Wajah pasangan suami istri tersebut benar-benar terlihat resah. Mereka memang memilih mandiri dari segi apapun, walaupun seorang Robertio adalah anak tunggal. Namun mereka memilih berpisah rumah, agar bisa berdiri diatas kaki sendiri.Tetapi sepertinya apa yang mereka harapkan tidak berjalan dengan sesempurna itu.Orang tua Robert sangat protektif menjaga mereka. Terutama sang papa. Apapun aktifitas keluarga itu mereka tau. Entah dimana dan siapa orang yang dibayar untuk mengawasi.Jika mungkin sebagian orang merasa senang karena diperhatikan, tetapi tidak dengan mereka. Kadang juga papa nya masuk ke dalam ranah yang tidak semestinya beliau perlu tau. Termasuk usaha kontrakan milik Robert. "Pap,"tegur Hasna yang menatap sang suami sejak tadi hanya tertunduk."Iya mam,"jawab Robert lirih seperti tak bertenaga. "Kamu kenapa? Sakit?"Robert menggeleng kecil."Aku minta ma'af mam. Tidak bisa memberikan kehidupan runah tangga yang sempurna. Bahkan membuatmu tidak nyaman seperti ini,"j
"Lalu kalian mau papa yang bagaimana? Yang cuek? Yang membiarkan anak serta menantu disakiti oleh orang lain yang tidak tau diri? Papa tidak bisa seperti itu,"jawab Pak Alex dengan wajah resah yang tidak bisa disembunyikan. Hasna menghela nafas pelan. Memang tidak mudah untuk merubah watak seseorang."Pa, Robert bukan anak kecil lagi. Robert bisa menjaga diri sendiri dan juga keluarga,"pinta lirih Robertio.Pak Alex mengalihkan pandangan."Aku tidak yakin membiarkanmu sendiri dengan sifatmu yang selalu merendah Robert. Aku akui kamu cerdas. Tapi kamu juga begitu murah hati. Dan papa takut dengan segala kebaikanmu itu justru dimanfaatkan oleh orang lain,"Tidak ada yang menyahut. Semua diam. Merasa masing-masing berada pada garis kebenaran. Hati Zaki turut bergetar. Lebih tepatnya merasa bersalah. Kenapa ia semudah itu menuduh Hasna dan suami. Padahal mereka masih menaruh iba terhadap hidupnya. "Ki, bisa bantu saya mengambil titipan Pak Alex?"tanya Pak Ahmad yang membuat ia terbuy
Zaki sudah mengira bahwa reaksi sang ibu akan seperti biasa. Marah. Atau memaki mantan menantunya tersebut. Tetapi ternyata Zaki salah. Justru sang ibu tidak bereaksi. Masih asyik dengan masakan di penggorenganya. "Bu, ibu masak apa sih? Ibu dengar Zaki ngomong kan?"Ibunya menoleh pelan. "Untuk apa Zaki? Untuk menjadi bahan hinaan mereka? Sudahlah. Kita tinggal disini saja. Nanti kalau sudah" ada cukup uanh, kita beki rumah sederhana, "jawab Bu Ratih dengan lirih.Zaki benar benar tidak menyangka. Kata kata bijak itu keluar juga dari bibir sang ibu. "Oh iya. Ibu mau jualan di pasar,"Zaki semakin menganga mendengar penuturan sang ibu. Ia pastikan bahwa pendengaranya tidaklah salah."Jualan? Jualan apa bu? Ibu yakin?"tanya Zaki memastikan lagi. Bu Ratih kembali mengangguk penuh mantap. "Kentucky,"jawabnya. Ya Zaki akui, ibunya selalu tak pernah gagal membuat masakan itu terasa enak, krispi dan bumbunya begitu terasa dan meresap. Zaki mendudukan tubujhnya di kursi. "Kena
