Arini dan Brandon
Mobil sedan keluaran BMW terbaru berwarna biru memasuki pekarangan keluarga Harun di kawasan Menteng Dalam. Sebuah rumah mewah yang berukuran besar, tapi sayang hanya dihuni oleh kedua orang tua Brandon.
Kening Iin berkerut mematut sebuah mobil yang tak pernah terlihat di rumah itu sebelumnya.
“Mobil siapa ya?” desisnya.
Bran mengangkat bahu. “Nggak tahu. Baru nongol juga tuh.”
Begitu mobil berhenti dengan sempurna, Brandon keluar terlebih dahulu. Dia bergegas menuju pintu tempat Arini duduk. El dan Farzan terlebih dahulu memasuki rumah.
Bran mengambil Al yang sedang terlelap di pangkuan Iin. Setelahnya mereka menyusul ke dalam rumah.
“Ngeeeeng. Arini!!” teriak suara yang sangat akrab di telinga Arini dan Brandon. Begitu nyaring dan lengking.
Seorang wanita berambut pendek mengenakan gaun lengan pendek dengan panjang selutut sedang membentangkan tangan.
“Gadis!”
“Kak Gadis!” seru Bran dan Iin bersamaan sambil menatap tak percaya sosok yang berdiri di hadapannya.
Gadis melangkah cepat ke arah Arini, lantas memeluknya. Mereka saling berpelukan selama beberapa saat.
“Gue kangen banget sama kalian. Udah lama banget kita nggak ketemu,” cetus Gadis—sepupu Brandon—dengan raut wajah sedih.
“Hampir sepuluh tahun ya kita nggak ketemu, Kak,” sahut Arini.
Gadis manggut-manggut melihat Arini dengan tatapan berbinar dan kedua tangan bersedekap di depan tubuh.
“Lo sih. Betah banget di negeri orang bertahun-tahun nggak pernah pulang,” seloroh Bran.
“Habis mau gimana lagi? Laki gue ‘kan orang sana, jadi jarang banget pulang ke Indonesia.”
Lisa dan Sandy tampak melangkah menyusul anak, menantu dan cucu di ruang tamu. Setelah mengalami stroke beberapa tahun yang lalu, Sandy akhirnya kembali pulih seperti semula berkat terapi yang dilakukan.
“El, Farzan,” sambut Lisa memeluk kedua anak laki-laki tersebut.
“Lho, Alyssa tidur?” Sandy melihat cucu perempuannya.
“Iya, Pa. Tadi tidur di mobil pas lagi jalan ke sini,” jawab Arini.
Iin menyerahkan kantong berisi kotak brownies yang dibuatnya tadi malam kepada Ibu mertuanya. “Ini Shiny Crust Brownies yang Mama pesan.”
“Terima kasih, Sayang.” Lisa tersenyum lembut kepada menantunya, lantas memalingkan paras kepada Brandon.
“Alyssa taruh di kamar Mama saja, Bran. Kasihan nanti malah terganggu tidurnya,” saran Lisa setelah berada di ruang tamu.
Brandon mengangguk, lantas mengalihkan pandangan ke arah Gadis. “Ngobrol sama Iin dulu ya, Dis. Gue tidurkan Al ke kamar dulu.”
Bran langsung bergerak menuju kamar orang tuanya di lantai satu. Lisa dan Sandy beranjak ke ruang keluarga bersama El dan Farzan. Sementara Arini dan Gadis duduk di ruang tamu.
“Kak Gadis kapan sampai di Indonesia? Suami dan anak mana?” tanya Arini.
“Mereka di Aussie, Rin. Suami kerja, anak juga sekolah jadi nggak bisa dibawa ke Indo. Nunggu libur dan cuti keburu karatan gue saking kangen sama negeri tercinta,” balas Gadis antusias.
Senyuman masih betah menghiasi wajah Arini, karena bisa berjumpa dengan Gadis setelah sekian lama. Beberapa menit kemudian, Brandon bergabung dengan mereka di ruang tamu.
“Ternyata kalau jodoh nggak bakal ke mana ya,” kata Gadis melihat Iin dan Bran bergantian.
Dia memegang tangan Arini erat. “Salut loh buat kalian. Akhirnya perjalanan panjang membuahkan hasil.”
Gadis berhenti sejenak, lantas mengarahkan telunjuk kepada Bran. “Penantian si Cengeng juga nggak sia-sia, Rin.”
“Penantian?” gumam Arini bingung.
