“Sangat. Aku sangat cinta padanya. Kenapa ke?”“Enggak kenapa-kenapa sih, barangkali saja kan, kamu punya pria idaman lain,” kataku mencoba memancing perasaan Lusi.“Dulu, iya, zaman kita labil. But now, aku tidak lagi cinta padanya. First love itu memang indah Al, tapi cinta sejati itu yang abadi sampai ke Jannah nanti.”“Artinya kamu sudah move on?”“Yelah, sudah lama kali aku move on. Hidup harus terus berjalan, Al. Berharap pada sesuatu yang tidak pasti itu menyakitkan dan juga dilarang. Makanya aku tidak pernah berharap. Aku bisa sehappy ini,” jawab Lusi. Apakah Lusi berbohong? Tapi, tak kudapati itu.“Sekarang aku yang tanya, kamu cinta enggak sama Hasan?”Kuteguk es teh sampai habis tak tersisa. Aku tak bisa menjawab pertanyaan Lusi.“Ditanya kok, diem?”“Em, tidak! Maksudnya aku belum cinta, tapi aku sedang berusaha mencintainya,” jawabku jujur.“Kau sedang tidak demam kan, Al? Perasaan macam apa itu? Kalau tak suka jujur saja.”“Entah lah, Lus, aku sedang berusaha aja.”“Conf
Ting!Satu pesan mendarat cantik di ponselku.Segera kubuka, ternyata dari Angga. Hatiku rasanya senang dan plong Angga menyapaku.[Lagi apa tuan putri?]“Lagi apa tuan putri? Ciiiee, pantes senyum-senyum sendiri ternyata dari pangeran kodok,” goda Tante Eni, beliau sengaja kepoin sampai harus naik ke kursi makan karena aku duduk di lantai.“Apaan sih, Tan. Ih, kepo!”“Emang! Hem, gitu kok, bilang enggak mau sama Angga. Milih bule Turki, tak tahunya dapat pesan gitu doang senangnya pakai banget! Sampai senyum-senyum sendiri kayak orang kehabisan obat.”“Balas enggak, Tan?” tanyaku konyol.“Ya, balas dong! Gitu aja pakai tanya segala. Heran deh, sudah sarjana lulusan luar negeri pula kok, pakai tanya!” Repet Tante Eni. Aku tertawa geli melihat bibirnya yang dimonyongkan ke kanan dan ke kiri.[Masak.] jawabku singkat.[Enggak salah?] tanya Angga. Ah, menyebalkan! Pasti dia tidak tahu kalau Alya yang sekarang pandai masak.[Keracunan enggak tu’ yang dimasakin?] ujarnya lagi.[Anggaaaa!]
Aku disambut adik dan sepupu Lusi. Mereka kompakan mengenakan abaya Turki ada juga yang berseragam Melayu yang sangat elegan.“Alya, sini Sayang,” panggil bundanya Lusi.“Kenalin ini semua keluarga Tante dan calon besan.” Aku tersenyum ramah pada mereka.“Nah, Ses, ini loh, Alya, sahabat Lusi, calonnya Hasan,” ujar bunda Lusi lagi membuat orang yang sedang bercengkerama seakan tidak percaya.Ya, jelas lah, orang Turki cantik-cantik sedangkan aku darah asli Indonesia.“Masya Allah, ke mari, Nak,” panggil seseibu. Entah siapa.Aku salami mereka satu per satu hanya beberapa yang ramah. Sisanya terkesan cuek.“Tolong ambilkan jus itu,” pinta seorang ibu muda padaku. Padahal jus yang dimaksud letaknya lebih dekat dengannya.“Lambat sekali. Ambil begitu saja lama!” ucapnya ketus setalah kuberikan jus padanya. Dasar tidak tahu terima kasih.“Alya, suguhkan ini pada ibunya Hasan,” pinta orang yang duduk dekat ibunya Lusi.“Ibunya Hasan yang mana, Tante?” tanyaku hati-hati.“Duh, kamu gimana,