"Si Dito anaknya Pak Lurah mau melamar Neng Fatihah,"Degg. Kaki Zaki terasa lemas. Ia kalah cepat. Bahkan hanya dalam hitungan menit. Lagipula semestinya ia harus berkaca. Bagaimana dia. Dan seperti apa masa lalunya.Sementara Fatihah adalah wanita baik-baik. Secara logika, apa iya juga mau dengan Zaki yang berstatus duda? Ah dunia tidak akan sebercanda itu. Zaki berbalik badan. Kembali pulang. Dan kembali menelan kecewa. Rasanya baru kali ini ia benar benar kecewa dengan seorang wanita. Ibunya menatap heran, belum sampai hitungan menit sang anak keluar dengan membawa niat baiknya. Justru sekarang ia kembali dengan lemas. Ibunya menatap trenyuh."Ditolak kah ki?"tanya sang ibu yang harap harap cemas. Zaki menghela nafas pelan. Sementara sang ibu terus menatap lekat wajah Zaki. Menantikan jawabanya"Fatihah sudah dilamar anak Pak Lurah bu,"Bu Ratih kini terduduk lemas. Ia bahkan berfikir mungkin ini hukuman untuknya. Berharap mendapat menantu baik, namun semuanya tidak s
"Lamaran?"tanya Fatihah dengan tatapan bingung. Zaki merintih. Berharap Fatihah tidak membuat hati nya kembali berharap lagi."Aku tau Fat tanpa kamu beri tau,"ujar Zaki. Tapi nyatanya ia gagal menyembunyikan wajah kecewanya yang bercampur cemburu itu."Memangnya Mas Zaki sudah pernah bertemu kakak Fatihah?"tanya wanita itu. Kini Zaki yang semakin bingung dibuatnya. Melihat sutuasi ini, Bu Ratih mencoba angkat bicara."Begini nak Fatihah, jadi lamaran di rumah mu kemarin itu, lamaranya siapa?"tanya Bu Ratih dengan tidak sabar. "Oh. Itu lamaran Mas Dito kepada kakak Fatihah. Tapi ia kerja duar kita. Jadi jarang ketemu,"Zaki bernafas lega. Tanpa sadar ia melebarkan senyumnya tanda bahagia. "Jadi bukan untuk kamu?"tanya Bu Ratih lagi memastikan. Fatihah menggeleng pelan. "Nanti sore aku akan datang Fat,"ucap Zaki dengan spontan.Alis Fatihah bertaut. "Akan ku minta kamu kepada orang tuamu,"lanjut Zaki. Hati Fatihah berdebar. Pipinya menjadi bersemu merah. Ia menunduk. "B
Fatihah tampak diam mematung mengamati sosok laki laki yang datang dengan kemeja putih itu. Tak ada yang aneh. Pemuda tersebut tampak ramah. Sepertinya ia juga seumuran dengan Fatihah. Dia cukup tampan.Sepupu Fatihah yang juga turut membantu acara ini juga tampak berlarian kecil mendatangi Fatihah di pelaminan.“Dia datang, kak,” ujar Erlin dengan raut wajah yangkhawatir.“Sudah biarkan saja. Sebenarnya tak ada yang mengundangnya kemari. Hanya saja biarlah itu hak dia untuk datang,” jawab Fatihah.“Siapa sih Fat? Kenapa kalian begitu takut?” tanya Zai yang tentu menuai pemasaran.Fatihah mencoba tersenyum di depan laki laki yang baru saja mengucapkan akad untuknya itu.“Tidak apa apa. Tak penting, nanti akan aku ceritakan,” kata Hasna.Namun ibu Hasna-Bu Sundari yang juga ada di pelaminan juga tampak tak enak hati dengan kehadiran laki laki yang entah siapa itu. Dari gesture tubuhnya beliau juga terlihat begitu gelisah. Dan anehnya, laki laki itu juga menyalami semua orang, bahkan sa
Matahari telah tenggelam, dan lampu-lampu pesta mulai bersinar terang di taman rumah Fatihah. Malam itu, angin malam terasa sejuk, seolah berusaha meredakan kegelisahan di hati Fatihah. Meskipun hari ini adalah hari pernikahannya, ada bayang-bayang ketakutan yang terus menghantuinya. “Fatihah, kamu baik-baik saja?” tanya Zaki lembut saat mereka duduk berdua di teras rumah, menikmati malam pertama mereka sebagai suami istri. Fatihah mencoba tersenyum, meski senyum itu tampak dipaksakan. “Aku baik-baik saja, Mas. Hanya sedikit lelah.” Zaki mengangguk, meski ia tahu ada sesuatu yang disembunyikan oleh istrinya. Ia memutuskan untuk tidak memaksanya bercerita, setidaknya tidak malam ini. Namun, ketenangan malam itu tiba-tiba terusik oleh bunyi getaran ponsel di saku Fatihah. Ia meraih ponselnya dan melihat sebuah pesan dari nomor yang tidak dikenal. “Selamat malam, Fatihah. Selamat atas pernikahanmu. Tapi ingat, aku selalu mengawasimu. – Ardan” Pesan itu membuat tangan Fatihah berge
