ARINI
“El, Farzan, udah selesai? Buruan kita mau berangkat,” teriak Arini sembari memasangkan kerudung instan di kepala Al, putrinya.
“Iya, Mami.”
“Sebentar, Kak,” sahut El dan Farzan nyaris bersamaan dari kamar masing-masing.
“Aku turun ke parkiran dulu taruh ini ke mobil ya, Sayang. Takut kamu lupa lagi,” ledek Brandon disambut delikan dari Arini. Sebuah kantong berisi Shiny Crust Brownies menggantung di tangan kanan.
“Bercanda. Masa gitu aja marah,” ujar Bran mengusap puncak kepala istrinya yang terbungkus rapi dengan kerudung segi empat berwarna peach.
“Barengan aja, Bran. Sebentar lagi El dan Farzan juga keluar dari kamar,” tanggap Arini merapikan kerudung yang menghiasi kepala Al.
Brandon hanya mengangguk setuju mendengar perkataan istrinya.
“Mami, kenapa Al harus pakai ini?” tanya Al memegang ujung kerudung dengan tangan mungilnya.
Arini tersenyum lembut sambil mengelus pipi chubby sang Putri. “Agar kamu selalu terlindungi, Princess. Sama kayak Mami.”
“Emang karung ini melindungi?”
Wanita itu tergelak mendengar pertanyaan Al. “Ini bukan karung, tapi kerudung.”
Brandon menatap lama Arini sambil tersenyum. Dia senang melihat bagaimana istrinya berinteraksi dengan kedua buah hati mereka dan Farzan. Wanita itu tampak begitu sabar menghadapi ketiga bocah itu.
“Papi kenapa lihatin Mami gitu?” celoteh Al sambil mengedipkan mata bingung.
“Mami kamu cantik banget ya, Al,” kata Brandon mengerling nakal ke arah Arini.
“Cantik banget, Papi,” balas Alyssa manggut-manggut menyunggingkan senyum, sehingga lesung pipi di kedua belah pipi terlihat.
Arini berdiri, lantas melihat Al dan Bran bergantian. “Kalian ini jago banget ngerayu ya?”
Baru saja Bran ingin menanggapi perkataan istrinya, Farzan dan El muncul di sela pintu kamar masing-masing. Mereka tinggal di sebuah apartemen yang besar, memiliki empat kamar yang bisa ditempati bersama kedua anak dan adik Brandon.
Mereka berlima langsung turun ke basemen parkir. Begitu tiba di sana, Brandon duduk di kursi kemudi. El dan Farzan duduk di belakang. Sementara Al minta dipangku oleh ibunya di kursi depan.
“Wah, kayaknya kita harus ganti mobil nih,” seru Brandon sebelum menyalakan mesin.
“Iya. Anak-anak udah tambah gede sekarang. Bagusnya ganti sama apa ya?” Arini menoleh ke arah suaminya.
“Lexus LM atau Mercedes Benz V-Class aja, Kak,” usul Farzan.
Brandon terkejut mendengar perkataan adiknya. “Kamu tahu dari mana seri mobil seperti itu?”
Farzan nyengir kuda sambil garuk-garuk kepala.
“Dia ‘kan hobi pantengin acara otomotif di TV, Sayang. Pasti sering googling juga tuh di internet,” komentar Arini.
Di rumah itu yang paling perhatian dengan anak-anak adalah Arini. Dia tahu makanan kesukaan, kebiasaan dan hobi mereka juga. Bukan berarti Brandon tidak perhatian, tapi kesibukan sebagai Komisaris Utama The Harun’s Group membuatnya tidak memiliki waktu yang cukup bersama dengan keluarga.
Berbeda dengan Arini, meski melakoni dua profesi sekaligus tapi masih memerhatikan perkembangan kedua anak dan juga adik iparnya. Dia memang cerdas dan disiplin sejak dulu, sehingga tidak heran jika bisa membagi waktu di sela kesibukannya sebagai CEO perusahaan katering dan ibu rumah tangga.
“Kamu ambil jurusan teknik aja nanti, Farzan. Teknik mesin. Mau nggak?” Arini melihat ke arah jok belakang.
“Masih lama, In. Belum SMA loh,” desis Bran sambil menginjak gas. Perlahan mobil meninggalkan area apartemen mewah tempat mereka tinggal.
“Harus direncanakan sekarang, Bran.”
“Aku ikut Kakak Cantik aja. Tapi maunya kuliah di luar negeri. Boleh nggak, Mas?” tanya Farzan hati-hati.
