Ting!Satu pesan mendarat cantik di ponselku.Segera kubuka, ternyata dari Angga. Hatiku rasanya senang dan plong Angga menyapaku.[Lagi apa tuan putri?]“Lagi apa tuan putri? Ciiiee, pantes senyum-senyum sendiri ternyata dari pangeran kodok,” goda Tante Eni, beliau sengaja kepoin sampai harus naik ke kursi makan karena aku duduk di lantai.“Apaan sih, Tan. Ih, kepo!”“Emang! Hem, gitu kok, bilang enggak mau sama Angga. Milih bule Turki, tak tahunya dapat pesan gitu doang senangnya pakai banget! Sampai senyum-senyum sendiri kayak orang kehabisan obat.”“Balas enggak, Tan?” tanyaku konyol.“Ya, balas dong! Gitu aja pakai tanya segala. Heran deh, sudah sarjana lulusan luar negeri pula kok, pakai tanya!” Repet Tante Eni. Aku tertawa geli melihat bibirnya yang dimonyongkan ke kanan dan ke kiri.[Masak.] jawabku singkat.[Enggak salah?] tanya Angga. Ah, menyebalkan! Pasti dia tidak tahu kalau Alya yang sekarang pandai masak.[Keracunan enggak tu’ yang dimasakin?] ujarnya lagi.[Anggaaaa!]
Aku disambut adik dan sepupu Lusi. Mereka kompakan mengenakan abaya Turki ada juga yang berseragam Melayu yang sangat elegan.“Alya, sini Sayang,” panggil bundanya Lusi.“Kenalin ini semua keluarga Tante dan calon besan.” Aku tersenyum ramah pada mereka.“Nah, Ses, ini loh, Alya, sahabat Lusi, calonnya Hasan,” ujar bunda Lusi lagi membuat orang yang sedang bercengkerama seakan tidak percaya.Ya, jelas lah, orang Turki cantik-cantik sedangkan aku darah asli Indonesia.“Masya Allah, ke mari, Nak,” panggil seseibu. Entah siapa.Aku salami mereka satu per satu hanya beberapa yang ramah. Sisanya terkesan cuek.“Tolong ambilkan jus itu,” pinta seorang ibu muda padaku. Padahal jus yang dimaksud letaknya lebih dekat dengannya.“Lambat sekali. Ambil begitu saja lama!” ucapnya ketus setalah kuberikan jus padanya. Dasar tidak tahu terima kasih.“Alya, suguhkan ini pada ibunya Hasan,” pinta orang yang duduk dekat ibunya Lusi.“Ibunya Hasan yang mana, Tante?” tanyaku hati-hati.“Duh, kamu gimana,
Assalamualaikum selamat pagi semuanya alhamdulillah Alya sudah tayang bab baru lagi. Yuk, bantu follow akunku.🌸🌸🌸POV NINDI“kamu kenal Angga juga, Nind? Dia teman yang aku maksud tadi,” ujar Eki.Astaghfirullah kenapa dunia sesempit ini. Setelah tujuh tahun berlalu kukira tidak akan pernah lagi bertemu dengannya.“Angga? Kalian sudah baikan?” tanya Putri.“Baikan? Memang kami ada masalah apa?” ujar Angga balik bertanya.“Ck, pura-pura lupa. Guys, asal kalian tahu ya, Nindi ini sugar baby omnya Angga dan karena itulah dulu mereka musuhan. Aku hari ini sangat terkejut rupanya mereka sudah baikan. Angga, apa kamu penasaran juga pingin mencicipi tubuh Nindi?”Plak!Reflek kutampar Putri. Ucapannya sudah tidak bisa ditolerir lagi.Angga menarik lengan Putri membawanya pergi dari sini.“Maaf aku merusak acara kalian, aku pulang duluan ya, Ki,” pamitku.“Apaan si, jauh-jauh ke sini kok, pulang. Yuk, ah, sini, anggap aja Mbak yang tadi itu gila.”“Aku ....”“Sudahlah enggak usah dibahas
POV Nindi. “Astaghfirullah ... Angga? Kamu? Harusnya jujur saja sama Alya, aku yakin dia pun sebenarnya suka sama kamu. Ah, kalian terlalu gengsi,” kataku sok tahu.“Sudah, Nind. Aku sudah katakan padanya bahkan sejak dulu, tapi entah kenapa Alya tidak mau menerimaku. Padahal aku yakin dia pun punya perasaan yang sama.”“Tahu dari mana?”“Dari tatapan matanya, Nind. Dari gesture tubuhnya. Aku yakin itu. Aku benar-benar syok dan patah hati berat malam ini.”Ya Allah kasihan sekali Angga. Mereka sudah dekat sejak kecil, sudah tahu satu sama lain. Ah, ternyata perjalanan hidup manusia seunik ini yang selalu bersama belum tentu berjodoh.“Sabar ya, Angga. Semoga kamu bisa mendapatkan gadis yang jauh lebih baik dari Alya,” kataku menguatkan.“Entahlah, Nind. Sampai saat ini aku pun belum bisa mencintai perempuan lain selain Alya. Harapanku begitu besar padanya,” jawab Angga lesu.“Jodoh tidak ada yang tahu, Ngga. Barangkali sekarang Alya bertunangan dengan orang besok nikahnya dengan oran
