Malam itu, setelah mereka memutuskan untuk melapor ke polisi, Fatihah dan Zaki berusaha beristirahat. Namun, pikiran mereka terus dibayangi oleh ancaman Ardan. Setiap bayangan dan suara di rumah terasa seperti ancaman nyata, membuat tidur mereka tidak nyenyak. Keesokan paginya, mereka berdua pergi ke kantor polisi setempat untuk melaporkan ancaman yang mereka terima. Polisi menerima laporan mereka dengan serius dan berjanji akan melakukan penyelidikan. Meski begitu, kekhawatiran masih menghantui Fatihah. “Jangan khawatir, Sayang. Polisi akan menangani ini,” kata Zaki saat mereka berjalan keluar dari kantor polisi. “Aku tahu, Mas. Tapi perasaan takut ini tidak bisa hilang begitu saja,” jawab Fatihah dengan suara pelan. Mereka berdua memutuskan untuk mampir ke rumah orang tua Zaki untuk memberitahukan situasi tersebut. Di sana, Bu Ratih langsung menunjukkan kekhawatirannya. “Fatihah, Zaki, kalian harus berhati-hati. Ardan sepertinya orang yang berbahaya,” ujar Bu Ratih dengan cema
Kilatan kilat menerangi langit malam yang kelam, disusul oleh suara gemuruh guntur yang menggetarkan jendela rumah kontrakan Zaki dan Fatihah. Hujan turun deras, menambah kesan suram pada suasana malam itu. Di dalam rumah, Fatihah duduk di sofa dengan wajah tegang, sementara Zaki berdiri di dekat jendela, memperhatikan jalanan yang gelap dan sepi. “Mas, apa kita benar-benar aman di sini?” tanya Fatihah dengan suara lirih, mencoba menyembunyikan ketakutannya. Zaki menoleh ke arahnya, berusaha tersenyum untuk menenangkan istrinya. “Kita akan baik-baik saja, Sayang. Polisi sudah tahu tentang Ardan, mereka akan mengawasi kita.” Namun, di dalam hati Zaki, kekhawatiran tetap bersemayam. Ia tahu bahwa Ardan bukanlah orang yang mudah menyerah. Pria itu terlalu penuh dendam dan ambisi. Tiba-tiba, suara ketukan keras di pintu depan mengejutkan mereka berdua. Fatihah menggenggam tangan Zaki dengan erat, ketakutan terlihat jelas di matanya. Zaki mendekati pintu dengan hati-hati, mengintip mel
Matahari sore menyinari halaman rumah orang tua Ardan, memancarkan bayangan panjang dari pepohonan tinggi yang mengelilingi rumah mewah itu. Zaki dan Fatihah berdiri di depan pintu besar, keraguan dan ketakutan menggelayuti hati mereka. Ini adalah kesempatan terakhir mereka untuk mencari keadilan dan perlindungan dari ancaman yang terus membayangi.Zaki meraih tangan Fatihah, mencoba memberi kekuatan melalui genggaman erat. "Kita harus masuk, Sayang. Ini mungkin satu-satunya cara kita bisa menghentikan Ardan."Fatihah mengangguk pelan, meskipun hatinya masih dipenuhi keraguan. "Kita harus mencoba, Mas. Demi keselamatan kita."Dengan langkah pasti, Zaki mengetuk pintu. Setelah beberapa saat, seorang pelayan membukakan pintu, menatap mereka dengan dingin. "Ada yang bisa saya bantu?"Zaki menarik napas dalam-dalam. "Kami ingin bertemu dengan orang tua Ardan. Ini sangat penting."Pelayan itu mengamati mereka sejenak sebelum mengangguk. "Tunggu sebentar di sini." Ia menutup pintu, meningga
