🌸🌸🌸POV ANGGAAku memutuskan untuk pulang lebih cepat dari jadwal yang seharusnya. Ini semua kulakukan bukan hanya semata karena rindu pada Alya, tapi pada orang tuaku juga. Toh, Alya juga pulangnya masih 3 harian lagi.Bundaku sakit struk sehari setelah kelulusanku di jenjang S1 meski tidak terlalu parah nyatanya membuat ayah berpaling darinya.Sedih sudah pasti. Apa lagi aku tidak bisa setiap hari menemainya. Hanya tanteku yang baik hati yang merawat bunda dibantu seorang suster. Ayah, tentu saja sibuk dengan dunia barunya yang tak lain adalah istri mudanya yang dinikahi baru dua tahun belakangan.Hal yang paling mengejutkan adalah bunda yang mempersiapkan pernikahan mereka dan ikut menghadiri pernikahan ayah. Aku sudah katakan pada bunda untuk pergi saja jika tidak terima dengan perbuatan ayah, tapi bunda bersikukuh tidak akan pergi. Kata bunda, ayah sedang salah jalan kalau ditinggalkan nanti semakin tidak bisa kembali.Ah, bunda, hatimu begitu baik dan lembut. Aku saja yang t
Karena penasaran aku segera berkaca. Pantulan di cermin depanku menunjukkan pemuda gagah sangat berbeda dengan Angga yang dulu. Masa sih, Alya paham.[Alya cakap itu you, tapi I tidak percaya, makanya tanya.][Iya, tu, Alya salah orang. Mungkin dia terlalu rindu padaku jadi, di matanya hanya ada aku yang terlihat.]Aku tertawa puas membalas WA Lusi, aku yakin dia akan meneruskan pesanku pada Alya.[Pede!]Tak kubalas lagi pesan Lusi. Aku beranjak ke dapur. Sebentar lagi berbuka puasa.Ada bunda dibantu ayah dan ART menyiapkan menu buka puasa. Ke mana istri muda ayah? Ya, Tuhan ternyata dia sedang main Tik Tok di ruang TV.“Wangi banget sih, masakan Bunda. Hem ....”Pujiku. Kupeluk bunda dari belakang.“Iya, dong! Kan, masakan sepesial untuk anak Bunda ini. Sudah ah, tunggu saja sana di meja makan. Malu dilihat Mbok,” jawab bunda. ART kami hanya senyum saja.“Ayah, enggak mau peluk Bunda?” tanyaku.“Angga, enggak boleh gitu, ah! Nah, kan, sudah azan. Ayo, cepat kita buka puasa.”Bunda d
Tak disangka Alya dan tantenya tertawa terbahak-bahak sampai menarik perhatian orang-orang yang lalu lalang di sekitar jalanan ini.“Mana ada Kuti secantik Alya, Ngga!” sahut Tante Eni. Aku hanya menggaruk kepala yang tidak gatal. Mati kutu kalau sudah berhadapan dengan pujaan hati.“Jangan lupa nanti malam ke rumah Lusi, ya? Kamu dapat undangan juga, kan?” tanya Alya.“Ck, menyebalkan baru bertemu sudah membicarakan orang lain. Eh, tapi, kok, nanti malam? Bukankah Minggu depan?”“Dipercepat, Ngga. Keluarga calonnya Lusi yang meminta. Maka itu kami pulang lebih awal dari jadwal yang seharusnya.”Duh, kenapa bisa bersamaan begini, ya? Apakah ini pertanda bahwa kami berjodoh.“Angga! Kalau ada orang ngomong itu dijawab jangan malah senyum-senyum,” hardik Alya.“Pulang dari luar negeri agaknya kehabisan obat, Al,” celetuk Tante Eni.“Em ... iya, nanti insya Allah aku usahakan datang.“Bye, Om Angga. Alika pulang dulu, ya?”“Iya, Alika. See you ....”Andai tidak puasa andai Alya masih gad
