Arini dan Brandon
Mobil sedan keluaran BMW terbaru berwarna biru memasuki pekarangan keluarga Harun di kawasan Menteng Dalam. Sebuah rumah mewah yang berukuran besar, tapi sayang hanya dihuni oleh kedua orang tua Brandon.
Kening Iin berkerut mematut sebuah mobil yang tak pernah terlihat di rumah itu sebelumnya.
“Mobil siapa ya?” desisnya.
Bran mengangkat bahu. “Nggak tahu. Baru nongol juga tuh.”
Begitu mobil berhenti dengan sempurna, Brandon keluar terlebih dahulu. Dia bergegas menuju pintu tempat Arini duduk. El dan Farzan terlebih dahulu memasuki rumah.
Bran mengambil Al yang sedang terlelap di pangkuan Iin. Setelahnya mereka menyusul ke dalam rumah.
“Ngeeeeng. Arini!!” teriak suara yang sangat akrab di telinga Arini dan Brandon. Begitu nyaring dan lengking.
Seorang wanita berambut pendek mengenakan gaun lengan pendek dengan panjang selutut sedang membentangkan tangan.
“Gadis!”
“Kak Gadis!” seru Bran dan Iin bersamaan sambil menatap tak percaya sosok yang berdiri di hadapannya.
Gadis melangkah cepat ke arah Arini, lantas memeluknya. Mereka saling berpelukan selama beberapa saat.
“Gue kangen banget sama kalian. Udah lama banget kita nggak ketemu,” cetus Gadis—sepupu Brandon—dengan raut wajah sedih.
“Hampir sepuluh tahun ya kita nggak ketemu, Kak,” sahut Arini.
Gadis manggut-manggut melihat Arini dengan tatapan berbinar dan kedua tangan bersedekap di depan tubuh.
“Lo sih. Betah banget di negeri orang bertahun-tahun nggak pernah pulang,” seloroh Bran.
“Habis mau gimana lagi? Laki gue ‘kan orang sana, jadi jarang banget pulang ke Indonesia.”
Lisa dan Sandy tampak melangkah menyusul anak, menantu dan cucu di ruang tamu. Setelah mengalami stroke beberapa tahun yang lalu, Sandy akhirnya kembali pulih seperti semula berkat terapi yang dilakukan.
“El, Farzan,” sambut Lisa memeluk kedua anak laki-laki tersebut.
“Lho, Alyssa tidur?” Sandy melihat cucu perempuannya.
“Iya, Pa. Tadi tidur di mobil pas lagi jalan ke sini,” jawab Arini.
Iin menyerahkan kantong berisi kotak brownies yang dibuatnya tadi malam kepada Ibu mertuanya. “Ini Shiny Crust Brownies yang Mama pesan.”
“Terima kasih, Sayang.” Lisa tersenyum lembut kepada menantunya, lantas memalingkan paras kepada Brandon.
“Alyssa taruh di kamar Mama saja, Bran. Kasihan nanti malah terganggu tidurnya,” saran Lisa setelah berada di ruang tamu.
Brandon mengangguk, lantas mengalihkan pandangan ke arah Gadis. “Ngobrol sama Iin dulu ya, Dis. Gue tidurkan Al ke kamar dulu.”
Bran langsung bergerak menuju kamar orang tuanya di lantai satu. Lisa dan Sandy beranjak ke ruang keluarga bersama El dan Farzan. Sementara Arini dan Gadis duduk di ruang tamu.
“Kak Gadis kapan sampai di Indonesia? Suami dan anak mana?” tanya Arini.
“Mereka di Aussie, Rin. Suami kerja, anak juga sekolah jadi nggak bisa dibawa ke Indo. Nunggu libur dan cuti keburu karatan gue saking kangen sama negeri tercinta,” balas Gadis antusias.
Senyuman masih betah menghiasi wajah Arini, karena bisa berjumpa dengan Gadis setelah sekian lama. Beberapa menit kemudian, Brandon bergabung dengan mereka di ruang tamu.
“Ternyata kalau jodoh nggak bakal ke mana ya,” kata Gadis melihat Iin dan Bran bergantian.
Dia memegang tangan Arini erat. “Salut loh buat kalian. Akhirnya perjalanan panjang membuahkan hasil.”
Gadis berhenti sejenak, lantas mengarahkan telunjuk kepada Bran. “Penantian si Cengeng juga nggak sia-sia, Rin.”
“Penantian?” gumam Arini bingung.