“Kamu mau kuliah di luar negeri? Mau di mana?” Bran mengerling ke arah kaca spion, lantas fokus lagi melihat jalan raya.
“Belum tahu. Aku masih belum searching kampus mana yang bagus untuk jurusan teknik mesin.”
“Nanti kita cari sama-sama di internet,” cetus Arini.
“Kalau Abang kuliah di luar negeri, El nanti main sama siapa?” Raut wajah El tampak sedih sekarang.
Farzan tersenyum kepada keponakannya, lalu mengusap lembut rambut hitam tebal El. “Nanti kalau udah besar, kamu pasti punya banyak teman. Abang bakal balik lagi kok ke sini.”
“Janji ya?”
Farzan menganggukkan kepala. “Abang janji, Dek.”
Sejak kecil Farzan tidak mau dipanggil Om oleh dua keponakannya. Dia ingin dipanggil Abang, karena jarak usia hanya enam tahun dengan El.
“Oke, kamu kasih tahu Mas aja mau kuliah di mana kalau udah ketemu kampus yang cocok. Biar Mas yang urus nanti.”
“Beneran, Mas?” Mata kecil Farzan melebar.
Brandon mengangguk mantap dengan pandangan lurus ke depan.
Arini tersenyum melihat ke tempat Farzan duduk sambil mengedipkan mata. “Nanti kita cari yang bagus kampusnya.”
Mobil terus melaju menuju lapas khusus wanita di daerah Jakarta. Sepuluh menit kemudian, kendaraan roda empat tersebut berhenti di depan pintu gerbang.
“Kalau udah selesai telepon aja ya. Aku mau ajak anak-anak jalan-jalan dulu,” ujar Brandon sebelum Arini turun.
Wanita itu menganggukkan kepala, lantas memberi kecupan singkat di bibir Bran. Setelahnya Arini dan Farzan turun dari mobil.
“Brownies buat Mommy udah dibawa ‘kan, Farzan?”
“Udah, Kak.” Wajah Farzan tampah lesu ketika melangkah menuju gerbang.
Langkah Arini berhenti begitu memasuki pekarangan lapas, setelah pemeriksaan pertama. Dia menarik napas panjang sambil memandangi Farzan lekat.
“Kakak tahu gimana perasaan kamu sekarang, Dek. Sekali ini aja coba tersenyum bertemu beliau di dalam. Sebentar lagi Mommy kamu akan bebas, dia pasti butuh dukungan moral dari anaknya.”
Mata hitam Farzan tampak berkaca-kaca. “Kakak nggak minta aku tinggal sama Mommy, ‘kan?”
“Tentu nggak, Sayang. Kakak udah janji dari awal mau membesarkan kamu. Maksud Kakak, Mommy kamu nggak punya siapa-siapa lagi sekarang. Hanya kamu yang dimilikinya. Kamu harus berbakti, meski nggak tinggal dengan beliau. Paling nggak kalian bisa berkomunikasi dengan baik setelah Mommy bebas nanti,” jelas Arini mengusap lembut rambut hitam Farzan.
Anak itu menganggukkan kepala dengan tersenyum samar. “Aku nggak mau tinggal sama Mommy. Maunya tetap tinggal dengan Mas dan Kakak Cantik.”
“Pasti, Dek. Peluk dulu sini,” risik Arini menarik Farzan ke dalam pelukan.
Dia sangat memahami bagaimana perasaan Farzan. Sejak dulu, anak itu tidak terlalu dekat dengan Ibu kandungnya. Farzan malah lebih dekat dan sayang kepada Lisa, meski memiliki predikat sebagai ibu tiri.
Saat sang Ibu masuk penjara karena skandal penggelapan dana perusahaan, Farzan masih berusia enam tahun. Selama masa tahanan, baru dua kali anak itu datang berkunjung. Begitu tahu apa yang telah diperbuat oleh wanita itu, dia memilih untuk tidak lagi datang menemuinya.
Setelah bertahun-tahun membujuk Farzan, akhirnya Arini berhasil membawanya datang ke sini lagi. Surga berada di bawah telapak kaki ibu, itulah yang sering dikatakannya kepada Farzan.
“Nanti di dalam kasih senyum buat Mommy ya. Udah lama banget loh kamu nggak ke sini. Mommy pasti bangga lihat kamu udah gede sekarang,” hiburnya agar Farzan menarik bibir tersenyum.
