Assalamualaikum bantu follow akunku yaaa.POV Alya. 🌸🌸🌸🌸🌸🌸🌸🌸“Apa selamanya kamu akan sembunyi, Al?” tanya Lusi padaku.Saat ini kami sedang berbuka puasa menikmati pecel di ujung gang rumahku. Kalau bulan puasa begini memang dagangnya sore hingga malam. Dulu kami pernah makan di sini bertiga bersama Angga.Memang selama 7 tahun ini aku sama sekali tidak pernah bertemu siapa pun di masa laluku.“Enggaklah, Lus. Aku hanya ingin menenangkan diri saja.”“7 tahun, Al? Tidak sebentar. Lihatlah dia seperti anak ayam kehilangan induknya. Kamu tega sekali?” Aku tahu yang dimaksud Lusi adalah Angga.Kemarin tanpa sengaja aku melihatnya di bandara ternyata Angga pulang hari itu juga. Feeling-nya padaku kuat sekali. Herannya aku pun langsung mengenalinya padahal 7 tahun lamanya kami tidak bersua. Meski sosmed Angga selalu aktif, tapi dia tidak pernah memposting fotonya sendiri. Ya, aku diam-diam selalu kepo akunnya.Kukatakan pada Lusi agar tidak memberi tahu Angga. Dasar Lusi saja yan
“Sangat. Aku sangat cinta padanya. Kenapa ke?”“Enggak kenapa-kenapa sih, barangkali saja kan, kamu punya pria idaman lain,” kataku mencoba memancing perasaan Lusi.“Dulu, iya, zaman kita labil. But now, aku tidak lagi cinta padanya. First love itu memang indah Al, tapi cinta sejati itu yang abadi sampai ke Jannah nanti.”“Artinya kamu sudah move on?”“Yelah, sudah lama kali aku move on. Hidup harus terus berjalan, Al. Berharap pada sesuatu yang tidak pasti itu menyakitkan dan juga dilarang. Makanya aku tidak pernah berharap. Aku bisa sehappy ini,” jawab Lusi. Apakah Lusi berbohong? Tapi, tak kudapati itu.“Sekarang aku yang tanya, kamu cinta enggak sama Hasan?”Kuteguk es teh sampai habis tak tersisa. Aku tak bisa menjawab pertanyaan Lusi.“Ditanya kok, diem?”“Em, tidak! Maksudnya aku belum cinta, tapi aku sedang berusaha mencintainya,” jawabku jujur.“Kau sedang tidak demam kan, Al? Perasaan macam apa itu? Kalau tak suka jujur saja.”“Entah lah, Lus, aku sedang berusaha aja.”“Conf
Ting!Satu pesan mendarat cantik di ponselku.Segera kubuka, ternyata dari Angga. Hatiku rasanya senang dan plong Angga menyapaku.[Lagi apa tuan putri?]“Lagi apa tuan putri? Ciiiee, pantes senyum-senyum sendiri ternyata dari pangeran kodok,” goda Tante Eni, beliau sengaja kepoin sampai harus naik ke kursi makan karena aku duduk di lantai.“Apaan sih, Tan. Ih, kepo!”“Emang! Hem, gitu kok, bilang enggak mau sama Angga. Milih bule Turki, tak tahunya dapat pesan gitu doang senangnya pakai banget! Sampai senyum-senyum sendiri kayak orang kehabisan obat.”“Balas enggak, Tan?” tanyaku konyol.“Ya, balas dong! Gitu aja pakai tanya segala. Heran deh, sudah sarjana lulusan luar negeri pula kok, pakai tanya!” Repet Tante Eni. Aku tertawa geli melihat bibirnya yang dimonyongkan ke kanan dan ke kiri.[Masak.] jawabku singkat.[Enggak salah?] tanya Angga. Ah, menyebalkan! Pasti dia tidak tahu kalau Alya yang sekarang pandai masak.[Keracunan enggak tu’ yang dimasakin?] ujarnya lagi.[Anggaaaa!]
