Arini dan Brandon
Dua bulan kemudian
Sepasang mata cokelat lebar mulai mengerjap. Tangan terangkat ke atas seiringan dengan kaki yang meregang menghalau pegal karena posisi tidur yang kurang pas. Senyuman terbit di wajah ketika melihat sang Suami masih tertidur pulas di samping.
“Gaya tidurnya dari dulu nggak pernah berubah,” gumam Arini dengan wajah masih dihiasi senyuman.
Sebuah kecupan diberikan di bibir Bran. Sesaat kemudian, Iin meraih ponsel dari atas nakas melihat jam.
“Udah waktunya masak,” desisnya ketika melihat waktu menunjukkan pukul 03.00.
Hari ini adalah hari pertama berpuasa. Ramadan pertama juga bagi Al puasa, sementara kali kedua bagi El.
Ketika ingin beranjak dari tempat tidur, tiba-tiba sepasang tangan telah mendekapnya erat. Senyuman kembali menghiasi wajah cantik Arini.
“Kamu udah bangun?”
Bran menganggukkan kepala di atas bahu kanan istrinya. “Waktu kamu cium bibirku tadi.”
“Aku masak buat sahut dulu ya. Kamu tidur lagi aja, nanti aku bangunin kalau udah selesai masak.” Arini melepaskan pelukan Brandon.
Pria itu menggelengkan kepala. “Aku temani kamu masak aja. Udah nggak ngantuk lagi.”
Mata Iin melebar mendengar perkataan suaminya. Tampak raut keberatan di paras cantik itu.
“Nanti kamu gangguin aku, bisa telat anak-anak sahur nanti.”
“Aku janji nggak gangguin kamu,” tanggap Bran menyeringai.
“Bran?” Rupanya Iin tidak percaya begitu saja. “Kamu itu nggak pernah nggak gangguin aku kalau lagi masak. Yang ada nanti ….”
“Nanti apa?” tanya Bran mendekat ke wajah istrinya.
“Nanti kayak waktu awal-awal nikah.”
“Ibadah loh, Sayang. Mumpung anak-anak masih tidur,” sahut Bran menatap nakal.
“Bran?” Arini menggeleng dengan mata mendelik.
“Mau di sini aja?” goda Bran.
Arini mengembuskan napas, lantas menangkupkan telapak tangan di wajah Bran. “Nggak sempat sekarang, Suami. Satu jam lagi udah waktunya sahur.”
Bran mendesah pelan, pasrah keinginan untuk bermesraan harus ditunda.
“Nanti malam aja ya,” ujar Iin dengan raut wajah bersalah.
Bran mengangguk lesu, lalu memberi kecupan singkat di bibir istrinya.
Arini segera beranjak menuju dapur, diiringi oleh Bran dari belakang.
“Kamu berdiri di situ aja, jangan dekat-dekat,” tegas Iin menunjuk ke arah dinding berjarak lima meter darinya.
“Iya, Sayang. Takut banget sih digangguin.”
“Kalau nggak gitu masaknya nggak kelar-kelar, Bran. Aku tahu persis yang ada di pikiran kamu sekarang.”
Bran hanya nyengir kuda ketika mendengar perkataan Arini. Dia tahu sulit untuk berbohong kepada istrinya. Dua puluh tahun bukan waktu yang singkat bagi mereka untuk saling mengenal satu sama lain.
“Ya udah, aku di sini aja.” Akhirnya Brandon mengalah.
Arini memulai aktivitas memasaknya. Sementara Brandon memilih berdiri dengan jarak yang sudah ditentukan oleh sang Istri. Pria itu sangat menyukai ekspresi yang diperlihatkan Iin ketika berada di dapur. Tampak begitu telaten dan sabar.
***
Siang hari puasa pertama
“Mami, buka puasa masih lama ya?” tanya Al dengan wajah lesu.
“Masih enam jam lagi, Princess. Kenapa?” selidik Arini meski tahu arti raut wajah Al.
“Abang haus, Mami. Boleh minum nggak?” El tiba-tiba datang dengan gestur lemas.
Arini menyipitkan mata melihat Al dan El bergantian.
“Anak Mami kenapa jadi lemes kayak gini?”
“Haus,” sahut mereka serentak.
Iin tersenyum lantas membelai kepala kedua buah hatinya dengan lembut. “Duduk sini dulu. Mami mau cerita.”