“Bisa nggak stop panggil gue cengeng, Dis?” protes Bran dengan wajah mengerucut, “anak gue udah dua loh.”
Sepupu Bran tertawa ngakak. “Habis susah ganti panggilan, Ngeng. Udah jadi kebiasaan.”
Setelah berhenti tertawa, Gadis kembali melihat Arini lekat.
“Lo tadi tanya penantian apa yang gue maksud, ‘kan?”
Arini mengangguk.
Gadis berdecak sambil geleng-geleng kepala. “Kakak lo bener, Rin. Tingkat kepekaan lo emang minus sekian, sampai nggak bisa menangkap sinyal yang udah dikasih sama Brandon.”
“Gadis?” tegur Bran keberatan.
“Eh, biarin aja dia tahu sekarang. Toh kalian udah nikah ini,” sergah Gadis mendelik nyalang.
Beginilah mereka berdua kalau bertemu. Berbagai debat selalu menghiasi pertemuan Bran dan Gadis. Hingga dewasa pun tidak ada yang berubah dari mereka.
“Cerita dong, Kak. Jadi penasaran nih,” desak Arini memilih fokus mendengar perkataan Gadis.
“Sebenarnya. Si Cengeng udah lama jatuh cinta sama lo, Rin. Gue sih yakin sejak awal kalian dekat, dia udah ada rasa. Tapi kayaknya gengsi deh buat ungkapkan terlebih dahulu,” tutur Gadis mengerling usil kepada Bran.
Brandon berdeham-ria mendengar perkataan sepupunya itu.
“Sayang, aku lihat Al di kamar dulu ya. Takut bangun.” Bran bersiap untuk kabur dari sana.
“Eits, mau ke mana lo?” Mata hitam kecil Gadis melebar melihat Bran. Dia mengarahkan telunjuk ke ruang kosong yang ada di samping Arini. “Duduk situ! Udah nikah juga masih pake jaim segala.”
“Habis lo buka kartu aja, Dis.”
Arini tersenyum jail kepada suaminya. “Tuh ‘kan bener. Kamu udah suka sama aku dari dulu.”
“Lo juga salah sih, Rin. Nggak peka banget jadi cewek.” Gadis menarik napas singkat.
“Coba deh lo pikir-pikir, mana ada cowok yang jagain cewek sampai segitunya kalau nggak cinta. Dia aja yang bego pakai TTM-an dan pacaran sama cewek nggak bener duluan. Eh, ujung-ujungnya mentok sama lo, ‘kan?” cecar Gadis.
Brandon mendesah pelan sambil garuk-garuk kepala. “Oke. Gue akui memang awalnya gengsi buat akui perasaan yang sebenarnya. Takut juga kalau Iin merasa nggak nyaman, karena pasti bakalan canggung ‘kan kalau dia tahu.”
Arini memiringkan kepala sambil menatap serius suaminya. Dia memilih diam mendengarkan perkataan Brandon.
“Waktu kamu nikah, aku pengin utarakan yang sebenarnya, tapi takut,” sambung Bran.
“Takut kenapa?” desis Iin.
“Takut kamu nggak mau. Aku juga berpikir nggak pantas bersanding sama kamu, In.” Bran memandangi netra istrinya lekat. “Kamu tahu maksudnya, ‘kan?”
Gadis mengembuskan napas keras. “Arini juga mau terima lo apa adanya kali, Ngeng. Lo aja yang terlalu banyak mikir. Coba waktu itu lo desak dia buat kabur, pasti mau tuh.”
“Kalau itu nggak bakalan mau, Dis. Orang dia patuh banget sama Papa, anak berbakti ini,” puji Bran bangga sambil memberi kecupan di pipi istrinya.
“Duh, gue jadi iri lihat kalian mesra kayak gini,” komentar Gadis.
“Gue bucin sama dia, Dis. Gimana dong?” Bran menatap nakal Arini.
Arini mencubit pinggang Bran, sehingga membuatnya meringis kesakitan.
“Lo belum cerita gimana kalian bisa sama-sama mengakui perasaan. Cerita dong. Kepo nih.” Gadis mengalihkan pandangan kepada Iin. “Pasti si Cengeng akhirnya yang nembak lo duluan ‘kan, Rin?”
Perempuan berkerudung itu mengangguk cepat. “Tebakan Kak Gadis tepat.”
“Finally, keangkuhan lo runtuh juga, Ngeng,” ledek Gadis usil.
“Gimana nggak runtuh?! Dia paket komplit. Almost perfect. Rugi udah sia-siakan wanita kayak Arini dari dulu,” ungkap Bran.