Hujan yang tak kunjung reda membuat malam semakin terasa mencekam. Zaki duduk termenung di ruang tamu rumah kontrakannya, tatapannya kosong, fokus pada pikiran yang berputar-putar di kepalanya. Fatihah sedang mempersiapkan makan malam, namun ia bisa merasakan kegelisahan suaminya. Zaki tak pernah terlihat begitu cemas sebelumnya."Mas, kenapa kamu diam saja? Ada yang mengganggu pikiranmu?" tanya Fatihah, mendekat dan duduk di sampingnya.Zaki menarik napas panjang, mengerutkan kening. "Aku semakin khawatir, Sayang. Ardan... dia sepertinya selalu bisa lolos begitu saja dari hukum. Dia punya cara untuk menghindari semuanya. Seperti tidak ada yang bisa mengalahkannya."Fatihah menggenggam tangan Zaki, mencoba menenangkan. "Kita sudah berusaha, Mas. Polisi sudah terlibat.""Tapi dia selalu punya cara untuk lolos," jawab Zaki dengan suara yang penuh kepasrahan. "Pernahkah kamu berpikir, Sayang, kenapa dia selalu bisa menghindari hukum? Aku rasa dia punya banyak koneksi yang kita tidak tahu
Zaki merasakan kepalanya berputar. Apa yang baru saja ia dengar membuat seluruh rencananya berantakan dalam sekejap. Robertio, yang ia harapkan bisa menjadi penyelamat, ternyata berada di pihak Ardan.“Jadi, kalian berdua... sudah saling mengenal dengan baik?” Zaki bertanya, suara hampir tidak terdengar karena ketegangan yang melanda dirinya.Ardan masih tersenyum sinis, seolah menikmati kekalutan yang terlihat jelas di wajah Zaki. “Tentu saja, Zaki. Robertio dan aku sudah lama saling mengenal. Kami sering berdiskusi, berbagi cerita, dan ya... kami berbicara tentang banyak hal. Termasuk tentang kamu.” Ardan melirik Robertio, yang hanya mengangkat bahu tanpa ekspresi. “Apa yang kamu pikirkan, Zaki? Kamu benar-benar mengira kamu bisa mengalahkan kami dengan cara seperti ini?”Zaki merasa tubuhnya kaku. Semua usaha yang ia lakukan untuk mencari jalan keluar, semuanya seakan sia-sia. Ardan dan Robertio sudah merencanakan ini sejak awal. Selama ini ia merasa berjuang melawan Ardan, padahal
Di tengah malam yang sepi, suara angin menggoyang dedaunan dan membuat suasana semakin mencekam. Lampu jalan yang redup hanya menambah kesan seram, memantulkan bayangan panjang di trotoar basah. Bu Ratih duduk di ruang tamu rumahnya, menggenggam telepon dengan tangan gemetar. Dia tahu langkah ini adalah keputusan terakhir, namun ia tidak punya pilihan lain.Bu Ratih menekan nomor telepon Hasna dengan tangan yang masih gemetar. Dia menarik napas panjang, mencoba menenangkan hatinya yang berdebar. "Hasna, ini aku, Ratih. Maaf mengganggumu malam-malam begini, tapi aku benar-benar butuh bantuanmu," kata Bu Ratih dengan suara yang nyaris pecah. Di ujung telepon, Hasna terdiam sejenak sebelum menjawab, "Bu Ratih? Ada apa? Kenapa suaramu terdengar begitu cemas?" Bu Ratih menarik napas lagi, berusaha mengumpulkan keberanian. "Hasna, ini tentang Zaki. Kamu tahu kan masalah yang sedang dihadapinya dengan Ardan? Kami sudah mencoba segalanya, tapi Ardan sepertinya selalu bisa lolos. Aku tidak
Malam itu masih menyimpan rasa tegang dari pertemuan sebelumnya. Robertio dan Hasna tahu bahwa mereka harus bertindak cepat. Setiap langkah yang salah bisa berakibat fatal, namun mereka tidak punya banyak pilihan. Setelah berhadapan langsung dengan Ardan, Robertio tahu bahwa tidak ada waktu untuk ragu. Dia segera menghubungi kontak-kontak pentingnya, memastikan bahwa langkah-langkah yang telah mereka rencanakan bisa dilaksanakan dengan sempurna. Di markas besar polisi, seorang perwira yang telah lama bekerja sama dengan Robertio sedang mempersiapkan operasi besar. "Kita harus bergerak cepat. Kita punya kesempatan ini, dan kita tidak boleh menyia-nyiakannya," kata perwira tersebut dengan tegas. Robertio memberikan instruksi terakhirnya, memastikan semua orang tahu peran mereka. "Kita harus menangkap Ardan dengan bukti yang kuat. Kita tidak bisa memberinya kesempatan untuk lolos lagi." Hasna melihat suaminya dengan penuh harap. "Kamu yakin ini akan berhasil, Mas?" Robertio mengan