POV Nindi. Aku mampir beli sekuteng untuk mamah. Cuaca lumayan dingin pasti mamah senang aku belikan ini.“Ada apa, Tan, kok rame-rame begini.” Aku begitu syok saat pulang mendapati rumahku ramai orang. Aku takut terjadi sesuatu pada mamah.“Ini anaknya pulang,” ujar yang lain.Aku menerobos masuk ke dalam. Ada Bu bidan yang sedang memeriksa mamah. Mamah dalam keadaan tidak sadar di karpet ruang tengah. Mamah luka-luka. Ya Tuhan apa di rumahku telah terjadi perampokan?“Bu Bidan apa yang terjadi?” tanyaku panik.“Ssstt ... Mamahmu lagi tidur nanti Ibu jelaskan. Sekarang kamu bersih-bersih badan dulu.” Aku mengiyakan gegas ke kamar mandi.Ketika selesai mandi rumahku sudah sepi hanya ada Makwo tetangga depan rumahku, Bu Bidan, suaminya, dan Kak Akmal.“Apa yang terjadi pada Mamahku, Bu Bidan? Kenapa rambut Mamah seperti habis dicukur paksa, panjang pendek begini? Ini juga lengan tangan dan kakinya lebam-lebam?”Tak sanggup lagi aku menahan air mataku. Dalam hati aku berjanji tidak ak
POV NINDI.Rasa lelah karena berlari sekuat tenaga membuatku susah bicara.“Eh, sstt! Ada Kak, Nindi. Kabuuurrr!”Anak-anak yang jumlahnya lebih dari 10 orang itu begitu melihatku langsung pergi berlari ke sembarang arah.Mamah terduduk di tanah lapang. Bajunya kotor karena memang subuh tadi hujan deras jadi banyak genangan air di sini.“Mah, mana yang sakit?” tanyaku. Kuusap kaki dan tangan mamah yang terkena lumpur.“Nin, Mamah bukan orang gila, kan? Kok, anak-anak itu teriakin Mamah gila?” tanya mamah polos.Tak bisa lagi kubendung air mataku. Kupeluk mamah seraya menangis. Dadaku rasanya sesak sekali seperti terhimpit beban berat.“Kak ... maafkan kami, ya?” Aku menoleh ke belakang ternyata Ara dan dua orang temannya.“Ara tadi tidak ikut melempari Tante Devi, tadi Ara mencoba menghentikan teman-teman, tapi tidak bisa. Mereka terlalu banyak,” jelas Ara, dua temannya mengangguk.“Kami ke sini diajak Doni, katanya Doni, Mamah Kak Nindi gila, jadi teman-teman banyak yang ngisengin,”
“Uek! Makanan ini enggak enak sekali,” protes kakak ipar Hasan. Padahal kulihat dia nyicip aja hanya seujung sendok sedikit sekali. Perempuan ini sepertinya sengaja membuat masalah denganku.Aku sudah capek-capek masak dari siang demi permintaan Hasan katanya keluarganya ingin masakan rumahan khas Indonesia dan mereka semua memesan minta dimasakan lauk ini dan itu masing-masing satu orang request 2 menu makanan.Untung saja aku dibantu bibi. Sudah capek begini tidak dihargai sama sekali. Kupastikan makanan ini rasanya enak sebelum kuhidangkan. Tahu gini aku malas datang ke apartemen mereka.“Iya, benar terlalu pedas!” sahut adik Hasan.Semua ikut mencicipi. Ayah Hasan manggut-manggut begitu juga Hasan dan yang lainnya.“Aku tidak suka makanan pedas. Aku mau makan telur ceplok aja. Buatkan sekarang!” titah adik Hasan.What! Makanan sebanyak ini tinggal milih yang tidak pedas kenapa harus menyusahkanku lagi.“Hai, Ruby, ini namanya ayam rica-rica, jadi memang pedas lagi pula itu menu ya
“Bukan berbohong, tapi memang tidak enak karena tidak sesuai seleraku,” sahut Kak Mariah mencari pembenaran sendiri.“Jangan mencela makanan, Mariah! Kalau tidak suka tinggalkan saja. Lihatlah dirimu pun habis satu piring penuh lalu kamu mencelanya dengan mengatakan tidak enak dan tidak berselera? Jangan mempermalukan dirimu sendiri!” ucap Hasan membelaku.Brak!Mariah berdiri dan mendorong kursi makan hingga roboh kemudian dia pergi dari ruang makan ini“Kak, tunggu!” Rubi pun menyusul Mariah.“Maaf ya, Nak. Mereka berdua biasa dimanjakan jadi begitu,” ucap nenek Hasan.“Em ... Hasan? Apakah ibumu ini tidak bisa bicara? Sedari tadi siang aku datang beliau irit sekali bicaranya.” Mendengar pertanyaanku ibunya Hasan langsung menatap tajam padaku.“Safia memang begitu irit bicara, jadi kamu harus maklum, tapi sebenarnya dia ibu mertua yang baik,” sahut nenek.“Oo ... irit bicara hanya pada orang baru sajakah, Nek? Perasaan dari tadi beliau banyak bicara pada Kak Mariah dan juga yang la