Arini dan Brandon
“Good night, Prince,” ucap seorang wanita kepada bocah laki-laki berusia tujuh tahun.
Dia memberi kecupan singkat di kening dan kedua belah pipinya. Setelah memberi pelukan sebentar, wanita itu beranjak dari tempat tidur, kemudian mengganti penerangan dengan lampu tidur. Begitu keluar dari kamar, ia beranjak ke kamar satunya lagi menemui bocah perempuan berusia kurang dari enam tahun.
Wanita itu tersenyum memperlihatkan lesung pipi yang menghiasi kedua pipi. Dia memberi kecupan kepada putrinya yang sedang tidur lelap.
“Good night, Princess,” bisiknya pelan sambil menaikkan selimut yang sedikit turun.
Arini beranjak ke kamar yang lain. Tampak seorang anak berusia dua belas tahun tersenyum menyambut kehadirannya.
“Farzan belum tidur?” tanya Arini lembut.
Anak bernama Farzan menggelengkan kepala. “Tunggu Kakak datang dulu.”
Wanita itu menggelengkan kepala sambil berdecak. “Selalu tunggu Kakak datang dulu baru mau tidur.”
“Iya dong. Nggak bisa tidur kalau belum lihat Kakak,” godanya tersenyum manis.
Jadi ingat Brandon dulu deh, bisik Arini dalam hati sambil tersenyum.
“Ya udah. Habis ini kamu tidur ya.” Arini memberi kecupan di kening Farzan, adik tiri suaminya. “Besok jadi ketemu Mommy, ‘kan?”
Farzan mengangguk lesu. Raut wajahnya langsung berubah sendu.
“Sebenarnya malas ketemu Mommy, tapi mau gimana lagi? Aku nggak mau disebut anak durhaka,” sahut Farzan bergidik.
Arini tersenyum sambil mengusap kepala Farzan. “Anak pintar. Gimanapun, dia adalah Ibu kamu. Dia yang melahirkan kamu, jadi harus tetap berbakti ya, Dek.”
Anak itu hanya tersenyum samar, lalu merebahkan tubuh di tempat tidur.
“Mas tadi udah ke sini?”
“Udah, sebelum adik-adik tidur.”
“Sekarang kamu tidur ya. Sudah malam, biar salat Subuh nggak kesiangan. Mau jamaah di masjid sama Mas dan El besok, ‘kan?”
Farzan kembali menganggukkan kepala. “Good night, Kakak Cantik,” ujarnya sambil melambaikan tangan.
Arini membalas lambaian tangan Farzan sebelum mengganti penerangan dengan lampu tidur. Dia langsung beranjak menuju kamar utama, karena sang Suami telah menanti kedatangannya di sana.
“Kenapa kamu senyam-senyum kayak gitu?” selidik Arini melihat suaminya ketika baru saja mencapai bibir kamar.
Pria itu tersenyum manis saat melihat istrinya muncul di sela pintu.
“Lagi nunggu bidadari datang,” balas Brandon sambil mengulurkan tangan.
Arini menutup pintu kamar kemudian bergegas mendekat tempat tidur. Dia menyambut uluran tangan sang Suami.
“Kangen ya?” bisiknya sambil mengedipkan mata.
Brandon segera menariknya sehingga terduduk di atas paha. “Iya nih, baru ditinggal beberapa menit aja udah kangen kayak gini, In.”
Iin adalah nama panggilan yang diberikan oleh Brandon, sejak mereka berdua duduk di bangku SMA dua puluh tahun yang lalu. Ya, Arini dan Brandon telah menjalin persahabatan selama dua belas tahun, sebelum menikah. Takdir seakan menyatukan mereka kembali, setelah berpisah selama dua tahun. Sekarang mereka telah dikaruniai seorang putra dan seorang putri yang lucu.
Arini melingkarkan kedua tangan di pundak Bran sembari memandang netra sayu itu bergantian. Dia mencolek ujung hidung mancung milik suaminya lembut.
“Kamu dari dulu gombalnya nggak hilang-hilang deh.”
“Eh, itu bukan gombal, Sayang. Dalam agama ‘kan jelas ada anjuran untuk selalu berkata mesra kepada istri. Tujuannya agar rumah tangga kita tetap sakinah mawaddah warahmah,” papar Brandon memberi kecupan singkat di bibir Arini.