Malam itu, meski ketegangan sedikit mereda, Robertio dan Hasna masih merasakan beratnya beban di pundak mereka. Ardan sudah ditangkap, tetapi permintaan orang tuanya untuk membebaskannya menambah tekanan yang baru. Sementara itu, di tempat lain, Zaki dan ibunya berusaha memulai hidup baru setelah berbagai cobaan yang mereka lalui. Pagi itu, Zaki dan ibunya, Bu Ratih, datang ke rumah Hasna dan Robertio. Dengan wajah yang penuh rasa syukur, mereka disambut oleh Hasna yang masih terkejut melihat mereka. "Bu Ratih, Zaki, ada apa kalian ke sini pagi-pagi?" tanya Hasna dengan ramah. Bu Ratih menatap Hasna dengan mata berkaca-kaca. "Hasna, kami datang untuk mengucapkan terima kasih. Kami tidak tahu bagaimana harus membalas semua kebaikanmu dan Robertio. Tanpa bantuan kalian, aku tidak tahu apa yang akan terjadi pada Zaki." Hasna tersenyum lembut. "Kami hanya melakukan apa yang kami bisa, Bu Ratih. Yang penting sekarang kalian aman." Zaki maju, menatap Hasna dengan penuh hormat. "Hasna,
Fatihah berdiri di depan pintu rumah dengan semangat yang menggebu-gebu. Setelah beberapa hari perencanaan dan persiapan, hari ini adalah hari yang ia tunggu-tunggu. Ia akan pindah ke rumah kontrakan yang baru, jauh dari tekanan dan masalah yang selama ini mengganggu hidupnya bersama Bu Ratih. Dengan langkah mantap, ia memasuki rumah dan mencari Bu Ratih untuk berpamitan.Di dalam rumah, Bu Ratih sedang duduk di ruang tamu, membaca koran pagi. Ketika melihat Fatihah masuk dengan wajah ceria, ia mengangkat alisnya dan tersenyum tipis.“Fatihah, ada apa? Kamu tampak sangat bersemangat hari ini?” tanya Bu Ratih yang seolah melupakan perdebatannya dengan Fatihah tempo hari.Fatihah mendekati Bu Ratih dengan penuh keyakinan. “Bu, aku ingin memberitahukan bahwa Zaki dan aku memutuskan untuk mengontrak rumah sendiri. Kami sudah menemukan tempat yang cocok dan akan segera pindah.”Bu Ratih terkejut mendengar berita itu. “Mengontrak rumah? Ibu minta maaf jika kamu tidak nyaman disini.”Fatihah
Fatihah melangkah dengan cepat, meninggalkan rumah dengan perasaan campur aduk. Langkahnya membawa dia ke rumah orang tuanya yang tidak terlalu jauh dari sana. Setibanya di rumah, Fatihah langsung disambut oleh ibunya, Bu Siti, yang terkejut melihat putrinya datang dengan wajah yang penuh air mata.“Fatihah, ada apa ini? Kenapa kamu menangis?” tanya sang ibu dengan cemas, memeluk putrinya erat-erat.Fatihah hanya bisa menangis tanpa bisa menjelaskan apa yang terjadi. Ia merasa kelelahan secara emosional setelah pertengkaran hebat dengan Bu Ratih. Ibunya mengelus punggungnya dengan lembut, mencoba menenangkan.“Sudah, nak, ceritakan pada Ibu apa yang terjadi. Kenapa kamu tiba-tiba datang seperti ini?” tanya ibu Fatihah dengan lembut.Fatihah menghela napas panjang, mencoba mengumpulkan kata-kata.Ibu, aku tidak kuat lagi tinggal di rumah Bu Ratih. Aku selalu dibandingkan dengan Hasna, dan itu membuatku merasa tidak berharga. Aku merasa tidak dihargai sebagai istri Zaki.”Bu Siti menger