“Bisa nggak stop panggil gue cengeng, Dis?” protes Bran dengan wajah mengerucut, “anak gue udah dua loh.”
Sepupu Bran tertawa ngakak. “Habis susah ganti panggilan, Ngeng. Udah jadi kebiasaan.”
Setelah berhenti tertawa, Gadis kembali melihat Arini lekat.
“Lo tadi tanya penantian apa yang gue maksud, ‘kan?”
Arini mengangguk.
Gadis berdecak sambil geleng-geleng kepala. “Kakak lo bener, Rin. Tingkat kepekaan lo emang minus sekian, sampai nggak bisa menangkap sinyal yang udah dikasih sama Brandon.”
“Gadis?” tegur Bran keberatan.
“Eh, biarin aja dia tahu sekarang. Toh kalian udah nikah ini,” sergah Gadis mendelik nyalang.
Beginilah mereka berdua kalau bertemu. Berbagai debat selalu menghiasi pertemuan Bran dan Gadis. Hingga dewasa pun tidak ada yang berubah dari mereka.
“Cerita dong, Kak. Jadi penasaran nih,” desak Arini memilih fokus mendengar perkataan Gadis.
“Sebenarnya. Si Cengeng udah lama jatuh cinta sama lo, Rin. Gue sih yakin sejak awal kalian dekat, dia udah ada rasa. Tapi kayaknya gengsi deh buat ungkapkan terlebih dahulu,” tutur Gadis mengerling usil kepada Bran.
Brandon berdeham-ria mendengar perkataan sepupunya itu.
“Sayang, aku lihat Al di kamar dulu ya. Takut bangun.” Bran bersiap untuk kabur dari sana.
“Eits, mau ke mana lo?” Mata hitam kecil Gadis melebar melihat Bran. Dia mengarahkan telunjuk ke ruang kosong yang ada di samping Arini. “Duduk situ! Udah nikah juga masih pake jaim segala.”
“Habis lo buka kartu aja, Dis.”
Arini tersenyum jail kepada suaminya. “Tuh ‘kan bener. Kamu udah suka sama aku dari dulu.”
“Lo juga salah sih, Rin. Nggak peka banget jadi cewek.” Gadis menarik napas singkat.
“Coba deh lo pikir-pikir, mana ada cowok yang jagain cewek sampai segitunya kalau nggak cinta. Dia aja yang bego pakai TTM-an dan pacaran sama cewek nggak bener duluan. Eh, ujung-ujungnya mentok sama lo, ‘kan?” cecar Gadis.
Brandon mendesah pelan sambil garuk-garuk kepala. “Oke. Gue akui memang awalnya gengsi buat akui perasaan yang sebenarnya. Takut juga kalau Iin merasa nggak nyaman, karena pasti bakalan canggung ‘kan kalau dia tahu.”
Arini memiringkan kepala sambil menatap serius suaminya. Dia memilih diam mendengarkan perkataan Brandon.
“Waktu kamu nikah, aku pengin utarakan yang sebenarnya, tapi takut,” sambung Bran.
“Takut kenapa?” desis Iin.
“Takut kamu nggak mau. Aku juga berpikir nggak pantas bersanding sama kamu, In.” Bran memandangi netra istrinya lekat. “Kamu tahu maksudnya, ‘kan?”
Gadis mengembuskan napas keras. “Arini juga mau terima lo apa adanya kali, Ngeng. Lo aja yang terlalu banyak mikir. Coba waktu itu lo desak dia buat kabur, pasti mau tuh.”
“Kalau itu nggak bakalan mau, Dis. Orang dia patuh banget sama Papa, anak berbakti ini,” puji Bran bangga sambil memberi kecupan di pipi istrinya.
“Duh, gue jadi iri lihat kalian mesra kayak gini,” komentar Gadis.
“Gue bucin sama dia, Dis. Gimana dong?” Bran menatap nakal Arini.
Arini mencubit pinggang Bran, sehingga membuatnya meringis kesakitan.
“Lo belum cerita gimana kalian bisa sama-sama mengakui perasaan. Cerita dong. Kepo nih.” Gadis mengalihkan pandangan kepada Iin. “Pasti si Cengeng akhirnya yang nembak lo duluan ‘kan, Rin?”
Perempuan berkerudung itu mengangguk cepat. “Tebakan Kak Gadis tepat.”
“Finally, keangkuhan lo runtuh juga, Ngeng,” ledek Gadis usil.
“Gimana nggak runtuh?! Dia paket komplit. Almost perfect. Rugi udah sia-siakan wanita kayak Arini dari dulu,” ungkap Bran.
