POV Nindi. 🌸🌸🌸🌸🌸🌸Aku syok sekali, baru kali ini mamah berbuat nekat padaku. Biasanya mamah akan menggunakan sajam untuk menyakiti dirinya sendiri.Selama ini hanya sebatas pukulan, cubitan, dan omelan saja. Sepertinya mamah malam ini benar-benar marah padaku.Tak kupedulikan Mamah yang meraung kesakitan karena tendanganku. Gunting yang ikut terlempar segera aku ambil. Aku lari ke dapur mengambil kotak P3K.Luka di telinga kubalut sendiri menggunakan kain kasa yang terpasang sekedarnya dan mengabaikan rasa sakit yang teramat sangat.“Nindi, mau ke mana kamu! Buka!” Mamah menggedor-gedor pintu. Terserah saja yang penting aku cepat mendapatkan pertolongan.Mamah aku kurung di rumah dan aku segera lari ke rumah tetanggaku yang seorang bidan tidak jauh hanya berjarak 200 meter. Untung saja ini Ramdhan jadi masih ramai.Setelah sampai kutunjukkan lukaku.“Ya Allah, Nak, ini harus dijahit.” Aku mengangguk.Bu bidan yang baru saja selesai menolong persalinan segera menanganiku.“Tah
POV NINDI. 🌸🌸🌸[Nindi, kamu di mana? Pulang cepat mamah lapar!]Kubaca WA dari mamah dengan perasaan dongkol. Bagaimana bisa mamah bersikap biasa saja setelah berusaha menyakitiku.[Makanlah Mah. Kan di dapur masih ada sayur sisa tadi sore.][Enggak mau! Enggak enak! Mamah mau makan bakso!]Kubayangkan ekspresi Mamah jika aku di rumah pasti sudah dipaksanya beli. Tidak peduli apa pun yang mamah minta saat itu juga harus tersedia.Ponselku berdering. Mamah yang telepon. Kubiarkan saja malas sekali mau jawab. Kalau benar-benar lapar pasti mamah makan apa aja yang ada di rumah.Kutaruh HP di atas nakas lalu Kutinggal tidur mataku juga sudah lima Watt.“Nin, ayo, makan lagi. Ini untukmu. Kamu harus makan banyak biar sehat dan gemuk.” Kak Akmal memberikan sepotong ayam padaku, menaruhnya di piring nasiku.Kami sedang makan sahur bersama. Di ruang makan Bu Bidan bersama dua perawatnya dan juga Kak Akmal.“Ma—kasih, Kak,” jawabku sungkan.“Benar, tuh, yang dibilang Akmal. Kamu harus ma
“Iya, salat aja dulu di sini. Kamu tahu Nin, di depan situ kan, ada pohon beringin. Nah, ada hantunya tuh, apalagi kalau lihat cewek jalan sendirian pasti digangguin.”Aku terkekeh mendengar ucapan Kak Akmal. Ya Tuhan seorang abdi negara takut hantu lagi pula ini Ramdhan kata guru ngajiku waktu kecil setiap bulan Ramadhan itu setan dikurung sama Allah jadi enggak bakalan ganggu orang.Ternyata bukan aku saja tertawa Bu Bidan dan dua perawat yang sedang menyeterilkan alat-alat kesehatan di ruangan sebelah Kak Akmal berdiri pun ikut tertawa.“Dibilangin malah ketawa!” sungut Kak Akmal.“Mana ada hantu, Kak! Hari gini takut hantu. Enggak malu sama pangkat?” ejekku.“Eh ... eh, apa maksudnya? Kok, bawa-bawa pangkat.” Ditoyornya kepalaku.“Sudah jangan ribut sudah Azan, Akmal.”“Iya, Bun.” Kak Akmal gegas berangkat ke masjid.“Sudah azan, sebaiknya kamu salat dulu, Nin, baru pulang. Ini nanti bawa ya? Untuk mamahmu dan untuk kamu. Di letakkannya kardus bekas indomie di bangku panjang.“Ini
