Karena penasaran aku segera berkaca. Pantulan di cermin depanku menunjukkan pemuda gagah sangat berbeda dengan Angga yang dulu. Masa sih, Alya paham.[Alya cakap itu you, tapi I tidak percaya, makanya tanya.][Iya, tu, Alya salah orang. Mungkin dia terlalu rindu padaku jadi, di matanya hanya ada aku yang terlihat.]Aku tertawa puas membalas WA Lusi, aku yakin dia akan meneruskan pesanku pada Alya.[Pede!]Tak kubalas lagi pesan Lusi. Aku beranjak ke dapur. Sebentar lagi berbuka puasa.Ada bunda dibantu ayah dan ART menyiapkan menu buka puasa. Ke mana istri muda ayah? Ya, Tuhan ternyata dia sedang main Tik Tok di ruang TV.“Wangi banget sih, masakan Bunda. Hem ....”Pujiku. Kupeluk bunda dari belakang.“Iya, dong! Kan, masakan sepesial untuk anak Bunda ini. Sudah ah, tunggu saja sana di meja makan. Malu dilihat Mbok,” jawab bunda. ART kami hanya senyum saja.“Ayah, enggak mau peluk Bunda?” tanyaku.“Angga, enggak boleh gitu, ah! Nah, kan, sudah azan. Ayo, cepat kita buka puasa.”Bunda d
Tak disangka Alya dan tantenya tertawa terbahak-bahak sampai menarik perhatian orang-orang yang lalu lalang di sekitar jalanan ini.“Mana ada Kuti secantik Alya, Ngga!” sahut Tante Eni. Aku hanya menggaruk kepala yang tidak gatal. Mati kutu kalau sudah berhadapan dengan pujaan hati.“Jangan lupa nanti malam ke rumah Lusi, ya? Kamu dapat undangan juga, kan?” tanya Alya.“Ck, menyebalkan baru bertemu sudah membicarakan orang lain. Eh, tapi, kok, nanti malam? Bukankah Minggu depan?”“Dipercepat, Ngga. Keluarga calonnya Lusi yang meminta. Maka itu kami pulang lebih awal dari jadwal yang seharusnya.”Duh, kenapa bisa bersamaan begini, ya? Apakah ini pertanda bahwa kami berjodoh.“Angga! Kalau ada orang ngomong itu dijawab jangan malah senyum-senyum,” hardik Alya.“Pulang dari luar negeri agaknya kehabisan obat, Al,” celetuk Tante Eni.“Em ... iya, nanti insya Allah aku usahakan datang.“Bye, Om Angga. Alika pulang dulu, ya?”“Iya, Alika. See you ....”Andai tidak puasa andai Alya masih gad
POV Nindi.🌸🌸🌸 Sepeninggal papah mendekam di lembaga pemasyarakatan mamah memang sudah down dan beberapa kali kudapati beliau diam-diam pergi ke bar dan juga menghabiskan waktu tidak bermanfaat bersama teman-temannya yang memang sudah mempunyai perilaku buruk itulah sebabnya peringai mamah makin buruk.Mamah semakin down saat harus menerima kenyataan bahwa aku dilecehkan. Bukan oleh orang lain melainkan oleh bapak kandungnya sendiri yaitu opaku sampai aku hamil dan memutuskan aborsi karena tidak mau menanggung malu pun tidak mau di keluarkan dari sekolah. Aku ingin tetap sekolah. Hanya sekolah yang membuatku bahagia dan melupakan segala kegelisahan dan kesedihan.Sering kupergoki mamah sedang menangis menahan suaranya agar tak didengar olehku yang tidur bersamanya seraya memeluk erat fotoku dan berkali-kali minta maaf. Mamah menyalahkan dirinya sendiri. Itu berlanjut selama proses hukum opa dan setiap malam saat aku sudah tidur.Aku tidak benar-benar tidur jadi aku tahu apa yang
POV Nindi.Tujuh tahun kini berlalu, aku sama sekali tidak pernah mendengar kabar Alya. Selama itu pula setiap bulan selalu ada kiriman sembako lengkap untuk kami. Aku tahu itu dari Alya, tapi aku membiarkannya. Entah dari mana Alya bisa tahu keberadaanku. Aku tidak mau terlalu memusingkan hal itu karena bagi Alya itu adalah hal yang sangat mudah, mengingat dia orang kaya dan bisa saja membayar orang untuk memata-mataiku.Aku hanya bisa mendoakan untuk semua kebaikan Alya. Pun aku tidak mau menolak pemberiannya hitung-hitung sebagai tanda baktinya untuk mamahku, adik dari almarhum ayahnya dan tentu saja aku bersyukur karena bisa menghemat pengeluaran. Uangnya bisa aku gunakan untuk berobat mamah. Meski gratis karena ada BPJS, tapi untuk biaya ini dan itu membutuhkan banyak uang.Mamahku terkena penyakit entah apa. Menurut dokter diabetes itu sebabnya mamah kurus jadi harus benar-benar mengatur pola makan.Ada yang aneh pada diri mamah. Beliau jadi sering melamun, pandangannya kosong.