Farzan selalu patuh dengan Arini. Dia lebih mendengarkan perkataan kakak iparnya daripada Bran. Sejak kecil, anak itu sudah menyukai Arini bahkan sejak pertama kali mereka berjumpa.
“Adik Kakak pintar banget. Kita masuk sekarang ya,” ajak Arini sambil menarik tangan Farzan.
Keduanya kembali menjalani pemeriksaan yang ketat, sebelum bertemu dengan tahanan. Mengunjungi saudara di Lembaga Pemasyarakatan tidaklah mudah, harus melalui beberapa prosedur administrasi terlebih dahulu, hingga pemeriksaan ketat. Setelah melewati semuanya, mereka baru diperbolehkan masuk ke ruang besuk tahanan.
Tiba di dalam ruang besuk, Farzan menggenggam erat tangan Arini karena sebentar lagi akan berjumpa dengan Ibu yang telah melahirkannya. Tampak raut tegang di wajah anak itu.
Arini juga bisa merasakan tangan Farzan yang dingin. Dia tersenyum lembut kepadanya, kemudian mengangguk.
Tak lama seorang perempuan muncul di balik kaca pembatas berukuran tebal. Hanya ada beberapa lubang kecil membentuk lingkaran, agar tahanan bisa berkomunikasi dengan pengunjung. Perempuan yang hanya berusia satu tahun di atas Arini itu, kini memandangi Farzan dengan mata berkaca-kaca.
“Farzan?” lirihnya sembari memegang kaca pembatas.
Anak laki-laki itu hanya tersenyum tipis. Perasaannya mulai berkecamuk melihat kondisi sang Ibu yang cukup memprihatinkan. Dalam ingatannya, Ayu adalah wanita yang cantik dan modis. Make up selalu menghiasi wajah tirusnya.
Keadaan sekarang berubah, dia tak lagi seperti dulu. Kulit yang dulu kenyal, kini mulai kering dan menunjukkan tanda-tanda penuaan. Dalam waktu lima tahun, Ayu berubah menjadi sosok berbeda. Tak lagi sama dengan yang dijumpai terakhir kali.
Arini juga menyaksikan hal itu. Dia tak menyangka perubahan fisik Ayu tampak begitu drastis dari sebelumnya. Tidak ada lagi rambut hitam tebal yang tergerai indah, kini rambut itu mulai menipis. Rambut putih juga tumbuh beberapa di helaiannya.
Ya ampun, kasihan juga lihat tampang Ayu sekarang. Nggak nyangka, gumam hati Arini.
Arini hanya melihat sendu interaksi ibu dan anak yang tidak berjalan dengan semestinya. Apalagi Farzan tidak terlalu menanggapi perkataan Ayu. Tampak jelas ketidaknyamanan dari paras anak itu.
“Pulang sekarang, Kak?” tanya Farzan setelah keadaan hening.
Iin mengerling ke arah Ayu yang sedang menggelengkan kepala. Dia bisa melihat sorot rindu di mata wanita itu kepada Farzan.
“Aku tunggu di luar ya,” kata Farzan sebelum meninggalkan Arini dan Ayu berdua di ruang besuk.
Wanita itu hanya bisa menarik napas singkat melihat Farzan menghilang di balik pintu. Dia menoleh kepada Ayu yang tersenyum kecut kepadanya.
“Makasih udah rawat Farzan dengan baik ya, Rin,” ucap Ayu menatap sendu Arini.
“Sama-sama, Mbak.”
Ayu memandangi Arini lama sebelum berujar, “Bulan depan aku udah bebas. Bisa minta tolong nggak, Rin?”
Kening Arini berkerut mendengar pekataan Ayu. “Minta tolong apa, Mbak?”
“Tolong carikan aku tempat tinggal. Nggak tahu lagi harus pergi ke mana setelah bebas. Kamu tahu sendiri gimana kondisi aku sekarang, ‘kan?”
Terdengar embusan napas berat dari sela hidung Arini. Dia tidak bisa memutuskan ini sendiri, karena harus berdiskusi dengan Brandon terlebih dahulu. Bagaimanapun, Ayu pernah menyebabkan retaknya rumah tangga ayah dan ibu mertuanya.
“Nanti aku diskusikan dengan Brandon dulu, Mbak,” ujar Iin kemudian.
“Makasih, Rin,” ucap Ayu tersenyum tipis.
“Mas Sandy apa kabar sekarang?” tanya wanita itu lagi.
“Papa baik-baik aja, Mbak. Alhamdulillah.”