“Lo sih, Bran. Gue udah berkali-kali bilang waktu itu, tapi nggak didengerin.”
Wanita berambut pendek itu kembali mengangguk. “Tuh sekarang makin cantik pakai jilbab loh. Jadi kepengin juga.”
Brandon merangkul bahu istrinya bangga, sementara Arini menunduk tersipu.
Gadis menepuk kening sambil bergumam, “Astaga, lupa sapa ponakan gue lagi. Udah dua, ‘kan? Namanya siapa?”
“Elfarehza dan Alyssa, Kak,” sahut Arini.
“Parah nih. Saking excited ketemu kalian, jadi lupa sama hasil produksi kalian berdua,” goda Gadis. “Nggak nambah lagi?”
“Penginnya sih nambah, Kak. Tapi Brandon nggak mau.”
“Kasihan, Dis. Dua kali lahiran, gue yang ngilu. Takut banget kehilangan Iin. Cukup dua kali berpisah sama dia, jangan sampai kejadian lagi,” sela Bran bergidik.
Gadis hanya berdecak sambil mengerling usil kepada Bran. “Ya udah, gue mau ke sebelah dulu ketemu sama El. Al lagi tidur ‘kan ya?”
Bran dan Iin mengangguk. Mereka berdua melihat Gadis menghilang di balik dinding pembatas ruangan.
“Gimana kunjungan tadi?” bisik Bran sambil mengelus kepala Iin yang terbungkus kerudung.
“Farzan kayaknya nggak suka ketemu sama Ayu,” balas Iin memelankan suara.
“Oya? Trus reaksi wanita itu gimana?”
Arini mengangkat bahu. “Tadi cuma bilang terima kasih aja karena udah rawat Farzan dengan baik. Trus dia juga minta sesuatu.”
“Minta apa?” Paras Brandon tampak penasaran.
“Dia minta carikan tempat tinggal begitu keluar dari penjara, karena nggak punya siapa-siapa lagi.”
Bran mengusap keras wajah dengan kedua tangan. “Dia ‘kan udah bukan tanggung jawab keluarga kita lagi, In. Nggak bisa dong! Apalagi Farzan nggak tinggal sama dia juga.”
“Tapi dia Mamanya Farzan, Bran. Kasihan Farzan juga nanti lihat hidup Ayu terlunta-lunta,” tanggap Iin coba membujuk Bran.
“Dia nggak peduli juga, In. Selama ini nggak pernah singgung Ayu setelah tahu apa yang dilakukannya, ‘kan?”
Arini tersenyum lembut sambil menatap lekat wajah suaminya. Dia memberi kecupan singkat di bibir Bran.
“Nggak boleh gitu, Sayang. Suatu saat, Farzan pasti bisa menerima Ayu lagi sebagai Ibunya. Dia hanya butuh waktu untuk menerima keadaan.” Iin membelai pinggir wajah Bran. “Kita bantu aja carikan tempat tinggal ya?”
Hati Bran yang keras akhirnya luluh juga setelah dibujuk oleh wanita itu. Arini selalu mampu meruntuhkan dinding keras yang membentengi hati suaminya.
“Ya udah. Kamu punya usul bagusnya dia tinggal di mana?”
“Gimana kalau Yogyakarta? Bali, Lombok?” usul Arini memberikan pilihan.
“Di luar Jakarta?”
Arini menganggukkan kepala. “Biar dia nggak ngerecokin Papa dan Mama lagi, Sayang.”
Senyuman terbit di wajah Bran. “Pintar kamu. Oke, aku coba cari tempat yang jauh dari sini.”
Perbincangan mereka terpaksa berhenti ketika melihat Lisa muncul di ruang tamu. Wanita berusia hampir kepala enam itu duduk di sofa single, berhadapan dengan sofa tempat anak dan menantunya duduk.
“Bagaimana kabar wanita itu?” Lisa memulai perbincangan.
Arini menarik napas panjang, sebelum menjawab pertanyaan ibu mertuanya. “Miris, Ma. Jauh berbeda dari sebelumnya.”
Lisa mengangguk pelan. “Mungkin itu balasan yang setimpal baginya.”
Suasana kembali hening ketika wanita itu memandangi menantu dan anaknya bergantian.
“Mama mau bicara sesuatu dengan kalian. Mudah-mudahan kalian bisa mengabulkan permintaan Mama dan Papa.”
Arini dan Bran saling berpandangan, kemudian kembali melihat Lisa.
