“Kalau begitu nanti sebelum cek in kita belanja dulu.”“Iya, Om.”Di sini aku sekarang di kamar hotel bersama Om Darwin. Aku berada di Surabaya di salah satu hotel ternama. Aku baru saja bersenang-senang dengan Om Darwin.Besok Om Darwin mau meeting dengan kliennya, dia bilang padaku jika menang tender maka aku akan ditransfer uang lagi. Asal aku melayaninya dengan puas.Ternyata dia pria yang lembut buktinya dia tidak asal memperlakukanku. Aku sampai terbuai dibuatnya aku jadi ingin menjadi istrinya saja. Konyol memang.Kutatap Om Darwin yang sedang tertidur pulas. Wajahnya rupawan sayang kelakuannya tidak serupawan itu. Aku jadi penasaran dengan istrinya. Mungkinkah istrinya secantik aku?Der! Der! Der!Baru saja hendak merebahkan diri pintu kamar sudah digedor-gedor.Deg! Apa mungkin itu istrinya. Jika iya, alangkah apesnya diriku, ini baru awal permainan.🌸🌸🌸“Kenapa bete gitu?” tanya Tante Eni.“Ini, Te. Ada urusan penting aku kasih kabar ke Nindi malah dicueikin.” Tante Eni
“Ada apa sih, Mbak ribut terus!” bentak Tante Eni.“Itu, perempuan sundal tak tahu malu! Masa dia mau minta warisan ini dan itu sedang pembagian warisan saja belum,” jawab Tante Devi.Kini aku tahu permasalahannya. Ya ampun mereka merebutkan sesuatu yang bukan hak mereka.“Tan, dengar, ya? Tidak akan ada pembagian warisan karena ayah tidak meninggalkan warisan apa pun kecuali hutang. Kalau kalian berebut mau dapat baik nanti aku bilang ke pengacara keluarga kita untuk membagi adil hutang ayah pada kalian berdua. Jadi, nanti kalian berdua yang bayarin hutang ayah,” tegasku.Sudah kuduga mereka akan terkejut dan juga kesal.“Enggak usah ngadi-ngadi deh, Al. Kakakku itu kaya dia bekerja siang malam masa enggak punya harta?” sanggah Tante Devi.“Punya sih, tapi habis untuk bayar hutang. Tante kalau enggak percaya silakan saja datang ke kantor ayah dan lihat kas bon ayah di sana. Puluhan juta! Belum lagi kredit mobil baru ayah yang dipakai Tante Anin,” jelasku.“Ja—di apa mobil itu bakalan
“Ini, Pak!?” Bik Siti keluar dengan membawa ransel besar.“Eh, babu kurang ajar ya, kamu!” pekik Om Yuda seraya menarik paksa ransel dari tangan Bik Siti.“Pergi dari sini. Jatah bertamumu sudah habis dari jauh-jauh hari.” Usir Om Yuda.Sambil mengumpat dan mengancam om Yuda pergi dari rumah ini.“Kamu pasti tadi lihat pemandangan tidak mengenakkan di rumahku ya, Ngga?” tanyaku pada Angga. Sekarang aku sedang bersama Angga di swalayan dekat rumah membeli perlengkapan sekolah untuk Cici.“Iya, lihat. Itu sih, biasa dalam keluarga, Al. Setiap keluarga pasti ada masalah sendiri-sendiri. Santai aja,” jawab Angga terkekeh.Ah, andai Angga tahu kalau masalahnya tidak sesederhana itu.“Ini, makan dulu. Biasanya mood cewek akan kembali membaik kalau makan coklat.” Angga menyodorkannya coklat batangan dan juga es krim coklat Mag**m padaku.“Segini banyak, Ngga? Kamu niat banget bikin aku gemuk!”“Enggak apa-apa gemuk. Cewek kalau gemuk itu cantik tahu!”“Hiliiiih! Gombal banget! Yang ada itu ce
“Ada apa, Al?” Angga menyenggol sikuku.“Oh, ini Ngga ada WA dari istri ayahku,” jawabku jujur.“Penting?”“Enggak, biarlah nanti juga ketemu pas di rumah.”“Enggak penting kok langsung bengong gitu?”“Oh, enggak. Don’t worry. Everything is oke!”“Syukurlah. Yuk, berangkat itu Cici dan ibunya sudah siap!” Aku melihat ke arah dua ibu beranak yang nasibnya malang itu.Ibu Cici sudah tidak seperti tadi waktu pertama kali kami datang. Dia begitu sendu wajahnya menyiratkan kesedihan yang mendalam. Cici ah, anak itu mana tahu bahaya yang mengancam jiwanya dia tetap ceria seperti biasanya.“Bu, sepertinya kita pulang ke rumahku dulu, aku ada keperluan mendadak. Enggak apa-apa, kan?”“Ta—kut merepotkan ... di rumah Nak Alya, bukankah ada ka—kek itu?” Ibu Cici terlihat agak bingung.“Sama sekali tidak! Nanti ada omku yang berprofesi sebagai polisi. Ibu jangan takut hitung-hitung kita kasih terapi kejut untuk opaku.”“Cici nanti kita sebelum jalan-jalan mau mampir ke rumah Kakak terlebih dahul