Delapan tahun pernikahan, tak mampu membuat cinta untuk Arini surut di hati lelaki itu. Tidak ada juga kata bosan yang terlintas di pikirannya, meski telah mengenal Iin hampir setengah dari usianya saat ini.
“Bran,” panggil Arini sambil mengusap cambang tipis yang menghiasi pinggir wajah Brandon.
“Ya, Sayang?”
“Tambah anak lagi yuk! Masa cuma dua aja?” bujuk Arini sambil mengedip manja.
Brandon menggeleng tegas. “Dua anak cukup, In. Udah ya. Percuma kamu bujuk juga, aku tetap nggak mau.”
“Satu lagi aja, Bran. Mau ya?”
“Nggak, Sayang. Aku nggak kuat lihat kamu kesakitan kayak gitu waktu lahiran,” tutur Brandon kekeh dengan pendiriannya. “Kita udah sepakat sebelumnya, In. Jangan lupa.”
“Tapi aku pengin lihat apartemen ini ramai sama suara anak-anak.”
Desahan pelan keluar dari bibir Brandon ketika mendengar alasan sama seperti yang pernah diutarakan sang Istri sebelumnya. Entah kali ke berapa Arini mencoba membujuknya, agar setuju dengan usulan untuk menambah seorang anak lagi.
Brandon membelai lembut samping kepala istrinya. “Kamu ingin apartemen ini ramai dengan suara anak-anak?”
Wanita itu mengangguk cepat.
“Berikan aku waktu dulu untuk mewujudkannya. Suatu saat, kamu akan mendengarkan suara mereka di flat ini.”
“Keburu El dan Al gede dong?” tanggap Arini lesu.
“Ya nggak apa-apa ‘kan?”
Tiba-tiba Arini menyeringai nakal ketika tangannya mulai bergerak ke mana-mana. Dia juga mengubah posisi menghadap Brandon. Setiap kali mereka membahas hal ini, selalu berakhir dengan penyatuan yang memberi sensasi berbeda dari sebelumnya.
“Kamu semakin berumur jadi semakin nggak terkalahkan, In,” bisik Bran di sela napas yang terengah.
“Harus dong. Biar kamu nggak berpikiran cari wanita lain.” Arini memeluk suaminya erat.
“Eh, siapa yang mau cari yang lain? Satu aja udah kewalahan kayak gini.”
“Ya kali aja.”
“Aku ini sudah tiga puluh empat tahun loh sekarang, nggak muda lagi. Emangnya kamu pikir aku masih sama kayak dulu?” Brandon memukul pelan kening istrinya.
Arini memberi cubitan kecil di pinggang Bran. “Tetap aja was-was, Bran. Takut kamu bosan ketemu aku terus setiap hari.”
Brandon menaikkan tubuh Arini hingga kepala mereka sejajar. Dia menatap istrinya lekat.
“Dari dulu aku nggak pernah bosan ketemu kamu setiap hari. Kamu itu selalu bikin aku candu. Cintaku juga masih sama dan nggak ada yang berubah.” Brandon menarik napas sesaat.
“Aku juga nggak mau ulangi kesalahan yang dilakukan Papa kepada Mama. Kamu masih ingat gimana hancurnya aku waktu itu, ‘kan?” sambungnya lagi.
Arini mengangguk dengan tatapan sendu. Bagaimana ia bisa lupa dengan kejadian dua belas tahun silam? Tepatnya saat Sandy—ayah Brandon—ketahuan menikah lagi dengan wanita seusia dengan Bran. Apalagi saat tahu tentang pernikahan kedua itu, Farzan sudah berusia satu tahun.
“Maaf ya, Sayang. Aku mendadak nggak percaya diri aja. Mungkin faktor usia.”
Brandon tersenyum lembut, kembali memberi kecupan di bibir istrinya. Arini menarik kepala sang Suami, lantas menyesap bibirnya lama. Bran semakin menekan dan mengejar bibir wanita yang dicintai itu.
“Bibir kamu masih sama manis dan lembut kayak dulu,” cetus Bran sembari mengusap lengan polos istrinya.
“Masa sih?” Arini rupanya tidak percaya begitu saja.
“Serius, In. Aku masih ingat waktu pertama kali cium bibir kamu.”
Arini tersipu lantas menenggelamkan kepala di dada bidang Bran.