Wanita itu kini duduk di ruang tamu bertiga dengan kedua buah hatinya, sedangkan Bran berada di ruang kerja. Farzan memilih menginap di Menteng Dalam, karena ingin melewatkan puasa pertama dengan Sandy dan Lisa.
Arini meraih ponsel dari atas meja, kemudian mencari beberapa gambar dari anak-anak yang kelaparan di daerah konflik dan negara dengan tingkat kesejahteraan rendah lainnya.
“Coba El dan Al lihat foto ini.” Dia menunjuk sebuah foto anak seusia Al yang memiliki tubuh kurus dengan perut membusung.
Kening keduanya berkerut tak paham.
“Kalian puasa ‘kan sekali setahun selama sebulan.” Arini terdiam sebentar. “Sementara adik ini hampir setiap hari berpuasa. Untuk makan aja susah.”
Kedua anak itu memandang Arini menunggu perkataan berikutnya.
“Salah satu tujuan dari berpuasa adalah umat Islam harus belajar bersyukur atas apa yang telah Allah kasih. Selain itu kita juga bisa merasakan apa yang dirasakan oleh mereka yang kurang mampu. Menahan lapar mulai dari menjelang Subuh hingga beduk Maghrib.”
“Kalian bisa bayangin nggak gimana berada di posisi mereka?” Arini memperlihatkan foto-foto lainnya, kemudian mengalihkan pandangan kepada anak-anaknya.
El dan Al menggelengkan kepala.
“El nggak mau begitu.”
“Al juga nggak mau.”
“Kita hanya puasa sebulan loh. Masih ngeluh haus dan lapar?”
Keduanya menggelengkan kepala serentak.
“Puasa di bulan Ramadan itu hukumnya wajib, sama kayak salat lima waktu. Kalau El dan Al nggak belajar dari kecil, nanti gede susah untuk terbiasa puasa,” papar Iin lembut kepada mereka.
“Mau dapat pahala yang banyak, ‘kan?” ujarnya lagi.
“Mau!” seru El dan Al serentak.
“Alhamdulillah, anak-anak Mami insya Allah akan jadi anak yang saleh dan salehah.” Arini melihat mereka berdua bergantian, kemudian merentangkan kedua tangan. “Peluk Mami dulu dong.”
El dan Al memeluk Iin bersamaan. Sebuah kecupan diberikan Arini di kening masing-masing.
“Ada apa ini siang-siang peluk Mami?” Bran tiba-tiba sudah berada di ruang tamu. “Papi juga mau nih.”
Arini menyipitkan mata ke arah Bran. “Lagi cerita tujuan puasa, Pi. Biar El dan Al lebih bersyukur lagi atas apa yang udah Allah kasih buat kita.”
Bran duduk di samping El.
“Mami bilang agar kita tahu apa yang dirasakan adek yang tadi,” celoteh El.
“Kapan kita pindah ke rumah Kakek Nenek?” sela Al dengan tatapan berbinar.
Ya, pada akhirnya Brandon dan Arini memutuskan kembali lagi ke rumah keluarga Harun di daerah Menteng Dalam. Mereka juga mencapai kesepakatan terkait perusahaan. Iin bersedia bekerja di perusahaan milik mertuanya, mendampingi Bran.
“Minggu depan kita udah pindah. Setelah ini kita bisa sahur dan buka bareng Kakek Nenek,” sahut Iin tersenyum lebar.
“Yeay!!” seru El sambil mengangkat kedua tangan ke atas. Al juga tidak kalah antusias.
“Ketemu Kakek Nenek tiap hari dong!” sambungnya lagi.
“Disayang Nenek Kakek,” imbuh Al.
Arini menganggukkan kepala sambil tersenyum merespons perkataan kedua buah hatinya. Dia mengalihkan paras kepada Bran dengan tatapan berterima kasih, karena telah setuju kembali ke sana. Setelah lebaran, Iin akan melakoni tiga profesi sekaligus; owner dari usaha catering, direktur perusahaan properti dan ibu rumah tangga.
“Nanti bantu Mami dan Papi berkemas ya?” cetus Bran disambut delikan mata dari Iin.
“Eh, lagi puasa, Sayang. Nggak boleh kayak gitu. Entar puasanya batal loh,” goda Bran mengerling usil.
Wanita itu berdecak lantas tertawa.
