El dan AlBeberapa hari kemudianSepasang mata cokelat tampak mengerjap, perlahan terbuka lebar. El sesekali menguap sambil meregangkan tubuh setelah bangun dari tidur lelap. Senyuman terbit seketika di wajahnya saat ingat hari ini adalah hari kedua Brandon dan Arini pergi berbulan madu ke Raja Ampat.Dia bergegas ke kamar mandi membersihkan diri. El bahagia ketika kedua orang tuanya tidak sedang di rumah. Tujuh hari dimanfaatkan untuk meraih kebebasan.Selesai berpakaian, pemuda itu segera turun ke ruang makan. Sandy, Lisa dan Alyssa sudah menunggu di sana. Mereka duduk di kursi yang biasa ditempati masing-masing.Al tampak rapi mengenakan seragam batik dipadu dengan rok abu-abu panjang. Mereka kemudian menyantap hidangan yang telah tersedia.“Hari ini pulang jam berapa?” tanya Sandy melihat kedua cucunya bergantian selesai sarapan.“Biasa, Kek. Jumat pulang jam 11.00. Tapi kayaknya El salat Jumat di masjid dekat sekolah deh,” jawab El.“Al bagaimana? Terpaksa nunggu El pulang dulu d
Arini dan BrandonPiaynemo, Kabupaten Raja Ampat, Papua BaratArini memandang hamparan laut yang menyuguhkan warna perpaduan biru turquoise dan hijau toska. Laut itu dihiasi dengan gundukan-gundukan pulau karst kecil. Netra cokelatnya tak henti menatap kagum keindahan alam ciptaan Tuhan ini.Lelah yang terasa setelah menaiki 320 anak tangga menuju puncak Piaynemo kini terbayar sudah. Pemandangan indah terpampang jelas di hadapannya."Kamu suka, Sayang?" bisik Bran di telinga istrinya.Arini menegakkan tubuh yang tadi bersandar di dada Bran, lantas mendongakkan kepala. Dia mengangguk sambil mengulas senyum manis yang tampak begitu cantik."Suka banget, Bran. Makasih ya udah bawa aku ke sini," sahutnya masih dengan senyum mengambang."Aku berharap kamu bisa lebih enjoy lagi setelah liburan ke sini," ujar Brandon sembari memutar tubuh Arini menghadap kepadanya.Pria itu menatap lekat manik cokelat lebar milik Arini beberapa saat. "Jangan kecapean lagi ya. Aku nggak mau sesuatu terjadi sa
Elfarehza“Dek, udah siap belum?”El berdiri di depan kamar Al sembari mengetuk pintu. Setelan kemeja casual bermotif kotak-kotak dipadu dengan celana panjang berbahan katun terpasang di tubuhnya. Pemuda itu mewarisi tinggi badan sang Ayah, sehingga lebih tinggi dibanding remaja seusianya.“Ya, Bang. Sebentar lagi aku selesai,” sahut Al dari dalam kamar.Hari ini mereka berencana pergi ke mall. El ingin mencari display figure salah satu karakter Dragon Ball kesukaannya. Dia sangat menyukai seri kartun dari negeri sakura tersebut. Sejak kecil pemuda itu mengoleksi berbagai jenis figure karakter serial kartun yang pernah booming di tahun 90-an.Sementara Al juga ada janji dengan geng Jelita. Dia ingin membuktikan bahwa dirinya bisa menyesuaikan diri dengan mereka.Tak lama pintu kamar Al terbuka. Dia tampak mengenakan setelan rok panjang dengan baju kaus lengan panjang. Sebuah kerudung berwarna merah muda menutup kepala.“Sesuai kesepakatan sebelumnya. Begitu tiba di mall kita berpencar