“Apa kalian mau tinggal di rumah ini?” Lisa masih membagi tilikan mata dengan Bran dan Arini bergantian. “Rumah rasanya sepi sekali tidak ada Al, El dan juga Farzan. Mama ingin hari tua kami berdua dihiasi dengan canda tawa dengan anak cucu.”
Bran kembali melihat istrinya. Arini tersenyum sambil menganggukkan kepala. Dia tidak tega melihat ayah dan ibu mertua hanya berdua saja di rumah yang besar ini.
“Nanti aku diskusikan dulu sama Iin ya, Ma,” kata Brandon.
“Satu lagi. Mama dan Papa minta Arini bekerja di perusahaan.” Lisa menatap lekat menantu kesayangannya itu. “Sudah waktunya kamu kembali ke perusahaan, Rin. Mau ya?”
Terdengar tarikan napas berat dari hidung Arini. Bran memalingkan paras kepada istrinya, karena tahu persis dia tidak mau bekerja di perusahaan keluarga Harun. Iin tipe wanita yang mandiri, sehingga peluang mengabulkan permintaan itu sangat tipis.
Lisa masih menunggu jawaban dari menantunya. Sementara Iin menjadi dilema. Apakah akan menerimanya atau tidak?
Bersambung....
Arini dan BrandonKetika ingin menjawab pertanyaan Lisa, Sandy tiba-tiba muncul dari ruang keluarga. Dia duduk di samping istri tercinta, berhadapan dengan Brandon dan Arini.“Papa mau bicara sesuatu dengan kalian,” cetusnya melihat Bran dan Iin bergantian.Suami istri itu mengangguk serentak, lantas memilih fokus dengan apa yang dikatakan oleh Sandy.“Dulu, niat Papa membangun rumah sebesar ini agar bisa berkumpul dengan anak dan cucu.” Sandy kembali melihat anak dan menantunya. “Rumah ini terlalu besar untuk kami tinggali berdua. Terasa sepi juga tidak ada canda dan tawa anak-anak. Apa kalian mau pindah ke sini?”Rupanya Sandy mengutarakan hal yang sama dengan Lisa. Di usia yang tak lagi muda, kakek dan nenek itu merasa kesepian di sana, sehingga ingin menghabiskan hari tua bersama anak dan cucu.Arini dan Bran kembali saling berpandangan.“Aku akan diskusikan hal ini dulu dengan Iin, Pa. Tadi Mama juga udah bilang begitu,” tanggap Brandon.Sandy dan Lisa sama-sama mengangguk paham.
Arini dan BrandonDua bulan kemudianSepasang mata cokelat lebar mulai mengerjap. Tangan terangkat ke atas seiringan dengan kaki yang meregang menghalau pegal karena posisi tidur yang kurang pas. Senyuman terbit di wajah ketika melihat sang Suami masih tertidur pulas di samping.“Gaya tidurnya dari dulu nggak pernah berubah,” gumam Arini dengan wajah masih dihiasi senyuman.Sebuah kecupan diberikan di bibir Bran. Sesaat kemudian, Iin meraih ponsel dari atas nakas melihat jam.“Udah waktunya masak,” desisnya ketika melihat waktu menunjukkan pukul 03.00.Hari ini adalah hari pertama berpuasa. Ramadan pertama juga bagi Al puasa, sementara kali kedua bagi El.Ketika ingin beranjak dari tempat tidur, tiba-tiba sepasang tangan telah mendekapnya erat. Senyuman kembali menghiasi wajah cantik Arini.“Kamu udah bangun?”Bran menganggukkan kepala di atas bahu kanan istrinya. “Waktu kamu cium bibirku tadi.”“Aku masak buat sahut dulu ya. Kamu tidur lagi aja, nanti aku bangunin kalau udah selesai
ElfarehzaDelapan tahun kemudianEl tampak berdiri di depan cermin memastikan pakaian telah terpasang dengan rapi sebelum berangkat ke sekolah. Rambut hitam tebal tersisir rapi dengan belah pinggir. Dasi berwarna abu-abu menggantung di bagian tengah bawah leher. Sebuah senyuman terbit di wajah setelah menyeka pinggir rambut yang lebih pendek.“Sarapan dulu, El.” Terdengar suara lembut sang Ibu memanggil dari luar kamar.“Ya, Mi. Sebentar lagi aku turun,” sahutnya bergegas mengambil tas ransel berwarna biru dongker dari meja belajar.Dengan ringan kaki panjang El melangkah menuruni anak tangga menuju lantai dasar kediaman keluarga Harun.Selama delapan tahun terakhir, Brandon beserta anak dan istri tinggal di kediaman keluarganya. Rumah yang tadi sepi menjadi ramai dengan kehadiran kedua cucu keluarga Harun dan juga Farzan.Ah, mengenai Farzan. Anak itu kini tumbuh menjadi pemuda yang tampan, tidak kalah dari Brandon sewaktu muda. Sekarang Farzan menempuh pendidikan S1 Teknik Mesin (Me