POV NINDI. 🌸🌸🌸Lagi-lagi mamah memperhatikanku. Ekspresi wajahnya tidak bisa membohongi bahwa mamah memang benar-benar menyesal.“Sudah, Mah enggak apa-apa jangan sedih lagi. Mendingan Mamah coba bajunya pasti tambah cantik,” kataku mengalihkan perhatian mamah.Penuh semangat mamah mencoba baju itu. Sampai mamah melompat-lompat seperti anak kecil.“Cantik kan, Nin?”“Cantik banget, Mah.”“Fotoin Mamah, Nind!”Bak model profesional mamah foto dengan berbagai gaya. Meski belum mandi mamahku tetap terlihat cantik.[Nin, mau ikut buka bersama enggak?]Satu pesan dari teman kuliahku. Eki. Sekarang dia sudah bekerja. Begitu lulus kuliah langsung dapat panggilan kerja di sebuah perusahaan tekstil.[Di mana dan kapan? Wah, agaknya udah gajian ya, mau traktir, nih?] jawabku segera.[Cafe Bang Dul, sore ini.][Dadakan banget sih, Ki?][Iya, kalau direncanain malah enggak, jadi. Ikut ya, entar kujemput.][Enggak usah di jemput biar aku datang sendiri aja.][Oke, ditunggu ... yang traktir tem
POV NINDI 🌸🌸🌸“Eh, Nin, beneran situ mau jadi menantu Bu Bidan?” Nah, kan, mulai kepo.“Enggak, Bu,” jawabku jujur.“Oh, berarti emang mamahmu saja yang makin enggak waras. Kasihan loh, Nin. Mending kamu bawa ke rumah sakit jiwa aja, deh!”“Permisi, ya, Bu, maaf aku buru-buru.” Tak mau mendengar apa pun yang tidak-tidak tentang mamah lebih baik aku segera pergi dari sini.Aku pun sebenarnya ingin merawat mamah di sana. Dulu pernah, tapi mamah berhasil kabur setelah melukai salah satu suster yang hendak memeriksanya.Karena peristiwa itu aku harus merogoh kocek yang cukup dalam untuk bertanggung jawab atas kelakuan mamah.“Ini, Mah, pembalutnya. Mah, jangan buat status yang aneh-aneh lagi, ya? Aku tidak suka. Mamah tahu kan, orang-orang di sini enggak suka sama kita,” jelasku mencoba memberi pengertian. Kuserahkan kembali ponsel mamah setelah tadi kuhapus status WA-nya dan juga komentar dari Bu Sumi dan Bu Ida.“Iya, Mamah enggak akan buat lagi, tapi janji ya, jangan tinggalin Mama
Assalamualaikum bantu follow akunku yaaa.POV Alya. 🌸🌸🌸🌸🌸🌸🌸🌸“Apa selamanya kamu akan sembunyi, Al?” tanya Lusi padaku.Saat ini kami sedang berbuka puasa menikmati pecel di ujung gang rumahku. Kalau bulan puasa begini memang dagangnya sore hingga malam. Dulu kami pernah makan di sini bertiga bersama Angga.Memang selama 7 tahun ini aku sama sekali tidak pernah bertemu siapa pun di masa laluku.“Enggaklah, Lus. Aku hanya ingin menenangkan diri saja.”“7 tahun, Al? Tidak sebentar. Lihatlah dia seperti anak ayam kehilangan induknya. Kamu tega sekali?” Aku tahu yang dimaksud Lusi adalah Angga.Kemarin tanpa sengaja aku melihatnya di bandara ternyata Angga pulang hari itu juga. Feeling-nya padaku kuat sekali. Herannya aku pun langsung mengenalinya padahal 7 tahun lamanya kami tidak bersua. Meski sosmed Angga selalu aktif, tapi dia tidak pernah memposting fotonya sendiri. Ya, aku diam-diam selalu kepo akunnya.Kukatakan pada Lusi agar tidak memberi tahu Angga. Dasar Lusi saja yan
“Sangat. Aku sangat cinta padanya. Kenapa ke?”“Enggak kenapa-kenapa sih, barangkali saja kan, kamu punya pria idaman lain,” kataku mencoba memancing perasaan Lusi.“Dulu, iya, zaman kita labil. But now, aku tidak lagi cinta padanya. First love itu memang indah Al, tapi cinta sejati itu yang abadi sampai ke Jannah nanti.”“Artinya kamu sudah move on?”“Yelah, sudah lama kali aku move on. Hidup harus terus berjalan, Al. Berharap pada sesuatu yang tidak pasti itu menyakitkan dan juga dilarang. Makanya aku tidak pernah berharap. Aku bisa sehappy ini,” jawab Lusi. Apakah Lusi berbohong? Tapi, tak kudapati itu.“Sekarang aku yang tanya, kamu cinta enggak sama Hasan?”Kuteguk es teh sampai habis tak tersisa. Aku tak bisa menjawab pertanyaan Lusi.“Ditanya kok, diem?”“Em, tidak! Maksudnya aku belum cinta, tapi aku sedang berusaha mencintainya,” jawabku jujur.“Kau sedang tidak demam kan, Al? Perasaan macam apa itu? Kalau tak suka jujur saja.”“Entah lah, Lus, aku sedang berusaha aja.”“Conf
