Bian membantu Archi untuk berdiri. Mereka berjalan keluar saling merangkul. Archi mengingat bahwa ia belum meminta maaf secara langsung. Oleh sebabnya ia berhenti. Hal itu membuat Bian juga berhenti.
“Ada apa?” tanya Bian. Ia khawatir bila ada luka Archi yang tersenggol olehnya. Ia memperhatikan dengan seksama dari atas hingga bawah tubuh Archi.
Archi memegang pundak Bian, “Tenanglah! Aku baik-baik saja,” beri tahu Archi.
“Lalu mengapa berhenti?” Tentu saja ia dilanda kebingungan. Bian perlahan memperhatikan sekitar, khawatir penjahat itu kembali datang.
Archi menjatuhkan dirinya di bawah kaki Bian, ia menangkupkan kedua tangannya. “Mungkin saat ini kau membenci ku, maka hukum saja aku! Maafkan aku telah membawamu ke dalam permasalahan ini!” Archi bersungguh-sungguh dalam meminta maaf. Jika boleh memutar waktu, ia akan berhati-hati dan tidak menabrak Bian sehingga mengakibatkan pria itu berakhir di tempat in
“Apa yang membuatmu ke negeri ini?” tanya Rams, meski bukan dengan nada membentak tetapi aura mencekam sangat terasa.Kini mereka berada di kediamannya tanpa ada perkelahian lagi. Semuanya duduk di ruang tamu; Archi, Mellisa, Bian dan Rams. Rams yang paling tampak kesal dan malu terhadap Bian. Selama ini, Bian mengenal sebagai sosok yang pendiam dan santun tetapi hari ini Bian seolah ditunjukkan oleh sisi berbeda Rams.“Kedatangan Bian ke negeri ini memang ingin mencari Daddy tetapi Tuhan Maha Baik, siapa sangka kita dipertemukan di hari pertama. Jadi, Bian tak perlu repot-repot berkeliling,” jelas Bian tanpa beban.Diam-diam tangan Rams mengepal sempurna. Perkataan Bian seolah menjadi tamparan. Salahkan anak buahnya yang asal-asalan menangkapnya. Beberapa pemikiran hinggap di kepala Rams tentang apa tujuan Bian mencarinya? Mungkinkah ia disuruh oleh Rentina atau justru karena Dewo? Membayangkan itu, Bian menggerakkan matanya ke atas.
Archi tidak tahan melihat ibunya dihina. Seorang wanita terlebih seorang ibu tidak pantas mendapatkan kata-kata terkutuk seperti itu. Archi menatap Rams dengan penuh emosi, “Sopanlah kepada ibuku!” teriaknya.Rams tidak suka diteriaki. Ia tak pandai mengontrol emosi. Tangannya secara otomatis mengepal dan ia bersiap ingin menampar Archi. Deru napas Archi tersenggal-senggal, ia tahu apa yang ingin dilakukan Rams dan ia bersiap menerima itu. Tatapannya tak sedetik pun dialihkan. Ia ingin menunjukkan bahwa ia tidak takut sama sekali.Langkah Rams sudah semakin dekat. Dadanya naik turun. Ia ingin sekali menampar Archi tidak hanya sekali tetapi beberapa kali agar jera. Mau jadi anak durhaka dia meneriaki ayahnya. Bagaimanapun ia menolak kehadiran Rams tetap saja tidak bisa mengubah kenyataan bahwa ia adalah ayah biologis bagi Archi.Tangan Rams sudah naik ke atas. Tinggal beberapa detik lagi, tangan itu akan mendarat di wajah Archi. Tak ada raut ketakutan
Rams berdehem—sedikit keras—yang membuat fokus semua orang langsung tertuju padanya. Ia berpura-pura menampilkan wajah sayunya dan memijit-mijit leher bagian belakang, “Sepertinya tubuh Daddy sangat lelah. Jika begitu Daddy pamit istirahat terlebih dahulu.” Dengan demikian, ia beranjak menuju kamarnya.Pamitnya Daddy membuat suasana semakin canggung. Selama beberapa detik, tidak ada di antara mereka yang mengeluarkan suara. Semua sibuk dengan pemikiran masing-masing. Bian mulai merasa tidak nyaman berada di rumah ini. Oleh sebab itu, ia berinisiatif untuk pergi.“Tidurlah di sini, Kak Bian!” Archi menatapnya seolah anak kecil yang ingin dibelikan mainan. Hati Bian tertegun mendengar Archi memanggilnya dengan embel-embel ‘kak’ di depannya.“Ya, tidurlah di sini. Ada kamar kosong jika kamu bersedia menginap. Lagi pula ini sudah hampir larut, susah untuk mencari tempat penginapan lain.” Kini giliran Mellis
Udara pagi hari ini sangat dingin. Hujan mengguyur Singapore. Bian membuka tirai jendela kamarnya untuk menyaksikan sendiri bagaimana hujan membasahi tanah. Hujan punya arti tersendiri bagi Bian. Setiap kali hujan mengajarkannya arti kegagalan. Ia masih mengingat dengan jelas bagaimana tegarnya Byanca berjalan di bawah guyuran hujan dari kantornya menuju rumah. Hari itu adalah hari dimana Bian menobatkan diri sebagai pecundang, dimana ia menalak Byanca lewat panggilan telepon. Ia hanya diam saja ketika melihat Byanca menangis dan seorang diri berjalan hampa di bawah hujan.Bian mengelap air matanya yang tak sengaja menetes. Jika diingat tentang masa lalu, ia akui bahwa dirinya memang seorang pecundang. Bian mentertawakan kebodohannya sendiri.“By terlalu banyak teka-teki yang tak mampu aku mengerti,” ucapnya menghadap luar seolah Byanca sedang berdiri di balkon. Akhir-akhir ini Bian seolah dibukakan mata mengenai siapa keluarganya dan semakin ia ke sini sem
