"Lamaran?"tanya Fatihah dengan tatapan bingung. Zaki merintih. Berharap Fatihah tidak membuat hati nya kembali berharap lagi."Aku tau Fat tanpa kamu beri tau,"ujar Zaki. Tapi nyatanya ia gagal menyembunyikan wajah kecewanya yang bercampur cemburu itu."Memangnya Mas Zaki sudah pernah bertemu kakak Fatihah?"tanya wanita itu. Kini Zaki yang semakin bingung dibuatnya. Melihat sutuasi ini, Bu Ratih mencoba angkat bicara."Begini nak Fatihah, jadi lamaran di rumah mu kemarin itu, lamaranya siapa?"tanya Bu Ratih dengan tidak sabar. "Oh. Itu lamaran Mas Dito kepada kakak Fatihah. Tapi ia kerja duar kita. Jadi jarang ketemu,"Zaki bernafas lega. Tanpa sadar ia melebarkan senyumnya tanda bahagia. "Jadi bukan untuk kamu?"tanya Bu Ratih lagi memastikan. Fatihah menggeleng pelan. "Nanti sore aku akan datang Fat,"ucap Zaki dengan spontan.Alis Fatihah bertaut. "Akan ku minta kamu kepada orang tuamu,"lanjut Zaki. Hati Fatihah berdebar. Pipinya menjadi bersemu merah. Ia menunduk. "B
Fatihah tampak diam mematung mengamati sosok laki laki yang datang dengan kemeja putih itu. Tak ada yang aneh. Pemuda tersebut tampak ramah. Sepertinya ia juga seumuran dengan Fatihah. Dia cukup tampan.Sepupu Fatihah yang juga turut membantu acara ini juga tampak berlarian kecil mendatangi Fatihah di pelaminan.“Dia datang, kak,” ujar Erlin dengan raut wajah yangkhawatir.“Sudah biarkan saja. Sebenarnya tak ada yang mengundangnya kemari. Hanya saja biarlah itu hak dia untuk datang,” jawab Fatihah.“Siapa sih Fat? Kenapa kalian begitu takut?” tanya Zai yang tentu menuai pemasaran.Fatihah mencoba tersenyum di depan laki laki yang baru saja mengucapkan akad untuknya itu.“Tidak apa apa. Tak penting, nanti akan aku ceritakan,” kata Hasna.Namun ibu Hasna-Bu Sundari yang juga ada di pelaminan juga tampak tak enak hati dengan kehadiran laki laki yang entah siapa itu. Dari gesture tubuhnya beliau juga terlihat begitu gelisah. Dan anehnya, laki laki itu juga menyalami semua orang, bahkan sa
HAI, MANTAN ISTRI "Dasar kere. Orang miskin saja belagu nyewa kontrakan mewah,"gerutu Bu Talita memaki kami. Tidak dapat aku sembunyikan betapa malunya kami saat diusir dari kontrakan. Apalagi banyak pasang mata yang melihatnya. Aku dengan tergesa-gesa mengemasi barang-barang yang aku punya. Lebih tepatnya hanya baju yang aku punya."Eh baru juga punya kontrakan seperti ini saja simbongnya sudah selangit. Awas kalau aku kaya, akan kubeli kontrakanmu termasuk kesombonganmu juga,"teriak ibu tidak mau kalah. Begitulah ibu. Ia pantang disakiti, pantang dihina meskipun memang begini keadaanya. Dan oleh siapapun itu. Beliau sama sekali tidak perduli.Tante Talita dan ibu dulunya adalah kawan akrab. Namun saat kami mulai susah membayar kontrakan, beliau mengusir kami. Aku maklum. Memang begitulah perputaran modalnya.Aku diam sepanjang perjalanan yang aku sendiri tidak tau akan kemana."Zaki, kamu itu lulusan sarjana. Kenapa susah sekali cari kerja sih,"gerutu ibu.Aku menghela nafas pelan.