Assalamualaikum selamat pagi semuanya alhamdulillah Alya sudah tayang bab baru lagi. Yuk, bantu follow akunku.🌸🌸🌸POV NINDI“kamu kenal Angga juga, Nind? Dia teman yang aku maksud tadi,” ujar Eki.Astaghfirullah kenapa dunia sesempit ini. Setelah tujuh tahun berlalu kukira tidak akan pernah lagi bertemu dengannya.“Angga? Kalian sudah baikan?” tanya Putri.“Baikan? Memang kami ada masalah apa?” ujar Angga balik bertanya.“Ck, pura-pura lupa. Guys, asal kalian tahu ya, Nindi ini sugar baby omnya Angga dan karena itulah dulu mereka musuhan. Aku hari ini sangat terkejut rupanya mereka sudah baikan. Angga, apa kamu penasaran juga pingin mencicipi tubuh Nindi?”Plak!Reflek kutampar Putri. Ucapannya sudah tidak bisa ditolerir lagi.Angga menarik lengan Putri membawanya pergi dari sini.“Maaf aku merusak acara kalian, aku pulang duluan ya, Ki,” pamitku.“Apaan si, jauh-jauh ke sini kok, pulang. Yuk, ah, sini, anggap aja Mbak yang tadi itu gila.”“Aku ....”“Sudahlah enggak usah dibahas
POV Nindi. “Astaghfirullah ... Angga? Kamu? Harusnya jujur saja sama Alya, aku yakin dia pun sebenarnya suka sama kamu. Ah, kalian terlalu gengsi,” kataku sok tahu.“Sudah, Nind. Aku sudah katakan padanya bahkan sejak dulu, tapi entah kenapa Alya tidak mau menerimaku. Padahal aku yakin dia pun punya perasaan yang sama.”“Tahu dari mana?”“Dari tatapan matanya, Nind. Dari gesture tubuhnya. Aku yakin itu. Aku benar-benar syok dan patah hati berat malam ini.”Ya Allah kasihan sekali Angga. Mereka sudah dekat sejak kecil, sudah tahu satu sama lain. Ah, ternyata perjalanan hidup manusia seunik ini yang selalu bersama belum tentu berjodoh.“Sabar ya, Angga. Semoga kamu bisa mendapatkan gadis yang jauh lebih baik dari Alya,” kataku menguatkan.“Entahlah, Nind. Sampai saat ini aku pun belum bisa mencintai perempuan lain selain Alya. Harapanku begitu besar padanya,” jawab Angga lesu.“Jodoh tidak ada yang tahu, Ngga. Barangkali sekarang Alya bertunangan dengan orang besok nikahnya dengan oran
POV Nindi. Aku mampir beli sekuteng untuk mamah. Cuaca lumayan dingin pasti mamah senang aku belikan ini.“Ada apa, Tan, kok rame-rame begini.” Aku begitu syok saat pulang mendapati rumahku ramai orang. Aku takut terjadi sesuatu pada mamah.“Ini anaknya pulang,” ujar yang lain.Aku menerobos masuk ke dalam. Ada Bu bidan yang sedang memeriksa mamah. Mamah dalam keadaan tidak sadar di karpet ruang tengah. Mamah luka-luka. Ya Tuhan apa di rumahku telah terjadi perampokan?“Bu Bidan apa yang terjadi?” tanyaku panik.“Ssstt ... Mamahmu lagi tidur nanti Ibu jelaskan. Sekarang kamu bersih-bersih badan dulu.” Aku mengiyakan gegas ke kamar mandi.Ketika selesai mandi rumahku sudah sepi hanya ada Makwo tetangga depan rumahku, Bu Bidan, suaminya, dan Kak Akmal.“Apa yang terjadi pada Mamahku, Bu Bidan? Kenapa rambut Mamah seperti habis dicukur paksa, panjang pendek begini? Ini juga lengan tangan dan kakinya lebam-lebam?”Tak sanggup lagi aku menahan air mataku. Dalam hati aku berjanji tidak ak
POV NINDI.Rasa lelah karena berlari sekuat tenaga membuatku susah bicara.“Eh, sstt! Ada Kak, Nindi. Kabuuurrr!”Anak-anak yang jumlahnya lebih dari 10 orang itu begitu melihatku langsung pergi berlari ke sembarang arah.Mamah terduduk di tanah lapang. Bajunya kotor karena memang subuh tadi hujan deras jadi banyak genangan air di sini.“Mah, mana yang sakit?” tanyaku. Kuusap kaki dan tangan mamah yang terkena lumpur.“Nin, Mamah bukan orang gila, kan? Kok, anak-anak itu teriakin Mamah gila?” tanya mamah polos.Tak bisa lagi kubendung air mataku. Kupeluk mamah seraya menangis. Dadaku rasanya sesak sekali seperti terhimpit beban berat.“Kak ... maafkan kami, ya?” Aku menoleh ke belakang ternyata Ara dan dua orang temannya.“Ara tadi tidak ikut melempari Tante Devi, tadi Ara mencoba menghentikan teman-teman, tapi tidak bisa. Mereka terlalu banyak,” jelas Ara, dua temannya mengangguk.“Kami ke sini diajak Doni, katanya Doni, Mamah Kak Nindi gila, jadi teman-teman banyak yang ngisengin,”
