya tak ada yang mengundangnya kemari. Hanya saja biarlah itu hak dia untuk datang,” jawab Fatihah.“Siapa sih Fat? Kenapa kalian begitu takut?” tanya Zai yang tentu menuai pemasaran.Fatihah mencoba tersenyum di depan laki laki yang baru saja mengucapkan akad untuknya itu.“Tidak apa apa. Tak penting, nanti akan aku ceritakan,” kata Hasna.Namun ibu Hasna-Bu Sundari yang juga ada di pelaminan juga tampak tak enak hati dengan kehadiran laki laki yang entah siapa itu. Dari gesture tubuhnya beliau juga terlihat begitu gelisah. Dan anehnya, laki laki itu juga menyalami semua orang, bahkan sa
HAI, MANTAN ISTRI "Dasar kere. Orang miskin saja belagu nyewa kontrakan mewah,"gerutu Bu Talita memaki kami. Tidak dapat aku sembunyikan betapa malunya kami saat diusir dari kontrakan. Apalagi banyak pasang mata yang melihatnya. Aku dengan tergesa-gesa mengemasi barang-barang yang aku punya. Lebih tepatnya hanya baju yang aku punya."Eh baru juga punya kontrakan seperti ini saja simbongnya sudah selangit. Awas kalau aku kaya, akan kubeli kontrakanmu termasuk kesombonganmu juga,"teriak ibu tidak mau kalah. Begitulah ibu. Ia pantang disakiti, pantang dihina meskipun memang begini keadaanya. Dan oleh siapapun itu. Beliau sama sekali tidak perduli.Tante Talita dan ibu dulunya adalah kawan akrab. Namun saat kami mulai susah membayar kontrakan, beliau mengusir kami. Aku maklum. Memang begitulah perputaran modalnya.Aku diam sepanjang perjalanan yang aku sendiri tidak tau akan kemana."Zaki, kamu itu lulusan sarjana. Kenapa susah sekali cari kerja sih,"gerutu ibu.Aku menghela nafas pelan.
Namun mataku terbelalak saat melihat Hasna begitu menawan. Aku yang pernah menjadi orang berada juga Tari-mantan istriku yang juga dari kalangan elite tentu aku hafal betul sejumlah harga outfit. Apalagi dengan yang dikenakan Hasna saat ini. Aku yakin harganya juga fantastis.Saat aku tak berkedip menatapnya, saat itu pula ia juga menatap ke arah aku dan ibu. Lagi lagi ia melemparkan senyum simpulnya itu."Sudah bisu mungkin si Hasna itu. Dari kemarin hanya senyam-senyum saja. Akibat pernah dzolim dengan mertua ya jadinya begitu,"gerutu ibu yang menyadari tatapan Hasna kepada kami."Bukanya terbalik bu. Justru dulu ibu yang sering dzolim ke Hasna. Memperlakukan dia seperti bukan kepada menantu. Tetapi justru seperti babu,"protesku kepada ibu.Ibu bergantian menoleh ke arahku dengan tajam."Eh wajar ya Zaki. Mertua memperlakukan menantu seperti itu. Lagipula dia juga tidak berkerja bukan? Hanya mengurus rumah dan menadahkan tangan kepadamu. Berbeda dengan Tari yang bekerja. Ah pahit ta
Ku lihat mata ibu menyipit membaca kertas berlogo salah satu bank terkenal yang disodorkan Hasna. Namun ibu tertawa kecil."Kamu kira saya bodoh? Saya tau persis siapa kamu. Tidak mungkin wanita seperti Hasna menyodorkan cek kepada priyayi seperti saya,"hina ibu."Silahkan isi sendiri nomor rekeningnya,"Aku bergegas menghampiri beliau. Malu. Kami hanyalah penghuni baru kontrakan dan membut ribut saat mengisi acara.Namun tidak ada sepatah katapun yang keluar dari mulut Hasna lagi setelah mendengar hinaan serta penolakan dari ibu. Sorot matanya tetap teduh dan tidak menantang.Ia hanya meletakan cek itu diatas meja. Lalu menggandeng Ranita pergi dari situ. "Bu,"panggilku."Lihatlah mantan istrimu. Belagu. Sombong. Cek palsu saja,"gerutu ibu sembari mengibas-ngibaskan bajunya yang tersiram kuah soto. Ibu juga berlalu. Namun pandangan orang lain belum berlalu. Ada yang menatap dengan pandangan sinis. Dan ada juga yang saling berbisik."Oh jadi Mas Zaki itu mantan suaminya Mbak Hasna?"