“Lo sih, Bran. Gue udah berkali-kali bilang waktu itu, tapi nggak didengerin.”
Wanita berambut pendek itu kembali mengangguk. “Tuh sekarang makin cantik pakai jilbab loh. Jadi kepengin juga.”
Brandon merangkul bahu istrinya bangga, sementara Arini menunduk tersipu.
Gadis menepuk kening sambil bergumam, “Astaga, lupa sapa ponakan gue lagi. Udah dua, ‘kan? Namanya siapa?”
“Elfarehza dan Alyssa, Kak,” sahut Arini.
“Parah nih. Saking excited ketemu kalian, jadi lupa sama hasil produksi kalian berdua,” goda Gadis. “Nggak nambah lagi?”
“Penginnya sih nambah, Kak. Tapi Brandon nggak mau.”
“Kasihan, Dis. Dua kali lahiran, gue yang ngilu. Takut banget kehilangan Iin. Cukup dua kali berpisah sama dia, jangan sampai kejadian lagi,” sela Bran bergidik.
Gadis hanya berdecak sambil mengerling usil kepada Bran. “Ya udah, gue mau ke sebelah dulu ketemu sama El. Al lagi tidur ‘kan ya?”
Bran dan Iin mengangguk. Mereka berdua melihat Gadis menghilang di balik dinding pembatas ruangan.
“Gimana kunjungan tadi?” bisik Bran sambil mengelus kepala Iin yang terbungkus kerudung.
“Farzan kayaknya nggak suka ketemu sama Ayu,” balas Iin memelankan suara.
“Oya? Trus reaksi wanita itu gimana?”
Arini mengangkat bahu. “Tadi cuma bilang terima kasih aja karena udah rawat Farzan dengan baik. Trus dia juga minta sesuatu.”
“Minta apa?” Paras Brandon tampak penasaran.
“Dia minta carikan tempat tinggal begitu keluar dari penjara, karena nggak punya siapa-siapa lagi.”
Bran mengusap keras wajah dengan kedua tangan. “Dia ‘kan udah bukan tanggung jawab keluarga kita lagi, In. Nggak bisa dong! Apalagi Farzan nggak tinggal sama dia juga.”
“Tapi dia Mamanya Farzan, Bran. Kasihan Farzan juga nanti lihat hidup Ayu terlunta-lunta,” tanggap Iin coba membujuk Bran.
“Dia nggak peduli juga, In. Selama ini nggak pernah singgung Ayu setelah tahu apa yang dilakukannya, ‘kan?”
Arini tersenyum lembut sambil menatap lekat wajah suaminya. Dia memberi kecupan singkat di bibir Bran.
“Nggak boleh gitu, Sayang. Suatu saat, Farzan pasti bisa menerima Ayu lagi sebagai Ibunya. Dia hanya butuh waktu untuk menerima keadaan.” Iin membelai pinggir wajah Bran. “Kita bantu aja carikan tempat tinggal ya?”
Hati Bran yang keras akhirnya luluh juga setelah dibujuk oleh wanita itu. Arini selalu mampu meruntuhkan dinding keras yang membentengi hati suaminya.
“Ya udah. Kamu punya usul bagusnya dia tinggal di mana?”
“Gimana kalau Yogyakarta? Bali, Lombok?” usul Arini memberikan pilihan.
“Di luar Jakarta?”
Arini menganggukkan kepala. “Biar dia nggak ngerecokin Papa dan Mama lagi, Sayang.”
Senyuman terbit di wajah Bran. “Pintar kamu. Oke, aku coba cari tempat yang jauh dari sini.”
Perbincangan mereka terpaksa berhenti ketika melihat Lisa muncul di ruang tamu. Wanita berusia hampir kepala enam itu duduk di sofa single, berhadapan dengan sofa tempat anak dan menantunya duduk.
“Bagaimana kabar wanita itu?” Lisa memulai perbincangan.
Arini menarik napas panjang, sebelum menjawab pertanyaan ibu mertuanya. “Miris, Ma. Jauh berbeda dari sebelumnya.”
Lisa mengangguk pelan. “Mungkin itu balasan yang setimpal baginya.”
Suasana kembali hening ketika wanita itu memandangi menantu dan anaknya bergantian.
“Mama mau bicara sesuatu dengan kalian. Mudah-mudahan kalian bisa mengabulkan permintaan Mama dan Papa.”
Arini dan Bran saling berpandangan, kemudian kembali melihat Lisa.