Malam itu, setelah mereka memutuskan untuk melapor ke polisi, Fatihah dan Zaki berusaha beristirahat. Namun, pikiran mereka terus dibayangi oleh ancaman Ardan. Setiap bayangan dan suara di rumah terasa seperti ancaman nyata, membuat tidur mereka tidak nyenyak. Keesokan paginya, mereka berdua pergi ke kantor polisi setempat untuk melaporkan ancaman yang mereka terima. Polisi menerima laporan mereka dengan serius dan berjanji akan melakukan penyelidikan. Meski begitu, kekhawatiran masih menghantui Fatihah. “Jangan khawatir, Sayang. Polisi akan menangani ini,” kata Zaki saat mereka berjalan keluar dari kantor polisi. “Aku tahu, Mas. Tapi perasaan takut ini tidak bisa hilang begitu saja,” jawab Fatihah dengan suara pelan. Mereka berdua memutuskan untuk mampir ke rumah orang tua Zaki untuk memberitahukan situasi tersebut. Di sana, Bu Ratih langsung menunjukkan kekhawatirannya. “Fatihah, Zaki, kalian harus berhati-hati. Ardan sepertinya orang yang berbahaya,” ujar Bu Ratih dengan cema
Fatihah berdiri di depan pintu rumah dengan semangat yang menggebu-gebu. Setelah beberapa hari perencanaan dan persiapan, hari ini adalah hari yang ia tunggu-tunggu. Ia akan pindah ke rumah kontrakan yang baru, jauh dari tekanan dan masalah yang selama ini mengganggu hidupnya bersama Bu Ratih. Dengan langkah mantap, ia memasuki rumah dan mencari Bu Ratih untuk berpamitan.Di dalam rumah, Bu Ratih sedang duduk di ruang tamu, membaca koran pagi. Ketika melihat Fatihah masuk dengan wajah ceria, ia mengangkat alisnya dan tersenyum tipis.“Fatihah, ada apa? Kamu tampak sangat bersemangat hari ini?” tanya Bu Ratih yang seolah melupakan perdebatannya dengan Fatihah tempo hari.Fatihah mendekati Bu Ratih dengan penuh keyakinan. “Bu, aku ingin memberitahukan bahwa Zaki dan aku memutuskan untuk mengontrak rumah sendiri. Kami sudah menemukan tempat yang cocok dan akan segera pindah.”Bu Ratih terkejut mendengar berita itu. “Mengontrak rumah? Ibu minta maaf jika kamu tidak nyaman disini.”Fatihah
Fatihah melangkah dengan cepat, meninggalkan rumah dengan perasaan campur aduk. Langkahnya membawa dia ke rumah orang tuanya yang tidak terlalu jauh dari sana. Setibanya di rumah, Fatihah langsung disambut oleh ibunya, Bu Siti, yang terkejut melihat putrinya datang dengan wajah yang penuh air mata.“Fatihah, ada apa ini? Kenapa kamu menangis?” tanya sang ibu dengan cemas, memeluk putrinya erat-erat.Fatihah hanya bisa menangis tanpa bisa menjelaskan apa yang terjadi. Ia merasa kelelahan secara emosional setelah pertengkaran hebat dengan Bu Ratih. Ibunya mengelus punggungnya dengan lembut, mencoba menenangkan.“Sudah, nak, ceritakan pada Ibu apa yang terjadi. Kenapa kamu tiba-tiba datang seperti ini?” tanya ibu Fatihah dengan lembut.Fatihah menghela napas panjang, mencoba mengumpulkan kata-kata.Ibu, aku tidak kuat lagi tinggal di rumah Bu Ratih. Aku selalu dibandingkan dengan Hasna, dan itu membuatku merasa tidak berharga. Aku merasa tidak dihargai sebagai istri Zaki.”Bu Siti menger
