Archi tidak tahan melihat ibunya dihina. Seorang wanita terlebih seorang ibu tidak pantas mendapatkan kata-kata terkutuk seperti itu. Archi menatap Rams dengan penuh emosi, “Sopanlah kepada ibuku!” teriaknya.
Rams tidak suka diteriaki. Ia tak pandai mengontrol emosi. Tangannya secara otomatis mengepal dan ia bersiap ingin menampar Archi. Deru napas Archi tersenggal-senggal, ia tahu apa yang ingin dilakukan Rams dan ia bersiap menerima itu. Tatapannya tak sedetik pun dialihkan. Ia ingin menunjukkan bahwa ia tidak takut sama sekali.
Langkah Rams sudah semakin dekat. Dadanya naik turun. Ia ingin sekali menampar Archi tidak hanya sekali tetapi beberapa kali agar jera. Mau jadi anak durhaka dia meneriaki ayahnya. Bagaimanapun ia menolak kehadiran Rams tetap saja tidak bisa mengubah kenyataan bahwa ia adalah ayah biologis bagi Archi.
Tangan Rams sudah naik ke atas. Tinggal beberapa detik lagi, tangan itu akan mendarat di wajah Archi. Tak ada raut ketakutan
Rams berdehem—sedikit keras—yang membuat fokus semua orang langsung tertuju padanya. Ia berpura-pura menampilkan wajah sayunya dan memijit-mijit leher bagian belakang, “Sepertinya tubuh Daddy sangat lelah. Jika begitu Daddy pamit istirahat terlebih dahulu.” Dengan demikian, ia beranjak menuju kamarnya.Pamitnya Daddy membuat suasana semakin canggung. Selama beberapa detik, tidak ada di antara mereka yang mengeluarkan suara. Semua sibuk dengan pemikiran masing-masing. Bian mulai merasa tidak nyaman berada di rumah ini. Oleh sebab itu, ia berinisiatif untuk pergi.“Tidurlah di sini, Kak Bian!” Archi menatapnya seolah anak kecil yang ingin dibelikan mainan. Hati Bian tertegun mendengar Archi memanggilnya dengan embel-embel ‘kak’ di depannya.“Ya, tidurlah di sini. Ada kamar kosong jika kamu bersedia menginap. Lagi pula ini sudah hampir larut, susah untuk mencari tempat penginapan lain.” Kini giliran Mellis
Udara pagi hari ini sangat dingin. Hujan mengguyur Singapore. Bian membuka tirai jendela kamarnya untuk menyaksikan sendiri bagaimana hujan membasahi tanah. Hujan punya arti tersendiri bagi Bian. Setiap kali hujan mengajarkannya arti kegagalan. Ia masih mengingat dengan jelas bagaimana tegarnya Byanca berjalan di bawah guyuran hujan dari kantornya menuju rumah. Hari itu adalah hari dimana Bian menobatkan diri sebagai pecundang, dimana ia menalak Byanca lewat panggilan telepon. Ia hanya diam saja ketika melihat Byanca menangis dan seorang diri berjalan hampa di bawah hujan.Bian mengelap air matanya yang tak sengaja menetes. Jika diingat tentang masa lalu, ia akui bahwa dirinya memang seorang pecundang. Bian mentertawakan kebodohannya sendiri.“By terlalu banyak teka-teki yang tak mampu aku mengerti,” ucapnya menghadap luar seolah Byanca sedang berdiri di balkon. Akhir-akhir ini Bian seolah dibukakan mata mengenai siapa keluarganya dan semakin ia ke sini sem
Keadaan Byanca berangsur membaik. Luka di punggungnya juga sudah mengering. Dokter telah memberikan racikan salap untuk menyamarkan bekas luka. Byanca tidak terlalu mengkhawatirkan itu, tenaganya kembali pulih saja sudah patut ia syukuri. Hari ini ia dan Mami berencana kembali ke Busan. Ken telah bosan mengomeli mereka agar pulang, ia mengatakan bahwa ia sendirian. Byanca tidak tega mendengar itu. Oleh sebab itu ia berusaha untuk cepat sembuh. “Hati-hati di jalan, Sayang. Jika sudah sampai kabari Papi, oke?” Dewo memeluk erat tubuh Byanca. Terpaksa ia tak bisa ikut dengan mereka karena beberapa urusan yang harus ditangani. Dewo hanya bisa mengantar sampai bandara. Dewo tahu meski wajah Byanca kini mulai berona tetapi dari sorot matanya masih menyimpan trauma. Dewo memang tidak pernah menanyakan dengan lugas tentang bagaimana perasaan Byanca saat ini, ia khawatir itu akan melukai kembali Byanca. Dewo hanya peka ketika Byanca melihat pisau, maka napasnya kembal