ElfarehzaNetra cokelat El melihat Arini dan Brandon bergantian ketika sedang duduk di meja makan. Bibirnya sedikit terbuka seperti ingin mengatakan sesuatu, tapi kembali tertutup. Dia memilih menandaskan sarapan terlebih dahulu, sebelum berbicara dengan kedua orang tuanya.“Papi.” El bersuara ketika melihat Bran menyeka sudut bibir dengan serbet.“Kenapa, El?” Brandon mengalihkan pandangan kepada putranya.“Belikan motor dong, Pi. Masa aku ke sekolah dianterin supir terus?” desisnya takut.Bran mendesah pelan lantas meletakkan serbet di atas meja. Mata sayunya menatap lekat El.“Kamu masih belum cukup umur untuk dibelikan motor, El.”“Teman-temanku semua pakai kendaraan sendiri ke sekolah. Cuma aku aja yang masih dianterin supir. Belikan ya, Pi,” pinta El dengan sorot memelas.Brandon menggeleng tegas. “Papi udah bilang sebelumnya, ‘kan? Kamu dibelikan kendaraan setelah cukup umur.”“Tapi, Pi—”“Nggak ada tapi, El! Sekali Papi bilang A ya harus A, nggak bisa ditawar lagi! Mengerti?”
Elfarehza“Woi, ngapain lo duduk di sini?” tegur Hariz sambil menepuk kedua pundak El.“Eh, lo Riz,” sahut El menoleh ke belakang.Hariz langsung duduk di samping El. Mereka berdua sekarang berada di area atap sekolah, salah satu tempat para favorit siswa menghabiskan waktu di luar jam pelajaran.Kebiasaan El hampir sama dengan kedua orang tuanya ketika masih bersekolah dulu. Memilih duduk di puncak tertinggi gedung saat tidak ada jam pelajaran. Tempat ini juga menjadi saksi kebersamaan Arini dan Brandon ketika masih menjalin persahabatan.“Ngapain bengong di sini, entar kesambet loh,” ledek Hariz.“Lagi kesal aja,” ujar El dengan kedua tangan memegang pinggir bangku besi di samping tubuh.“Kesal kenapa?”El menarik napas pelan, lantas mendongakkan kepala ke atas sehingga netra cokelatnya bisa melihat langit yang diselimuti awan kelabu.“Gue udah coba lagi minta dibelikan motor sama Bokap, tapi nggak berhasil,” ungkap El lesu.“Sabar, Bro. Berarti lo memang ditakdirkan ke sekolah dian
Elfarehza dan AlyssaEl termenung menunggu Al di depan gedung. Dia berharap bisa bertemu lagi dengan gadis yang mampu mencuri perhatiannya. Selama ini El tidak pernah dekat dengan siswi manapun, berbeda dengan Brandon dulu saat seusianya.“Lama banget sih, Dek,” keluh El begitu melihat Al keluar dari pintu gedung.“Tadi aku … ngobrol sama teman dulu,” sahut Al.Mereka berdua sekarang melangkah menuju gerbang. Mobil pasti sudah standby di sana.“Eh, sebentar,” tahan El menarik tangan adiknya.Kening Al berkerut bingung. “Ada yang ketinggalan?”Senyuman terbit di bibir El. “Jadi namanya Syifa ya?”Al memutar bola mata malas. “Aku udah jawab dari tadi, Bang. Namanya As-syifa Syauqiyyah, satu kelas sama aku.”“Kamu dekat nggak sama dia?”Gadis itu menyenggol lengan El sambil mengerling usil. “Abang suka ya sama dia? Aku bilangin Papi loh.”El panik seketika, lantas memegang tangan Al. “Jangan bilang Papi dong, Dek. Nggak seru nih kamu.”“Bercanda kok, Bang. Habis dari tadi kepo mulu. Tany