“Apa kalian mau tinggal di rumah ini?” Lisa masih membagi tilikan mata dengan Bran dan Arini bergantian. “Rumah rasanya sepi sekali tidak ada Al, El dan juga Farzan. Mama ingin hari tua kami berdua dihiasi dengan canda tawa dengan anak cucu.”
Bran kembali melihat istrinya. Arini tersenyum sambil menganggukkan kepala. Dia tidak tega melihat ayah dan ibu mertua hanya berdua saja di rumah yang besar ini.
“Nanti aku diskusikan dulu sama Iin ya, Ma,” kata Brandon.
“Satu lagi. Mama dan Papa minta Arini bekerja di perusahaan.” Lisa menatap lekat menantu kesayangannya itu. “Sudah waktunya kamu kembali ke perusahaan, Rin. Mau ya?”
Terdengar tarikan napas berat dari hidung Arini. Bran memalingkan paras kepada istrinya, karena tahu persis dia tidak mau bekerja di perusahaan keluarga Harun. Iin tipe wanita yang mandiri, sehingga peluang mengabulkan permintaan itu sangat tipis.
Lisa masih menunggu jawaban dari menantunya. Sementara Iin menjadi dilema. Apakah akan menerimanya atau tidak?
Bersambung....
Arini dan BrandonKetika ingin menjawab pertanyaan Lisa, Sandy tiba-tiba muncul dari ruang keluarga. Dia duduk di samping istri tercinta, berhadapan dengan Brandon dan Arini.“Papa mau bicara sesuatu dengan kalian,” cetusnya melihat Bran dan Iin bergantian.Suami istri itu mengangguk serentak, lantas memilih fokus dengan apa yang dikatakan oleh Sandy.“Dulu, niat Papa membangun rumah sebesar ini agar bisa berkumpul dengan anak dan cucu.” Sandy kembali melihat anak dan menantunya. “Rumah ini terlalu besar untuk kami tinggali berdua. Terasa sepi juga tidak ada canda dan tawa anak-anak. Apa kalian mau pindah ke sini?”Rupanya Sandy mengutarakan hal yang sama dengan Lisa. Di usia yang tak lagi muda, kakek dan nenek itu merasa kesepian di sana, sehingga ingin menghabiskan hari tua bersama anak dan cucu.Arini dan Bran kembali saling berpandangan.“Aku akan diskusikan hal ini dulu dengan Iin, Pa. Tadi Mama juga udah bilang begitu,” tanggap Brandon.Sandy dan Lisa sama-sama mengangguk paham.
Arini dan BrandonDua bulan kemudianSepasang mata cokelat lebar mulai mengerjap. Tangan terangkat ke atas seiringan dengan kaki yang meregang menghalau pegal karena posisi tidur yang kurang pas. Senyuman terbit di wajah ketika melihat sang Suami masih tertidur pulas di samping.“Gaya tidurnya dari dulu nggak pernah berubah,” gumam Arini dengan wajah masih dihiasi senyuman.Sebuah kecupan diberikan di bibir Bran. Sesaat kemudian, Iin meraih ponsel dari atas nakas melihat jam.“Udah waktunya masak,” desisnya ketika melihat waktu menunjukkan pukul 03.00.Hari ini adalah hari pertama berpuasa. Ramadan pertama juga bagi Al puasa, sementara kali kedua bagi El.Ketika ingin beranjak dari tempat tidur, tiba-tiba sepasang tangan telah mendekapnya erat. Senyuman kembali menghiasi wajah cantik Arini.“Kamu udah bangun?”Bran menganggukkan kepala di atas bahu kanan istrinya. “Waktu kamu cium bibirku tadi.”“Aku masak buat sahut dulu ya. Kamu tidur lagi aja, nanti aku bangunin kalau udah selesai
ElfarehzaDelapan tahun kemudianEl tampak berdiri di depan cermin memastikan pakaian telah terpasang dengan rapi sebelum berangkat ke sekolah. Rambut hitam tebal tersisir rapi dengan belah pinggir. Dasi berwarna abu-abu menggantung di bagian tengah bawah leher. Sebuah senyuman terbit di wajah setelah menyeka pinggir rambut yang lebih pendek.“Sarapan dulu, El.” Terdengar suara lembut sang Ibu memanggil dari luar kamar.“Ya, Mi. Sebentar lagi aku turun,” sahutnya bergegas mengambil tas ransel berwarna biru dongker dari meja belajar.Dengan ringan kaki panjang El melangkah menuruni anak tangga menuju lantai dasar kediaman keluarga Harun.Selama delapan tahun terakhir, Brandon beserta anak dan istri tinggal di kediaman keluarganya. Rumah yang tadi sepi menjadi ramai dengan kehadiran kedua cucu keluarga Harun dan juga Farzan.Ah, mengenai Farzan. Anak itu kini tumbuh menjadi pemuda yang tampan, tidak kalah dari Brandon sewaktu muda. Sekarang Farzan menempuh pendidikan S1 Teknik Mesin (Me