Ting!Satu pesan mendarat cantik di ponselku.Segera kubuka, ternyata dari Angga. Hatiku rasanya senang dan plong Angga menyapaku.[Lagi apa tuan putri?]“Lagi apa tuan putri? Ciiiee, pantes senyum-senyum sendiri ternyata dari pangeran kodok,” goda Tante Eni, beliau sengaja kepoin sampai harus naik ke kursi makan karena aku duduk di lantai.“Apaan sih, Tan. Ih, kepo!”“Emang! Hem, gitu kok, bilang enggak mau sama Angga. Milih bule Turki, tak tahunya dapat pesan gitu doang senangnya pakai banget! Sampai senyum-senyum sendiri kayak orang kehabisan obat.”“Balas enggak, Tan?” tanyaku konyol.“Ya, balas dong! Gitu aja pakai tanya segala. Heran deh, sudah sarjana lulusan luar negeri pula kok, pakai tanya!” Repet Tante Eni. Aku tertawa geli melihat bibirnya yang dimonyongkan ke kanan dan ke kiri.[Masak.] jawabku singkat.[Enggak salah?] tanya Angga. Ah, menyebalkan! Pasti dia tidak tahu kalau Alya yang sekarang pandai masak.[Keracunan enggak tu’ yang dimasakin?] ujarnya lagi.[Anggaaaa!]
Sejujurnya aku sudah berjanji pada diriku sendiri untuk tidak menerima Angga karena aku tidak ingin menyakiti hati Lusi. Ya, walaupun sekarang Lusi sudah bahagia bersama suami dan anak-anaknya, tapi aku yakin jika dia tahu aku menikah dengan Angga pasti di dalam dasar lubuk hatinya ada rasa kecewa padaku dan aku tidak mau itu terjadi. Aku tidak ingin menyakiti hati orang lain apalagi itu Lusi, sahabatku sendiri walaupun itu setitik nila.“Aku tahu Al, kalau kamu pun sebenarnya mencintai aku. Semua kutahu itu dari Lusi dan aku tahu kamu menolakku pasti karena Lusi. Al, Lusi, sudah bahagia dengan suaminya dan anak-anaknya bahkan Lusi merasa sangat bersalah karena telah menuliskan perasaannya di dalam buku diary-nya yang akhirnya kamu baca. Kalau kamu tidak percaya dengan apa yang aku ucapkan ini kamu bisa tanyakan sendiri pada Lusi. Tolong jangan tinggalkan aku lagi, Al. Aku sangat mencintaimu dari dulu hingga kini.”“Angga, tapi aku, aku ....”“Tidak perlu kamu jawab Alya karena aku ta
“Alya, tunggu! Kamu mau ke mana?” Angga menarik ujung jilbabku. Seketika aku menghentikan langkahku.“Kamu pikir aku mau ke mana Ngga? Pulanglah, ngapain aku di sini? Jagain Cafe kamu?” jawabku ketus.“Ya, kali aja mau juga kamu jagain cafeku. Jangan jagain kafekulah, jagain hatiku aja,” jawab Angga lagi. Dia ini benar-benar membuat aku salah tingkah.“Apaan, sih, Ngga ... sudahlah aku mau pulang. Lain kalu aku main ke sini lagi, oke ... aku ada banyak kerjaan yang harus aku selesaikan,” pamitku pada Angga. Sejujurnya aku sangat malu padanya karena bukan hanya sekali ini saja Angga memergokiku gagal bertemu dengan seseorang. Dulu bahkan saat pernikahanku gagal dan Anggalah yang tahu pertama kali setelah keluargaku.Kenapa harus dia aku kan, jadi malu seolah aku ini adalah gadis terkutuk yang tidak bisa mendapatkan jodoh. Apalagi umurku sekarang menjelang kepala tiga bulan depan. Kalau perempuan di luaran sana mungkin sudah punya anak dua ataupun tiga, sedangkan aku boro-boro punya