Fatihah berjalan pulang dari pasar dengan langkah berat, pikirannya dipenuhi oleh pertemuan tak terduga dengan Hasna. Ia merasa perasaannya campur aduk, antara marah, cemburu, dan kesal. Selalu saja Hasna muncul di saat-saat yang tidak tepat, seolah-olah mengingatkan Fatihah tentang semua kekurangannya. Meskipun Hasna terlihat tulus dan ramah, Fatihah tidak bisa menahan perasaan sinis yang membuncah di dalam hatinya.Di sisi lain, Hasna merasa bingung dengan sikap dingin dan sinis Fatihah. Sebelum ini, hubungan mereka baik-baik saja, bahkan sempat akrab walau Fatihah tau bahwa HAsna adalah mantan istri Zaki. Hasna merenung sambil duduk di kursi favoritnya di rumah. Ia mencoba mengingat apakah ada sesuatu yang pernah ia lakukan hingga membuat Fatihah berubah seperti itu. Hasna merasa ada yang tidak beres, dan ia berniat untuk mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi.Setelah beberapa hari berlalu, Hasna memutuskan untuk mengunjungi rumah Fatihah. Ia berharap kunjungannya bisa membantu
Zaki hanya terdiam mendengarkan permintaan sang istri. Ia tidak bisa memberikan keputusan secara langsung. Hatinya seolah tengah ada di persimpangan dilemma. Sementara Fatihah, meskipun hari sudah larut malam, matanya masih saja terjaga hingga dini hari. Semua masalah seolah olah tengah berputar putar dalam otaknya. Ia terbangun pagi itu dengan perasaan yang bercampur aduk. Hari-hari yang dihabiskannya bersama Bu Ratih di rumah terasa semakin berat. Ia menghargai kebaikan Bu Ratih, tetapi kata-kata yang sering keluar dari mulut ibu mertuanya itu kadang sangat menyakitkan. Setelah mandi dan bersiap, Fatihah turun ke dapur dengan tekad yang sudah bulat di hatinya.“Pagi, Bu,” sapa Fatihah dengan suara ceria yang dipaksakan.“Pagi, Fatihah,” jawab Bu Ratih sambil menyeruput teh hangatnya. Ada keheningan sejenak sebelum Bu Ratih akhirnya membuka percakapan yang membuat suasana menjadi tegang. “Ibu tadi bertemu Hasna. Auranya benar benar keluar terpancar. Apalagi saat hamil ini.”Fatihah m
Pagi berikutnya, Fatihah memutuskan untuk mengunjungi orang tuanya. Ia merasa perlu berbicara dengan mereka tentang perasaannya dan mendapatkan dukungan dari mereka. Ketika ia tiba di rumah orang tuanya, ia disambut dengan senyum hangat dari ayah dan ibunya. Namun, setelah berbicara sebentar, air mata Fatihah mulai mengalir saat ia menceritakan semua yang sedang terjadi."Kami sudah mencoba berbagai cara, Bu. Tapi sepertinya selalu gagal. Program bayi tabung ini adalah harapan terakhir kami," ucap Fatihah dengan suara terisak.Ibu Fatihah, Bu Aisyah, merangkulnya dengan lembut. "Nak, kami mengerti perasaanmu. Kami juga ingin melihatmu bahagia dengan keluarga yang lengkap. Tapi menggadaikan rumah untuk program itu... apakah tidak ada cara lain?"Fatihah menggeleng pelan. "Aku tidak tahu lagi, Bu. Aku hanya merasa gagal sebagai seorang istri. Aku tidak bisa memberikan Zaki seorang anak."Ayah Fatihah, Pak Rahmat, yang sedari tadi diam, akhirnya angkat bicara. "Fatihah, kita harus berpik
Pada keesokan harinya, Fatihah tidak bisa tidur nyenyak. Pikiran tentang program bayi tabung terus menghantui benaknya. Ia tahu biaya yang dibutuhkan sangat besar, dan semakin ia berpikir, semakin besar rasa cemas itu tumbuh. Namun, dalam hatinya, ia merasa ini adalah satu-satunya jalan untuk mewujudkan impian mereka.Setelah sarapan, Fatihah duduk dengan Zaki di ruang tamu, terlihat lebih serius daripada biasanya. Zaki yang sedang menatap televisi menoleh, merasakan perubahan di wajah Fatihah. "Ada apa, Fatihah?" tanya Zaki, dengan nada penuh perhatian.Fatihah menghela napas panjang. "Zaki, aku ingin kita serius memikirkan program bayi tabung itu. Aku tahu biayanya tidak sedikit, tapi aku siap berusaha. Aku tahu kita tidak kaya, tapi aku ingin memberikan yang terbaik untuk kita."Zaki mengerutkan kening, perasaan berat melingkupi hatinya. "Fatihah, aku tidak ingin kamu merasa terbebani. Biaya itu... tidak mudah untuk kita. Kita sudah berusaha, tapi apakah itu benar-benar jalan yang