ElfarehzaNetra cokelat El melihat Arini dan Brandon bergantian ketika sedang duduk di meja makan. Bibirnya sedikit terbuka seperti ingin mengatakan sesuatu, tapi kembali tertutup. Dia memilih menandaskan sarapan terlebih dahulu, sebelum berbicara dengan kedua orang tuanya.“Papi.” El bersuara ketika melihat Bran menyeka sudut bibir dengan serbet.“Kenapa, El?” Brandon mengalihkan pandangan kepada putranya.“Belikan motor dong, Pi. Masa aku ke sekolah dianterin supir terus?” desisnya takut.Bran mendesah pelan lantas meletakkan serbet di atas meja. Mata sayunya menatap lekat El.“Kamu masih belum cukup umur untuk dibelikan motor, El.”“Teman-temanku semua pakai kendaraan sendiri ke sekolah. Cuma aku aja yang masih dianterin supir. Belikan ya, Pi,” pinta El dengan sorot memelas.Brandon menggeleng tegas. “Papi udah bilang sebelumnya, ‘kan? Kamu dibelikan kendaraan setelah cukup umur.”“Tapi, Pi—”“Nggak ada tapi, El! Sekali Papi bilang A ya harus A, nggak bisa ditawar lagi! Mengerti?”
Elfarehza“Woi, ngapain lo duduk di sini?” tegur Hariz sambil menepuk kedua pundak El.“Eh, lo Riz,” sahut El menoleh ke belakang.Hariz langsung duduk di samping El. Mereka berdua sekarang berada di area atap sekolah, salah satu tempat para favorit siswa menghabiskan waktu di luar jam pelajaran.Kebiasaan El hampir sama dengan kedua orang tuanya ketika masih bersekolah dulu. Memilih duduk di puncak tertinggi gedung saat tidak ada jam pelajaran. Tempat ini juga menjadi saksi kebersamaan Arini dan Brandon ketika masih menjalin persahabatan.“Ngapain bengong di sini, entar kesambet loh,” ledek Hariz.“Lagi kesal aja,” ujar El dengan kedua tangan memegang pinggir bangku besi di samping tubuh.“Kesal kenapa?”El menarik napas pelan, lantas mendongakkan kepala ke atas sehingga netra cokelatnya bisa melihat langit yang diselimuti awan kelabu.“Gue udah coba lagi minta dibelikan motor sama Bokap, tapi nggak berhasil,” ungkap El lesu.“Sabar, Bro. Berarti lo memang ditakdirkan ke sekolah dian
Elfarehza dan AlyssaEl termenung menunggu Al di depan gedung. Dia berharap bisa bertemu lagi dengan gadis yang mampu mencuri perhatiannya. Selama ini El tidak pernah dekat dengan siswi manapun, berbeda dengan Brandon dulu saat seusianya.“Lama banget sih, Dek,” keluh El begitu melihat Al keluar dari pintu gedung.“Tadi aku … ngobrol sama teman dulu,” sahut Al.Mereka berdua sekarang melangkah menuju gerbang. Mobil pasti sudah standby di sana.“Eh, sebentar,” tahan El menarik tangan adiknya.Kening Al berkerut bingung. “Ada yang ketinggalan?”Senyuman terbit di bibir El. “Jadi namanya Syifa ya?”Al memutar bola mata malas. “Aku udah jawab dari tadi, Bang. Namanya As-syifa Syauqiyyah, satu kelas sama aku.”“Kamu dekat nggak sama dia?”Gadis itu menyenggol lengan El sambil mengerling usil. “Abang suka ya sama dia? Aku bilangin Papi loh.”El panik seketika, lantas memegang tangan Al. “Jangan bilang Papi dong, Dek. Nggak seru nih kamu.”“Bercanda kok, Bang. Habis dari tadi kepo mulu. Tany
