“Ini, Pak!?” Bik Siti keluar dengan membawa ransel besar.“Eh, babu kurang ajar ya, kamu!” pekik Om Yuda seraya menarik paksa ransel dari tangan Bik Siti.“Pergi dari sini. Jatah bertamumu sudah habis dari jauh-jauh hari.” Usir Om Yuda.Sambil mengumpat dan mengancam om Yuda pergi dari rumah ini.“Kamu pasti tadi lihat pemandangan tidak mengenakkan di rumahku ya, Ngga?” tanyaku pada Angga. Sekarang aku sedang bersama Angga di swalayan dekat rumah membeli perlengkapan sekolah untuk Cici.“Iya, lihat. Itu sih, biasa dalam keluarga, Al. Setiap keluarga pasti ada masalah sendiri-sendiri. Santai aja,” jawab Angga terkekeh.Ah, andai Angga tahu kalau masalahnya tidak sesederhana itu.“Ini, makan dulu. Biasanya mood cewek akan kembali membaik kalau makan coklat.” Angga menyodorkannya coklat batangan dan juga es krim coklat Mag**m padaku.“Segini banyak, Ngga? Kamu niat banget bikin aku gemuk!”“Enggak apa-apa gemuk. Cewek kalau gemuk itu cantik tahu!”“Hiliiiih! Gombal banget! Yang ada itu ce
“Ada apa, Al?” Angga menyenggol sikuku.“Oh, ini Ngga ada WA dari istri ayahku,” jawabku jujur.“Penting?”“Enggak, biarlah nanti juga ketemu pas di rumah.”“Enggak penting kok langsung bengong gitu?”“Oh, enggak. Don’t worry. Everything is oke!”“Syukurlah. Yuk, berangkat itu Cici dan ibunya sudah siap!” Aku melihat ke arah dua ibu beranak yang nasibnya malang itu.Ibu Cici sudah tidak seperti tadi waktu pertama kali kami datang. Dia begitu sendu wajahnya menyiratkan kesedihan yang mendalam. Cici ah, anak itu mana tahu bahaya yang mengancam jiwanya dia tetap ceria seperti biasanya.“Bu, sepertinya kita pulang ke rumahku dulu, aku ada keperluan mendadak. Enggak apa-apa, kan?”“Ta—kut merepotkan ... di rumah Nak Alya, bukankah ada ka—kek itu?” Ibu Cici terlihat agak bingung.“Sama sekali tidak! Nanti ada omku yang berprofesi sebagai polisi. Ibu jangan takut hitung-hitung kita kasih terapi kejut untuk opaku.”“Cici nanti kita sebelum jalan-jalan mau mampir ke rumah Kakak terlebih dahul
“Kakek, ini aku Cici. Apa Kakek tidak ingat padaku karena aku pakai baju bagus, ya?” ucap Cici lagi. “Heh, bocah sontoloyo! Aku tidak kenal kamu! Alya! Bawa gembel ini keluar!” teriak opa. “Cici ini kalau tidak kenal dengan orang mana mungkin mau mengaku-ngaku kenal. Dia ini anak baik,” sahutku seraya mengajak Cici untuk kembali duduk. “Iya, benar. Aku kenal dengan Kakek baik hati ini. Kakek ini yang selalu ajak main Aku di kebun pisang kalau Aku lagi mulung. Tapi, permainannya rahasia Aku tidak boleh bilang ke siapa pun,” papar Cici lagi. “Dasar bocah gendeng!” umpat opa kemudian dia berlalu pergi ke dalam. Oma mengikuti opa disusul Tante Devi. “Apa benar yang dibilang anak itu, Al?” Kini giliran nenek yang penasaran. “Iya, Nek. Nanti juga bakalan ngaku, kok!” jawabku santai. Kini giliran nenek yang melongo. Pasti nenek bingung. “Duh, sampai lupa gara-gara duo gembel ini.” Tante Anin mengalihkan pembicaraan. “Al, itu ada duo gembel lagi yang mengaku istri ayahmu. Noh, lagi ma
~k~u🌸🌸🌸[Aku pulang, Al!]Satu pesan mendarat dari Nindi. Aku malas balasnya terserah saja.“Opa sakit?” tanyaku heran saat Tante Devi sibuk meminta tolong pada kakek untuk membawa opa ke rumah sakit.“Iya, Al. Badannya menggigil dan juga panas dingin,” jawab tante Devi.“Kakek sakit apa, Tan? Apa karena tidak main permainan rahasia lagi jadi sakit?” tanya Cici polos. Tante Devi tidak suka dia mendorong bahu Cici hingga anak itu terpental jatuh ke lantai untung ibu Cici sigap jika tidak bisa terluka.“Santai, Tan! Jangan main fisik begitu Cici hanya anak kecil dia tidak tahu apa-apa. Asal Tante tahu ya, anak kecil itu masih suci, polos dan tidak pernah berbohong. Kecuali ... jika diancam.”“Anak itu ngeselin banget dari tadi, Al. Kamu juga malah belain gembel ini dari opamu sendiri!” bentak Tante Devi padaku.Aku malas menanggapi ucapan Tante Devi lagi.“Enggak usah dibawa ke rumah sakit, Kek. Nanti duit Kakek habis. Opa itu Cuma masuk angin saja dikerikin juga sembuh. Kali dia tel
“Astaghfirullah, Bapak!” Oma langsung menjatuhkan paper bag yang diberi oleh Nindi. Begitu pun Tante Devi, mereka berdua gegas menolong opa. “Kenapa kalian berdua diam saja cepat cari pertolongan!” bentak oma. Dengan malas aku dan Nindi pergi dari kamar oma. Cici berlari menghampiri ibunya yang sedang ngobrol dengan Bik Siti. “Toloooong!” teriakan Tante Devi membuat heboh seisi rumah. Mereka berbondong-bondong lari ke kamar oma. Kuikuti Nindi yang santai masuk kamar. “Kamu kasih Opa obat apa, Nind? Jangan ceroboh, deh!” kataku kesal. “Hanya obat yang sudah kadaluwarsa,” jawabnya santai. “Mana bisa kamu beli obat kadaluwarsa dari apotek terkenal itu?” “Itu hanya plastiknya saja. Obatnya aku beli di warung. Tadi mampir ke apotek beli obat untuk sugar Daddy-ku. Plastiknya kuambil kubawa pulang, deh!” jelas Nindi. “Obat apa yang kamu kasih?” “Obat maag, obat sakit kepala, dan penurun panas semua sudah kadaluwarsa tadi mamah kasih sekaligus tiga keracunan deh, itu opa.” “Tapi ...