Arini dan BrandonArini duduk di ruang tamu menunggu Brandon pulang. Dia sudah rapi mengenakan dress panjang dengan lengan hingga siku. Rambut hitam panjang dibiarkan tergerai hingga pinggang. Iin selalu berpenampilan seperti itu ketika berada di dalam rumah, berbeda jauh ketika bepergian. Wanita itu ingin selalu tampak cantik di depan suaminya.“Cie … yang lagi nungguin Papi datang,” goda Al ketika berada di anak tangga paling bawah.Iin tersipu malu mendengar perkataan putrinya.“Kayak lagi nungguin pacar deh, Mi.” Al melangkah mendekati ibunya, lantas duduk di samping kanan Arini.Mata cokelat lebar Iin menyipit. “Kamu jangan-jangan sama kayak El ya? Lagi ada yang disukai?”“Ih, enggak lah ya. Ngeri kalau ketahuan Papi. Bisa ngamuk entar,” sahut Al bergidik.Iin tergelak pelan.“Mami nggak pernah bosan ya ketemu sama Papi terus? Sejak SMA selalu barengan loh,” tanya Al tanpa bisa menutupi rasa penasaran.“Hmmm … Gimana ya?” Arini pura-pura berpikir sambil menepuk dagu dengan ujung
El dan AlEl mondar-mandir di depan kamar kedua orang tuanya sebelum sarapan. Dia ingin bertanya, apakah Arini sudah berbicara dengan Brandon tentang motor atau belum. Sejak tadi malam, rasa penasaran terus melanda.Tak lama kemudian, Arini muncul ketika pintu kamar terbuka. Wanita itu telah rapi mengenakan gaun rumah yang biasa membalut tubuhnya sehari-hari.“Wah, Abang udah rapi nih,” sapa Arini tersenyum lembut.Anak itu menarik tangan ibunya menjauh dari kamar.“Mami udah ngomong sama Papi?” tanya El tak sabaran.Arini menggeleng pelan. “Mami belum ngomong masalah motor, Sayang. Tadi malam hanya ngobrol tentang kamu dan Al aja. Pelan-pelan dulu ya?”Tampak raut kecewa di wajah El mendengar jawaban Arini.“Kamu nggak boleh gitu, Prince. Mami masih berusaha ngomong sama Papi, tapi pelan-pelan.” Iin mengusap lengan El. “Sabar ya.”“El udah sabar, Mi. Mintanya dari enam bulan lalu, ‘kan?”“Berarti kamu harus ekstra sabar lagi. Berlatih lebih sabar ya, Sayang,” tutur Arini sembari meng
Brandon dan AriniBrandon menyandarkan punggung di kursi mobil sambil sesekali mengurut pelipis. Akhir minggu dia harus pergi lagi ke Poris memastikan persiapan ulang tahun pernikahannya sudah mencapai 100%, sekaligus mengurus beberapa dokumen rumah singgah. Pria itu memberikan alasan ingin melihat-lihat rumah yang akan mereka tinggali nanti. Bersyukur Arini tidak pergi hari ini, katanya ingin istirahat di rumah dulu.Nggak sabar pengin tahu reaksi Iin nanti, bisik Brandon dalam hati sembari tersenyum.Rumah singgah itu didirikan sebagai pembuktian cintanya kepada Arini. Dia hanya ingin melihat sang Istri bisa berbahagia dikelilingi anak-anak, meski tidak lahir dari rahimnya.Perlahan mobil memasuki pekarangan rumah keluarga Harun. Tak lama kemudian, Bran melangkah memasuki rumah setelah turun dari kendaraan.“Gimana, Sayang?” tanya Arini begitu Brandon berada di ruang keluarga.Di sana ada Alyssa. Gadis itu duduk di samping Arini sembari menonton.“Masih lihat-lihat sih, In. Belum ne
ElfarehzaEl bersandar lesu di dinding kamar. Sulit untuk bersikap seperti tidak terjadi apa-apa di hadapan Bran. Ingin sekali menanyakan langsung kepada pria itu, tapi diurungkan. Khawatir jika Arini mendengarkan pembicaraan mereka. Apalagi dia berpikir ayahnya tidak akan mau mengatakan yang sejujurnya.Pemuda itu memukul dinding dilapisi wallpaper bermotif kotak campuran warna putih dan abu-abu. Hanya itu satu-satunya cara agar El bisa melepaskan kekesalan yang terasa. Pandangannya beralih ke arah ponsel yang tergeletak di atas kasur. Saat ini ia butuh seseorang untuk berbicara, selain Al.El membuka aplikasi whatsapp dan mencari nama orang yang bisa diajak berbicara. Pencarian berakhir ketika menemukan nama Syifa di daftar kontak. Barangkali gadis itu bisa mendengarkan keluh kesahnya. Hanya dia yang bisa dipercaya. Tidak mungkin bercerita kepada Hariz, karena hari libur sering jalan-jalan dengan keluarganya.Me: Assalamualaikum. Kamu lagi sibuk nggak, Syifa?Pesan berhasil dikirim