“Bisa bujuk Mas Sandy buat jemput aku bulan depan, Rin?” pinta Ayu lagi.
Mata Arini membulat mendengar permintaan Ayu. Sumpah demi apapun, dia tidak akan membiarkan wanita ini merusak rumah tangga mertuanya yang kembali harmonis lagi lima tahun belakangan. Iin menggeleng dengan tegas sebagai jawaban, tanpa menanggapi dengan perkataan.
“Maaf, Mbak. Aku harus pamit sekarang. Farzan udah nunggu di luar,” cetusnya lantas berdiri.
Tanpa menoleh kepada Ayu, Arini melangkah menuju pintu keluar.
“Percuma kamu menghindar, Arini. Aku akan bujuk Mas Sandy agar mau menerimaku lagi,” teriak Ayu dari bilik besuk.
Genggaman Iin mengerat di tali sling bag yang menggantung di bahu kiri. Matanya terpejam erat.
“Coba aja kalau lo bisa. Gue dan Bran nggak akan biarkan hal itu terjadi,” bisiknya pelan sambil tersenyum di sudut bibir.
Bersambung....
Arini dan BrandonMobil sedan keluaran BMW terbaru berwarna biru memasuki pekarangan keluarga Harun di kawasan Menteng Dalam. Sebuah rumah mewah yang berukuran besar, tapi sayang hanya dihuni oleh kedua orang tua Brandon.Kening Iin berkerut mematut sebuah mobil yang tak pernah terlihat di rumah itu sebelumnya.“Mobil siapa ya?” desisnya.Bran mengangkat bahu. “Nggak tahu. Baru nongol juga tuh.”Begitu mobil berhenti dengan sempurna, Brandon keluar terlebih dahulu. Dia bergegas menuju pintu tempat Arini duduk. El dan Farzan terlebih dahulu memasuki rumah.Bran mengambil Al yang sedang terlelap di pangkuan Iin. Setelahnya mereka menyusul ke dalam rumah.“Ngeeeeng. Arini!!” teriak suara yang sangat akrab di telinga Arini dan Brandon. Begitu nyaring dan lengking.Seorang wanita berambut pendek mengenakan gaun lengan pendek dengan panjang selutut sedang membentangkan tangan.“Gadis!”“Kak Gadis!” seru Bran dan Iin bersamaan sambil menatap tak percaya sosok yang berdiri di hadapannya.Gadi
Arini dan BrandonKetika ingin menjawab pertanyaan Lisa, Sandy tiba-tiba muncul dari ruang keluarga. Dia duduk di samping istri tercinta, berhadapan dengan Brandon dan Arini.“Papa mau bicara sesuatu dengan kalian,” cetusnya melihat Bran dan Iin bergantian.Suami istri itu mengangguk serentak, lantas memilih fokus dengan apa yang dikatakan oleh Sandy.“Dulu, niat Papa membangun rumah sebesar ini agar bisa berkumpul dengan anak dan cucu.” Sandy kembali melihat anak dan menantunya. “Rumah ini terlalu besar untuk kami tinggali berdua. Terasa sepi juga tidak ada canda dan tawa anak-anak. Apa kalian mau pindah ke sini?”Rupanya Sandy mengutarakan hal yang sama dengan Lisa. Di usia yang tak lagi muda, kakek dan nenek itu merasa kesepian di sana, sehingga ingin menghabiskan hari tua bersama anak dan cucu.Arini dan Bran kembali saling berpandangan.“Aku akan diskusikan hal ini dulu dengan Iin, Pa. Tadi Mama juga udah bilang begitu,” tanggap Brandon.Sandy dan Lisa sama-sama mengangguk paham.