“Uek! Makanan ini enggak enak sekali,” protes kakak ipar Hasan. Padahal kulihat dia nyicip aja hanya seujung sendok sedikit sekali. Perempuan ini sepertinya sengaja membuat masalah denganku.Aku sudah capek-capek masak dari siang demi permintaan Hasan katanya keluarganya ingin masakan rumahan khas Indonesia dan mereka semua memesan minta dimasakan lauk ini dan itu masing-masing satu orang request 2 menu makanan.Untung saja aku dibantu bibi. Sudah capek begini tidak dihargai sama sekali. Kupastikan makanan ini rasanya enak sebelum kuhidangkan. Tahu gini aku malas datang ke apartemen mereka.“Iya, benar terlalu pedas!” sahut adik Hasan.Semua ikut mencicipi. Ayah Hasan manggut-manggut begitu juga Hasan dan yang lainnya.“Aku tidak suka makanan pedas. Aku mau makan telur ceplok aja. Buatkan sekarang!” titah adik Hasan.What! Makanan sebanyak ini tinggal milih yang tidak pedas kenapa harus menyusahkanku lagi.“Hai, Ruby, ini namanya ayam rica-rica, jadi memang pedas lagi pula itu menu ya
Sejujurnya aku sudah berjanji pada diriku sendiri untuk tidak menerima Angga karena aku tidak ingin menyakiti hati Lusi. Ya, walaupun sekarang Lusi sudah bahagia bersama suami dan anak-anaknya, tapi aku yakin jika dia tahu aku menikah dengan Angga pasti di dalam dasar lubuk hatinya ada rasa kecewa padaku dan aku tidak mau itu terjadi. Aku tidak ingin menyakiti hati orang lain apalagi itu Lusi, sahabatku sendiri walaupun itu setitik nila.“Aku tahu Al, kalau kamu pun sebenarnya mencintai aku. Semua kutahu itu dari Lusi dan aku tahu kamu menolakku pasti karena Lusi. Al, Lusi, sudah bahagia dengan suaminya dan anak-anaknya bahkan Lusi merasa sangat bersalah karena telah menuliskan perasaannya di dalam buku diary-nya yang akhirnya kamu baca. Kalau kamu tidak percaya dengan apa yang aku ucapkan ini kamu bisa tanyakan sendiri pada Lusi. Tolong jangan tinggalkan aku lagi, Al. Aku sangat mencintaimu dari dulu hingga kini.”“Angga, tapi aku, aku ....”“Tidak perlu kamu jawab Alya karena aku ta
“Alya, tunggu! Kamu mau ke mana?” Angga menarik ujung jilbabku. Seketika aku menghentikan langkahku.“Kamu pikir aku mau ke mana Ngga? Pulanglah, ngapain aku di sini? Jagain Cafe kamu?” jawabku ketus.“Ya, kali aja mau juga kamu jagain cafeku. Jangan jagain kafekulah, jagain hatiku aja,” jawab Angga lagi. Dia ini benar-benar membuat aku salah tingkah.“Apaan, sih, Ngga ... sudahlah aku mau pulang. Lain kalu aku main ke sini lagi, oke ... aku ada banyak kerjaan yang harus aku selesaikan,” pamitku pada Angga. Sejujurnya aku sangat malu padanya karena bukan hanya sekali ini saja Angga memergokiku gagal bertemu dengan seseorang. Dulu bahkan saat pernikahanku gagal dan Anggalah yang tahu pertama kali setelah keluargaku.Kenapa harus dia aku kan, jadi malu seolah aku ini adalah gadis terkutuk yang tidak bisa mendapatkan jodoh. Apalagi umurku sekarang menjelang kepala tiga bulan depan. Kalau perempuan di luaran sana mungkin sudah punya anak dua ataupun tiga, sedangkan aku boro-boro punya