“Makasih ya, Sayang,” ucap Bran berusaha menahan diri untuk tidak memeluk dan mencium istrinya.
“Makasih untuk apa?”
“Untuk semua. Terutama kamu udah menjadi Mami yang baik untuk El dan Al.”
Brandon merasa beruntung telah menikah dengan Arini, sahabat satu-satunya yang pernah dimiliki. Wanita itu selalu berada di sisinya, menemani masa-masa tersulit di dalam hidup yang pernah dilalui Bran.
Bersambung....
ElfarehzaDelapan tahun kemudianEl tampak berdiri di depan cermin memastikan pakaian telah terpasang dengan rapi sebelum berangkat ke sekolah. Rambut hitam tebal tersisir rapi dengan belah pinggir. Dasi berwarna abu-abu menggantung di bagian tengah bawah leher. Sebuah senyuman terbit di wajah setelah menyeka pinggir rambut yang lebih pendek.“Sarapan dulu, El.” Terdengar suara lembut sang Ibu memanggil dari luar kamar.“Ya, Mi. Sebentar lagi aku turun,” sahutnya bergegas mengambil tas ransel berwarna biru dongker dari meja belajar.Dengan ringan kaki panjang El melangkah menuruni anak tangga menuju lantai dasar kediaman keluarga Harun.Selama delapan tahun terakhir, Brandon beserta anak dan istri tinggal di kediaman keluarganya. Rumah yang tadi sepi menjadi ramai dengan kehadiran kedua cucu keluarga Harun dan juga Farzan.Ah, mengenai Farzan. Anak itu kini tumbuh menjadi pemuda yang tampan, tidak kalah dari Brandon sewaktu muda. Sekarang Farzan menempuh pendidikan S1 Teknik Mesin (Me
ElfarehzaNetra cokelat El melihat Arini dan Brandon bergantian ketika sedang duduk di meja makan. Bibirnya sedikit terbuka seperti ingin mengatakan sesuatu, tapi kembali tertutup. Dia memilih menandaskan sarapan terlebih dahulu, sebelum berbicara dengan kedua orang tuanya.“Papi.” El bersuara ketika melihat Bran menyeka sudut bibir dengan serbet.“Kenapa, El?” Brandon mengalihkan pandangan kepada putranya.“Belikan motor dong, Pi. Masa aku ke sekolah dianterin supir terus?” desisnya takut.Bran mendesah pelan lantas meletakkan serbet di atas meja. Mata sayunya menatap lekat El.“Kamu masih belum cukup umur untuk dibelikan motor, El.”“Teman-temanku semua pakai kendaraan sendiri ke sekolah. Cuma aku aja yang masih dianterin supir. Belikan ya, Pi,” pinta El dengan sorot memelas.Brandon menggeleng tegas. “Papi udah bilang sebelumnya, ‘kan? Kamu dibelikan kendaraan setelah cukup umur.”“Tapi, Pi—”“Nggak ada tapi, El! Sekali Papi bilang A ya harus A, nggak bisa ditawar lagi! Mengerti?”
Elfarehza“Woi, ngapain lo duduk di sini?” tegur Hariz sambil menepuk kedua pundak El.“Eh, lo Riz,” sahut El menoleh ke belakang.Hariz langsung duduk di samping El. Mereka berdua sekarang berada di area atap sekolah, salah satu tempat para favorit siswa menghabiskan waktu di luar jam pelajaran.Kebiasaan El hampir sama dengan kedua orang tuanya ketika masih bersekolah dulu. Memilih duduk di puncak tertinggi gedung saat tidak ada jam pelajaran. Tempat ini juga menjadi saksi kebersamaan Arini dan Brandon ketika masih menjalin persahabatan.“Ngapain bengong di sini, entar kesambet loh,” ledek Hariz.“Lagi kesal aja,” ujar El dengan kedua tangan memegang pinggir bangku besi di samping tubuh.“Kesal kenapa?”El menarik napas pelan, lantas mendongakkan kepala ke atas sehingga netra cokelatnya bisa melihat langit yang diselimuti awan kelabu.“Gue udah coba lagi minta dibelikan motor sama Bokap, tapi nggak berhasil,” ungkap El lesu.“Sabar, Bro. Berarti lo memang ditakdirkan ke sekolah dian