Arini dan BrandonDua bulan kemudianSepasang mata cokelat lebar mulai mengerjap. Tangan terangkat ke atas seiringan dengan kaki yang meregang menghalau pegal karena posisi tidur yang kurang pas. Senyuman terbit di wajah ketika melihat sang Suami masih tertidur pulas di samping.“Gaya tidurnya dari dulu nggak pernah berubah,” gumam Arini dengan wajah masih dihiasi senyuman.Sebuah kecupan diberikan di bibir Bran. Sesaat kemudian, Iin meraih ponsel dari atas nakas melihat jam.“Udah waktunya masak,” desisnya ketika melihat waktu menunjukkan pukul 03.00.Hari ini adalah hari pertama berpuasa. Ramadan pertama juga bagi Al puasa, sementara kali kedua bagi El.Ketika ingin beranjak dari tempat tidur, tiba-tiba sepasang tangan telah mendekapnya erat. Senyuman kembali menghiasi wajah cantik Arini.“Kamu udah bangun?”Bran menganggukkan kepala di atas bahu kanan istrinya. “Waktu kamu cium bibirku tadi.”“Aku masak buat sahut dulu ya. Kamu tidur lagi aja, nanti aku bangunin kalau udah selesai
ElfarehzaDelapan tahun kemudianEl tampak berdiri di depan cermin memastikan pakaian telah terpasang dengan rapi sebelum berangkat ke sekolah. Rambut hitam tebal tersisir rapi dengan belah pinggir. Dasi berwarna abu-abu menggantung di bagian tengah bawah leher. Sebuah senyuman terbit di wajah setelah menyeka pinggir rambut yang lebih pendek.“Sarapan dulu, El.” Terdengar suara lembut sang Ibu memanggil dari luar kamar.“Ya, Mi. Sebentar lagi aku turun,” sahutnya bergegas mengambil tas ransel berwarna biru dongker dari meja belajar.Dengan ringan kaki panjang El melangkah menuruni anak tangga menuju lantai dasar kediaman keluarga Harun.Selama delapan tahun terakhir, Brandon beserta anak dan istri tinggal di kediaman keluarganya. Rumah yang tadi sepi menjadi ramai dengan kehadiran kedua cucu keluarga Harun dan juga Farzan.Ah, mengenai Farzan. Anak itu kini tumbuh menjadi pemuda yang tampan, tidak kalah dari Brandon sewaktu muda. Sekarang Farzan menempuh pendidikan S1 Teknik Mesin (Me
ElfarehzaNetra cokelat El melihat Arini dan Brandon bergantian ketika sedang duduk di meja makan. Bibirnya sedikit terbuka seperti ingin mengatakan sesuatu, tapi kembali tertutup. Dia memilih menandaskan sarapan terlebih dahulu, sebelum berbicara dengan kedua orang tuanya.“Papi.” El bersuara ketika melihat Bran menyeka sudut bibir dengan serbet.“Kenapa, El?” Brandon mengalihkan pandangan kepada putranya.“Belikan motor dong, Pi. Masa aku ke sekolah dianterin supir terus?” desisnya takut.Bran mendesah pelan lantas meletakkan serbet di atas meja. Mata sayunya menatap lekat El.“Kamu masih belum cukup umur untuk dibelikan motor, El.”“Teman-temanku semua pakai kendaraan sendiri ke sekolah. Cuma aku aja yang masih dianterin supir. Belikan ya, Pi,” pinta El dengan sorot memelas.Brandon menggeleng tegas. “Papi udah bilang sebelumnya, ‘kan? Kamu dibelikan kendaraan setelah cukup umur.”“Tapi, Pi—”“Nggak ada tapi, El! Sekali Papi bilang A ya harus A, nggak bisa ditawar lagi! Mengerti?”
Elfarehza“Woi, ngapain lo duduk di sini?” tegur Hariz sambil menepuk kedua pundak El.“Eh, lo Riz,” sahut El menoleh ke belakang.Hariz langsung duduk di samping El. Mereka berdua sekarang berada di area atap sekolah, salah satu tempat para favorit siswa menghabiskan waktu di luar jam pelajaran.Kebiasaan El hampir sama dengan kedua orang tuanya ketika masih bersekolah dulu. Memilih duduk di puncak tertinggi gedung saat tidak ada jam pelajaran. Tempat ini juga menjadi saksi kebersamaan Arini dan Brandon ketika masih menjalin persahabatan.“Ngapain bengong di sini, entar kesambet loh,” ledek Hariz.“Lagi kesal aja,” ujar El dengan kedua tangan memegang pinggir bangku besi di samping tubuh.“Kesal kenapa?”El menarik napas pelan, lantas mendongakkan kepala ke atas sehingga netra cokelatnya bisa melihat langit yang diselimuti awan kelabu.“Gue udah coba lagi minta dibelikan motor sama Bokap, tapi nggak berhasil,” ungkap El lesu.“Sabar, Bro. Berarti lo memang ditakdirkan ke sekolah dian