“Rams, aku ingin pulang!” Mellisa sekali lagi mengatakan permohonan tersebut setelah kesikan kalinya. Air mata sudah bosan membanjiri wajahnya. Manusia tak memiliki hati di hadapannya ini hanya sibuk dengan laptop dan rokoknya tanpa menghiraukan Mellisa.Mellisa menggoyang-goyangkan kursi. Tangan dan kakinya diikat persis seperti yang ia lakukan pada Archi kemarin. Mellisa tidak tahu apa rencana Rams yang sebenarnya.“Rams, jika Tuhan menganugerahimu hati, maka pergunakanlah sedikit saja.” Mellisa berteriak dan ia tak sengaja menendang meja.Hal itu membuat Rams menggeram, ia tersenyum sebelum bangkit dari kursinya. “Kau sendiri yang menginginkan aku tak memiliki hati, bukan?” seringainya. Rams seperti malaikat yang selalu tersenyum dan penuh cinta menuju Mellisa. Namun, tepat ketika di hadapan Mellisa ia menamparnya berulang kali.Mellisa merasakan pipinya panas. Ia yakin cap jari Rams telah terlukis indah di sana. Ram
“Apakah….” ucapan Bian terpotong ketika mereka mendengar suara perkelahian di depan. Mereka sama-sama berdiri dan mengintip dari balkon. Terlihat beberapa orang telah mengalahkan pengawal yang berjaga di depan rumah. “Itu pasti Papi,” sorak Archi. Ia segera berlari keluar rumah. Namun, baru saja membuka pintu ia mendengar suara teriakan memanggil namanya. “Archi… di mana kamu, Nak?” Mendengar hal itu semakin membuat Archi yakin bahwa itu adalah Papi. Satu-satunya orang yang selalu memanggilnya anak. Archi meneteskan air mata bahagia lalu ia berteriak menjawab, “Papi…” Ia menuruni anak tangga kemudian merentangkan tangannya. Dewo menggelengkan kepala, Archi nya masih seperti Archi balita. Tidak pernah berubah; selalu manja. Dewo menyambut Archi dengan gembira. Ketika Archi sudah masuk ke dalam pelukannya, ia berbisik. “Jangan menangis. Laki-laki tidak boleh menangis, hmm?” Archi mengangguk dalam pelukan Dewo. Ia merasa nyaman dan tak ingi
Apakah Rams mendengarkan permintaan Mellisa? Tentu saja, tidak. Ia membuka ikatan tali Mellisa kemudian menggantinya dengan borgol. Mellisa hanya bisa mengutuk. Ia telah mencoba melawan tetapi justru tangannya yang tergores.Rams menarik tangan Mellisa menuju keluar kamar. Ketika pintu dibuka, hal yang tak terduga terjadi. Dewo, Archi dan Bian serta beberapa orang body guard telah berdiri di sana. Rams tak memiliki kesempatan lari. Hal yang pertama kali dilakukan oleh Dewo adalah meninju perut Rams.“Dasar pecundang! Beraninya sama perempuan!” komentarnya dengan terus memukul perut Rams.Ketika Rams hendak melawan, bodyguard tersebut langsung berlari ke belakangnya dan memegangi tangan Rams sehingga ia tidak bisa mengelak dari pukulan Dewo lagi.Archi dan Bian menggeledah kamar untuk mencari kunci borgol. Mereka membanting-banting semua barang sehingga kamar itu berantakan.Rams tertawa. “Percuma saja kalian menghancurkan ruangan