Elfarehza dan AlyssaEl termenung menunggu Al di depan gedung. Dia berharap bisa bertemu lagi dengan gadis yang mampu mencuri perhatiannya. Selama ini El tidak pernah dekat dengan siswi manapun, berbeda dengan Brandon dulu saat seusianya.“Lama banget sih, Dek,” keluh El begitu melihat Al keluar dari pintu gedung.“Tadi aku … ngobrol sama teman dulu,” sahut Al.Mereka berdua sekarang melangkah menuju gerbang. Mobil pasti sudah standby di sana.“Eh, sebentar,” tahan El menarik tangan adiknya.Kening Al berkerut bingung. “Ada yang ketinggalan?”Senyuman terbit di bibir El. “Jadi namanya Syifa ya?”Al memutar bola mata malas. “Aku udah jawab dari tadi, Bang. Namanya As-syifa Syauqiyyah, satu kelas sama aku.”“Kamu dekat nggak sama dia?”Gadis itu menyenggol lengan El sambil mengerling usil. “Abang suka ya sama dia? Aku bilangin Papi loh.”El panik seketika, lantas memegang tangan Al. “Jangan bilang Papi dong, Dek. Nggak seru nih kamu.”“Bercanda kok, Bang. Habis dari tadi kepo mulu. Tany
Arini dan BrandonArini duduk di ruang tamu menunggu Brandon pulang. Dia sudah rapi mengenakan dress panjang dengan lengan hingga siku. Rambut hitam panjang dibiarkan tergerai hingga pinggang. Iin selalu berpenampilan seperti itu ketika berada di dalam rumah, berbeda jauh ketika bepergian. Wanita itu ingin selalu tampak cantik di depan suaminya.“Cie … yang lagi nungguin Papi datang,” goda Al ketika berada di anak tangga paling bawah.Iin tersipu malu mendengar perkataan putrinya.“Kayak lagi nungguin pacar deh, Mi.” Al melangkah mendekati ibunya, lantas duduk di samping kanan Arini.Mata cokelat lebar Iin menyipit. “Kamu jangan-jangan sama kayak El ya? Lagi ada yang disukai?”“Ih, enggak lah ya. Ngeri kalau ketahuan Papi. Bisa ngamuk entar,” sahut Al bergidik.Iin tergelak pelan.“Mami nggak pernah bosan ya ketemu sama Papi terus? Sejak SMA selalu barengan loh,” tanya Al tanpa bisa menutupi rasa penasaran.“Hmmm … Gimana ya?” Arini pura-pura berpikir sambil menepuk dagu dengan ujung
El dan AlEl mondar-mandir di depan kamar kedua orang tuanya sebelum sarapan. Dia ingin bertanya, apakah Arini sudah berbicara dengan Brandon tentang motor atau belum. Sejak tadi malam, rasa penasaran terus melanda.Tak lama kemudian, Arini muncul ketika pintu kamar terbuka. Wanita itu telah rapi mengenakan gaun rumah yang biasa membalut tubuhnya sehari-hari.“Wah, Abang udah rapi nih,” sapa Arini tersenyum lembut.Anak itu menarik tangan ibunya menjauh dari kamar.“Mami udah ngomong sama Papi?” tanya El tak sabaran.Arini menggeleng pelan. “Mami belum ngomong masalah motor, Sayang. Tadi malam hanya ngobrol tentang kamu dan Al aja. Pelan-pelan dulu ya?”Tampak raut kecewa di wajah El mendengar jawaban Arini.“Kamu nggak boleh gitu, Prince. Mami masih berusaha ngomong sama Papi, tapi pelan-pelan.” Iin mengusap lengan El. “Sabar ya.”“El udah sabar, Mi. Mintanya dari enam bulan lalu, ‘kan?”“Berarti kamu harus ekstra sabar lagi. Berlatih lebih sabar ya, Sayang,” tutur Arini sembari meng
Arini dan BrandonArini meregangkan tangan ke atas setelah mempelajari beberapa proposal kerja sama proyek pembangunan resort. Dia mengurut pundak yang terasa pegal. Hari ini banyak pekerjaan yang harus diselesaikan. Pagi hari ada tiga meeting, setelah istirahat makan siang disambut dengan beberapa dokumen proyek dan proposal yang harus dipelajari.Tilikan mata cokelat lebarnya beralih ke arah jam dinding yang menunjukkan pukul 15.00. Sesaat kemudian Iin teringat dengan janji yang telah diucapkan kepada El dan Al untuk membuatkan masakan kesukaan mereka.“Astaghfirullah, kayaknya nggak bisa pulang cepat,” gumamnya pada diri sendiri.Wanita berparas cantik itu segera meraih tas dan mengambil ponsel dari sana.“Lho kok ponselnya nggak ada?” desis Iin panik.Dia mencari di dalam laci, tetap tidak menemukan ponselnya. Di atas meja juga tidak ada.“Apa gue nggak bawa dari pagi ya?” desahnya pelan.Tangannya kemudian beranjak mengambil gagang telepon kantor di sisi kanan meja kerja. Baru sa