POV Nindi.🌸🌸🌸 Sepeninggal papah mendekam di lembaga pemasyarakatan mamah memang sudah down dan beberapa kali kudapati beliau diam-diam pergi ke bar dan juga menghabiskan waktu tidak bermanfaat bersama teman-temannya yang memang sudah mempunyai perilaku buruk itulah sebabnya peringai mamah makin buruk.Mamah semakin down saat harus menerima kenyataan bahwa aku dilecehkan. Bukan oleh orang lain melainkan oleh bapak kandungnya sendiri yaitu opaku sampai aku hamil dan memutuskan aborsi karena tidak mau menanggung malu pun tidak mau di keluarkan dari sekolah. Aku ingin tetap sekolah. Hanya sekolah yang membuatku bahagia dan melupakan segala kegelisahan dan kesedihan.Sering kupergoki mamah sedang menangis menahan suaranya agar tak didengar olehku yang tidur bersamanya seraya memeluk erat fotoku dan berkali-kali minta maaf. Mamah menyalahkan dirinya sendiri. Itu berlanjut selama proses hukum opa dan setiap malam saat aku sudah tidur.Aku tidak benar-benar tidur jadi aku tahu apa yang
POV Nindi.Tujuh tahun kini berlalu, aku sama sekali tidak pernah mendengar kabar Alya. Selama itu pula setiap bulan selalu ada kiriman sembako lengkap untuk kami. Aku tahu itu dari Alya, tapi aku membiarkannya. Entah dari mana Alya bisa tahu keberadaanku. Aku tidak mau terlalu memusingkan hal itu karena bagi Alya itu adalah hal yang sangat mudah, mengingat dia orang kaya dan bisa saja membayar orang untuk memata-mataiku.Aku hanya bisa mendoakan untuk semua kebaikan Alya. Pun aku tidak mau menolak pemberiannya hitung-hitung sebagai tanda baktinya untuk mamahku, adik dari almarhum ayahnya dan tentu saja aku bersyukur karena bisa menghemat pengeluaran. Uangnya bisa aku gunakan untuk berobat mamah. Meski gratis karena ada BPJS, tapi untuk biaya ini dan itu membutuhkan banyak uang.Mamahku terkena penyakit entah apa. Menurut dokter diabetes itu sebabnya mamah kurus jadi harus benar-benar mengatur pola makan.Ada yang aneh pada diri mamah. Beliau jadi sering melamun, pandangannya kosong.
POV Nindi. 🌸🌸🌸“Mau ke mana, kamu? Enggak sopan ya, orang tua lagi ngomong malah pergi!” hardik mamah seraya berkacak pinggang.“Mah, aku ada janji dengan temanku. Sebentar aja kok,” jawabku lesu.“Pulang bawa makanan yang enak, ya? Mamah pesan pizaa. Mamah bosan makan sayur sama ikan tiap hari.” Aku mengangguk saja.Bolehkan aku mengeluh ya, Allah. Aku lelah, sungguh. 7 tahun sudah aku bertahan, tapi tetap saja begini. Andai wanita itu bukan surgaku mungkin aku sudah membiarkannya pergi ataupun mati.Akhirnya aku bisa keluar juga. Walaupun hanya nongkrong sendirian sembari memesan menu takjil, melihat lalu lalang orang di luar food court ini. Sebenarnya aku tidak ada janji dengan siapa pun. Aku terpaksa berbohong agar bisa pergi. Aku bosan di rumah, selain omelan dan pukulan mamah tidak ada yang lain yang bisa kudapatkan. Aku rindu mamahku yang dulu ya, Allah. Tolong ... kembalikan mamahku.“Hapus air matamu, malu-maluin kaum wanita tahu!” ucap seseorang seraya memberiku tisu.Ak
POV Nindi. 🌸🌸🌸Di makam ramai sekali orang berziarah. Ini pemandangan yang membuat siapa saja akan berdecak kagum. Karena hanya menjelang lebaran begini orang-orang berziarah. Di pintu masuk area pemakaman juga berjejer orang-orang jualan bunga aneka rupa.Aku tadi membeli dua bungkus plastik bunga untuk nyekar seharga 10 ribu rupiah. Aku cukup lama berdiri karena bingung. Di mana letak makam omaku. Sudah 7 tahun aku tidak ke sini.Kususuri jalan setapak di area pemakaman ini seraya mengingat-ngingat letak makamnya. Begitu melihat makam di depanku yang dibuat seperti rumah di atasnya berjajar 3 batu nisan aku baru ingat setelah ini belok kanan dan makam oma sebelah kiri jalan setapak.Benar saja itu dia. Kenapa batu nisan oma masih bagus, ya? Siapa yang mengganti. Ada taburan bunga juga. Pasti ada yang baru dari sini. Keluargaku tidak ada yang lain kecuali Alya. Mungkinkah dia?Setelah khusuk berdoa untuk oma aku putuskan untuk segera pulang kulihat jam di tanganku sudah menunjukk