Keadaan Byanca berangsur membaik. Luka di punggungnya juga sudah mengering. Dokter telah memberikan racikan salap untuk menyamarkan bekas luka. Byanca tidak terlalu mengkhawatirkan itu, tenaganya kembali pulih saja sudah patut ia syukuri. Hari ini ia dan Mami berencana kembali ke Busan. Ken telah bosan mengomeli mereka agar pulang, ia mengatakan bahwa ia sendirian. Byanca tidak tega mendengar itu. Oleh sebab itu ia berusaha untuk cepat sembuh. “Hati-hati di jalan, Sayang. Jika sudah sampai kabari Papi, oke?” Dewo memeluk erat tubuh Byanca. Terpaksa ia tak bisa ikut dengan mereka karena beberapa urusan yang harus ditangani. Dewo hanya bisa mengantar sampai bandara. Dewo tahu meski wajah Byanca kini mulai berona tetapi dari sorot matanya masih menyimpan trauma. Dewo memang tidak pernah menanyakan dengan lugas tentang bagaimana perasaan Byanca saat ini, ia khawatir itu akan melukai kembali Byanca. Dewo hanya peka ketika Byanca melihat pisau, maka napasnya kembal
“Rams, aku ingin pulang!” Mellisa sekali lagi mengatakan permohonan tersebut setelah kesikan kalinya. Air mata sudah bosan membanjiri wajahnya. Manusia tak memiliki hati di hadapannya ini hanya sibuk dengan laptop dan rokoknya tanpa menghiraukan Mellisa.Mellisa menggoyang-goyangkan kursi. Tangan dan kakinya diikat persis seperti yang ia lakukan pada Archi kemarin. Mellisa tidak tahu apa rencana Rams yang sebenarnya.“Rams, jika Tuhan menganugerahimu hati, maka pergunakanlah sedikit saja.” Mellisa berteriak dan ia tak sengaja menendang meja.Hal itu membuat Rams menggeram, ia tersenyum sebelum bangkit dari kursinya. “Kau sendiri yang menginginkan aku tak memiliki hati, bukan?” seringainya. Rams seperti malaikat yang selalu tersenyum dan penuh cinta menuju Mellisa. Namun, tepat ketika di hadapan Mellisa ia menamparnya berulang kali.Mellisa merasakan pipinya panas. Ia yakin cap jari Rams telah terlukis indah di sana. Ram
“Apakah….” ucapan Bian terpotong ketika mereka mendengar suara perkelahian di depan. Mereka sama-sama berdiri dan mengintip dari balkon. Terlihat beberapa orang telah mengalahkan pengawal yang berjaga di depan rumah. “Itu pasti Papi,” sorak Archi. Ia segera berlari keluar rumah. Namun, baru saja membuka pintu ia mendengar suara teriakan memanggil namanya. “Archi… di mana kamu, Nak?” Mendengar hal itu semakin membuat Archi yakin bahwa itu adalah Papi. Satu-satunya orang yang selalu memanggilnya anak. Archi meneteskan air mata bahagia lalu ia berteriak menjawab, “Papi…” Ia menuruni anak tangga kemudian merentangkan tangannya. Dewo menggelengkan kepala, Archi nya masih seperti Archi balita. Tidak pernah berubah; selalu manja. Dewo menyambut Archi dengan gembira. Ketika Archi sudah masuk ke dalam pelukannya, ia berbisik. “Jangan menangis. Laki-laki tidak boleh menangis, hmm?” Archi mengangguk dalam pelukan Dewo. Ia merasa nyaman dan tak ingi
Apakah Rams mendengarkan permintaan Mellisa? Tentu saja, tidak. Ia membuka ikatan tali Mellisa kemudian menggantinya dengan borgol. Mellisa hanya bisa mengutuk. Ia telah mencoba melawan tetapi justru tangannya yang tergores.Rams menarik tangan Mellisa menuju keluar kamar. Ketika pintu dibuka, hal yang tak terduga terjadi. Dewo, Archi dan Bian serta beberapa orang body guard telah berdiri di sana. Rams tak memiliki kesempatan lari. Hal yang pertama kali dilakukan oleh Dewo adalah meninju perut Rams.“Dasar pecundang! Beraninya sama perempuan!” komentarnya dengan terus memukul perut Rams.Ketika Rams hendak melawan, bodyguard tersebut langsung berlari ke belakangnya dan memegangi tangan Rams sehingga ia tidak bisa mengelak dari pukulan Dewo lagi.Archi dan Bian menggeledah kamar untuk mencari kunci borgol. Mereka membanting-banting semua barang sehingga kamar itu berantakan.Rams tertawa. “Percuma saja kalian menghancurkan ruangan