Arini dan Brandon“Kamu beneran nggak apa-apa, Sayang? Nggak biasanya lupa kirim uang bulanan sama Ayu,” selidik Bran melangkah mendekati Iin.Arini mengusap tengkuk sambil mengangguk. “I am okay, Bran. Beneran. Mungkin kecapean aja.”Bran menarik pinggang ramping Arini ke depan. Dia menatap istrinya lekat.“Apa sebaiknya usaha catering ditutup aja? Weekend kamu masih sibuk dengan usaha kalau ada orderan untuk nikahan.” Pria itu menarik Iin ke dalam pelukan sambil mengusap belakang kepala yang masih dibungkus kerudung.“Aku tahu kamu membangunnya susah payah, Sayang. Tapi pikirkan juga kesehatanmu. Nggak tega rasanya lihat kamu urus dua perusahaan sekaligus,” sambungnya lagi.Arini terdiam beberapa saat. Dia mengeratkan pelukan sehingga tubuh keduanya semakin rapat.“Kita lihat aja dulu, barangkali setelah pulang honeymoon pikiran jadi lebih rileks,” balasnya melonggarkan pelukan.Netra cokelat lebarnya bertemu dengan mata sayu milik Bran.“Ya udah. Aku janji selama honeymoon nanti ak
Brandon dan AriniBrandon menyandarkan punggung di kursi mobil sambil sesekali mengurut pelipis. Akhir minggu dia harus pergi lagi ke Poris memastikan persiapan ulang tahun pernikahannya sudah mencapai 100%, sekaligus mengurus beberapa dokumen rumah singgah. Pria itu memberikan alasan ingin melihat-lihat rumah yang akan mereka tinggali nanti. Bersyukur Arini tidak pergi hari ini, katanya ingin istirahat di rumah dulu.Nggak sabar pengin tahu reaksi Iin nanti, bisik Brandon dalam hati sembari tersenyum.Rumah singgah itu didirikan sebagai pembuktian cintanya kepada Arini. Dia hanya ingin melihat sang Istri bisa berbahagia dikelilingi anak-anak, meski tidak lahir dari rahimnya.Perlahan mobil memasuki pekarangan rumah keluarga Harun. Tak lama kemudian, Bran melangkah memasuki rumah setelah turun dari kendaraan.“Gimana, Sayang?” tanya Arini begitu Brandon berada di ruang keluarga.Di sana ada Alyssa. Gadis itu duduk di samping Arini sembari menonton.“Masih lihat-lihat sih, In. Belum ne
ElfarehzaEl bersandar lesu di dinding kamar. Sulit untuk bersikap seperti tidak terjadi apa-apa di hadapan Bran. Ingin sekali menanyakan langsung kepada pria itu, tapi diurungkan. Khawatir jika Arini mendengarkan pembicaraan mereka. Apalagi dia berpikir ayahnya tidak akan mau mengatakan yang sejujurnya.Pemuda itu memukul dinding dilapisi wallpaper bermotif kotak campuran warna putih dan abu-abu. Hanya itu satu-satunya cara agar El bisa melepaskan kekesalan yang terasa. Pandangannya beralih ke arah ponsel yang tergeletak di atas kasur. Saat ini ia butuh seseorang untuk berbicara, selain Al.El membuka aplikasi whatsapp dan mencari nama orang yang bisa diajak berbicara. Pencarian berakhir ketika menemukan nama Syifa di daftar kontak. Barangkali gadis itu bisa mendengarkan keluh kesahnya. Hanya dia yang bisa dipercaya. Tidak mungkin bercerita kepada Hariz, karena hari libur sering jalan-jalan dengan keluarganya.Me: Assalamualaikum. Kamu lagi sibuk nggak, Syifa?Pesan berhasil dikirim