POV Nindi. 🌸🌸🌸🌸🌸🌸Aku syok sekali, baru kali ini mamah berbuat nekat padaku. Biasanya mamah akan menggunakan sajam untuk menyakiti dirinya sendiri.Selama ini hanya sebatas pukulan, cubitan, dan omelan saja. Sepertinya mamah malam ini benar-benar marah padaku.Tak kupedulikan Mamah yang meraung kesakitan karena tendanganku. Gunting yang ikut terlempar segera aku ambil. Aku lari ke dapur mengambil kotak P3K.Luka di telinga kubalut sendiri menggunakan kain kasa yang terpasang sekedarnya dan mengabaikan rasa sakit yang teramat sangat.“Nindi, mau ke mana kamu! Buka!” Mamah menggedor-gedor pintu. Terserah saja yang penting aku cepat mendapatkan pertolongan.Mamah aku kurung di rumah dan aku segera lari ke rumah tetanggaku yang seorang bidan tidak jauh hanya berjarak 200 meter. Untung saja ini Ramdhan jadi masih ramai.Setelah sampai kutunjukkan lukaku.“Ya Allah, Nak, ini harus dijahit.” Aku mengangguk.Bu bidan yang baru saja selesai menolong persalinan segera menanganiku.“Tah
Sejujurnya aku sudah berjanji pada diriku sendiri untuk tidak menerima Angga karena aku tidak ingin menyakiti hati Lusi. Ya, walaupun sekarang Lusi sudah bahagia bersama suami dan anak-anaknya, tapi aku yakin jika dia tahu aku menikah dengan Angga pasti di dalam dasar lubuk hatinya ada rasa kecewa padaku dan aku tidak mau itu terjadi. Aku tidak ingin menyakiti hati orang lain apalagi itu Lusi, sahabatku sendiri walaupun itu setitik nila.“Aku tahu Al, kalau kamu pun sebenarnya mencintai aku. Semua kutahu itu dari Lusi dan aku tahu kamu menolakku pasti karena Lusi. Al, Lusi, sudah bahagia dengan suaminya dan anak-anaknya bahkan Lusi merasa sangat bersalah karena telah menuliskan perasaannya di dalam buku diary-nya yang akhirnya kamu baca. Kalau kamu tidak percaya dengan apa yang aku ucapkan ini kamu bisa tanyakan sendiri pada Lusi. Tolong jangan tinggalkan aku lagi, Al. Aku sangat mencintaimu dari dulu hingga kini.”“Angga, tapi aku, aku ....”“Tidak perlu kamu jawab Alya karena aku ta
“Alya, tunggu! Kamu mau ke mana?” Angga menarik ujung jilbabku. Seketika aku menghentikan langkahku.“Kamu pikir aku mau ke mana Ngga? Pulanglah, ngapain aku di sini? Jagain Cafe kamu?” jawabku ketus.“Ya, kali aja mau juga kamu jagain cafeku. Jangan jagain kafekulah, jagain hatiku aja,” jawab Angga lagi. Dia ini benar-benar membuat aku salah tingkah.“Apaan, sih, Ngga ... sudahlah aku mau pulang. Lain kalu aku main ke sini lagi, oke ... aku ada banyak kerjaan yang harus aku selesaikan,” pamitku pada Angga. Sejujurnya aku sangat malu padanya karena bukan hanya sekali ini saja Angga memergokiku gagal bertemu dengan seseorang. Dulu bahkan saat pernikahanku gagal dan Anggalah yang tahu pertama kali setelah keluargaku.Kenapa harus dia aku kan, jadi malu seolah aku ini adalah gadis terkutuk yang tidak bisa mendapatkan jodoh. Apalagi umurku sekarang menjelang kepala tiga bulan depan. Kalau perempuan di luaran sana mungkin sudah punya anak dua ataupun tiga, sedangkan aku boro-boro punya