“Hilda!” Suara bariton seseorang memanggil perempuan di depanku.Ternyata perempuan di depanku ini namanya Hilda. Lantas dia tahu namaku dari mana?“Oh, jadi ini, Put, yang kamu lakukan di belakangku? Diam-diam kamu cari perempuan lain untuk jadi pendamping hidupmu, lalu aku ini kamu anggap apa, Put! 8 tahun aku nemenin kamu dari nol, giliran kamu sudah sukses kamu cari perempuan lain yang kata kamu lebih soliha dan lebih cantik dari aku! Picik kamu, Put! Dan kamu Alya, asal kamu tahu bahwa 2 hari ini yang menghubungimu bukan Putra, tapi aku. Hilda Widyani, calon istri Putra yang entah kenapa laki-laki brengsek itu tergoda oleh kamu. Aku yakin kamu tidak menggoda Putra, tapi aku minta sama kamu sebagai sesama perempuan jauhi dia kalau tidak aku akan hancurkan nama baikmu,” ucap perempuan itu berapi-api.“Hilda, kamu ngomong apa, sih! kita sudah putus dan kita sudah sepakat untuk mengakhiri hubungan kita. Lalu kenapa sekarang kamu mau merusak hubunganku dengan perempuan lain? Ingat ya
Ekstra part.“Hai! Ngalamun aja serius banget kayaknya. Lagi mikirin aku, ya?” Aku dikagetkan dengan kedatangan Angga yang tiba-tiba saja sudah duduk di sampingku.Aku merasa entah kenapa dunia ini begitu sempit. Aku melalang buana ke mana pun pasti ujung-ujungnya bertemu dengan Angga. Padahal jujur bertahun-tahun aku berusaha untuk melupakan dia.“Enggak .... kok, kamu bisa di sini, ngikutin aku, ya?” tebakku asal. Habisnya aku bingung mau bilang apa.“Ye, ge-er banget, deh! Ngapain juga ngikutin kamu enggak penting kayaknya. Eh, tapi sepertinya waktu dan keadaanlah yang mempertemukan kita. mungkin kita berjodoh,” jawab Angga. Senyum khasnya membuatku ingat tentang masa lalu.“Angga, ihh, ngaco, deh! Ngomong-ngomong apa kabar? Terus kamu di sini ada kegiatan apa?” tanyaku. Sebenarnya aku sedikit salah tingkah, tapi ya, Angga tidak boleh tahu. Kalau sampai dia tahu yang ada nanti aku akan dibully dia habis-habisan.Sejujurnya aku sangat bahagia bertemu dengan Angga karena selama 2 t
POV Alya. “Otewe mulu, kapan dong, sampainya?”“Nanti, Ngga ... jika Allah sudah berkehendak.” Angga hanya mengangguk saja.Entah kenapa kami merasa canggung sebenarnya ingin bersikap seperti biasanya saja, tapi tidak bisa. Seperti ada jarak yang memisahkan antara kami berdua.Angga memang terlihat semakin berwibawa mungkin itu yang membuatku merasa canggung dan juga dia suami orang maka dari itu aku harus jaga image jangan sampai nantinya ada kesalahpahaman di antara kami.“Non, ada Mas Akmal di luar.” Mbok memberi tahuku.“Em, kalau begitu aku permisi ya, Al. Takut ganggu. Kalau ada waktu main ke rumah ya, Gulsen pasti senang sepertinya memang dia sudah menyukaimu buktinya tadi langsung akrab,” pamit Angga. Aku mengiyakan.“Gulsen, pulang, yuk! Sudah siang nanti Kakek nyariin kita, loh,” ajak Angga. Gulsen menggeleng lucu sekali.“Gulseeenn ....” Lagi-lagi anak itu hanya menggeleng.“Biar nanti aku yang mengantar Gulsen,” sahutku.“Beneran?”“Iya, Ngga ... bolehkan?”“Oke, boleh-bo
POV ALYA.Hati yang bimbang.“Tante boleh minta tolong ambilkan bola itu. Bolanya kotor aku jijik mau ambilnya,” pinta anak kecil di depanku seraya menarik-narik ujung jilbabku. Aku yang sedang fokus menatap layar HP terpaksa memandangnya. Ekspresinya menggemaskan sekali.“Please ....” pintanya lagi. Senyumnya menampilkan deretan gigi kecil-kecil yang rapi.“Boleh, tunggu sebentar.”Aku mengambil bola yang tercebur pada kubangan lumpur bekas hujan semalam.“Tante cuci dulu ya, di kran sebelah situ. Kamu bisa menunggu Tante di sini?” Anak kecil itu mengangguk.Oke, fine Alya. Ini sungguh menggelikan karena untuk pertama kalinya aku dipanggil tante oleh orang lain. Anak kecil pula. Biasanya mereka akan memanggilku kakak dan yang memanggilku tante hanya Alika anak tante Eni dan adik-adiknya saja. Ke mana orang tua anak itu kenapa dibiarkan main sendirian di taman. Meski taman kompleks perumahan tetap saja bahaya.Akan tetapi lucu juga anak kecil itu. Keberaniannya membuatku berhasil meni