Namun mataku terbelalak saat melihat Hasna begitu menawan. Aku yang pernah menjadi orang berada juga Tari-mantan istriku yang juga dari kalangan elite tentu aku hafal betul sejumlah harga outfit. Apalagi dengan yang dikenakan Hasna saat ini. Aku yakin harganya juga fantastis.Saat aku tak berkedip menatapnya, saat itu pula ia juga menatap ke arah aku dan ibu. Lagi lagi ia melemparkan senyum simpulnya itu."Sudah bisu mungkin si Hasna itu. Dari kemarin hanya senyam-senyum saja. Akibat pernah dzolim dengan mertua ya jadinya begitu,"gerutu ibu yang menyadari tatapan Hasna kepada kami."Bukanya terbalik bu. Justru dulu ibu yang sering dzolim ke Hasna. Memperlakukan dia seperti bukan kepada menantu. Tetapi justru seperti babu,"protesku kepada ibu.Ibu bergantian menoleh ke arahku dengan tajam."Eh wajar ya Zaki. Mertua memperlakukan menantu seperti itu. Lagipula dia juga tidak berkerja bukan? Hanya mengurus rumah dan menadahkan tangan kepadamu. Berbeda dengan Tari yang bekerja. Ah pahit ta
Ku lihat mata ibu menyipit membaca kertas berlogo salah satu bank terkenal yang disodorkan Hasna. Namun ibu tertawa kecil."Kamu kira saya bodoh? Saya tau persis siapa kamu. Tidak mungkin wanita seperti Hasna menyodorkan cek kepada priyayi seperti saya,"hina ibu."Silahkan isi sendiri nomor rekeningnya,"Aku bergegas menghampiri beliau. Malu. Kami hanyalah penghuni baru kontrakan dan membut ribut saat mengisi acara.Namun tidak ada sepatah katapun yang keluar dari mulut Hasna lagi setelah mendengar hinaan serta penolakan dari ibu. Sorot matanya tetap teduh dan tidak menantang.Ia hanya meletakan cek itu diatas meja. Lalu menggandeng Ranita pergi dari situ. "Bu,"panggilku."Lihatlah mantan istrimu. Belagu. Sombong. Cek palsu saja,"gerutu ibu sembari mengibas-ngibaskan bajunya yang tersiram kuah soto. Ibu juga berlalu. Namun pandangan orang lain belum berlalu. Ada yang menatap dengan pandangan sinis. Dan ada juga yang saling berbisik."Oh jadi Mas Zaki itu mantan suaminya Mbak Hasna?"
"Enak saja. Memangnya rumah saya itu penampungna gratis begitu?"jawab Tante Mira sembari bersungut.Namun tiba-tiba ibu tertawa yang membuatku bingung. Aku menoleh ke arahnya."Kamu sedang prank kami kan Mir? Kamu sedang mengerjai kami kan? Mana kamera tersembunyi itu?"tanya ibu dengan celingukan.Dan sekrang giliran Tante Mira yang tertawa."Mbak sudah gila ya karena miskin?"tanyanya penuh remeh.Aku bahkan tidak menyangka ibu akan berkata seperti itu. Ya aku tau karena harapan ibu yang begitu besar kepada Tante Mira untuk menolong kami. Memang kecewa yang paling besar adalah ketika kita berharap pada manusia."Aku serius. Aku tidak bisa menampung kalian di rumah ku. Kita sudah beda level,"Aku dan ibu tentu tidak percaya bahwa Tante Mira akan seketus ini. Padahal dulu beliau adalah saudara ibu yang paling dekat. Yang selalu bersikap manis. Apalagi dengan jarak tempat tinggal kami yang berbeda negara tentu menjadi rindu tersendiri saat Tante Mira dan keluarganya pulang ke tanah air.
( Untuk part seterusnya akan dibuat POV AUTHOR ya gais)🌿🌿🌿Namun siapa sangka saat Anwar mengajak Zaki masuk ke dalam ternyata isinya penuh dengan barang rongsokan. Namun tempat Ini bersih dan tertata rapi. Pak Haji yang digadang-gadang akan memberikan pekerjaan untuk Zaki ternyata adalah pengepul barang rongsokan."Tunggu dulu War,"cegah Zaki sembari menahan kerah Anwar agar tidak melanjutkan langkahnya."Kenapa mas?""Kamu mau menghina saya atau mau menjerumuskan saya? Saya ini lulusan sarjana, War. Mana mungkin bekerja di tempat rongsokan seperti ini?"tanya Zaki sedikit emosi dengan nada penekanan di setiap katanya.Anwar menghela nafas pelan. Lalu ia membuang muka ke arah lain."Mau setinggi apapun pendidikan seorang laki-laki, kalau dia tidak bekerja maka serasa dia tidak punya harga diri. Saya tidak bermaksud menghina atau menjerumuskan Mas Zaki. Saya hanya niat ingin menolong. Lagipula apa yang salah bekerja di tempat pengepul rongsokan? Toh itu juga halal. Sebenarnya usah
Dan ternyata Hasna yang mengulurkan uang itu. Penjual sayur menatapnya bingung. Bergantian menatap Hasna dan juga Bu Ratih. Tentu dia heran mengapa Hasna begitu berbaik hati kepada pendatang baru di kontrakan tersebut.Hasna paham. Ia mengembangkan seulas senyumnya."Dia mantan ibu mertua saya,""Eh tidak usah ya. Saya disini bukan pengemis yang minta-minta ke kamu. Hidup berubah sedikit saja, sombong. Mau buktiin kalau situ sekarang jadi kaya? Bisa saja uang hasil hutang kan? Lagipula kamu pasti bangga ya pernah jadi menantu seorang priyayi seperti saya."jawab Bu Ratih dengan angkuh."Jadi menantu ibu dibenci. Jadi mantan menantu pun juga sama. Sebenarnya mau Bu Ratih itu apa sih?"tanya Hasna dengan suara datar tapi disertai tatapan tajam."Nih. Saya cuma bawa uang delapan ribu saja. Catat sebagai hutang,"perintah Bu Ratih lalu berlalu tanpa mengindahkan pertanyaan Hasna."Huuu.. Dasar. Ujung-ujungnya hutang saja berlagak mengaku priyayi,"gerutu tukang sayur."Duh Mbak Hasna mimpi ap