“Emang tahu kapan pertama kali aku cium bibir kamu?” desis Bran menarik dagu istrinya sehingga mereka berpandangan.
“Sebelum kita mulai bersenang-senang,” jawabnya.
Brandon menggeleng membuat kening Arini berkerut.
“Itu pertama kali kita ciuman, Bran.”
Seringaian terukir di paras Brandon yang masih terlihat tampan di usia pertengahan tiga puluhan.
“Kamu salah, Sayang.”
“Kok salah sih?” kejar Arini mulai memperlihatkan raut penasaran. Tubuhnya sedikit tegak melihat mata sayu milik suaminya bergantian.
“Kasih tahu nggak ya?” canda Brandon menahan tawa.
“Bran?” Wanita itu kembali menghadiahi cubitan di pinggang suaminya.
“Nggak ah, nanti kamu marah,” kata Brandon merebahkan lagi kepala di bantal.
“Suami?” desak Arini semakin penasaran.
Brandon kembali menegakkan kepala, lantas memberi kecupan di bibir istrinya dengan sedikit isapan.
“Begitu caranya aku mencuri ciuman pertamamu waktu itu.” Brandon memundurkan lagi kepala ke belakang.
“Mencuri? Kapan?” Kedua alis Arini terangkat ke atas.
“Waktu kamu tidur di kamar habis main PS. Saat kita kelas dua SMA,” ungkap Bran.
Mata cokelat lebar Arini membesar seketika mendengar pengakuan suaminya. Kedua tangan terangkat ke atas memegang bibir yang sedikit bengkak.
“Kamu cium aku lagi tidur? Berarti aku nggak mimpi? Benaran ada yang cium?” gumam Arini dengan mata berkedip pelan.
Brandon mengangguk cepat.
Arini langsung memberikan serangan semut api lagi di pinggang Bran. “Kamu jahat banget sih pakai curi ciuman pertamaku. Pantesan aja waktu itu rasanya ada yang aneh.”
Bran malah cekikikan. “Habis aku ingin first kiss sama kamu, gimana dong?”
Mata lebar Arini sekarang menyipit. “Jangan-jangan dari dulu kamu memang udah suka sama aku. Ayo ngaku!”
“Nggak perlu dibahas lagi, In. Kita udah nikah loh sekarang. Udah ada El dan Al juga,” ujar Bran menghindar dari pembahasan tentang masa lalu.
Dulu dia seorang laki-laki yang memiliki gengsi tinggi. Meski sudah menyukai Arini sejak awal persahabatan mereka, Bran selalu menyangkal. Terlalu malu baginya untuk mengakui perasaan yang sebenarnya. Apalagi saat itu mereka berdua sama-sama berkomitmen tidak akan menodai persahabatan dengan cinta.
“Ya udah, kita tidur sekarang aja. Besok harus mandi dulu sebelum salat Tahajud,” cicit Arini kembali merebahkan tubuh di kasur.
Bran mengembuskan napas lega, karena bisa kabur dari pembahasan yang bisa membuat dirinya malu. Dia memeluk tubuh ramping Arini sebelum tidur.
“Besok kita ke Menteng Dalam habis dari lapas (Lembaga Pemasyarakatan) aja ya?” gumam Brandon.
“Ya ampun, Sayang. Aku lupa bikin pesenan Mama,” seru Arini langsung terduduk.
“Shiny Crust Brownies yang Mama minta kemarin?” Brandon memandangi tubuh istrinya yang tersingkap.
Tahu maksud tatapan suaminya, Arini segera menarik selimut menutupi tubuh bagian atas.
“Dasar kamu mesumnya nggak hilang-hilang.”
“Nggak ada larangan mesum sama istri loh,” sanggah Bran.
“Kenapa aku bisa lupa ya? Padahal bahannya udah dibeli loh.” Arini mengalihkan pembicaraan sembari mengambil lagi pakaian yang dilepaskan Bran.
“Mau ngapain?”
“Bikin Brownies, Sayang.”
“Besok pagi aja bikinnya, In. Kamu tidur aja dulu, udah malam.”
“Takut nggak keburu, Bran.”
Brandon mendesah pelan. “Aku temani kamu masak di dapur ya?”
“Kamu tidur aja. Biar aku yang masak. Lihat tuh kamu ngantuk banget.”