“Tante ini lucu sih, aku sudah gede gini kapan Tante ngurus aku?” tanyaku menohok.“Rima, jadi gini, kamu hamil dengan Hendra di luar nikah. Anakmu ini memang anak biologis Hendra, tapi dia tidak berhak atas apa pun yang Hendra miliki termasuk nasabnya. Dia tidak bisa bernasab pada Hendra dia bernasab padamu sebagai ibunya. Hendra menantuku itu memang tidak tahu malu dan tidak tahu terima kasih. Sudahlah dikasih hidup enak malah menyakiti anakku. Kalau aku katakan yang sebenarnya tentang anakku padamu pasti kamu tidak akan percaya. Nasib anakku jauh lebih tragis darimu padahal anakku memiliki segalanya termasuk harta benda untuk modal si Hendra bermain dengan wanita. Kurasa penjelasan ini cukup untuk kamu pahami.”“Jadi ... maksudnya ....”“Iya, begitu dia menantu tidak tahu diri dan tidak memiliki apa-apa. Kalau kamu mau minta pertanggungjawaban untuk anakmu mintalah pada orang tua Hendra. Alya, di sini Bapak yang menghidupi. Harta yang dinikmati Alya sama sekali bukan milik Hendra.
.“Silakan Ibu tidak percaya! Bagaimana dengan anak itu, hah! Anak itu datang ke sini ayah seperti kesetanan. Anak itu memberi keterangan di kantor polisi apa ibu masih tidak percaya!” teriak Tante Devi menunjuk Cici.“Tidaak! Suamiku tidak begitu!” Oma makin histeris dan mengacak-acak rambutnya sendiri.“Silakan jika Ibu tidak percaya! Tapi, fakta sudah membenarkan semuanya. Aku tidak sudi punya bapak seperti itu. Bagiku bapak sudah mati!” Tante Devi masih saja berteriak di depan wajah oma.“Ayo, Mah ikut aku!” Nindi menarik lengan mamahnya meninggalkan ruang makan.~k~u🌸🌸🌸Sejak kejadian semalam oma mengurung diri di kamar. Makanan yang dibawa Bik Siti ke kamarnya dibuang begitu saja piring dan gelas pecah hingga Bik Siti terluka terkena pecahan beling saat membersihkannya.Nindi dan Tante Devi pun sama saja tetap berada di kamarnya. Entah apa yang mereka lakukan sejak semalam pun tidak keluar.Tante Anin pagi-pagi sekali sudah pergi katanya ada urusan. Rumah ini sudah seperti ru
🌸🌸🌸“Nek, aku ke Nindi dulu, ya?”Gegas kukejar Nindi yang berjalan buru-buru ke luar rumah.“Ambil tasmu kita cari Opa!” teriaknya.Tanpa pikir panjang aku pun lari ke kamar mengambil tas dan berganti jilbab.“Sudah kupesan taxi onlinenya,” ucap Nindi. Tangannya masih sibuk dengan ponselnya.“Cari ke mana, ya, Al?”“Entahlah yang jelas kita ke rumah sakit dulu. Kita lihat CCTV. Kok, bisa opa kabur. Bukankah dia kritis?” jawabku heran. Opa ini seperti punya ilmu rawa rontek saja. Padahal kukira ajian itu hanya ada di film kolosal Indonesia.“Kamu order ke mana, Nin?”“Rumah, sakit!”“Good job!”Sesampainya di rumah sakit sudah ada dua petugas kepolisian yang sedang memeriksa CCTV.Terlihat opa susah payah melepas jarum infusnya kemudian mendobel bajunya dengan baju yang ada dipakainya sewaktu dibawa ke rumah sakit lalu mengendap-endap ke luar kamar.Dari CCTV lorong kamar rumah sakit opa terlihat kepayahan berjalan merambat seperti anak kecil baru belajar jalan. Anehnya semua orang