Pagi yang cerah itu, Fatihah duduk termenung di teras rumahnya. Burung-burung berkicau riang di kejauhan, namun hatinya tidak bisa merasakan kebahagiaan yang sama. Pikirannya terhuyung-huyung antara kegelisahan dan keputusasaan. Dalam hatinya, ia selalu merasa bersalah karena belum bisa memberikan keturunan untuk Zaki. Setiap hari ia merasakan beban itu semakin berat, terutama saat ia melihat Zaki yang berusaha menyembunyikan kekecewaannya. Di dalam rumah, Bu Ratih sedang berbincang dengan Zaki. Suaranya terdengar lembut, namun nadanya menunjukkan keprihatinan yang mendalam. "Zaki, kamu tahu, aku selalu mendukungmu. Tapi tidak bisakah kau melihat bahwa Fatihah belum bisa memberikanmu keturunan? Padahal kita sudah sangat menantikannya." Zaki terdiam sejenak, mencoba menenangkan ibunya. "Bu, Fatihah sudah berusaha. Mungkin belum saatnya kita diberi keturunan. Kita harus bersabar." Namun Bu Ratih tidak puas dengan jawaban itu. "Sabar, sabar. Sampai kapan, Zaki? Lihatlah Hasna, dia s
"Tidak. Itu tidak akan terjadi. Hubunganku dengan Zaki hanya sebatas Rania. Tidak lebih. Dan aku harap kamu percaya hal itu, mas," ujar Hasna Robertio tersenyum. "Siapa pula yang tidak percaya dengan wanita sebaik kamu. Mungkin aku juga harus berterimakasih kepada Zaki," ujar Robertio Hasna menyipitkan mata. "Berterima kasih? Untuk apa?" "Untuk sifatnya. Karena kalau tidak dia bersikap seperti itu, kamu tidak akan menjadi milikku. Terkadang orang yang tulus itu didapat dari seseorang yang tidak menghargai pasangannya. Bukan begitu?" goda Robertio. Hasna hanya tersenyum dan mencubit pelan pinggang suaminya. Malam itu, bintang-bintang tampak lebih terang dari biasanya, seolah mengawasi langkah-langkah kecil Zaki yang penuh beban. Setelah kejadian yang mengguncang, Zaki merasakan kedamaian yang aneh, tetapi di balik kedamaian itu, ada ketegangan yang tidak bisa diabaikan. Perasaan Fatihah yang terluka menjadi bayangan yang terus mengganggunya. Di rumah, Fatihah duduk termenung, me
Malam itu, meski ketegangan sedikit mereda, Robertio dan Hasna masih merasakan beratnya beban di pundak mereka. Ardan sudah ditangkap, tetapi permintaan orang tuanya untuk membebaskannya menambah tekanan yang baru. Sementara itu, di tempat lain, Zaki dan ibunya berusaha memulai hidup baru setelah berbagai cobaan yang mereka lalui. Pagi itu, Zaki dan ibunya, Bu Ratih, datang ke rumah Hasna dan Robertio. Dengan wajah yang penuh rasa syukur, mereka disambut oleh Hasna yang masih terkejut melihat mereka. "Bu Ratih, Zaki, ada apa kalian ke sini pagi-pagi?" tanya Hasna dengan ramah. Bu Ratih menatap Hasna dengan mata berkaca-kaca. "Hasna, kami datang untuk mengucapkan terima kasih. Kami tidak tahu bagaimana harus membalas semua kebaikanmu dan Robertio. Tanpa bantuan kalian, aku tidak tahu apa yang akan terjadi pada Zaki." Hasna tersenyum lembut. "Kami hanya melakukan apa yang kami bisa, Bu Ratih. Yang penting sekarang kalian aman." Zaki maju, menatap Hasna dengan penuh hormat. "Hasna,