“Kakek, ini aku Cici. Apa Kakek tidak ingat padaku karena aku pakai baju bagus, ya?” ucap Cici lagi. “Heh, bocah sontoloyo! Aku tidak kenal kamu! Alya! Bawa gembel ini keluar!” teriak opa. “Cici ini kalau tidak kenal dengan orang mana mungkin mau mengaku-ngaku kenal. Dia ini anak baik,” sahutku seraya mengajak Cici untuk kembali duduk. “Iya, benar. Aku kenal dengan Kakek baik hati ini. Kakek ini yang selalu ajak main Aku di kebun pisang kalau Aku lagi mulung. Tapi, permainannya rahasia Aku tidak boleh bilang ke siapa pun,” papar Cici lagi. “Dasar bocah gendeng!” umpat opa kemudian dia berlalu pergi ke dalam. Oma mengikuti opa disusul Tante Devi. “Apa benar yang dibilang anak itu, Al?” Kini giliran nenek yang penasaran. “Iya, Nek. Nanti juga bakalan ngaku, kok!” jawabku santai. Kini giliran nenek yang melongo. Pasti nenek bingung. “Duh, sampai lupa gara-gara duo gembel ini.” Tante Anin mengalihkan pembicaraan. “Al, itu ada duo gembel lagi yang mengaku istri ayahmu. Noh, lagi ma
~k~u🌸🌸🌸[Aku pulang, Al!]Satu pesan mendarat dari Nindi. Aku malas balasnya terserah saja.“Opa sakit?” tanyaku heran saat Tante Devi sibuk meminta tolong pada kakek untuk membawa opa ke rumah sakit.“Iya, Al. Badannya menggigil dan juga panas dingin,” jawab tante Devi.“Kakek sakit apa, Tan? Apa karena tidak main permainan rahasia lagi jadi sakit?” tanya Cici polos. Tante Devi tidak suka dia mendorong bahu Cici hingga anak itu terpental jatuh ke lantai untung ibu Cici sigap jika tidak bisa terluka.“Santai, Tan! Jangan main fisik begitu Cici hanya anak kecil dia tidak tahu apa-apa. Asal Tante tahu ya, anak kecil itu masih suci, polos dan tidak pernah berbohong. Kecuali ... jika diancam.”“Anak itu ngeselin banget dari tadi, Al. Kamu juga malah belain gembel ini dari opamu sendiri!” bentak Tante Devi padaku.Aku malas menanggapi ucapan Tante Devi lagi.“Enggak usah dibawa ke rumah sakit, Kek. Nanti duit Kakek habis. Opa itu Cuma masuk angin saja dikerikin juga sembuh. Kali dia tel
“Astaghfirullah, Bapak!” Oma langsung menjatuhkan paper bag yang diberi oleh Nindi. Begitu pun Tante Devi, mereka berdua gegas menolong opa. “Kenapa kalian berdua diam saja cepat cari pertolongan!” bentak oma. Dengan malas aku dan Nindi pergi dari kamar oma. Cici berlari menghampiri ibunya yang sedang ngobrol dengan Bik Siti. “Toloooong!” teriakan Tante Devi membuat heboh seisi rumah. Mereka berbondong-bondong lari ke kamar oma. Kuikuti Nindi yang santai masuk kamar. “Kamu kasih Opa obat apa, Nind? Jangan ceroboh, deh!” kataku kesal. “Hanya obat yang sudah kadaluwarsa,” jawabnya santai. “Mana bisa kamu beli obat kadaluwarsa dari apotek terkenal itu?” “Itu hanya plastiknya saja. Obatnya aku beli di warung. Tadi mampir ke apotek beli obat untuk sugar Daddy-ku. Plastiknya kuambil kubawa pulang, deh!” jelas Nindi. “Obat apa yang kamu kasih?” “Obat maag, obat sakit kepala, dan penurun panas semua sudah kadaluwarsa tadi mamah kasih sekaligus tiga keracunan deh, itu opa.” “Tapi ...
“Tante ini lucu sih, aku sudah gede gini kapan Tante ngurus aku?” tanyaku menohok.“Rima, jadi gini, kamu hamil dengan Hendra di luar nikah. Anakmu ini memang anak biologis Hendra, tapi dia tidak berhak atas apa pun yang Hendra miliki termasuk nasabnya. Dia tidak bisa bernasab pada Hendra dia bernasab padamu sebagai ibunya. Hendra menantuku itu memang tidak tahu malu dan tidak tahu terima kasih. Sudahlah dikasih hidup enak malah menyakiti anakku. Kalau aku katakan yang sebenarnya tentang anakku padamu pasti kamu tidak akan percaya. Nasib anakku jauh lebih tragis darimu padahal anakku memiliki segalanya termasuk harta benda untuk modal si Hendra bermain dengan wanita. Kurasa penjelasan ini cukup untuk kamu pahami.”“Jadi ... maksudnya ....”“Iya, begitu dia menantu tidak tahu diri dan tidak memiliki apa-apa. Kalau kamu mau minta pertanggungjawaban untuk anakmu mintalah pada orang tua Hendra. Alya, di sini Bapak yang menghidupi. Harta yang dinikmati Alya sama sekali bukan milik Hendra.