AriniSetelah salat Subuh, Arini pergi ke kamar El. Seperti janji dengan Brandon, ia akan mencoba bicara dengan kedua buah hatinya. Wanita itu penasaran hal apa yang membuat mereka berubah menjadi dingin kepada Brandon?“El?” panggilnya dari luar kamar setelah mengetuk pintu.“Ya, Mi?” sahut El dari dalam kamar.Tak lama kemudian pintu kamar terbuka. Senyum hangat tergambar dari wajah tampan Elfarehza.“Mami pagi ini cantik banget,” puji El memandangi ibunya.Arini berdecak lalu menyipitkan mata. “Kamu persis kayak Papi. Pintar banget ngerayu Mami.”Tarikan lebar bibir El berangsur menyusut. Dia melangkah lesu ke dalam kamar, lalu duduk di pinggir tempat tidur.Iin juga masuk ke kamar dan duduk di samping putranya. Dia mengusap lembut puncak kepala El sembari menatapnya lekat.“Kamu masih marah ya sama Papi?”Pemuda itu menundukkan kepala dengan pandangan tertuju ke lantai keramik berwarna putih gading.“Nggak boleh gitu, Sayang. Papi larang pakai motor ‘kan demi kebaikan kamu. Papi j
ElfahrezaDesahan pelan keluar dari sela bibir El saat duduk di bangku atap gedung sekolah. Mata cokelatnya menatap nanar langit kota Jakarta Pusat yang cukup cerah menjelang siang. Warna biru langit hanya ditutupi sedikit awan putih.Dia tidak habis pikir dengan apa yang telah dilakukan Brandon. Jika terbukti pria itu mengkhianati Arini, El tidak akan pernah memaafkannya.Pandangan pemuda itu beralih ke samping belakang ketika mendengar pintu terbuka. Tampak seorang siswi berkerudung nan imut dan berparas cantik memasuki area atap.“Maaf, Kak. Aku pikir tadi nggak ada orang,” ucap gadis itu.Senyuman mengambang di wajah tampan El. “Nggak pa-pa. Kalau mau duduk di sini silakan, Syifa. Sekalian ngobrol.”Syifa berdiri di sela pintu. Tampak ragu di irasnya.El mengerling ke arah bangku satu lagi agar bisa ditempati Syifa.Gadis itu masih bergeming dengan tilikan mata tidak beranjak dari El. Ada yang tidak biasa di paras pemuda itu. Dia bisa menangkap raut kalut di wajahnya. Setelah mena
Arini dan BrandonBrandon masih memikirkan perubahan sikap kedua buah hatinya tadi sore. Dia tahu El dan Al awalnya duduk bersama Arini di ruang tamu, tapi segera pergi setelah dirinya tiba. Pria itu bisa memahami jika El bersikap seperti itu, tapi kenapa Alyssa juga ikut-ikutan? Biasanya gadis itu lebih manja dengan Bran dibandingkan Iin.Saat makan malam mereka juga tidak banyak berbicara. Pertanyaan Brandon hanya ditanggapi dengan gumaman dan anggukan kepala dari keduanya. Hal ini membuat Bran tidak bisa menahan diri lagi untuk bertanya kepada istrinya.“In,” panggil Brandon saat melihat Arini mengenakan perawatan kulit khusus malam hari.Arini menoleh ke arahnya dengan tatapan bingung, lalu meletakkan botol krim malam yang dipegang. “Kenapa, Sayang?”Brandon berdiri, lantas melangkah mendekati Arini yang duduk di meja rias. Dia memeluk istrinya dari belakang.“Gimana anak-anak hari ini?” tanya Bran sambil mengusap lengan Arini.“Baik. Cuma kayaknya sedih aja sih karena harus pinda
BrandonBeberapa jam yang laluMata sayu Bran beralih melihat ke arah jam dinding yang ada di ruang kerja. Dia mengambil beberapa berkas, lalu memasukkannya ke dalam tas. Sebelum melangkah ke luar ruangan, pria itu menerima sebuah pesan dari seseorang melalui aplikasi whatsapp.Dia tersenyum melihat foto yang tampil di layar ponsel. Di foto itu tampak sepuluh anak-anak dengan usia sekitar tiga hingga sepuluh tahun berdiri dengan rapi. Ada juga lima orang mendampingi, dua orang berusia paruh baya sementara tiga lagi masih muda. Beberapa di antara mereka sedang menggendong bayi berusia lima bulan hingga satu tahun.“Nggak sabar menunggu saatnya tiba,” gumam Bran melangkah menuju pintu.Tiba di luar ruangan, dia melihat Pak Habib telah standby dengan sebuah tablet pipih di tangan.“Berangkat sekarang, Pak,” ujar Brandon memberi kode agar Pak Habib ikut dengannya.Pria berusia enam puluh tahunan itu berjalan di belakang bosnya dengan tenang. Hari ini keduanya berencana memantau proyek yan
