~k~u🌸🌸🌸“Al, apa sepupumu itu sudah taubat kok, sekarang mau jalan kaki pulang pergi sekolah?” tanya Angga.Kami memang sedang dalam perjalanan pulang sekolah.“Entah, deh! Kurasa karena gengnya tidak memberi tumpangan jadi terpaksa jalan kaki,” jawab Alya.“Yee ... aku bisa kali pesan taxi. Lagi pingin jalan kaki saja. Kenapa sih, kalian sewot gitu? Takut keganggu ya, acara pacarannya?” sindirku.“Apaan sih, Nind!” Enggak lah. Kami itu hanya heran saja makanya tanya,” sahut Angga seraya menoyor kepalaku.“Kirain ... tapi, kalau kalian pacaran cocok deh! Alya cantik, kamu juga ganteng Ngga. Kenapa kalian enggak jadian aja” ledekku lagi.“Ngomong lagi, kusumpel mulutmu pakai daun pisang di kebun sono!” bentak Alya.“Marah tandanya iya, loh, Al.” godaku lagi.Alya mengambil kerikil dan melemparkan padaku. Takut kena aku lari menghindar. Alya tidak mau kalah dia ikut lari mengejarku.“Stop, Al. Capek!” teriakku.Pluk!Kerikil lumayan besar berhasil mendarat di kepalaku.“Puas, Al!” be
Assalamualaikum everyone 😍 selamat pagi ....Yuk, bantu follow akunku bagiku yang sudah follow aku ucapkan banyak terima kasih ❤️Happy reading.🌸🌸🌸POV NINDI“Dasar bandot tua!” pekikku kesal sekali. Jika membunuh tidak ada hukumannya tentu saja sudah kulakukan.“Giman Dik, sudah enakkan?” tanya Alya pada gadis kecil itu. Ya Tuhan malang sekali nasibnya. Sudahlah miskin dilecehkan pula.“Sudah enakkan, Kak. Hanya saja perutku sakit. Sedari pagi aku belum makan,” jawabnya jujur.“Makan ini, Dik. Kakak tadi bawa bekal, dan tidak Kakak makan.” Alya memberikan kotak bekalnya.“Wah, enak sekali. Ini ayam goreng kayak yang di TV kan, Kak?” Alya hanya mengangguk seraya membelai rambut gadis malang itu.“Makan dan habiskan.”“Tapi, nanti Kakak makan apa kalau bekal Kakak aku habiskan?” Apa aku tidak salah dengar? Mulia sekali anak ini. Perutnya lapar masih memikirkan orang lain. Ada yang berdenyut di dalam dadaku.“Jangan khawatir, Kakak nanti akan makan di rumah.”Aku dan Alya menunggu
Tak lama taksi online datang. Kami gegas menuju tempat tujuan.“Jangan takut meski tadi dia ngomel-ngomel tapi, hatinya baik.” Hiburku. Anak ini mengangguk saja.Sopir taksi curi-curi pandang pada kami lewat kaca. Mungkin dia terpesona pada kecantikanku atau malah curiga kami mau menculik anak ini. Ck, dikasih aja aku ogah buat apa culik segala.“Nanti jalan masuknya jauh enggak? Becek enggak?” tanyaku padanya. Volume suaraku sengaja aku keraskan.“Enggak, Kak. Dekat kok, tapi becek.”“Ah, kalau gitu aku enggak mau ikut masuk ke rumah dia, Al. Kamu aja yang anterin. Aku tunggu di jalan saja.”“Ya, terserah kamu aja, Nind.”“Ingat ya, besok kalau mulung jangan jauh-jauh nanti ada orang jahat,” kataku lagi.“Besok Kakak yang datang ke rumah kamu, jadi kamu tunggu saja di rumah, ya?” ucap Alya.“Baik, Kak.”“Sepulang sekolah Kakak ke sana.”“Iya, Kak. Aku tunggu.”Perjalanan 15 menit kami sampai. Jujur aku baru pertama kali masuk ke dalam pasar ini. Sering lewat, tapi tidak pernah masuk
“Kalau begitu nanti sebelum cek in kita belanja dulu.”“Iya, Om.”Di sini aku sekarang di kamar hotel bersama Om Darwin. Aku berada di Surabaya di salah satu hotel ternama. Aku baru saja bersenang-senang dengan Om Darwin.Besok Om Darwin mau meeting dengan kliennya, dia bilang padaku jika menang tender maka aku akan ditransfer uang lagi. Asal aku melayaninya dengan puas.Ternyata dia pria yang lembut buktinya dia tidak asal memperlakukanku. Aku sampai terbuai dibuatnya aku jadi ingin menjadi istrinya saja. Konyol memang.Kutatap Om Darwin yang sedang tertidur pulas. Wajahnya rupawan sayang kelakuannya tidak serupawan itu. Aku jadi penasaran dengan istrinya. Mungkinkah istrinya secantik aku?Der! Der! Der!Baru saja hendak merebahkan diri pintu kamar sudah digedor-gedor.Deg! Apa mungkin itu istrinya. Jika iya, alangkah apesnya diriku, ini baru awal permainan.🌸🌸🌸“Kenapa bete gitu?” tanya Tante Eni.“Ini, Te. Ada urusan penting aku kasih kabar ke Nindi malah dicueikin.” Tante Eni