“Hilda!” Suara bariton seseorang memanggil perempuan di depanku.Ternyata perempuan di depanku ini namanya Hilda. Lantas dia tahu namaku dari mana?“Oh, jadi ini, Put, yang kamu lakukan di belakangku? Diam-diam kamu cari perempuan lain untuk jadi pendamping hidupmu, lalu aku ini kamu anggap apa, Put! 8 tahun aku nemenin kamu dari nol, giliran kamu sudah sukses kamu cari perempuan lain yang kata kamu lebih soliha dan lebih cantik dari aku! Picik kamu, Put! Dan kamu Alya, asal kamu tahu bahwa 2 hari ini yang menghubungimu bukan Putra, tapi aku. Hilda Widyani, calon istri Putra yang entah kenapa laki-laki brengsek itu tergoda oleh kamu. Aku yakin kamu tidak menggoda Putra, tapi aku minta sama kamu sebagai sesama perempuan jauhi dia kalau tidak aku akan hancurkan nama baikmu,” ucap perempuan itu berapi-api.“Hilda, kamu ngomong apa, sih! kita sudah putus dan kita sudah sepakat untuk mengakhiri hubungan kita. Lalu kenapa sekarang kamu mau merusak hubunganku dengan perempuan lain? Ingat ya
Ekstra part.“Hai! Ngalamun aja serius banget kayaknya. Lagi mikirin aku, ya?” Aku dikagetkan dengan kedatangan Angga yang tiba-tiba saja sudah duduk di sampingku.Aku merasa entah kenapa dunia ini begitu sempit. Aku melalang buana ke mana pun pasti ujung-ujungnya bertemu dengan Angga. Padahal jujur bertahun-tahun aku berusaha untuk melupakan dia.“Enggak .... kok, kamu bisa di sini, ngikutin aku, ya?” tebakku asal. Habisnya aku bingung mau bilang apa.“Ye, ge-er banget, deh! Ngapain juga ngikutin kamu enggak penting kayaknya. Eh, tapi sepertinya waktu dan keadaanlah yang mempertemukan kita. mungkin kita berjodoh,” jawab Angga. Senyum khasnya membuatku ingat tentang masa lalu.“Angga, ihh, ngaco, deh! Ngomong-ngomong apa kabar? Terus kamu di sini ada kegiatan apa?” tanyaku. Sebenarnya aku sedikit salah tingkah, tapi ya, Angga tidak boleh tahu. Kalau sampai dia tahu yang ada nanti aku akan dibully dia habis-habisan.Sejujurnya aku sangat bahagia bertemu dengan Angga karena selama 2 t
POV Alya. “Otewe mulu, kapan dong, sampainya?”“Nanti, Ngga ... jika Allah sudah berkehendak.” Angga hanya mengangguk saja.Entah kenapa kami merasa canggung sebenarnya ingin bersikap seperti biasanya saja, tapi tidak bisa. Seperti ada jarak yang memisahkan antara kami berdua.Angga memang terlihat semakin berwibawa mungkin itu yang membuatku merasa canggung dan juga dia suami orang maka dari itu aku harus jaga image jangan sampai nantinya ada kesalahpahaman di antara kami.“Non, ada Mas Akmal di luar.” Mbok memberi tahuku.“Em, kalau begitu aku permisi ya, Al. Takut ganggu. Kalau ada waktu main ke rumah ya, Gulsen pasti senang sepertinya memang dia sudah menyukaimu buktinya tadi langsung akrab,” pamit Angga. Aku mengiyakan.“Gulsen, pulang, yuk! Sudah siang nanti Kakek nyariin kita, loh,” ajak Angga. Gulsen menggeleng lucu sekali.“Gulseeenn ....” Lagi-lagi anak itu hanya menggeleng.“Biar nanti aku yang mengantar Gulsen,” sahutku.“Beneran?”“Iya, Ngga ... bolehkan?”“Oke, boleh-bo
POV ALYA.Hati yang bimbang.“Tante boleh minta tolong ambilkan bola itu. Bolanya kotor aku jijik mau ambilnya,” pinta anak kecil di depanku seraya menarik-narik ujung jilbabku. Aku yang sedang fokus menatap layar HP terpaksa memandangnya. Ekspresinya menggemaskan sekali.“Please ....” pintanya lagi. Senyumnya menampilkan deretan gigi kecil-kecil yang rapi.“Boleh, tunggu sebentar.”Aku mengambil bola yang tercebur pada kubangan lumpur bekas hujan semalam.“Tante cuci dulu ya, di kran sebelah situ. Kamu bisa menunggu Tante di sini?” Anak kecil itu mengangguk.Oke, fine Alya. Ini sungguh menggelikan karena untuk pertama kalinya aku dipanggil tante oleh orang lain. Anak kecil pula. Biasanya mereka akan memanggilku kakak dan yang memanggilku tante hanya Alika anak tante Eni dan adik-adiknya saja. Ke mana orang tua anak itu kenapa dibiarkan main sendirian di taman. Meski taman kompleks perumahan tetap saja bahaya.Akan tetapi lucu juga anak kecil itu. Keberaniannya membuatku berhasil meni