“Aku temani biar bisa bantu, jangan protes lagi,” tegas Brandon mengambil celana boxer dan baju kaus dari lantai.
Arini menarik napas panjang, lantas mengangguk. Dia tidak bisa lagi berdebat dengan Bran jika sudah begini. Apalagi besok harus berangkat pagi, karena harus berkunjung ke lapas menemui wanita yang telah menghadirkan luka dalam keluarga Harun. Wanita yang menjadi penyebab dirinya harus mengikhlaskan Brandon menikah dengan perempuan lain beberapa tahun silam.
Bersambung....
ARINI“El, Farzan, udah selesai? Buruan kita mau berangkat,” teriak Arini sembari memasangkan kerudung instan di kepala Al, putrinya.“Iya, Mami.”“Sebentar, Kak,” sahut El dan Farzan nyaris bersamaan dari kamar masing-masing.“Aku turun ke parkiran dulu taruh ini ke mobil ya, Sayang. Takut kamu lupa lagi,” ledek Brandon disambut delikan dari Arini. Sebuah kantong berisi Shiny Crust Brownies menggantung di tangan kanan.“Bercanda. Masa gitu aja marah,” ujar Bran mengusap puncak kepala istrinya yang terbungkus rapi dengan kerudung segi empat berwarna peach.“Barengan aja, Bran. Sebentar lagi El dan Farzan juga keluar dari kamar,” tanggap Arini merapikan kerudung yang menghiasi kepala Al.Brandon hanya mengangguk setuju mendengar perkataan istrinya.“Mami, kenapa Al harus pakai ini?” tanya Al memegang ujung kerudung dengan tangan mungilnya.Arini tersenyum lembut sambil mengelus pipi chubby sang Putri. “Agar kamu selalu terlindungi, Princess. Sama kayak Mami.”“Emang karung ini melindun
Arini dan BrandonMobil sedan keluaran BMW terbaru berwarna biru memasuki pekarangan keluarga Harun di kawasan Menteng Dalam. Sebuah rumah mewah yang berukuran besar, tapi sayang hanya dihuni oleh kedua orang tua Brandon.Kening Iin berkerut mematut sebuah mobil yang tak pernah terlihat di rumah itu sebelumnya.“Mobil siapa ya?” desisnya.Bran mengangkat bahu. “Nggak tahu. Baru nongol juga tuh.”Begitu mobil berhenti dengan sempurna, Brandon keluar terlebih dahulu. Dia bergegas menuju pintu tempat Arini duduk. El dan Farzan terlebih dahulu memasuki rumah.Bran mengambil Al yang sedang terlelap di pangkuan Iin. Setelahnya mereka menyusul ke dalam rumah.“Ngeeeeng. Arini!!” teriak suara yang sangat akrab di telinga Arini dan Brandon. Begitu nyaring dan lengking.Seorang wanita berambut pendek mengenakan gaun lengan pendek dengan panjang selutut sedang membentangkan tangan.“Gadis!”“Kak Gadis!” seru Bran dan Iin bersamaan sambil menatap tak percaya sosok yang berdiri di hadapannya.Gadi
Arini dan BrandonKetika ingin menjawab pertanyaan Lisa, Sandy tiba-tiba muncul dari ruang keluarga. Dia duduk di samping istri tercinta, berhadapan dengan Brandon dan Arini.“Papa mau bicara sesuatu dengan kalian,” cetusnya melihat Bran dan Iin bergantian.Suami istri itu mengangguk serentak, lantas memilih fokus dengan apa yang dikatakan oleh Sandy.“Dulu, niat Papa membangun rumah sebesar ini agar bisa berkumpul dengan anak dan cucu.” Sandy kembali melihat anak dan menantunya. “Rumah ini terlalu besar untuk kami tinggali berdua. Terasa sepi juga tidak ada canda dan tawa anak-anak. Apa kalian mau pindah ke sini?”Rupanya Sandy mengutarakan hal yang sama dengan Lisa. Di usia yang tak lagi muda, kakek dan nenek itu merasa kesepian di sana, sehingga ingin menghabiskan hari tua bersama anak dan cucu.Arini dan Bran kembali saling berpandangan.“Aku akan diskusikan hal ini dulu dengan Iin, Pa. Tadi Mama juga udah bilang begitu,” tanggap Brandon.Sandy dan Lisa sama-sama mengangguk paham.