Arini dan BrandonArini duduk di ruang tamu menunggu Brandon pulang. Dia sudah rapi mengenakan dress panjang dengan lengan hingga siku. Rambut hitam panjang dibiarkan tergerai hingga pinggang. Iin selalu berpenampilan seperti itu ketika berada di dalam rumah, berbeda jauh ketika bepergian. Wanita itu ingin selalu tampak cantik di depan suaminya.“Cie … yang lagi nungguin Papi datang,” goda Al ketika berada di anak tangga paling bawah.Iin tersipu malu mendengar perkataan putrinya.“Kayak lagi nungguin pacar deh, Mi.” Al melangkah mendekati ibunya, lantas duduk di samping kanan Arini.Mata cokelat lebar Iin menyipit. “Kamu jangan-jangan sama kayak El ya? Lagi ada yang disukai?”“Ih, enggak lah ya. Ngeri kalau ketahuan Papi. Bisa ngamuk entar,” sahut Al bergidik.Iin tergelak pelan.“Mami nggak pernah bosan ya ketemu sama Papi terus? Sejak SMA selalu barengan loh,” tanya Al tanpa bisa menutupi rasa penasaran.“Hmmm … Gimana ya?” Arini pura-pura berpikir sambil menepuk dagu dengan ujung
El dan AlEl mondar-mandir di depan kamar kedua orang tuanya sebelum sarapan. Dia ingin bertanya, apakah Arini sudah berbicara dengan Brandon tentang motor atau belum. Sejak tadi malam, rasa penasaran terus melanda.Tak lama kemudian, Arini muncul ketika pintu kamar terbuka. Wanita itu telah rapi mengenakan gaun rumah yang biasa membalut tubuhnya sehari-hari.“Wah, Abang udah rapi nih,” sapa Arini tersenyum lembut.Anak itu menarik tangan ibunya menjauh dari kamar.“Mami udah ngomong sama Papi?” tanya El tak sabaran.Arini menggeleng pelan. “Mami belum ngomong masalah motor, Sayang. Tadi malam hanya ngobrol tentang kamu dan Al aja. Pelan-pelan dulu ya?”Tampak raut kecewa di wajah El mendengar jawaban Arini.“Kamu nggak boleh gitu, Prince. Mami masih berusaha ngomong sama Papi, tapi pelan-pelan.” Iin mengusap lengan El. “Sabar ya.”“El udah sabar, Mi. Mintanya dari enam bulan lalu, ‘kan?”“Berarti kamu harus ekstra sabar lagi. Berlatih lebih sabar ya, Sayang,” tutur Arini sembari meng
ElfarehzaEl tersenyum melihat Arini yang masih berkutat dengan papan Scrabble. Sejak lima belas menit yang lalu wanita itu memikirkan bagaimana menyusun abjad menjadi sebuah kata.“Payung,” ujar El menukar letak huruf Y dan G yang salah.Arini menoleh ke arah El dengan kening berkerut.“Payung, Mami. Yang biasa kita pakai lagi hujan.”Wanita paruh baya itu mengangguk cepat, kemudian kembali lagi melihat papan Scrabble.“Sekarang mainnya udah dulu ya, Mi. Ada yang mau aku ceritakan sama Mami.” El memegang lengan sang Ibu kemudian membantunya duduk di sofa.Arini melihat putranya dengan tersenyum samar. Sejak beberapa bulan terakhir ini, dia mengalami penurunan dalam mengucapkan kosa kata. Iin memilih banyak diam dan mendengar cerita El dan Bran, termasuk Al yang baru menikah lima bulan yang lalu.“Mami masih ingat nggak dulu aku pernah cerita tentang perempuan yang disu
Arini dan BrandonDua tahun berlalu setelah Brandon mengetahui apa yang terjadi antara Arini dan Farzan. Sejak saat itu, Farzan jarang pulang ke rumah. Hubungannya dengan sang Kakak tidak lagi sebaik dulu.Ketika ingatan membaik, Iin menanyakan kenapa Farzan tidak berkunjung? Bran mengatakan adiknya sedang sibuk dengan pekerjaan, sehingga hanya bisa datang satu kali dalam sebulan. Selama berada di kediaman keluarga Harun, Farzan hanya berinteraksi sekedarnya dengan Arini.Hari ini akan menjadi hari yang bersejarah bagi Alyssa. Tepat satu bulan lalu, Alfatih datang melamar bersama dengan kedua orang tua. Pria itu menunaikan janji untuk menikahi Al empat tahun setelah hari pertama kunjungannya ke Menteng Dalam.Selama empat tahun nyaris tidak ada komunikasi secara langsung yang terjalin antara Alyssa dan Fatih. Keduanya hanya mendapatkan kabar melalui kedua kakak masing-masing. Mereka terkesan sedikit kuno, tapi begitulah Fatih yang memegan