Fatihah berjalan pulang dari pasar dengan langkah berat, pikirannya dipenuhi oleh pertemuan tak terduga dengan Hasna. Ia merasa perasaannya campur aduk, antara marah, cemburu, dan kesal. Selalu saja Hasna muncul di saat-saat yang tidak tepat, seolah-olah mengingatkan Fatihah tentang semua kekurangannya. Meskipun Hasna terlihat tulus dan ramah, Fatihah tidak bisa menahan perasaan sinis yang membuncah di dalam hatinya.Di sisi lain, Hasna merasa bingung dengan sikap dingin dan sinis Fatihah. Sebelum ini, hubungan mereka baik-baik saja, bahkan sempat akrab walau Fatihah tau bahwa HAsna adalah mantan istri Zaki. Hasna merenung sambil duduk di kursi favoritnya di rumah. Ia mencoba mengingat apakah ada sesuatu yang pernah ia lakukan hingga membuat Fatihah berubah seperti itu. Hasna merasa ada yang tidak beres, dan ia berniat untuk mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi.Setelah beberapa hari berlalu, Hasna memutuskan untuk mengunjungi rumah Fatihah. Ia berharap kunjungannya bisa membantu
Zaki hanya terdiam mendengarkan permintaan sang istri. Ia tidak bisa memberikan keputusan secara langsung. Hatinya seolah tengah ada di persimpangan dilemma. Sementara Fatihah, meskipun hari sudah larut malam, matanya masih saja terjaga hingga dini hari. Semua masalah seolah olah tengah berputar putar dalam otaknya. Ia terbangun pagi itu dengan perasaan yang bercampur aduk. Hari-hari yang dihabiskannya bersama Bu Ratih di rumah terasa semakin berat. Ia menghargai kebaikan Bu Ratih, tetapi kata-kata yang sering keluar dari mulut ibu mertuanya itu kadang sangat menyakitkan. Setelah mandi dan bersiap, Fatihah turun ke dapur dengan tekad yang sudah bulat di hatinya.“Pagi, Bu,” sapa Fatihah dengan suara ceria yang dipaksakan.“Pagi, Fatihah,” jawab Bu Ratih sambil menyeruput teh hangatnya. Ada keheningan sejenak sebelum Bu Ratih akhirnya membuka percakapan yang membuat suasana menjadi tegang. “Ibu tadi bertemu Hasna. Auranya benar benar keluar terpancar. Apalagi saat hamil ini.”Fatihah m
Pagi berikutnya, Fatihah memutuskan untuk mengunjungi orang tuanya. Ia merasa perlu berbicara dengan mereka tentang perasaannya dan mendapatkan dukungan dari mereka. Ketika ia tiba di rumah orang tuanya, ia disambut dengan senyum hangat dari ayah dan ibunya. Namun, setelah berbicara sebentar, air mata Fatihah mulai mengalir saat ia menceritakan semua yang sedang terjadi."Kami sudah mencoba berbagai cara, Bu. Tapi sepertinya selalu gagal. Program bayi tabung ini adalah harapan terakhir kami," ucap Fatihah dengan suara terisak.Ibu Fatihah, Bu Aisyah, merangkulnya dengan lembut. "Nak, kami mengerti perasaanmu. Kami juga ingin melihatmu bahagia dengan keluarga yang lengkap. Tapi menggadaikan rumah untuk program itu... apakah tidak ada cara lain?"Fatihah menggeleng pelan. "Aku tidak tahu lagi, Bu. Aku hanya merasa gagal sebagai seorang istri. Aku tidak bisa memberikan Zaki seorang anak."Ayah Fatihah, Pak Rahmat, yang sedari tadi diam, akhirnya angkat bicara. "Fatihah, kita harus berpik
Pada keesokan harinya, Fatihah tidak bisa tidur nyenyak. Pikiran tentang program bayi tabung terus menghantui benaknya. Ia tahu biaya yang dibutuhkan sangat besar, dan semakin ia berpikir, semakin besar rasa cemas itu tumbuh. Namun, dalam hatinya, ia merasa ini adalah satu-satunya jalan untuk mewujudkan impian mereka.Setelah sarapan, Fatihah duduk dengan Zaki di ruang tamu, terlihat lebih serius daripada biasanya. Zaki yang sedang menatap televisi menoleh, merasakan perubahan di wajah Fatihah. "Ada apa, Fatihah?" tanya Zaki, dengan nada penuh perhatian.Fatihah menghela napas panjang. "Zaki, aku ingin kita serius memikirkan program bayi tabung itu. Aku tahu biayanya tidak sedikit, tapi aku siap berusaha. Aku tahu kita tidak kaya, tapi aku ingin memberikan yang terbaik untuk kita."Zaki mengerutkan kening, perasaan berat melingkupi hatinya. "Fatihah, aku tidak ingin kamu merasa terbebani. Biaya itu... tidak mudah untuk kita. Kita sudah berusaha, tapi apakah itu benar-benar jalan yang