Arini dan BrandonDua bulan kemudianSepasang mata cokelat lebar mulai mengerjap. Tangan terangkat ke atas seiringan dengan kaki yang meregang menghalau pegal karena posisi tidur yang kurang pas. Senyuman terbit di wajah ketika melihat sang Suami masih tertidur pulas di samping.“Gaya tidurnya dari dulu nggak pernah berubah,” gumam Arini dengan wajah masih dihiasi senyuman.Sebuah kecupan diberikan di bibir Bran. Sesaat kemudian, Iin meraih ponsel dari atas nakas melihat jam.“Udah waktunya masak,” desisnya ketika melihat waktu menunjukkan pukul 03.00.Hari ini adalah hari pertama berpuasa. Ramadan pertama juga bagi Al puasa, sementara kali kedua bagi El.Ketika ingin beranjak dari tempat tidur, tiba-tiba sepasang tangan telah mendekapnya erat. Senyuman kembali menghiasi wajah cantik Arini.“Kamu udah bangun?”Bran menganggukkan kepala di atas bahu kanan istrinya. “Waktu kamu cium bibirku tadi.”“Aku masak buat sahut dulu ya. Kamu tidur lagi aja, nanti aku bangunin kalau udah selesai
ElfarehzaDelapan tahun kemudianEl tampak berdiri di depan cermin memastikan pakaian telah terpasang dengan rapi sebelum berangkat ke sekolah. Rambut hitam tebal tersisir rapi dengan belah pinggir. Dasi berwarna abu-abu menggantung di bagian tengah bawah leher. Sebuah senyuman terbit di wajah setelah menyeka pinggir rambut yang lebih pendek.“Sarapan dulu, El.” Terdengar suara lembut sang Ibu memanggil dari luar kamar.“Ya, Mi. Sebentar lagi aku turun,” sahutnya bergegas mengambil tas ransel berwarna biru dongker dari meja belajar.Dengan ringan kaki panjang El melangkah menuruni anak tangga menuju lantai dasar kediaman keluarga Harun.Selama delapan tahun terakhir, Brandon beserta anak dan istri tinggal di kediaman keluarganya. Rumah yang tadi sepi menjadi ramai dengan kehadiran kedua cucu keluarga Harun dan juga Farzan.Ah, mengenai Farzan. Anak itu kini tumbuh menjadi pemuda yang tampan, tidak kalah dari Brandon sewaktu muda. Sekarang Farzan menempuh pendidikan S1 Teknik Mesin (Me
ElfarehzaNetra cokelat El melihat Arini dan Brandon bergantian ketika sedang duduk di meja makan. Bibirnya sedikit terbuka seperti ingin mengatakan sesuatu, tapi kembali tertutup. Dia memilih menandaskan sarapan terlebih dahulu, sebelum berbicara dengan kedua orang tuanya.“Papi.” El bersuara ketika melihat Bran menyeka sudut bibir dengan serbet.“Kenapa, El?” Brandon mengalihkan pandangan kepada putranya.“Belikan motor dong, Pi. Masa aku ke sekolah dianterin supir terus?” desisnya takut.Bran mendesah pelan lantas meletakkan serbet di atas meja. Mata sayunya menatap lekat El.“Kamu masih belum cukup umur untuk dibelikan motor, El.”“Teman-temanku semua pakai kendaraan sendiri ke sekolah. Cuma aku aja yang masih dianterin supir. Belikan ya, Pi,” pinta El dengan sorot memelas.Brandon menggeleng tegas. “Papi udah bilang sebelumnya, ‘kan? Kamu dibelikan kendaraan setelah cukup umur.”“Tapi, Pi—”“Nggak ada tapi, El! Sekali Papi bilang A ya harus A, nggak bisa ditawar lagi! Mengerti?”