Elfarehza dan AlyssaEl termenung menunggu Al di depan gedung. Dia berharap bisa bertemu lagi dengan gadis yang mampu mencuri perhatiannya. Selama ini El tidak pernah dekat dengan siswi manapun, berbeda dengan Brandon dulu saat seusianya.“Lama banget sih, Dek,” keluh El begitu melihat Al keluar dari pintu gedung.“Tadi aku … ngobrol sama teman dulu,” sahut Al.Mereka berdua sekarang melangkah menuju gerbang. Mobil pasti sudah standby di sana.“Eh, sebentar,” tahan El menarik tangan adiknya.Kening Al berkerut bingung. “Ada yang ketinggalan?”Senyuman terbit di bibir El. “Jadi namanya Syifa ya?”Al memutar bola mata malas. “Aku udah jawab dari tadi, Bang. Namanya As-syifa Syauqiyyah, satu kelas sama aku.”“Kamu dekat nggak sama dia?”Gadis itu menyenggol lengan El sambil mengerling usil. “Abang suka ya sama dia? Aku bilangin Papi loh.”El panik seketika, lantas memegang tangan Al. “Jangan bilang Papi dong, Dek. Nggak seru nih kamu.”“Bercanda kok, Bang. Habis dari tadi kepo mulu. Tany
Arini dan BrandonArini duduk di ruang tamu menunggu Brandon pulang. Dia sudah rapi mengenakan dress panjang dengan lengan hingga siku. Rambut hitam panjang dibiarkan tergerai hingga pinggang. Iin selalu berpenampilan seperti itu ketika berada di dalam rumah, berbeda jauh ketika bepergian. Wanita itu ingin selalu tampak cantik di depan suaminya.“Cie … yang lagi nungguin Papi datang,” goda Al ketika berada di anak tangga paling bawah.Iin tersipu malu mendengar perkataan putrinya.“Kayak lagi nungguin pacar deh, Mi.” Al melangkah mendekati ibunya, lantas duduk di samping kanan Arini.Mata cokelat lebar Iin menyipit. “Kamu jangan-jangan sama kayak El ya? Lagi ada yang disukai?”“Ih, enggak lah ya. Ngeri kalau ketahuan Papi. Bisa ngamuk entar,” sahut Al bergidik.Iin tergelak pelan.“Mami nggak pernah bosan ya ketemu sama Papi terus? Sejak SMA selalu barengan loh,” tanya Al tanpa bisa menutupi rasa penasaran.“Hmmm … Gimana ya?” Arini pura-pura berpikir sambil menepuk dagu dengan ujung
Brandon dan AriniBrandon menyandarkan punggung di kursi mobil sambil sesekali mengurut pelipis. Akhir minggu dia harus pergi lagi ke Poris memastikan persiapan ulang tahun pernikahannya sudah mencapai 100%, sekaligus mengurus beberapa dokumen rumah singgah. Pria itu memberikan alasan ingin melihat-lihat rumah yang akan mereka tinggali nanti. Bersyukur Arini tidak pergi hari ini, katanya ingin istirahat di rumah dulu.Nggak sabar pengin tahu reaksi Iin nanti, bisik Brandon dalam hati sembari tersenyum.Rumah singgah itu didirikan sebagai pembuktian cintanya kepada Arini. Dia hanya ingin melihat sang Istri bisa berbahagia dikelilingi anak-anak, meski tidak lahir dari rahimnya.Perlahan mobil memasuki pekarangan rumah keluarga Harun. Tak lama kemudian, Bran melangkah memasuki rumah setelah turun dari kendaraan.“Gimana, Sayang?” tanya Arini begitu Brandon berada di ruang keluarga.Di sana ada Alyssa. Gadis itu duduk di samping Arini sembari menonton.“Masih lihat-lihat sih, In. Belum ne
ElfarehzaEl bersandar lesu di dinding kamar. Sulit untuk bersikap seperti tidak terjadi apa-apa di hadapan Bran. Ingin sekali menanyakan langsung kepada pria itu, tapi diurungkan. Khawatir jika Arini mendengarkan pembicaraan mereka. Apalagi dia berpikir ayahnya tidak akan mau mengatakan yang sejujurnya.Pemuda itu memukul dinding dilapisi wallpaper bermotif kotak campuran warna putih dan abu-abu. Hanya itu satu-satunya cara agar El bisa melepaskan kekesalan yang terasa. Pandangannya beralih ke arah ponsel yang tergeletak di atas kasur. Saat ini ia butuh seseorang untuk berbicara, selain Al.El membuka aplikasi whatsapp dan mencari nama orang yang bisa diajak berbicara. Pencarian berakhir ketika menemukan nama Syifa di daftar kontak. Barangkali gadis itu bisa mendengarkan keluh kesahnya. Hanya dia yang bisa dipercaya. Tidak mungkin bercerita kepada Hariz, karena hari libur sering jalan-jalan dengan keluarganya.Me: Assalamualaikum. Kamu lagi sibuk nggak, Syifa?Pesan berhasil dikirim