AriniSetelah salat Subuh, Arini pergi ke kamar El. Seperti janji dengan Brandon, ia akan mencoba bicara dengan kedua buah hatinya. Wanita itu penasaran hal apa yang membuat mereka berubah menjadi dingin kepada Brandon?“El?” panggilnya dari luar kamar setelah mengetuk pintu.“Ya, Mi?” sahut El dari dalam kamar.Tak lama kemudian pintu kamar terbuka. Senyum hangat tergambar dari wajah tampan Elfarehza.“Mami pagi ini cantik banget,” puji El memandangi ibunya.Arini berdecak lalu menyipitkan mata. “Kamu persis kayak Papi. Pintar banget ngerayu Mami.”Tarikan lebar bibir El berangsur menyusut. Dia melangkah lesu ke dalam kamar, lalu duduk di pinggir tempat tidur.Iin juga masuk ke kamar dan duduk di samping putranya. Dia mengusap lembut puncak kepala El sembari menatapnya lekat.“Kamu masih marah ya sama Papi?”Pemuda itu menundukkan kepala dengan pandangan tertuju ke lantai keramik berwarna putih gading.“Nggak boleh gitu, Sayang. Papi larang pakai motor ‘kan demi kebaikan kamu. Papi j
ElfahrezaDesahan pelan keluar dari sela bibir El saat duduk di bangku atap gedung sekolah. Mata cokelatnya menatap nanar langit kota Jakarta Pusat yang cukup cerah menjelang siang. Warna biru langit hanya ditutupi sedikit awan putih.Dia tidak habis pikir dengan apa yang telah dilakukan Brandon. Jika terbukti pria itu mengkhianati Arini, El tidak akan pernah memaafkannya.Pandangan pemuda itu beralih ke samping belakang ketika mendengar pintu terbuka. Tampak seorang siswi berkerudung nan imut dan berparas cantik memasuki area atap.“Maaf, Kak. Aku pikir tadi nggak ada orang,” ucap gadis itu.Senyuman mengambang di wajah tampan El. “Nggak pa-pa. Kalau mau duduk di sini silakan, Syifa. Sekalian ngobrol.”Syifa berdiri di sela pintu. Tampak ragu di irasnya.El mengerling ke arah bangku satu lagi agar bisa ditempati Syifa.Gadis itu masih bergeming dengan tilikan mata tidak beranjak dari El. Ada yang tidak biasa di paras pemuda itu. Dia bisa menangkap raut kalut di wajahnya. Setelah mena
Arini dan BrandonBrandon masih memikirkan perubahan sikap kedua buah hatinya tadi sore. Dia tahu El dan Al awalnya duduk bersama Arini di ruang tamu, tapi segera pergi setelah dirinya tiba. Pria itu bisa memahami jika El bersikap seperti itu, tapi kenapa Alyssa juga ikut-ikutan? Biasanya gadis itu lebih manja dengan Bran dibandingkan Iin.Saat makan malam mereka juga tidak banyak berbicara. Pertanyaan Brandon hanya ditanggapi dengan gumaman dan anggukan kepala dari keduanya. Hal ini membuat Bran tidak bisa menahan diri lagi untuk bertanya kepada istrinya.“In,” panggil Brandon saat melihat Arini mengenakan perawatan kulit khusus malam hari.Arini menoleh ke arahnya dengan tatapan bingung, lalu meletakkan botol krim malam yang dipegang. “Kenapa, Sayang?”Brandon berdiri, lantas melangkah mendekati Arini yang duduk di meja rias. Dia memeluk istrinya dari belakang.“Gimana anak-anak hari ini?” tanya Bran sambil mengusap lengan Arini.“Baik. Cuma kayaknya sedih aja sih karena harus pinda