BrandonSejak tadi pikiran Brandon tidak tenang. Dia menduga kemungkinan yang terjadi antara Arini dan Farzan dua tahun silam. Pria itu tidak bisa marah dengan Iin, karena penyakit yang dideritanya. Apalagi saat itu sang Istri juga pernah salah mengenali putranya sendiri.Selepas salat Isya, Brandon meminta Arini tidur terlebih dahulu. Dia memutuskan untuk menunggu Farzan datang. Hari ini adiknya pulang ke Menteng Dalam.Setelah lulus dari Zurich, Farzan memilih tinggal di apartemen yang dekat dengan tempatnya bekerja di daerah Cikarang. Pemuda itu baru bisa pulang ke Menteng Dalam setiap akhir minggu.Brandon menggoyang-goyangkan tangan di depan wajah Arini untuk memastikan apakah telah tidur atau belum? Perlahan-lahan, dia turun dari tempat tidur lalu bergerak ke luar kamar.Farzan pasti udah di rumah. Aku harus menanyakan langsung apa yang sebenarnya terjadi, batin Brandon tidak tenang.Langkah pria itu terus berlanjut menuju kamar adiknya yang berada di lantai dua. Bran melihat pi
AriniDua tahun kemudian“Ayo, Mi. Coba sambung lagi kata-katanya,” cetus Al menyemangati Arini.Gadis itu sedang bermain scrabble di ruang keluarga bersama dengan El dan Arini, sembari menunggu Brandon pulang kantor. Mereka sekarang menyusun kosa kata dalam bahasa Indonesia.Arini berpikir lama agar bisa membentuk satu kata yang pas dengan kepingan huruf yang sudah tersusun. Dia mengambil huruf C, kemudian huruf T. Setelah diletakkan huruf ketiga, Iin tersenyum puas.El dan Al saling berpandangan saat membaca huruf tersebut tertukar tempat sehingga tidak bisa dibaca dengan benar.“Huruf T ditaruh sebelah sini, Mi.” Al meletakkan huruf T di samping huruf N. “Nah ini masih kurang G.”Setelah dibenarkan posisinya, baru terbentuk satu kata ‘Canting’.Begitulah perkembangan penyakit Arini sekarang. Kemampuan menyusun kata dan kalimat mulai mengalami penurunan. Dia sering lupa dengan ejaan kata. Bukan hanya itu, terkadang Iin tidak bisa menyusun kalimat yang seharusnya.“Mami besok mau aku
AriniDua bulan kemudianSelama dua bulan ini Brandon dan kedua anak-anaknya lebih banyak meluangkan waktu bersama dengan Arini. Banyak hal yang dilakukan mereka ketika waktu senggang, salah satunya bermain Scrabble dan mengisi buku TTS. Sudah banyak buku TTS yang telah diisi Iin. Untungnya kegiatan tersebut bisa memperlambat menurunnya kemampuan berbahasa wanita itu.Rencana jalan-jalan ke Swiss terpaksa dibatalkan, karena kondisi kesehatan Arini. Bran khawatir jika istrinya pergi dan tersesat sendirian di negeri orang. Dia bisa saja mengendap-endap pergi tanpa sepetahuan Bran.“Abang Farzan kok lama banget ya, Mi? Bukannya udah sampai Jakarta siang ini?” celetuk Al melihat tak sabar ke arah jam dinding.Arini mengangkat bahu, lalu mengambil ponsel. Dia menghubungi adik kesayangannya.“Halo, Kakak Cantik.” Terdengar suara bariton Farzan dari ujung telepon.Wanita itu tergelak mendengar pujian yang selalu dilontarkan adiknya. “Kamu udah di mana, Dek? Ada yang dari tadi ngedumel terus
