“Tante ini lucu sih, aku sudah gede gini kapan Tante ngurus aku?” tanyaku menohok.“Rima, jadi gini, kamu hamil dengan Hendra di luar nikah. Anakmu ini memang anak biologis Hendra, tapi dia tidak berhak atas apa pun yang Hendra miliki termasuk nasabnya. Dia tidak bisa bernasab pada Hendra dia bernasab padamu sebagai ibunya. Hendra menantuku itu memang tidak tahu malu dan tidak tahu terima kasih. Sudahlah dikasih hidup enak malah menyakiti anakku. Kalau aku katakan yang sebenarnya tentang anakku padamu pasti kamu tidak akan percaya. Nasib anakku jauh lebih tragis darimu padahal anakku memiliki segalanya termasuk harta benda untuk modal si Hendra bermain dengan wanita. Kurasa penjelasan ini cukup untuk kamu pahami.”“Jadi ... maksudnya ....”“Iya, begitu dia menantu tidak tahu diri dan tidak memiliki apa-apa. Kalau kamu mau minta pertanggungjawaban untuk anakmu mintalah pada orang tua Hendra. Alya, di sini Bapak yang menghidupi. Harta yang dinikmati Alya sama sekali bukan milik Hendra.
.“Silakan Ibu tidak percaya! Bagaimana dengan anak itu, hah! Anak itu datang ke sini ayah seperti kesetanan. Anak itu memberi keterangan di kantor polisi apa ibu masih tidak percaya!” teriak Tante Devi menunjuk Cici.“Tidaak! Suamiku tidak begitu!” Oma makin histeris dan mengacak-acak rambutnya sendiri.“Silakan jika Ibu tidak percaya! Tapi, fakta sudah membenarkan semuanya. Aku tidak sudi punya bapak seperti itu. Bagiku bapak sudah mati!” Tante Devi masih saja berteriak di depan wajah oma.“Ayo, Mah ikut aku!” Nindi menarik lengan mamahnya meninggalkan ruang makan.~k~u🌸🌸🌸Sejak kejadian semalam oma mengurung diri di kamar. Makanan yang dibawa Bik Siti ke kamarnya dibuang begitu saja piring dan gelas pecah hingga Bik Siti terluka terkena pecahan beling saat membersihkannya.Nindi dan Tante Devi pun sama saja tetap berada di kamarnya. Entah apa yang mereka lakukan sejak semalam pun tidak keluar.Tante Anin pagi-pagi sekali sudah pergi katanya ada urusan. Rumah ini sudah seperti ru
🌸🌸🌸“Nek, aku ke Nindi dulu, ya?”Gegas kukejar Nindi yang berjalan buru-buru ke luar rumah.“Ambil tasmu kita cari Opa!” teriaknya.Tanpa pikir panjang aku pun lari ke kamar mengambil tas dan berganti jilbab.“Sudah kupesan taxi onlinenya,” ucap Nindi. Tangannya masih sibuk dengan ponselnya.“Cari ke mana, ya, Al?”“Entahlah yang jelas kita ke rumah sakit dulu. Kita lihat CCTV. Kok, bisa opa kabur. Bukankah dia kritis?” jawabku heran. Opa ini seperti punya ilmu rawa rontek saja. Padahal kukira ajian itu hanya ada di film kolosal Indonesia.“Kamu order ke mana, Nin?”“Rumah, sakit!”“Good job!”Sesampainya di rumah sakit sudah ada dua petugas kepolisian yang sedang memeriksa CCTV.Terlihat opa susah payah melepas jarum infusnya kemudian mendobel bajunya dengan baju yang ada dipakainya sewaktu dibawa ke rumah sakit lalu mengendap-endap ke luar kamar.Dari CCTV lorong kamar rumah sakit opa terlihat kepayahan berjalan merambat seperti anak kecil baru belajar jalan. Anehnya semua orang
“Sebaiknya kamu jangan buka sosmed dulu, Nind. Biar kamu enggak terpengaruh,” saranku seraya kukembalikan ponselnya.“Iya, Al. Thanks ya. Kalau tidak ada kamu mungkin aku ....” Nindi menitikkan air matanya. Baru kali ini aku lihat dia semelow ini.“Sssstt ... jangan berkata seperti itu. Bukan karena aku, tapi karena kerja sama kita dan juga pertolongan Tuhan. Itulah kenapa kita harus melibatkan Allah SWT dalam setiap masalah ataupun tindakan kita lainnya. Kalau kamu mau nangis, silakan nangis sepuasmu tidak ada yang melarang. Semoga dengan kamu menangis bisa meringankan sedikit bebanmu.” Nindi hanya manggut-manggut saja seraya sesekali mengusap kasar air matanya.“Hidupku malang sekali. Aku punya papah narapidana punya mamah juga begitu,” ujarnya lagi.“Kamu tidak sendiri, Nind. Di luar sana masih banyak yang jauh lebih tidak beruntung dari kamu. Contohnya aku sendiri. Aku juga punya ayah bejat yang tega menjual kehormatan istrinya sendiri. Itu kejahatannya pun sudah level tidak bisa