Elfarehza“Woi, ngapain lo duduk di sini?” tegur Hariz sambil menepuk kedua pundak El.“Eh, lo Riz,” sahut El menoleh ke belakang.Hariz langsung duduk di samping El. Mereka berdua sekarang berada di area atap sekolah, salah satu tempat para favorit siswa menghabiskan waktu di luar jam pelajaran.Kebiasaan El hampir sama dengan kedua orang tuanya ketika masih bersekolah dulu. Memilih duduk di puncak tertinggi gedung saat tidak ada jam pelajaran. Tempat ini juga menjadi saksi kebersamaan Arini dan Brandon ketika masih menjalin persahabatan.“Ngapain bengong di sini, entar kesambet loh,” ledek Hariz.“Lagi kesal aja,” ujar El dengan kedua tangan memegang pinggir bangku besi di samping tubuh.“Kesal kenapa?”El menarik napas pelan, lantas mendongakkan kepala ke atas sehingga netra cokelatnya bisa melihat langit yang diselimuti awan kelabu.“Gue udah coba lagi minta dibelikan motor sama Bokap, tapi nggak berhasil,” ungkap El lesu.“Sabar, Bro. Berarti lo memang ditakdirkan ke sekolah dian
Elfarehza dan AlyssaEl termenung menunggu Al di depan gedung. Dia berharap bisa bertemu lagi dengan gadis yang mampu mencuri perhatiannya. Selama ini El tidak pernah dekat dengan siswi manapun, berbeda dengan Brandon dulu saat seusianya.“Lama banget sih, Dek,” keluh El begitu melihat Al keluar dari pintu gedung.“Tadi aku … ngobrol sama teman dulu,” sahut Al.Mereka berdua sekarang melangkah menuju gerbang. Mobil pasti sudah standby di sana.“Eh, sebentar,” tahan El menarik tangan adiknya.Kening Al berkerut bingung. “Ada yang ketinggalan?”Senyuman terbit di bibir El. “Jadi namanya Syifa ya?”Al memutar bola mata malas. “Aku udah jawab dari tadi, Bang. Namanya As-syifa Syauqiyyah, satu kelas sama aku.”“Kamu dekat nggak sama dia?”Gadis itu menyenggol lengan El sambil mengerling usil. “Abang suka ya sama dia? Aku bilangin Papi loh.”El panik seketika, lantas memegang tangan Al. “Jangan bilang Papi dong, Dek. Nggak seru nih kamu.”“Bercanda kok, Bang. Habis dari tadi kepo mulu. Tany
ElfarehzaEl tersenyum melihat Arini yang masih berkutat dengan papan Scrabble. Sejak lima belas menit yang lalu wanita itu memikirkan bagaimana menyusun abjad menjadi sebuah kata.“Payung,” ujar El menukar letak huruf Y dan G yang salah.Arini menoleh ke arah El dengan kening berkerut.“Payung, Mami. Yang biasa kita pakai lagi hujan.”Wanita paruh baya itu mengangguk cepat, kemudian kembali lagi melihat papan Scrabble.“Sekarang mainnya udah dulu ya, Mi. Ada yang mau aku ceritakan sama Mami.” El memegang lengan sang Ibu kemudian membantunya duduk di sofa.Arini melihat putranya dengan tersenyum samar. Sejak beberapa bulan terakhir ini, dia mengalami penurunan dalam mengucapkan kosa kata. Iin memilih banyak diam dan mendengar cerita El dan Bran, termasuk Al yang baru menikah lima bulan yang lalu.“Mami masih ingat nggak dulu aku pernah cerita tentang perempuan yang disu
Arini dan BrandonDua tahun berlalu setelah Brandon mengetahui apa yang terjadi antara Arini dan Farzan. Sejak saat itu, Farzan jarang pulang ke rumah. Hubungannya dengan sang Kakak tidak lagi sebaik dulu.Ketika ingatan membaik, Iin menanyakan kenapa Farzan tidak berkunjung? Bran mengatakan adiknya sedang sibuk dengan pekerjaan, sehingga hanya bisa datang satu kali dalam sebulan. Selama berada di kediaman keluarga Harun, Farzan hanya berinteraksi sekedarnya dengan Arini.Hari ini akan menjadi hari yang bersejarah bagi Alyssa. Tepat satu bulan lalu, Alfatih datang melamar bersama dengan kedua orang tua. Pria itu menunaikan janji untuk menikahi Al empat tahun setelah hari pertama kunjungannya ke Menteng Dalam.Selama empat tahun nyaris tidak ada komunikasi secara langsung yang terjalin antara Alyssa dan Fatih. Keduanya hanya mendapatkan kabar melalui kedua kakak masing-masing. Mereka terkesan sedikit kuno, tapi begitulah Fatih yang memegan