POV Nindi. 🌸🌸🌸“Mau ke mana, kamu? Enggak sopan ya, orang tua lagi ngomong malah pergi!” hardik mamah seraya berkacak pinggang.“Mah, aku ada janji dengan temanku. Sebentar aja kok,” jawabku lesu.“Pulang bawa makanan yang enak, ya? Mamah pesan pizaa. Mamah bosan makan sayur sama ikan tiap hari.” Aku mengangguk saja.Bolehkan aku mengeluh ya, Allah. Aku lelah, sungguh. 7 tahun sudah aku bertahan, tapi tetap saja begini. Andai wanita itu bukan surgaku mungkin aku sudah membiarkannya pergi ataupun mati.Akhirnya aku bisa keluar juga. Walaupun hanya nongkrong sendirian sembari memesan menu takjil, melihat lalu lalang orang di luar food court ini. Sebenarnya aku tidak ada janji dengan siapa pun. Aku terpaksa berbohong agar bisa pergi. Aku bosan di rumah, selain omelan dan pukulan mamah tidak ada yang lain yang bisa kudapatkan. Aku rindu mamahku yang dulu ya, Allah. Tolong ... kembalikan mamahku.“Hapus air matamu, malu-maluin kaum wanita tahu!” ucap seseorang seraya memberiku tisu.Ak
POV Nindi. 🌸🌸🌸Di makam ramai sekali orang berziarah. Ini pemandangan yang membuat siapa saja akan berdecak kagum. Karena hanya menjelang lebaran begini orang-orang berziarah. Di pintu masuk area pemakaman juga berjejer orang-orang jualan bunga aneka rupa.Aku tadi membeli dua bungkus plastik bunga untuk nyekar seharga 10 ribu rupiah. Aku cukup lama berdiri karena bingung. Di mana letak makam omaku. Sudah 7 tahun aku tidak ke sini.Kususuri jalan setapak di area pemakaman ini seraya mengingat-ngingat letak makamnya. Begitu melihat makam di depanku yang dibuat seperti rumah di atasnya berjajar 3 batu nisan aku baru ingat setelah ini belok kanan dan makam oma sebelah kiri jalan setapak.Benar saja itu dia. Kenapa batu nisan oma masih bagus, ya? Siapa yang mengganti. Ada taburan bunga juga. Pasti ada yang baru dari sini. Keluargaku tidak ada yang lain kecuali Alya. Mungkinkah dia?Setelah khusuk berdoa untuk oma aku putuskan untuk segera pulang kulihat jam di tanganku sudah menunjukk
POV Nindi. 🌸🌸🌸🌸🌸🌸Aku syok sekali, baru kali ini mamah berbuat nekat padaku. Biasanya mamah akan menggunakan sajam untuk menyakiti dirinya sendiri.Selama ini hanya sebatas pukulan, cubitan, dan omelan saja. Sepertinya mamah malam ini benar-benar marah padaku.Tak kupedulikan Mamah yang meraung kesakitan karena tendanganku. Gunting yang ikut terlempar segera aku ambil. Aku lari ke dapur mengambil kotak P3K.Luka di telinga kubalut sendiri menggunakan kain kasa yang terpasang sekedarnya dan mengabaikan rasa sakit yang teramat sangat.“Nindi, mau ke mana kamu! Buka!” Mamah menggedor-gedor pintu. Terserah saja yang penting aku cepat mendapatkan pertolongan.Mamah aku kurung di rumah dan aku segera lari ke rumah tetanggaku yang seorang bidan tidak jauh hanya berjarak 200 meter. Untung saja ini Ramdhan jadi masih ramai.Setelah sampai kutunjukkan lukaku.“Ya Allah, Nak, ini harus dijahit.” Aku mengangguk.Bu bidan yang baru saja selesai menolong persalinan segera menanganiku.“Tah
POV NINDI. 🌸🌸🌸[Nindi, kamu di mana? Pulang cepat mamah lapar!]Kubaca WA dari mamah dengan perasaan dongkol. Bagaimana bisa mamah bersikap biasa saja setelah berusaha menyakitiku.[Makanlah Mah. Kan di dapur masih ada sayur sisa tadi sore.][Enggak mau! Enggak enak! Mamah mau makan bakso!]Kubayangkan ekspresi Mamah jika aku di rumah pasti sudah dipaksanya beli. Tidak peduli apa pun yang mamah minta saat itu juga harus tersedia.Ponselku berdering. Mamah yang telepon. Kubiarkan saja malas sekali mau jawab. Kalau benar-benar lapar pasti mamah makan apa aja yang ada di rumah.Kutaruh HP di atas nakas lalu Kutinggal tidur mataku juga sudah lima Watt.“Nin, ayo, makan lagi. Ini untukmu. Kamu harus makan banyak biar sehat dan gemuk.” Kak Akmal memberikan sepotong ayam padaku, menaruhnya di piring nasiku.Kami sedang makan sahur bersama. Di ruang makan Bu Bidan bersama dua perawatnya dan juga Kak Akmal.“Ma—kasih, Kak,” jawabku sungkan.“Benar, tuh, yang dibilang Akmal. Kamu harus ma