Mati memang bukanlah sebuah keinginan terbesar dalam hidup Rams sebelum ia bisa menuntaskan dendamnya. Namun, dihadapkan dengan berbagai kesulitan yang diberikan Dewo membuatnya sadar bahwa mati adalah solusi terbaik dari pada bertahan. Rams mengabaikan keinginan Dewo. Ia tetap tutup mulut. Ia sengaja membuat amarah Dewo di puncak agar Dewo segera membunuhnya. Dengan demikian, ia tak akan merasakan siksaan. “Bermimpilah karena aku tidak akan pernah buka suara!” ucap Rams. Dewo menggeram tetapi ia tak ingin terpancing oleh Rams. Ia dapat membaca dari senyuman di wajah Rams bahwa terdapat kebusukan di sana. Dewo tak akan masuk ke dalam permainan Rams. Dewo melemparkan alat penyetrumnya lalu dengan tanpa alasan duduk di atas sofa seolah ia adalah penyewa kamar ini. Ia menyalakan televisi. Semua orang mengernyitkan dahinya. Dewo terkekeh geli. “Kalian ikatlah dia di sana!” Dewo menunjuk kursi tepat di hadapannya. Dimana kursi itu adalah tempat bekas Melli
Tidak ada hal yang lebih buruk yang pernah Bian dengar kecuali ucapan ayah sambungnya itu. Ia mendidih karena marah. Bian tak menyangka bahwa selama ini, ayahnya itu mengharapkan istrinya untuk jadi miliknya. Artinya, ia mencintai menantunya sendiri. Bian tak mengerti mengapa ada manusia semenjijikkan itu?Bian merasa bahwa ia telah salah menghormati Daddy-nya itu. Dia tidak lebih baik dari pada seorang manusia berhati iblis. Sejak kapan ia mencintai Byanca? Mengapa perasaan itu tumbuh? Apakah Byanca mengetahuinya? Jika Byanca tahu, apakah mereka pernah pergi bersama? Bian menggelengkan kepalanya. Byanca tidak mungkin menyelingkuhinya. Bian mengenal Byanca, ia sangat menjunjung kejujuran. Adapun pria tidak tahu malu itu, Bian tidak tahu entah pernah ia menggombal Byanca.Urat tangan Bian tercetak jelas, ia mengambil gelas dan meremasnya. Matanya tertuju pada Rams. Ketika gelas itu pecah, Dewo membalikkan badannya dan ia meminta penjaganya tadi untuk mengambil obat. &ld
Tidak ada yang bisa menerima sebuah perpisahan. Baik pisah hidup maupun mati. Semua yang pernah bersama ingin selalu bersama hingga akhir hayat bahkan di kehidupan selanjutnya. Dunia fana ini selalu diimingi dengan kebahagiaan semata. Nyatanya kebahagiaan itu semu.Renata melakukan aksinya untuk memisahkan Dewo dan Rina karena kebenciannya pada ayah Dewo, Pramasta yang telah merenggut nyawa kedua orang tuanya. Tidak hanya itu, menurut Rentina sejak sahabatnya itu—Dewo—mengenal Rina waktunya sangat sedikit untuk Rentina. Hal itu semakin memupuk rasa kebenciaannya.Strategi demi strategi untuk balas dendam telah direncanakan. Salah satu yang direalisasikannya adalah masuknya orang ketiga dalam rumah tangga Dewo. Sebenarnya itu tidak murni rencananya. Rams berselingkuh dengan seorang wanita bernama Mellisa. Suatu hari, Rams mengatakan bahwa Mellisa tengah mengandung anak mereka. Rentina tidak dapat menerima itu, dia pun kesal pada Rams dan mengancam Rams atas
Rentina tersadar dari hanyutan masa lalunya. Matanya memerah menatap Dewo. Aura kebencian terpancar dari lensa hitam tersebut. Aliran darahnya seakan membuncah untuk membalaskan dendam kepada Dewo. Sialnya, rantai yang kuat ini menjeratnya.“Pramasta apa kabar?”Ini adalah kali pertama ia menyebut nama ayah Dewo tanpa menggunakan embel-embel panggilan ‘om’ untuk kesopanan. Sejak ia menyelidiki lebih lanjut ucapan mantan supirnya, Rentina tidak menelan informasi itu mentah-mentah melainkan ia menyelidiki lebih lanjut. Masih ada harapan Rentina bahwa ayah temannya itu tidak bersalah. Satu demi satu bukti dan saksi Rentina kumpulkan selama bertahun-tahun hingga akhirnya bahwa kecurigaan itu adalah benar.Lalu apa yang dilakukan Rentina?Apakah ia langsung membalaskan dendamnya pada Pramasta?Tidak!!Ya, jawabannya tidak. Rentina tidak melakukan apapun kepada Pramasta karena ketika ia telah berhasil mengumpulkan semua buk