AriniSetelah salat Subuh, Arini pergi ke kamar El. Seperti janji dengan Brandon, ia akan mencoba bicara dengan kedua buah hatinya. Wanita itu penasaran hal apa yang membuat mereka berubah menjadi dingin kepada Brandon?“El?” panggilnya dari luar kamar setelah mengetuk pintu.“Ya, Mi?” sahut El dari dalam kamar.Tak lama kemudian pintu kamar terbuka. Senyum hangat tergambar dari wajah tampan Elfarehza.“Mami pagi ini cantik banget,” puji El memandangi ibunya.Arini berdecak lalu menyipitkan mata. “Kamu persis kayak Papi. Pintar banget ngerayu Mami.”Tarikan lebar bibir El berangsur menyusut. Dia melangkah lesu ke dalam kamar, lalu duduk di pinggir tempat tidur.Iin juga masuk ke kamar dan duduk di samping putranya. Dia mengusap lembut puncak kepala El sembari menatapnya lekat.“Kamu masih marah ya sama Papi?”Pemuda itu menundukkan kepala dengan pandangan tertuju ke lantai keramik berwarna putih gading.“Nggak boleh gitu, Sayang. Papi larang pakai motor ‘kan demi kebaikan kamu. Papi j
ElfahrezaDesahan pelan keluar dari sela bibir El saat duduk di bangku atap gedung sekolah. Mata cokelatnya menatap nanar langit kota Jakarta Pusat yang cukup cerah menjelang siang. Warna biru langit hanya ditutupi sedikit awan putih.Dia tidak habis pikir dengan apa yang telah dilakukan Brandon. Jika terbukti pria itu mengkhianati Arini, El tidak akan pernah memaafkannya.Pandangan pemuda itu beralih ke samping belakang ketika mendengar pintu terbuka. Tampak seorang siswi berkerudung nan imut dan berparas cantik memasuki area atap.“Maaf, Kak. Aku pikir tadi nggak ada orang,” ucap gadis itu.Senyuman mengambang di wajah tampan El. “Nggak pa-pa. Kalau mau duduk di sini silakan, Syifa. Sekalian ngobrol.”Syifa berdiri di sela pintu. Tampak ragu di irasnya.El mengerling ke arah bangku satu lagi agar bisa ditempati Syifa.Gadis itu masih bergeming dengan tilikan mata tidak beranjak dari El. Ada yang tidak biasa di paras pemuda itu. Dia bisa menangkap raut kalut di wajahnya. Setelah mena
Arini dan BrandonBrandon masih memikirkan perubahan sikap kedua buah hatinya tadi sore. Dia tahu El dan Al awalnya duduk bersama Arini di ruang tamu, tapi segera pergi setelah dirinya tiba. Pria itu bisa memahami jika El bersikap seperti itu, tapi kenapa Alyssa juga ikut-ikutan? Biasanya gadis itu lebih manja dengan Bran dibandingkan Iin.Saat makan malam mereka juga tidak banyak berbicara. Pertanyaan Brandon hanya ditanggapi dengan gumaman dan anggukan kepala dari keduanya. Hal ini membuat Bran tidak bisa menahan diri lagi untuk bertanya kepada istrinya.“In,” panggil Brandon saat melihat Arini mengenakan perawatan kulit khusus malam hari.Arini menoleh ke arahnya dengan tatapan bingung, lalu meletakkan botol krim malam yang dipegang. “Kenapa, Sayang?”Brandon berdiri, lantas melangkah mendekati Arini yang duduk di meja rias. Dia memeluk istrinya dari belakang.“Gimana anak-anak hari ini?” tanya Bran sambil mengusap lengan Arini.“Baik. Cuma kayaknya sedih aja sih karena harus pinda