Pagi yang cerah itu, Fatihah duduk termenung di teras rumahnya. Burung-burung berkicau riang di kejauhan, namun hatinya tidak bisa merasakan kebahagiaan yang sama. Pikirannya terhuyung-huyung antara kegelisahan dan keputusasaan. Dalam hatinya, ia selalu merasa bersalah karena belum bisa memberikan keturunan untuk Zaki. Setiap hari ia merasakan beban itu semakin berat, terutama saat ia melihat Zaki yang berusaha menyembunyikan kekecewaannya. Di dalam rumah, Bu Ratih sedang berbincang dengan Zaki. Suaranya terdengar lembut, namun nadanya menunjukkan keprihatinan yang mendalam. "Zaki, kamu tahu, aku selalu mendukungmu. Tapi tidak bisakah kau melihat bahwa Fatihah belum bisa memberikanmu keturunan? Padahal kita sudah sangat menantikannya." Zaki terdiam sejenak, mencoba menenangkan ibunya. "Bu, Fatihah sudah berusaha. Mungkin belum saatnya kita diberi keturunan. Kita harus bersabar." Namun Bu Ratih tidak puas dengan jawaban itu. "Sabar, sabar. Sampai kapan, Zaki? Lihatlah Hasna, dia s
"Tidak. Itu tidak akan terjadi. Hubunganku dengan Zaki hanya sebatas Rania. Tidak lebih. Dan aku harap kamu percaya hal itu, mas," ujar Hasna Robertio tersenyum. "Siapa pula yang tidak percaya dengan wanita sebaik kamu. Mungkin aku juga harus berterimakasih kepada Zaki," ujar Robertio Hasna menyipitkan mata. "Berterima kasih? Untuk apa?" "Untuk sifatnya. Karena kalau tidak dia bersikap seperti itu, kamu tidak akan menjadi milikku. Terkadang orang yang tulus itu didapat dari seseorang yang tidak menghargai pasangannya. Bukan begitu?" goda Robertio. Hasna hanya tersenyum dan mencubit pelan pinggang suaminya. Malam itu, bintang-bintang tampak lebih terang dari biasanya, seolah mengawasi langkah-langkah kecil Zaki yang penuh beban. Setelah kejadian yang mengguncang, Zaki merasakan kedamaian yang aneh, tetapi di balik kedamaian itu, ada ketegangan yang tidak bisa diabaikan. Perasaan Fatihah yang terluka menjadi bayangan yang terus mengganggunya. Di rumah, Fatihah duduk termenung, me
Malam itu, meski ketegangan sedikit mereda, Robertio dan Hasna masih merasakan beratnya beban di pundak mereka. Ardan sudah ditangkap, tetapi permintaan orang tuanya untuk membebaskannya menambah tekanan yang baru. Sementara itu, di tempat lain, Zaki dan ibunya berusaha memulai hidup baru setelah berbagai cobaan yang mereka lalui. Pagi itu, Zaki dan ibunya, Bu Ratih, datang ke rumah Hasna dan Robertio. Dengan wajah yang penuh rasa syukur, mereka disambut oleh Hasna yang masih terkejut melihat mereka. "Bu Ratih, Zaki, ada apa kalian ke sini pagi-pagi?" tanya Hasna dengan ramah. Bu Ratih menatap Hasna dengan mata berkaca-kaca. "Hasna, kami datang untuk mengucapkan terima kasih. Kami tidak tahu bagaimana harus membalas semua kebaikanmu dan Robertio. Tanpa bantuan kalian, aku tidak tahu apa yang akan terjadi pada Zaki." Hasna tersenyum lembut. "Kami hanya melakukan apa yang kami bisa, Bu Ratih. Yang penting sekarang kalian aman." Zaki maju, menatap Hasna dengan penuh hormat. "Hasna,