“Hilda!” Suara bariton seseorang memanggil perempuan di depanku.Ternyata perempuan di depanku ini namanya Hilda. Lantas dia tahu namaku dari mana?“Oh, jadi ini, Put, yang kamu lakukan di belakangku? Diam-diam kamu cari perempuan lain untuk jadi pendamping hidupmu, lalu aku ini kamu anggap apa, Put! 8 tahun aku nemenin kamu dari nol, giliran kamu sudah sukses kamu cari perempuan lain yang kata kamu lebih soliha dan lebih cantik dari aku! Picik kamu, Put! Dan kamu Alya, asal kamu tahu bahwa 2 hari ini yang menghubungimu bukan Putra, tapi aku. Hilda Widyani, calon istri Putra yang entah kenapa laki-laki brengsek itu tergoda oleh kamu. Aku yakin kamu tidak menggoda Putra, tapi aku minta sama kamu sebagai sesama perempuan jauhi dia kalau tidak aku akan hancurkan nama baikmu,” ucap perempuan itu berapi-api.“Hilda, kamu ngomong apa, sih! kita sudah putus dan kita sudah sepakat untuk mengakhiri hubungan kita. Lalu kenapa sekarang kamu mau merusak hubunganku dengan perempuan lain? Ingat ya
Ekstra part.“Hai! Ngalamun aja serius banget kayaknya. Lagi mikirin aku, ya?” Aku dikagetkan dengan kedatangan Angga yang tiba-tiba saja sudah duduk di sampingku.Aku merasa entah kenapa dunia ini begitu sempit. Aku melalang buana ke mana pun pasti ujung-ujungnya bertemu dengan Angga. Padahal jujur bertahun-tahun aku berusaha untuk melupakan dia.“Enggak .... kok, kamu bisa di sini, ngikutin aku, ya?” tebakku asal. Habisnya aku bingung mau bilang apa.“Ye, ge-er banget, deh! Ngapain juga ngikutin kamu enggak penting kayaknya. Eh, tapi sepertinya waktu dan keadaanlah yang mempertemukan kita. mungkin kita berjodoh,” jawab Angga. Senyum khasnya membuatku ingat tentang masa lalu.“Angga, ihh, ngaco, deh! Ngomong-ngomong apa kabar? Terus kamu di sini ada kegiatan apa?” tanyaku. Sebenarnya aku sedikit salah tingkah, tapi ya, Angga tidak boleh tahu. Kalau sampai dia tahu yang ada nanti aku akan dibully dia habis-habisan.Sejujurnya aku sangat bahagia bertemu dengan Angga karena selama 2 t
POV Alya. “Otewe mulu, kapan dong, sampainya?”“Nanti, Ngga ... jika Allah sudah berkehendak.” Angga hanya mengangguk saja.Entah kenapa kami merasa canggung sebenarnya ingin bersikap seperti biasanya saja, tapi tidak bisa. Seperti ada jarak yang memisahkan antara kami berdua.Angga memang terlihat semakin berwibawa mungkin itu yang membuatku merasa canggung dan juga dia suami orang maka dari itu aku harus jaga image jangan sampai nantinya ada kesalahpahaman di antara kami.“Non, ada Mas Akmal di luar.” Mbok memberi tahuku.“Em, kalau begitu aku permisi ya, Al. Takut ganggu. Kalau ada waktu main ke rumah ya, Gulsen pasti senang sepertinya memang dia sudah menyukaimu buktinya tadi langsung akrab,” pamit Angga. Aku mengiyakan.“Gulsen, pulang, yuk! Sudah siang nanti Kakek nyariin kita, loh,” ajak Angga. Gulsen menggeleng lucu sekali.“Gulseeenn ....” Lagi-lagi anak itu hanya menggeleng.“Biar nanti aku yang mengantar Gulsen,” sahutku.“Beneran?”“Iya, Ngga ... bolehkan?”“Oke, boleh-bo
POV ALYA.Hati yang bimbang.“Tante boleh minta tolong ambilkan bola itu. Bolanya kotor aku jijik mau ambilnya,” pinta anak kecil di depanku seraya menarik-narik ujung jilbabku. Aku yang sedang fokus menatap layar HP terpaksa memandangnya. Ekspresinya menggemaskan sekali.“Please ....” pintanya lagi. Senyumnya menampilkan deretan gigi kecil-kecil yang rapi.“Boleh, tunggu sebentar.”Aku mengambil bola yang tercebur pada kubangan lumpur bekas hujan semalam.“Tante cuci dulu ya, di kran sebelah situ. Kamu bisa menunggu Tante di sini?” Anak kecil itu mengangguk.Oke, fine Alya. Ini sungguh menggelikan karena untuk pertama kalinya aku dipanggil tante oleh orang lain. Anak kecil pula. Biasanya mereka akan memanggilku kakak dan yang memanggilku tante hanya Alika anak tante Eni dan adik-adiknya saja. Ke mana orang tua anak itu kenapa dibiarkan main sendirian di taman. Meski taman kompleks perumahan tetap saja bahaya.Akan tetapi lucu juga anak kecil itu. Keberaniannya membuatku berhasil meni