“Ada apa sih, Mbak ribut terus!” bentak Tante Eni.“Itu, perempuan sundal tak tahu malu! Masa dia mau minta warisan ini dan itu sedang pembagian warisan saja belum,” jawab Tante Devi.Kini aku tahu permasalahannya. Ya ampun mereka merebutkan sesuatu yang bukan hak mereka.“Tan, dengar, ya? Tidak akan ada pembagian warisan karena ayah tidak meninggalkan warisan apa pun kecuali hutang. Kalau kalian berebut mau dapat baik nanti aku bilang ke pengacara keluarga kita untuk membagi adil hutang ayah pada kalian berdua. Jadi, nanti kalian berdua yang bayarin hutang ayah,” tegasku.Sudah kuduga mereka akan terkejut dan juga kesal.“Enggak usah ngadi-ngadi deh, Al. Kakakku itu kaya dia bekerja siang malam masa enggak punya harta?” sanggah Tante Devi.“Punya sih, tapi habis untuk bayar hutang. Tante kalau enggak percaya silakan saja datang ke kantor ayah dan lihat kas bon ayah di sana. Puluhan juta! Belum lagi kredit mobil baru ayah yang dipakai Tante Anin,” jelasku.“Ja—di apa mobil itu bakalan
“Ini, Pak!?” Bik Siti keluar dengan membawa ransel besar.“Eh, babu kurang ajar ya, kamu!” pekik Om Yuda seraya menarik paksa ransel dari tangan Bik Siti.“Pergi dari sini. Jatah bertamumu sudah habis dari jauh-jauh hari.” Usir Om Yuda.Sambil mengumpat dan mengancam om Yuda pergi dari rumah ini.“Kamu pasti tadi lihat pemandangan tidak mengenakkan di rumahku ya, Ngga?” tanyaku pada Angga. Sekarang aku sedang bersama Angga di swalayan dekat rumah membeli perlengkapan sekolah untuk Cici.“Iya, lihat. Itu sih, biasa dalam keluarga, Al. Setiap keluarga pasti ada masalah sendiri-sendiri. Santai aja,” jawab Angga terkekeh.Ah, andai Angga tahu kalau masalahnya tidak sesederhana itu.“Ini, makan dulu. Biasanya mood cewek akan kembali membaik kalau makan coklat.” Angga menyodorkannya coklat batangan dan juga es krim coklat Mag**m padaku.“Segini banyak, Ngga? Kamu niat banget bikin aku gemuk!”“Enggak apa-apa gemuk. Cewek kalau gemuk itu cantik tahu!”“Hiliiiih! Gombal banget! Yang ada itu ce
“Ada apa, Al?” Angga menyenggol sikuku.“Oh, ini Ngga ada WA dari istri ayahku,” jawabku jujur.“Penting?”“Enggak, biarlah nanti juga ketemu pas di rumah.”“Enggak penting kok langsung bengong gitu?”“Oh, enggak. Don’t worry. Everything is oke!”“Syukurlah. Yuk, berangkat itu Cici dan ibunya sudah siap!” Aku melihat ke arah dua ibu beranak yang nasibnya malang itu.Ibu Cici sudah tidak seperti tadi waktu pertama kali kami datang. Dia begitu sendu wajahnya menyiratkan kesedihan yang mendalam. Cici ah, anak itu mana tahu bahaya yang mengancam jiwanya dia tetap ceria seperti biasanya.“Bu, sepertinya kita pulang ke rumahku dulu, aku ada keperluan mendadak. Enggak apa-apa, kan?”“Ta—kut merepotkan ... di rumah Nak Alya, bukankah ada ka—kek itu?” Ibu Cici terlihat agak bingung.“Sama sekali tidak! Nanti ada omku yang berprofesi sebagai polisi. Ibu jangan takut hitung-hitung kita kasih terapi kejut untuk opaku.”“Cici nanti kita sebelum jalan-jalan mau mampir ke rumah Kakak terlebih dahul
“Kakek, ini aku Cici. Apa Kakek tidak ingat padaku karena aku pakai baju bagus, ya?” ucap Cici lagi. “Heh, bocah sontoloyo! Aku tidak kenal kamu! Alya! Bawa gembel ini keluar!” teriak opa. “Cici ini kalau tidak kenal dengan orang mana mungkin mau mengaku-ngaku kenal. Dia ini anak baik,” sahutku seraya mengajak Cici untuk kembali duduk. “Iya, benar. Aku kenal dengan Kakek baik hati ini. Kakek ini yang selalu ajak main Aku di kebun pisang kalau Aku lagi mulung. Tapi, permainannya rahasia Aku tidak boleh bilang ke siapa pun,” papar Cici lagi. “Dasar bocah gendeng!” umpat opa kemudian dia berlalu pergi ke dalam. Oma mengikuti opa disusul Tante Devi. “Apa benar yang dibilang anak itu, Al?” Kini giliran nenek yang penasaran. “Iya, Nek. Nanti juga bakalan ngaku, kok!” jawabku santai. Kini giliran nenek yang melongo. Pasti nenek bingung. “Duh, sampai lupa gara-gara duo gembel ini.” Tante Anin mengalihkan pembicaraan. “Al, itu ada duo gembel lagi yang mengaku istri ayahmu. Noh, lagi ma