BrandonBeberapa jam yang laluMata sayu Bran beralih melihat ke arah jam dinding yang ada di ruang kerja. Dia mengambil beberapa berkas, lalu memasukkannya ke dalam tas. Sebelum melangkah ke luar ruangan, pria itu menerima sebuah pesan dari seseorang melalui aplikasi whatsapp.Dia tersenyum melihat foto yang tampil di layar ponsel. Di foto itu tampak sepuluh anak-anak dengan usia sekitar tiga hingga sepuluh tahun berdiri dengan rapi. Ada juga lima orang mendampingi, dua orang berusia paruh baya sementara tiga lagi masih muda. Beberapa di antara mereka sedang menggendong bayi berusia lima bulan hingga satu tahun.“Nggak sabar menunggu saatnya tiba,” gumam Bran melangkah menuju pintu.Tiba di luar ruangan, dia melihat Pak Habib telah standby dengan sebuah tablet pipih di tangan.“Berangkat sekarang, Pak,” ujar Brandon memberi kode agar Pak Habib ikut dengannya.Pria berusia enam puluh tahunan itu berjalan di belakang bosnya dengan tenang. Hari ini keduanya berencana memantau proyek yan
AriniSenyuman mengambang di wajah cantik milik Iin saat melihat El dan Al duduk di ruang tamu. Kedua remaja itu langsung berlari menghampirinya. Tanpa basa-basi mereka memeluk erat sang Ibu.Seperti biasa Arini memberi kecupan di kening keduanya bergantian.“Tumben tungguin Mami pulang di sini?” tanya Arini bingung.“Kangen sama Mami,” jawab Al bergelayut manja di lengan Iin.“Sama, kangen pelukan Mami,” imbuh El tak kalah manja.Arini duduk di sofa melepas penat setelah bekerja seharian di kantor.Tahu Ibunya kelelahan, El dan Al langsung memberi pijatan di pundak hingga lengan Iin tanpa diberi komando. Wanita berusia pertengahan empat puluh itu kembali mengulas senyum lembut keibuan. Dia mengamati kedua buah hatinya lekat satu per satu.“Papi kok nggak pulang sama Mami?” selidik Al setelah hening beberapa menit.“Papi lagi ke luar kota dari tadi pagi. Ngecek proyek di Tangerang,” sahut Iin menyandarkan punggung di sofa sembari menikmati pijatan yang diberikan El dan Al.“Emang lagi
ElfarehzaAlyssa tersenyum lembut sambil menepuk pelan pundak kakaknya. Dia tahu saat ini El masih kesal, karena Brandon kembali menjual motor yang dibelikan oleh Sandy sepuluh hari yang lalu. Apalagi dalam minggu depan mereka akan pindah rumah. Arini terpaksa menyetujui keinginan Bran untuk tinggal terpisah dari kedua orang tuanya.“Mau sampai kapan Abang diemin Papi?” tanya Al ketika mereka sedang dalam perjalanan menuju sekolah.Pemuda itu mengangkat bahu sambil mendesah pelan.“Udah dua hari loh, Bang. Lebih dari tiga hari udah dosa, apalagi sama orang tua sendiri,” tanggap Al berusaha menasihati kakaknya.“Kamu nggak ngerti sih perasaan Abang sekarang.”“Siapa bilang nggak ngerti? Aku tahu kok, ‘kan ikut menikmati juga kalau Abang punya motor.”El menatap malas adiknya, kemudian melengos ke sisi kiri jalan.“Aku ketemu sama Tante Moza waktu ke mall hari Minggu kemarin,” ungkap Al membuat El kembali melihat ke arahnya.“Oya? Kok nggak cerita sih?” protes El menyipitkan mata. “Udah
Arini dan BrandonSesosok tubuh tampak menggeliat di balik selimut. Dia meregangkan tangan ke atas sambil sesekali menguap. Perjalanan panjang dari ujung timur Indonesia menuju Jakarta membuat tubuh terasa pegal.“Good morning, My Angel,” sapa Bran ketika merasakan gerakan tempat tidur.Dia beringsut mendekat istrinya, lantas memberi pelukan erat.“Kamu udah bangun?” gumam Iin dengan suara serak khas bangun tidur.“Baru aja bangun. Kalau masih capek tidur lagi aja.”Arini mengalihkan pandangan ke sisi kanan dinding kamar. “Udah jam 04.00, Sayang. Sebentar lagi subuh.”“30 menit lagi, In. Kamu masih bisa tidur.”Iin memutar balik tubuh, lalu memeluk suaminya erat. Dia menenggelamkan kepala di dada bidang Bran yang terbungkus baju kaus putih polos. Penggalan kejadian memalukan ketika berada di daerah Misool kembali berputar di pikiran.Hingga detik ini, Arini belum menceritakannya kepada Brandon. Dia memilih untuk merahasiakan hal ini, karena tidak ingin membuat pria itu khawatir.“Udah