Wah, kok, ada yang komentar nyelekit, ya? Bilang Tante Anin norak numpang foto doang, tapi kok enggak dibalas ya, sama Tante Anin. Jangan-jangan benar komentar temannya, di sana Tante Anin hanya cuci mata saja. Dasar gaya aja yang sosialita budget mah BPJS. Lucu juga lumayan menghibur saat penat begini.Sampai rumah sudah lumayan malam sudah waktunya tidur. Aku gegas bersih-bersih badan dan menunaikan salat isya.Bik Siti sudah tertidur pulas di ranjangku pasti dia sangat capek sampai tidak menyadari kedatanganku.Cici dan ibunya tidur di kamar tamu. Tadi pun yang menyambutku dan membuatkanku coklat panas ibunya Cici. Katanya tidak bisa tidur karena takut. Kupastikan padanya di rumah ini aman. Di depan ada satpam dan juga ada kamera pengawas di setiap sudut rumah ini.Dari kamar depan terdengar suara ribut-ribut oma dan Nindi, tapi aku tidak berminat untuk datang ke sana. Jiwa dan ragaku lelah butuh istirahat.~k~u🌸🌸🌸“Pagi semua,” sapaku. Pagi ini aku mau memulai hari dengan suka
🌸🌸🌸“Nind, apa kamu batal janji dengan si itu?” tanyaku ragu. Setahuku kalau sudah menjadi sugar baby harus siap selalu diajak ke mana pun pergi.“Astaga! Aku lupa. Em ... kita ke sananya nanti aja ya, Al tunggu aku pulang. Enggak lama kok, sore juga pulang,” katanya seraya berlalu. Di depan pintu gerbang sekolah ternyata sudah ada mobil yang menunggunya.“Apa Nindi masih jadi itu, Al?” Lusi sepertinya penasaran karena katanya beberapa kali memergoki Nindi sedang jalan dengan Putri dan seorang om-om.“Ya, aku sudah peringatkan, tapi tidak mempan jadi, ya terserah dia aja.”“Kita ke mana dulu, nih?”“Rumah sakit, Lus aku mau lihat keadaan omaku.“Pulang dulu, Al. Aku mau mandi plus salin baju, lihat aku tembus,” rengeknya.Seperti biasa Angga selalu on time menungguku. Dia cengengesan bak orang gila baru begitu melihatku dan Lusi menghampirinya.“Anak sultan mau juga jalan kaki,” sindirnya pada Lusi.“Nama ayahku Hadikusumo, Ngga, bukan sultan!” tegas Lusi.“Oo, Pak Hadi. Itu kan, o
Pesan ini dikirim sampai lima kali. Siapa yang kirim? Tante Anin? Tidak mungkin. Apa opa? Tidak mungkin juga, ini bahasa perempuan. Opa kalau kirim pesan akan singkat, padat, jelas, dan bahasanya juga baku.“Tuh, kan, apa aku bilang? Jangan dibuka kalau dibuka gitu mengganggu kamu makan!” Angga menyambar HP-ku dan. Menaruhnya lagi ke meja.“Ciee ... perhatian banget!” sahut Lusi.Ting!Ponselku bunyi lagi. Segera kusambar ponselku.[Siapa yang kirim ya, Al?] Ternyata dari Nindi. Dia meneruskan pesan yang sama persis dikirimkan padaku.[Aku juga dapat itu.] jawabku segera.[Opa?] Tebak Nindi.[Impossible. Opa tidak akan berani mengirim pesan saat odp begini.] Jawabku yakin.Nindi tak membalasnya lagi. Aku melanjutkan makan pecelku. Angga dan Lusi sudah memelototiku sedari tadi.“Alhamdulillah ... kenyang. Mantap ya, pecelnya,” seloroh Lusi.“Ini beneran level 10, Lus?” tanyaku seraya menyomot lontong di piring Lusi.“Wuaaah ... astaghfirullah, Lusi!” pekikku tak tahan. Pedasnya membuat
“Oma bangun, ya, nanti kita jalan-jalan. Oma mau beli apa aja aku belikan.” Kubelai wajah cantik oma. Kata orang aku sedikit mirip oma.“Oma, tahu enggak yang ambil uang Oma dua puluh juta rupiah itu aku, he-he maafkan aku ya, Oma. Aku sengaja lakuin itu habisnya aku kesal sekali pada Oma,” kataku lagi. Padahal mulutku tertawa, tapi entah kenapa air mataku keluar.“Itu uang Oma dapat dari ayah kan? Dapat dari penjualan cincin berlianku, kan?”“Oma, please dengar ya? Bangun ya? Aku sayang banget sama Oma.” Kudekatkan kupingku ke mulut oma berharap oma menyahut ucapanku. Konyol memang, dan hanya terdengar suara nat nit nut dari monitor perekam jantung. Air mataku makin deras.“Tenang aja, nanti uangnya aku ganti tiga kali lipat. Oma mau apa lagi? Mau beli cincin berlian? Beli tas branded? Beli sepatu atau baju branded? Aku belikan untuk Oma. Atau Oma pingin jalan-jalan ke Bali?” kataku sedih.Oma sama sekali tidak merespon. Aku tahu itu sangat mustahil bagi orang yang masuk ICU bisa sem