AriniSenyuman mengambang di wajah cantik milik Iin saat melihat El dan Al duduk di ruang tamu. Kedua remaja itu langsung berlari menghampirinya. Tanpa basa-basi mereka memeluk erat sang Ibu.Seperti biasa Arini memberi kecupan di kening keduanya bergantian.“Tumben tungguin Mami pulang di sini?” tanya Arini bingung.“Kangen sama Mami,” jawab Al bergelayut manja di lengan Iin.“Sama, kangen pelukan Mami,” imbuh El tak kalah manja.Arini duduk di sofa melepas penat setelah bekerja seharian di kantor.Tahu Ibunya kelelahan, El dan Al langsung memberi pijatan di pundak hingga lengan Iin tanpa diberi komando. Wanita berusia pertengahan empat puluh itu kembali mengulas senyum lembut keibuan. Dia mengamati kedua buah hatinya lekat satu per satu.“Papi kok nggak pulang sama Mami?” selidik Al setelah hening beberapa menit.“Papi lagi ke luar kota dari tadi pagi. Ngecek proyek di Tangerang,” sahut Iin menyandarkan punggung di sofa sembari menikmati pijatan yang diberikan El dan Al.“Emang lagi
ElfarehzaAlyssa tersenyum lembut sambil menepuk pelan pundak kakaknya. Dia tahu saat ini El masih kesal, karena Brandon kembali menjual motor yang dibelikan oleh Sandy sepuluh hari yang lalu. Apalagi dalam minggu depan mereka akan pindah rumah. Arini terpaksa menyetujui keinginan Bran untuk tinggal terpisah dari kedua orang tuanya.“Mau sampai kapan Abang diemin Papi?” tanya Al ketika mereka sedang dalam perjalanan menuju sekolah.Pemuda itu mengangkat bahu sambil mendesah pelan.“Udah dua hari loh, Bang. Lebih dari tiga hari udah dosa, apalagi sama orang tua sendiri,” tanggap Al berusaha menasihati kakaknya.“Kamu nggak ngerti sih perasaan Abang sekarang.”“Siapa bilang nggak ngerti? Aku tahu kok, ‘kan ikut menikmati juga kalau Abang punya motor.”El menatap malas adiknya, kemudian melengos ke sisi kiri jalan.“Aku ketemu sama Tante Moza waktu ke mall hari Minggu kemarin,” ungkap Al membuat El kembali melihat ke arahnya.“Oya? Kok nggak cerita sih?” protes El menyipitkan mata. “Udah
Arini dan BrandonSesosok tubuh tampak menggeliat di balik selimut. Dia meregangkan tangan ke atas sambil sesekali menguap. Perjalanan panjang dari ujung timur Indonesia menuju Jakarta membuat tubuh terasa pegal.“Good morning, My Angel,” sapa Bran ketika merasakan gerakan tempat tidur.Dia beringsut mendekat istrinya, lantas memberi pelukan erat.“Kamu udah bangun?” gumam Iin dengan suara serak khas bangun tidur.“Baru aja bangun. Kalau masih capek tidur lagi aja.”Arini mengalihkan pandangan ke sisi kanan dinding kamar. “Udah jam 04.00, Sayang. Sebentar lagi subuh.”“30 menit lagi, In. Kamu masih bisa tidur.”Iin memutar balik tubuh, lalu memeluk suaminya erat. Dia menenggelamkan kepala di dada bidang Bran yang terbungkus baju kaus putih polos. Penggalan kejadian memalukan ketika berada di daerah Misool kembali berputar di pikiran.Hingga detik ini, Arini belum menceritakannya kepada Brandon. Dia memilih untuk merahasiakan hal ini, karena tidak ingin membuat pria itu khawatir.“Udah