POV Nindi. Ternyata omongannya hanya bualan semata untuk memperdayaku. Pernikahan yang baru seumur jagung menjadi taruhannya.Kurasakan pergerakan dipan. Mas Aris memelukku dalam tidurnya setelah menciumku berkali-kali.Aku biarkan saja dia menciumku mungkin ini untuk yang terakhir kalinya. Barang kali esok aku sudah pergi dari sini dan kembali ke rumahku seorang diri. Jujur aku tidak siap dimadu. Aku tidak siap berbagi suami. Tidak! Aku tidak siap.Membayangkannya saja hatiku begitu ngilu dan sakit apa lagi menjalaninya. Pastilah aku kurus kering karena setiap hari makan hati. Perempuan itu salah satu anak dari guru ngajinya Mas Aris. Aku pun mengenalnya. Usianya 5 tahun lebih muda dariku. Namanya Yesi, meski tidak secantik dan semenarik diriku, tapi dia perempuan subur yang siap melahirkan banyak anak demi baktinya pada seorang suami. Itu yang dia katakan padaku juga pada Mas Aris.Aku akui keberanian dan juga misi hidupnya patut diacungi jempol, tapi kenapa harus rumah tanggaku y
POV Nindi.POV Nindi.“Apa tidak ada cara lain, Mas? Apa kamu setega itu padaku?” tanyaku pada Mas Aris, suamiku.Lelaki yang terkenal bijak dan baik hati itu perlahan membelai rambutku.“Maafkan aku, Dik. Aku tak kuasa menolak permintaan Ibu,” jawab Mas Aris.“Kamu benar, Mas, mungkin ini jalan yang terbaik untuk rumah tangga kita. Aku bisa apa? Rahimku bermasalah dan kita tidak bisa punya keturunan, tapi please lepaskan aku dulu sebelum kamu menikahi perempuan pilihan ibumu,” tegasku.Mata Mas Aris berkaca-kaca. Manik hitam itu dalam hitungan detik dipenuhi air mata. Lalu lolos. Kembali aku direngkuh dalam pelukannya.“Tidak, Dik. Aku tidak mau berpisah denganmu. Aku tidak sanggup. Aku sudah berjanji pada mamahmu untuk menjagamu seumur hidupku. Aku mencintaimu Dik, ada atau tidaknya anak bagiku hanya pelengkap saja. Cintaku padamu tulus, Dik. Tolong jangan pernah katakan perkataan yang sangat aku benci. Aku tidak bisa hidup tanpamu, Dik,” ucap Mas Aris seraya mempererat pelukannya.
POV Angga.Alyaku, aku tahu dia masih sendiri di usianya yang ke 29 tahun. Aku tahu semuanya dari Lusi dan juga Nindi.Entah seberapa berat hidup yang dijalaninya, tapi Alya masih tetap seperti dulu. Ayu dan masih muda. Mungkin karena dia tidak pernah menyikapi permasalahan dengan berlebihan. Dia tetap bersikap manis pada siapa pun meski aku tahu luka di hatinya sangatlah dalam.Alya, tetap baik pada bundaku, adikku, dan orang-orang di sekelilingnya termasuk pada keluarga mantan calon suaminya. Aku salut padanya. Aku tahu semua itu tentu saja dari cerita orang-orang terdekatku.Hari ini pertama kali aku menginjakkan kakiku ke lapak pecel buk Siti sejak 4 tahun yang lalu pergi ke Kalimantan. Pecel legendaris kenanganku bersama Alya. Ya, aku kembali pulang untuk tujuan hidup agar lebih baik lagi.Sedang Dita tetap di Kalimantan mengembangkan bisnis orang tuanya. Tak ada drama tangis perpisahan antara Gulsen dan ibunya. Biasa saja seperti hari-hari biasa. Gulsen pun tidak pernah menanyak