BrandonSejak tadi pikiran Brandon tidak tenang. Dia menduga kemungkinan yang terjadi antara Arini dan Farzan dua tahun silam. Pria itu tidak bisa marah dengan Iin, karena penyakit yang dideritanya. Apalagi saat itu sang Istri juga pernah salah mengenali putranya sendiri.Selepas salat Isya, Brandon meminta Arini tidur terlebih dahulu. Dia memutuskan untuk menunggu Farzan datang. Hari ini adiknya pulang ke Menteng Dalam.Setelah lulus dari Zurich, Farzan memilih tinggal di apartemen yang dekat dengan tempatnya bekerja di daerah Cikarang. Pemuda itu baru bisa pulang ke Menteng Dalam setiap akhir minggu.Brandon menggoyang-goyangkan tangan di depan wajah Arini untuk memastikan apakah telah tidur atau belum? Perlahan-lahan, dia turun dari tempat tidur lalu bergerak ke luar kamar.Farzan pasti udah di rumah. Aku harus menanyakan langsung apa yang sebenarnya terjadi, batin Brandon tidak tenang.Langkah pria itu terus berlanjut menuju kamar adiknya yang berada di lantai dua. Bran melihat pi
AriniDua tahun kemudian“Ayo, Mi. Coba sambung lagi kata-katanya,” cetus Al menyemangati Arini.Gadis itu sedang bermain scrabble di ruang keluarga bersama dengan El dan Arini, sembari menunggu Brandon pulang kantor. Mereka sekarang menyusun kosa kata dalam bahasa Indonesia.Arini berpikir lama agar bisa membentuk satu kata yang pas dengan kepingan huruf yang sudah tersusun. Dia mengambil huruf C, kemudian huruf T. Setelah diletakkan huruf ketiga, Iin tersenyum puas.El dan Al saling berpandangan saat membaca huruf tersebut tertukar tempat sehingga tidak bisa dibaca dengan benar.“Huruf T ditaruh sebelah sini, Mi.” Al meletakkan huruf T di samping huruf N. “Nah ini masih kurang G.”Setelah dibenarkan posisinya, baru terbentuk satu kata ‘Canting’.Begitulah perkembangan penyakit Arini sekarang. Kemampuan menyusun kata dan kalimat mulai mengalami penurunan. Dia sering lupa dengan ejaan kata. Bukan hanya itu, terkadang Iin tidak bisa menyusun kalimat yang seharusnya.“Mami besok mau aku
AriniDua bulan kemudianSelama dua bulan ini Brandon dan kedua anak-anaknya lebih banyak meluangkan waktu bersama dengan Arini. Banyak hal yang dilakukan mereka ketika waktu senggang, salah satunya bermain Scrabble dan mengisi buku TTS. Sudah banyak buku TTS yang telah diisi Iin. Untungnya kegiatan tersebut bisa memperlambat menurunnya kemampuan berbahasa wanita itu.Rencana jalan-jalan ke Swiss terpaksa dibatalkan, karena kondisi kesehatan Arini. Bran khawatir jika istrinya pergi dan tersesat sendirian di negeri orang. Dia bisa saja mengendap-endap pergi tanpa sepetahuan Bran.“Abang Farzan kok lama banget ya, Mi? Bukannya udah sampai Jakarta siang ini?” celetuk Al melihat tak sabar ke arah jam dinding.Arini mengangkat bahu, lalu mengambil ponsel. Dia menghubungi adik kesayangannya.“Halo, Kakak Cantik.” Terdengar suara bariton Farzan dari ujung telepon.Wanita itu tergelak mendengar pujian yang selalu dilontarkan adiknya. “Kamu udah di mana, Dek? Ada yang dari tadi ngedumel terus