POV Nindi. Ternyata omongannya hanya bualan semata untuk memperdayaku. Pernikahan yang baru seumur jagung menjadi taruhannya.Kurasakan pergerakan dipan. Mas Aris memelukku dalam tidurnya setelah menciumku berkali-kali.Aku biarkan saja dia menciumku mungkin ini untuk yang terakhir kalinya. Barang kali esok aku sudah pergi dari sini dan kembali ke rumahku seorang diri. Jujur aku tidak siap dimadu. Aku tidak siap berbagi suami. Tidak! Aku tidak siap.Membayangkannya saja hatiku begitu ngilu dan sakit apa lagi menjalaninya. Pastilah aku kurus kering karena setiap hari makan hati. Perempuan itu salah satu anak dari guru ngajinya Mas Aris. Aku pun mengenalnya. Usianya 5 tahun lebih muda dariku. Namanya Yesi, meski tidak secantik dan semenarik diriku, tapi dia perempuan subur yang siap melahirkan banyak anak demi baktinya pada seorang suami. Itu yang dia katakan padaku juga pada Mas Aris.Aku akui keberanian dan juga misi hidupnya patut diacungi jempol, tapi kenapa harus rumah tanggaku y
POV Nindi.POV Nindi.“Apa tidak ada cara lain, Mas? Apa kamu setega itu padaku?” tanyaku pada Mas Aris, suamiku.Lelaki yang terkenal bijak dan baik hati itu perlahan membelai rambutku.“Maafkan aku, Dik. Aku tak kuasa menolak permintaan Ibu,” jawab Mas Aris.“Kamu benar, Mas, mungkin ini jalan yang terbaik untuk rumah tangga kita. Aku bisa apa? Rahimku bermasalah dan kita tidak bisa punya keturunan, tapi please lepaskan aku dulu sebelum kamu menikahi perempuan pilihan ibumu,” tegasku.Mata Mas Aris berkaca-kaca. Manik hitam itu dalam hitungan detik dipenuhi air mata. Lalu lolos. Kembali aku direngkuh dalam pelukannya.“Tidak, Dik. Aku tidak mau berpisah denganmu. Aku tidak sanggup. Aku sudah berjanji pada mamahmu untuk menjagamu seumur hidupku. Aku mencintaimu Dik, ada atau tidaknya anak bagiku hanya pelengkap saja. Cintaku padamu tulus, Dik. Tolong jangan pernah katakan perkataan yang sangat aku benci. Aku tidak bisa hidup tanpamu, Dik,” ucap Mas Aris seraya mempererat pelukannya.
POV Angga.Alyaku, aku tahu dia masih sendiri di usianya yang ke 29 tahun. Aku tahu semuanya dari Lusi dan juga Nindi.Entah seberapa berat hidup yang dijalaninya, tapi Alya masih tetap seperti dulu. Ayu dan masih muda. Mungkin karena dia tidak pernah menyikapi permasalahan dengan berlebihan. Dia tetap bersikap manis pada siapa pun meski aku tahu luka di hatinya sangatlah dalam.Alya, tetap baik pada bundaku, adikku, dan orang-orang di sekelilingnya termasuk pada keluarga mantan calon suaminya. Aku salut padanya. Aku tahu semua itu tentu saja dari cerita orang-orang terdekatku.Hari ini pertama kali aku menginjakkan kakiku ke lapak pecel buk Siti sejak 4 tahun yang lalu pergi ke Kalimantan. Pecel legendaris kenanganku bersama Alya. Ya, aku kembali pulang untuk tujuan hidup agar lebih baik lagi.Sedang Dita tetap di Kalimantan mengembangkan bisnis orang tuanya. Tak ada drama tangis perpisahan antara Gulsen dan ibunya. Biasa saja seperti hari-hari biasa. Gulsen pun tidak pernah menanyak