BrandonBeberapa jam yang laluMata sayu Bran beralih melihat ke arah jam dinding yang ada di ruang kerja. Dia mengambil beberapa berkas, lalu memasukkannya ke dalam tas. Sebelum melangkah ke luar ruangan, pria itu menerima sebuah pesan dari seseorang melalui aplikasi whatsapp.Dia tersenyum melihat foto yang tampil di layar ponsel. Di foto itu tampak sepuluh anak-anak dengan usia sekitar tiga hingga sepuluh tahun berdiri dengan rapi. Ada juga lima orang mendampingi, dua orang berusia paruh baya sementara tiga lagi masih muda. Beberapa di antara mereka sedang menggendong bayi berusia lima bulan hingga satu tahun.“Nggak sabar menunggu saatnya tiba,” gumam Bran melangkah menuju pintu.Tiba di luar ruangan, dia melihat Pak Habib telah standby dengan sebuah tablet pipih di tangan.“Berangkat sekarang, Pak,” ujar Brandon memberi kode agar Pak Habib ikut dengannya.Pria berusia enam puluh tahunan itu berjalan di belakang bosnya dengan tenang. Hari ini keduanya berencana memantau proyek yan
AriniSenyuman mengambang di wajah cantik milik Iin saat melihat El dan Al duduk di ruang tamu. Kedua remaja itu langsung berlari menghampirinya. Tanpa basa-basi mereka memeluk erat sang Ibu.Seperti biasa Arini memberi kecupan di kening keduanya bergantian.“Tumben tungguin Mami pulang di sini?” tanya Arini bingung.“Kangen sama Mami,” jawab Al bergelayut manja di lengan Iin.“Sama, kangen pelukan Mami,” imbuh El tak kalah manja.Arini duduk di sofa melepas penat setelah bekerja seharian di kantor.Tahu Ibunya kelelahan, El dan Al langsung memberi pijatan di pundak hingga lengan Iin tanpa diberi komando. Wanita berusia pertengahan empat puluh itu kembali mengulas senyum lembut keibuan. Dia mengamati kedua buah hatinya lekat satu per satu.“Papi kok nggak pulang sama Mami?” selidik Al setelah hening beberapa menit.“Papi lagi ke luar kota dari tadi pagi. Ngecek proyek di Tangerang,” sahut Iin menyandarkan punggung di sofa sembari menikmati pijatan yang diberikan El dan Al.“Emang lagi
ElfarehzaAlyssa tersenyum lembut sambil menepuk pelan pundak kakaknya. Dia tahu saat ini El masih kesal, karena Brandon kembali menjual motor yang dibelikan oleh Sandy sepuluh hari yang lalu. Apalagi dalam minggu depan mereka akan pindah rumah. Arini terpaksa menyetujui keinginan Bran untuk tinggal terpisah dari kedua orang tuanya.“Mau sampai kapan Abang diemin Papi?” tanya Al ketika mereka sedang dalam perjalanan menuju sekolah.Pemuda itu mengangkat bahu sambil mendesah pelan.“Udah dua hari loh, Bang. Lebih dari tiga hari udah dosa, apalagi sama orang tua sendiri,” tanggap Al berusaha menasihati kakaknya.“Kamu nggak ngerti sih perasaan Abang sekarang.”“Siapa bilang nggak ngerti? Aku tahu kok, ‘kan ikut menikmati juga kalau Abang punya motor.”El menatap malas adiknya, kemudian melengos ke sisi kiri jalan.“Aku ketemu sama Tante Moza waktu ke mall hari Minggu kemarin,” ungkap Al membuat El kembali melihat ke arahnya.“Oya? Kok nggak cerita sih?” protes El menyipitkan mata. “Udah
Arini dan BrandonSesosok tubuh tampak menggeliat di balik selimut. Dia meregangkan tangan ke atas sambil sesekali menguap. Perjalanan panjang dari ujung timur Indonesia menuju Jakarta membuat tubuh terasa pegal.“Good morning, My Angel,” sapa Bran ketika merasakan gerakan tempat tidur.Dia beringsut mendekat istrinya, lantas memberi pelukan erat.“Kamu udah bangun?” gumam Iin dengan suara serak khas bangun tidur.“Baru aja bangun. Kalau masih capek tidur lagi aja.”Arini mengalihkan pandangan ke sisi kanan dinding kamar. “Udah jam 04.00, Sayang. Sebentar lagi subuh.”“30 menit lagi, In. Kamu masih bisa tidur.”Iin memutar balik tubuh, lalu memeluk suaminya erat. Dia menenggelamkan kepala di dada bidang Bran yang terbungkus baju kaus putih polos. Penggalan kejadian memalukan ketika berada di daerah Misool kembali berputar di pikiran.Hingga detik ini, Arini belum menceritakannya kepada Brandon. Dia memilih untuk merahasiakan hal ini, karena tidak ingin membuat pria itu khawatir.“Udah