AlyssaPandangan netra hitam Alyssa bergerak menyapu taman belakang sekolah. Ada beberapa siswa duduk santai di sana sambil bercengkerama. Beberapa di antara mereka lesehan di atas rumput hijau yang bersih dan segar, sebagian lain duduk di kursi seperti dirinya dan Fatih sekarang.“Makasih udah mau ngobrol, Kak,” ucap Al memecah keheningan. Dia menoleh sekilas sambil mengulas senyum.“Pasti ada hal penting yang mau kamu bicarakan ya?” tebak Fatih to the point. Selama ini mereka hanya berkomunikasi jika ada hal penting yang ingin dibahas.Al mengangguk pelan, kemudian mengalihkan pandangan lurus ke depan. Dia berpikir beberapa detik sebelum mengutarakan maksudnya mengajak Fatih berbicara.“Mami dan Papi … mau ketemu sama, Kakak,” ungkap Al hati-hati.“Katanya mau ucapin terima kasih karena udah tolong aku waktu itu,” sambung Al cepat antisipasi jika Fatih salah paham.Pemuda itu tertawa pelan membuat kening Al berkerut.“Oke. Mau ketemu kapan?” sahutnya santai tanpa beban.Al semakin d
Brandon dan AriniArini sedang memandang suaminya yang masih tertidur lelap. Dia memeluk erat Brandon, lalu memberi kecupan di dada bidang itu.“Maaf udah ngerepotin kamu akhir-akhir ini, Bran. Aku mulai lupa banyak hal, tapi kamu yang sering ingetin,” bisik Arini mendongakkan kepala.Dia tersenyum ketika ingat Bran tidak pernah mengeluh dengan penyakitnya. Dua hari yang lalu Iin sempat lupa mematikan kompor ketika memasak di dapur. Alhasil sekarang Brandon melarang dirinya membuatkan makanan.“Aku ‘kan udah bilang akan jadi pengingat saat kamu lupa, Sayang,” gumam Bran dengan mata tertutup.“Kamu udah bangun ya?”Brandon mengangguk, lalu mengangkat tubuh ramping itu ke atas sehingga kepala mereka sejajar. Netra sayunya perlahan terbuka. Senyum lembut tergambar di parasnya.“Hari ini kita jalan-jalan yuk! Ajak anak-anak sekalian,” usul Brandon.“Mau jalan-jalan ke mana?”“Ke puncak? Anak-anak juga udah selesai ujian ‘kan?”“Udah. Tapi Al katanya mau ngomong sama kita.” Arini menarik n
BrandonEmpat pasang mata kini melihat Bran dengan saksama. Mereka menanti penjelasan dari pria itu. Sejak berada di rumah singgah tadi, Lisa, Sandy, El dan Al menahan diri untuk tidak bertanya apapun.“Bisa jelaskan apa yang terjadi, Bran?” pinta Lisa dengan tatapan menuntut.Sandy, El dan Al berbagi sorot mata yang sama dengan Lisa.Brandon menarik napas berat, kemudian mengangguk. “Nanti kita bicara. Sekarang mau ajak Iin tidur dulu.”“Janji ya, Pi,” harap Al.“Papi janji akan ke sini lagi setelah Mami tidur,” sahut Brandon kemudian beranjak dari ruang keluarga menuju kamar.Pria itu melihat Iin terduduk di pinggir kasur sambil menumpu kening dengan kedua tangan. Wanita itu sadar apa yang terjadi di rumah singgah tadi sore bisa menimbulkan kecurigaan anak-anak dan juga mertuanya.“Kenapa aku sampai kayak tadi, Bran? Harusnya nggak begitu, ‘kan?” sesal Iin menatap sendu.Raut wajahnya tampak kacau, karena tidak ingin ada yang tahu tentang penyakitnya.Brandon langsung memeluk istrin
Brandon dan AriniUltah pernikahanBeberapa jam menjelang pesta ulang tahun pernikahan Brandon dan Arini diadakan, seluruh keluarga Harun bersiap-siap berangkat ke tempat tujuan. Bran meminta Al, El dan Kakek Neneknya untuk berangkat terlebih dahulu ke Poris.“Kamu berangkat pake mobil sama Nenek Kakek. Motor tinggal di rumah aja,” ujar Brandon pagi tadi.Motor? Yup! Brandon akhirnya membelikan motor Honda CBR keluaran terbaru untuk El. Jangan ditanyakan lagi bagaimana bahagianya anak itu saat diajak pergi ke dealer motor dua hari yang lalu. Pemuda itu tak menyangka kalau Bran bisa berubah pikiran.“Mami kamu yang bujuk Papi agar belikan motor ini. Sebenarnya Papi ingin belikan waktu kembali dari Raja Ampat, tapi nggak jadi karena keduluan Kakek,” ungkap Bran saat mereka berada di dealer.Kembali lagi ke pagi tadi.“Ya udah. Nanti ada teman-teman El yang ikut juga, Pi. Sekalian katanya ngumpul di sini.”“Oke. Papi nanti minta supir antarkan. Perlu berapa mobil?”“Dua aja cukup, Pi. Ng