Perusahaan warisan ayah Rentina telah dikelola oleh adik kandung ayahnya sendiri yang mana nantinya akan diserahkan kepadanya. Rentina tidak terlalu mengambil berat hal itu karena ia menganggap dirinya masih belum mampu untuk mengelola perusahaan tersebut. Rentina hanya menerima hasil setiap bulan dan dimanfaatkan untuk biaya sekolahnya. Rentina sering berkunjung hanya untuk mendapatkan teka-teki atas kematian orang tuanya. Dia mulai melibatkan diri dalam pekerjaan di perusahaan. Mulanya hanya untuk memecahkan teka-teki, lama kelamaan menjadi ketertarikan untuk bekerja di sana. Rentina meminta kepada omnya untuk diajak bekerja, ia pun ingin mengambil peran dari mulai yang terendah dahulu. Rentina mempelajari setiap liku pekerjaan tersebut. Perusahaan ayah mengalami gejolak hingga hampir gulung tikar. Om Irwan, omnya mengaku sudah melakukan banyak cara untuk menstabilkan permasalahan tersebut. Permasalahan ini dipicu karena mereka salah memilih distributor. Uang yang
Flashback on“Rentina, ikhlaskan kepergian mereka!” ucap tantenya sambil memeluk tubuh remaja Rentina.Rentina mengatupkan mulutnya. Membungkam kesedihan yang membendung. Hari itu adalah hari yang sangat buruk bagi Rentina. Tak pernah ia bayangkan bahwa hari itu datang, hari dimana ia kehilangan dua orang yang disayanginya yaitu papa dan mamanya.“Tante, kata ikhlas memang mudah diucapkan tetapi, sangat sulit untuk diimplementasikan. Bagaimana aku akan menjalani hariku tanpa mereka? Aku hanya anak tunggal. Aku tak memiliki apapun dan siapapun lagi.”Rentina tahu bahwa ini kehendak Tuhan akan tetapi ia belum siap. Hati dan kepalanya terus berbicara akan sendiri yang akan dihadapinya. Rentina menekuk lututnya kemudian memeluk lutut itu, menggambarkan bahwa ia hanya bisa bertahan dengan dirinya sendiri. Hartanya adalah dirinya sendiri. Ia menangkup dan menangis sekencang-kencangnya. Para pelayat yang mengirimkan doa kepada orangtuanya
“Apa sebenarnya penyebab kalian merusak rumah tangga ku?”Rina tak mampu menahan seluruh gejolak pertanyaan yang telah dari Singapore ia pendam. Rina tak mementingkan waktu jika saat ini antara Rentina dan Dewo sedang bersitegang. Ia hanya ingin tahu agar dadanya tak sesak menahan.Mata Rentina beralih pada Rina. Alih-alih menjawab, ia justru menyunggingkan senyuman seakan mengejek Rina. Senyuman yang dulunya hangat kini menjadi tajam yang mampu menyabik hati Rina.“Karena kamu terlalu sombong, Rina.”Rina terpancing untuk menghampiri Rentina. Entah hanya sekedar mendekatkan telinganya agar memastikan bahwa ia tak salah dengar. Namun, Dewo segera mencegahnya. Dewo menarik tangan Rina dan membisikkan kata-kata penenang.Rina memejamkan mata kemudian mengatur emosinya. Ia tak boleh terpancing demi permasalahan ini cepat diselesaikan. Melihat wajah Rentina terlalu lama akan mempengaruhi kesehatan jantungnya.“Kamu