POV Nindi. Ternyata omongannya hanya bualan semata untuk memperdayaku. Pernikahan yang baru seumur jagung menjadi taruhannya.Kurasakan pergerakan dipan. Mas Aris memelukku dalam tidurnya setelah menciumku berkali-kali.Aku biarkan saja dia menciumku mungkin ini untuk yang terakhir kalinya. Barang kali esok aku sudah pergi dari sini dan kembali ke rumahku seorang diri. Jujur aku tidak siap dimadu. Aku tidak siap berbagi suami. Tidak! Aku tidak siap.Membayangkannya saja hatiku begitu ngilu dan sakit apa lagi menjalaninya. Pastilah aku kurus kering karena setiap hari makan hati. Perempuan itu salah satu anak dari guru ngajinya Mas Aris. Aku pun mengenalnya. Usianya 5 tahun lebih muda dariku. Namanya Yesi, meski tidak secantik dan semenarik diriku, tapi dia perempuan subur yang siap melahirkan banyak anak demi baktinya pada seorang suami. Itu yang dia katakan padaku juga pada Mas Aris.Aku akui keberanian dan juga misi hidupnya patut diacungi jempol, tapi kenapa harus rumah tanggaku y
POV Nindi.POV Nindi.“Apa tidak ada cara lain, Mas? Apa kamu setega itu padaku?” tanyaku pada Mas Aris, suamiku.Lelaki yang terkenal bijak dan baik hati itu perlahan membelai rambutku.“Maafkan aku, Dik. Aku tak kuasa menolak permintaan Ibu,” jawab Mas Aris.“Kamu benar, Mas, mungkin ini jalan yang terbaik untuk rumah tangga kita. Aku bisa apa? Rahimku bermasalah dan kita tidak bisa punya keturunan, tapi please lepaskan aku dulu sebelum kamu menikahi perempuan pilihan ibumu,” tegasku.Mata Mas Aris berkaca-kaca. Manik hitam itu dalam hitungan detik dipenuhi air mata. Lalu lolos. Kembali aku direngkuh dalam pelukannya.“Tidak, Dik. Aku tidak mau berpisah denganmu. Aku tidak sanggup. Aku sudah berjanji pada mamahmu untuk menjagamu seumur hidupku. Aku mencintaimu Dik, ada atau tidaknya anak bagiku hanya pelengkap saja. Cintaku padamu tulus, Dik. Tolong jangan pernah katakan perkataan yang sangat aku benci. Aku tidak bisa hidup tanpamu, Dik,” ucap Mas Aris seraya mempererat pelukannya.
POV Angga.Alyaku, aku tahu dia masih sendiri di usianya yang ke 29 tahun. Aku tahu semuanya dari Lusi dan juga Nindi.Entah seberapa berat hidup yang dijalaninya, tapi Alya masih tetap seperti dulu. Ayu dan masih muda. Mungkin karena dia tidak pernah menyikapi permasalahan dengan berlebihan. Dia tetap bersikap manis pada siapa pun meski aku tahu luka di hatinya sangatlah dalam.Alya, tetap baik pada bundaku, adikku, dan orang-orang di sekelilingnya termasuk pada keluarga mantan calon suaminya. Aku salut padanya. Aku tahu semua itu tentu saja dari cerita orang-orang terdekatku.Hari ini pertama kali aku menginjakkan kakiku ke lapak pecel buk Siti sejak 4 tahun yang lalu pergi ke Kalimantan. Pecel legendaris kenanganku bersama Alya. Ya, aku kembali pulang untuk tujuan hidup agar lebih baik lagi.Sedang Dita tetap di Kalimantan mengembangkan bisnis orang tuanya. Tak ada drama tangis perpisahan antara Gulsen dan ibunya. Biasa saja seperti hari-hari biasa. Gulsen pun tidak pernah menanyak