Aku disambut adik dan sepupu Lusi. Mereka kompakan mengenakan abaya Turki ada juga yang berseragam Melayu yang sangat elegan.“Alya, sini Sayang,” panggil bundanya Lusi.“Kenalin ini semua keluarga Tante dan calon besan.” Aku tersenyum ramah pada mereka.“Nah, Ses, ini loh, Alya, sahabat Lusi, calonnya Hasan,” ujar bunda Lusi lagi membuat orang yang sedang bercengkerama seakan tidak percaya.Ya, jelas lah, orang Turki cantik-cantik sedangkan aku darah asli Indonesia.“Masya Allah, ke mari, Nak,” panggil seseibu. Entah siapa.Aku salami mereka satu per satu hanya beberapa yang ramah. Sisanya terkesan cuek.“Tolong ambilkan jus itu,” pinta seorang ibu muda padaku. Padahal jus yang dimaksud letaknya lebih dekat dengannya.“Lambat sekali. Ambil begitu saja lama!” ucapnya ketus setalah kuberikan jus padanya. Dasar tidak tahu terima kasih.“Alya, suguhkan ini pada ibunya Hasan,” pinta orang yang duduk dekat ibunya Lusi.“Ibunya Hasan yang mana, Tante?” tanyaku hati-hati.“Duh, kamu gimana,
Assalamualaikum selamat pagi semuanya alhamdulillah Alya sudah tayang bab baru lagi. Yuk, bantu follow akunku.🌸🌸🌸POV NINDI“kamu kenal Angga juga, Nind? Dia teman yang aku maksud tadi,” ujar Eki.Astaghfirullah kenapa dunia sesempit ini. Setelah tujuh tahun berlalu kukira tidak akan pernah lagi bertemu dengannya.“Angga? Kalian sudah baikan?” tanya Putri.“Baikan? Memang kami ada masalah apa?” ujar Angga balik bertanya.“Ck, pura-pura lupa. Guys, asal kalian tahu ya, Nindi ini sugar baby omnya Angga dan karena itulah dulu mereka musuhan. Aku hari ini sangat terkejut rupanya mereka sudah baikan. Angga, apa kamu penasaran juga pingin mencicipi tubuh Nindi?”Plak!Reflek kutampar Putri. Ucapannya sudah tidak bisa ditolerir lagi.Angga menarik lengan Putri membawanya pergi dari sini.“Maaf aku merusak acara kalian, aku pulang duluan ya, Ki,” pamitku.“Apaan si, jauh-jauh ke sini kok, pulang. Yuk, ah, sini, anggap aja Mbak yang tadi itu gila.”“Aku ....”“Sudahlah enggak usah dibahas
POV Nindi. “Astaghfirullah ... Angga? Kamu? Harusnya jujur saja sama Alya, aku yakin dia pun sebenarnya suka sama kamu. Ah, kalian terlalu gengsi,” kataku sok tahu.“Sudah, Nind. Aku sudah katakan padanya bahkan sejak dulu, tapi entah kenapa Alya tidak mau menerimaku. Padahal aku yakin dia pun punya perasaan yang sama.”“Tahu dari mana?”“Dari tatapan matanya, Nind. Dari gesture tubuhnya. Aku yakin itu. Aku benar-benar syok dan patah hati berat malam ini.”Ya Allah kasihan sekali Angga. Mereka sudah dekat sejak kecil, sudah tahu satu sama lain. Ah, ternyata perjalanan hidup manusia seunik ini yang selalu bersama belum tentu berjodoh.“Sabar ya, Angga. Semoga kamu bisa mendapatkan gadis yang jauh lebih baik dari Alya,” kataku menguatkan.“Entahlah, Nind. Sampai saat ini aku pun belum bisa mencintai perempuan lain selain Alya. Harapanku begitu besar padanya,” jawab Angga lesu.“Jodoh tidak ada yang tahu, Ngga. Barangkali sekarang Alya bertunangan dengan orang besok nikahnya dengan oran
POV Nindi. Aku mampir beli sekuteng untuk mamah. Cuaca lumayan dingin pasti mamah senang aku belikan ini.“Ada apa, Tan, kok rame-rame begini.” Aku begitu syok saat pulang mendapati rumahku ramai orang. Aku takut terjadi sesuatu pada mamah.“Ini anaknya pulang,” ujar yang lain.Aku menerobos masuk ke dalam. Ada Bu bidan yang sedang memeriksa mamah. Mamah dalam keadaan tidak sadar di karpet ruang tengah. Mamah luka-luka. Ya Tuhan apa di rumahku telah terjadi perampokan?“Bu Bidan apa yang terjadi?” tanyaku panik.“Ssstt ... Mamahmu lagi tidur nanti Ibu jelaskan. Sekarang kamu bersih-bersih badan dulu.” Aku mengiyakan gegas ke kamar mandi.Ketika selesai mandi rumahku sudah sepi hanya ada Makwo tetangga depan rumahku, Bu Bidan, suaminya, dan Kak Akmal.“Apa yang terjadi pada Mamahku, Bu Bidan? Kenapa rambut Mamah seperti habis dicukur paksa, panjang pendek begini? Ini juga lengan tangan dan kakinya lebam-lebam?”Tak sanggup lagi aku menahan air mataku. Dalam hati aku berjanji tidak ak
POV NINDI.Rasa lelah karena berlari sekuat tenaga membuatku susah bicara.“Eh, sstt! Ada Kak, Nindi. Kabuuurrr!”Anak-anak yang jumlahnya lebih dari 10 orang itu begitu melihatku langsung pergi berlari ke sembarang arah.Mamah terduduk di tanah lapang. Bajunya kotor karena memang subuh tadi hujan deras jadi banyak genangan air di sini.“Mah, mana yang sakit?” tanyaku. Kuusap kaki dan tangan mamah yang terkena lumpur.“Nin, Mamah bukan orang gila, kan? Kok, anak-anak itu teriakin Mamah gila?” tanya mamah polos.Tak bisa lagi kubendung air mataku. Kupeluk mamah seraya menangis. Dadaku rasanya sesak sekali seperti terhimpit beban berat.“Kak ... maafkan kami, ya?” Aku menoleh ke belakang ternyata Ara dan dua orang temannya.“Ara tadi tidak ikut melempari Tante Devi, tadi Ara mencoba menghentikan teman-teman, tapi tidak bisa. Mereka terlalu banyak,” jelas Ara, dua temannya mengangguk.“Kami ke sini diajak Doni, katanya Doni, Mamah Kak Nindi gila, jadi teman-teman banyak yang ngisengin,”