AlyssaPandangan netra hitam Alyssa bergerak menyapu taman belakang sekolah. Ada beberapa siswa duduk santai di sana sambil bercengkerama. Beberapa di antara mereka lesehan di atas rumput hijau yang bersih dan segar, sebagian lain duduk di kursi seperti dirinya dan Fatih sekarang.“Makasih udah mau ngobrol, Kak,” ucap Al memecah keheningan. Dia menoleh sekilas sambil mengulas senyum.“Pasti ada hal penting yang mau kamu bicarakan ya?” tebak Fatih to the point. Selama ini mereka hanya berkomunikasi jika ada hal penting yang ingin dibahas.Al mengangguk pelan, kemudian mengalihkan pandangan lurus ke depan. Dia berpikir beberapa detik sebelum mengutarakan maksudnya mengajak Fatih berbicara.“Mami dan Papi … mau ketemu sama, Kakak,” ungkap Al hati-hati.“Katanya mau ucapin terima kasih karena udah tolong aku waktu itu,” sambung Al cepat antisipasi jika Fatih salah paham.Pemuda itu tertawa pelan membuat kening Al berkerut.“Oke. Mau ketemu kapan?” sahutnya santai tanpa beban.Al semakin d
Brandon dan AriniArini sedang memandang suaminya yang masih tertidur lelap. Dia memeluk erat Brandon, lalu memberi kecupan di dada bidang itu.“Maaf udah ngerepotin kamu akhir-akhir ini, Bran. Aku mulai lupa banyak hal, tapi kamu yang sering ingetin,” bisik Arini mendongakkan kepala.Dia tersenyum ketika ingat Bran tidak pernah mengeluh dengan penyakitnya. Dua hari yang lalu Iin sempat lupa mematikan kompor ketika memasak di dapur. Alhasil sekarang Brandon melarang dirinya membuatkan makanan.“Aku ‘kan udah bilang akan jadi pengingat saat kamu lupa, Sayang,” gumam Bran dengan mata tertutup.“Kamu udah bangun ya?”Brandon mengangguk, lalu mengangkat tubuh ramping itu ke atas sehingga kepala mereka sejajar. Netra sayunya perlahan terbuka. Senyum lembut tergambar di parasnya.“Hari ini kita jalan-jalan yuk! Ajak anak-anak sekalian,” usul Brandon.“Mau jalan-jalan ke mana?”“Ke puncak? Anak-anak juga udah selesai ujian ‘kan?”“Udah. Tapi Al katanya mau ngomong sama kita.” Arini menarik n
BrandonEmpat pasang mata kini melihat Bran dengan saksama. Mereka menanti penjelasan dari pria itu. Sejak berada di rumah singgah tadi, Lisa, Sandy, El dan Al menahan diri untuk tidak bertanya apapun.“Bisa jelaskan apa yang terjadi, Bran?” pinta Lisa dengan tatapan menuntut.Sandy, El dan Al berbagi sorot mata yang sama dengan Lisa.Brandon menarik napas berat, kemudian mengangguk. “Nanti kita bicara. Sekarang mau ajak Iin tidur dulu.”“Janji ya, Pi,” harap Al.“Papi janji akan ke sini lagi setelah Mami tidur,” sahut Brandon kemudian beranjak dari ruang keluarga menuju kamar.Pria itu melihat Iin terduduk di pinggir kasur sambil menumpu kening dengan kedua tangan. Wanita itu sadar apa yang terjadi di rumah singgah tadi sore bisa menimbulkan kecurigaan anak-anak dan juga mertuanya.“Kenapa aku sampai kayak tadi, Bran? Harusnya nggak begitu, ‘kan?” sesal Iin menatap sendu.Raut wajahnya tampak kacau, karena tidak ingin ada yang tahu tentang penyakitnya.Brandon langsung memeluk istrin
Brandon dan AriniUltah pernikahanBeberapa jam menjelang pesta ulang tahun pernikahan Brandon dan Arini diadakan, seluruh keluarga Harun bersiap-siap berangkat ke tempat tujuan. Bran meminta Al, El dan Kakek Neneknya untuk berangkat terlebih dahulu ke Poris.“Kamu berangkat pake mobil sama Nenek Kakek. Motor tinggal di rumah aja,” ujar Brandon pagi tadi.Motor? Yup! Brandon akhirnya membelikan motor Honda CBR keluaran terbaru untuk El. Jangan ditanyakan lagi bagaimana bahagianya anak itu saat diajak pergi ke dealer motor dua hari yang lalu. Pemuda itu tak menyangka kalau Bran bisa berubah pikiran.“Mami kamu yang bujuk Papi agar belikan motor ini. Sebenarnya Papi ingin belikan waktu kembali dari Raja Ampat, tapi nggak jadi karena keduluan Kakek,” ungkap Bran saat mereka berada di dealer.Kembali lagi ke pagi tadi.“Ya udah. Nanti ada teman-teman El yang ikut juga, Pi. Sekalian katanya ngumpul di sini.”“Oke. Papi nanti minta supir antarkan. Perlu berapa mobil?”“Dua aja cukup, Pi. Ng