Rina menyunggingkan senyuman kepada Bian setelah mendengar teriakan Indira. Wanita itu sangat kacau dan berantakan. Rina mengira bahwa mentalnya telah terguncang. Ia mendekati Dewo dan bertanya apa yang sebenarnya terjadi kepada Indira. Dewo hanya menjawab dengan mengangkat bahunya membuat Rina menghela napas malas. Sudah dalam keadaan seperti ini pun Dewo masih sempat untuk bermain rahasia. Di hadapan Rams dan Rentina terbentang sebuah sofa panjang dengan sebuah meja di hadapannya yang berisi banyak makanan dan juga minuman. Dewo mengajak mereka semua untuk duduk. “Rentina, Rams dan Indira kehadiranku membawa mereka semua ke sini bukan untuk menghukum kalian. Aku tahu semua orang pasti pernah melakukan kesalahan tidak terkecuali diriku sendiri. Aku ingin kita menyelesaikan dengan damai dan secara kekeluargaan. Tolong akui semua kesalahan kalian!” Tak munafik bahwa kekesalan Dewo kepada tiga manusia di hadapannya sudah mengubun-ubun tetapi ia masih memiliki h
Pesawat yang ditumpangi mendarat indah di Bandar udara Soekarno Hatta. Dewo beserta rombongan segera menaiki mobil yang telah disediakan. Perjalanan selanjtunya adalah menuju tempat penyekapan Rams dan Rentina. Sepanjang perjalanan, semua tampak tak banyak bicara. Hanya diam dan menerka-nerka akan bagaimana kelanjutan cerita ini.Begitu sampai tempat penyekapan, Salim telah menunggu mereka. Ia segera mendekat dan menyapa satu-persatu. Dewo tersenyum ramah dan juga berjalan di samping Salim.“Lalu, apa yang akan kau lakukan?” Siapapun pasti akan sangat penasaran. Begitu pula dengan Salim. Sudah lama ia menanti hari ini. Ia juga sudah lelah menebak konspirasi di antara semuanya.“Dimana Bema dan Brian?” Dewo berhenti dan memperhatikan sekitar. Hal tersebut juga membuat semuanya berhenti dan mengikuti arah pandang Dewo.“Aku sudah meminta mereka datang tetapi tidak tahu kemana dua anak itu.” Tak ingin membuat suasana hati
Langit cerah menutupi raut kemarahan dari dua anak manusia yang saling berhadapan dengan kondisi tubuh terikat tali. Mereka adalah Rentina dan Rams. Rentina menggerakkan tubuhnya; menggapai-gapai tangan Rams. Ia tak bisa dengan lantang menyuarakan isi kepalanya sebab mulutnya ditutupi lakban hitam yang menyebalkan.Rentina berusaha berbicara lewat mata. Sayangnya Rams nampak tak tertarik, ia memutar lehernya dan lebih memilih menatap dinding yang dipenuhi sarang laba-laba tersebut. Lebih baik melihat itu dari pada menatap Rentina dengan segala gejolak emosinya.“Apa kau tak ingin mengalahkan Dewo di dunia bisnis?” Rams mengingat dengan jelas kata-kata yang diucapkan Rentina dahulu. Kata yang menjadi mantra untuknya melakukan segala cara agar mengalahkan Dewo. Meski Dewo bukan tandingannya di dunia bisnis tetapi Rams mengal
Berdamai dengan keadaan adalah jalan yang dipilih Rina meski hati masih berbentur dengan luka masa lalu, tetapi ia begitu sadar bahwa semua karena jebakan. Rina memang mencoba untuk memaafkan Mellisa. Melihat Archi yang sedikit trauma membuat Rina merasa iba. Ia pernah melihat jiwa Byanca terguncang. Oleh sebab itu, ia tak ingin Archi juga nekat melakukan apa yang Byanca lakukan dahulu.Mellisa merasa terharu atas sikap Rina. Ia berulang mengucapkan terima kasih bahkan ia secara refelks memeluk Rina. Semua ini di luar ekspektasinya. Mellisa iri dengan Rina yang memiliki hati begitu lembut. Ia berjanji akan menjadikan dirinya lebih baik lagi untuk membalas kebaikan Rina. Untuk Dewo, ia tak akan mengejarnya lagi. Terserah pada Dewo untuk hidup seperti apa, lagi pula mereka telah berpisah sejak beberapa bulan yang lalu.Usai melepaskan pelukan Mellisa, Rina menatap Dewo dengan ekspresi tak terbaca. Dewo menaikkan sebelah alisnya tanda tak mengerti arti tatapan itu. Rina t