Arini dan BrandonSesosok tubuh tampak menggeliat di balik selimut. Dia meregangkan tangan ke atas sambil sesekali menguap. Perjalanan panjang dari ujung timur Indonesia menuju Jakarta membuat tubuh terasa pegal.“Good morning, My Angel,” sapa Bran ketika merasakan gerakan tempat tidur.Dia beringsut mendekat istrinya, lantas memberi pelukan erat.“Kamu udah bangun?” gumam Iin dengan suara serak khas bangun tidur.“Baru aja bangun. Kalau masih capek tidur lagi aja.”Arini mengalihkan pandangan ke sisi kanan dinding kamar. “Udah jam 04.00, Sayang. Sebentar lagi subuh.”“30 menit lagi, In. Kamu masih bisa tidur.”Iin memutar balik tubuh, lalu memeluk suaminya erat. Dia menenggelamkan kepala di dada bidang Bran yang terbungkus baju kaus putih polos. Penggalan kejadian memalukan ketika berada di daerah Misool kembali berputar di pikiran.Hingga detik ini, Arini belum menceritakannya kepada Brandon. Dia memilih untuk merahasiakan hal ini, karena tidak ingin membuat pria itu khawatir.“Udah
ElfarehzaAlyssa tersenyum lembut sambil menepuk pelan pundak kakaknya. Dia tahu saat ini El masih kesal, karena Brandon kembali menjual motor yang dibelikan oleh Sandy sepuluh hari yang lalu. Apalagi dalam minggu depan mereka akan pindah rumah. Arini terpaksa menyetujui keinginan Bran untuk tinggal terpisah dari kedua orang tuanya.“Mau sampai kapan Abang diemin Papi?” tanya Al ketika mereka sedang dalam perjalanan menuju sekolah.Pemuda itu mengangkat bahu sambil mendesah pelan.“Udah dua hari loh, Bang. Lebih dari tiga hari udah dosa, apalagi sama orang tua sendiri,” tanggap Al berusaha menasihati kakaknya.“Kamu nggak ngerti sih perasaan Abang sekarang.”“Siapa bilang nggak ngerti? Aku tahu kok, ‘kan ikut menikmati juga kalau Abang punya motor.”El menatap malas adiknya, kemudian melengos ke sisi kiri jalan.“Aku ketemu sama Tante Moza waktu ke mall hari Minggu kemarin,” ungkap Al membuat El kembali melihat ke arahnya.“Oya? Kok nggak cerita sih?” protes El menyipitkan mata. “Udah
AriniSenyuman mengambang di wajah cantik milik Iin saat melihat El dan Al duduk di ruang tamu. Kedua remaja itu langsung berlari menghampirinya. Tanpa basa-basi mereka memeluk erat sang Ibu.Seperti biasa Arini memberi kecupan di kening keduanya bergantian.“Tumben tungguin Mami pulang di sini?” tanya Arini bingung.“Kangen sama Mami,” jawab Al bergelayut manja di lengan Iin.“Sama, kangen pelukan Mami,” imbuh El tak kalah manja.Arini duduk di sofa melepas penat setelah bekerja seharian di kantor.Tahu Ibunya kelelahan, El dan Al langsung memberi pijatan di pundak hingga lengan Iin tanpa diberi komando. Wanita berusia pertengahan empat puluh itu kembali mengulas senyum lembut keibuan. Dia mengamati kedua buah hatinya lekat satu per satu.“Papi kok nggak pulang sama Mami?” selidik Al setelah hening beberapa menit.“Papi lagi ke luar kota dari tadi pagi. Ngecek proyek di Tangerang,” sahut Iin menyandarkan punggung di sofa sembari menikmati pijatan yang diberikan El dan Al.“Emang lagi
BrandonBeberapa jam yang laluMata sayu Bran beralih melihat ke arah jam dinding yang ada di ruang kerja. Dia mengambil beberapa berkas, lalu memasukkannya ke dalam tas. Sebelum melangkah ke luar ruangan, pria itu menerima sebuah pesan dari seseorang melalui aplikasi whatsapp.Dia tersenyum melihat foto yang tampil di layar ponsel. Di foto itu tampak sepuluh anak-anak dengan usia sekitar tiga hingga sepuluh tahun berdiri dengan rapi. Ada juga lima orang mendampingi, dua orang berusia paruh baya sementara tiga lagi masih muda. Beberapa di antara mereka sedang menggendong bayi berusia lima bulan hingga satu tahun.“Nggak sabar menunggu saatnya tiba,” gumam Bran melangkah menuju pintu.Tiba di luar ruangan, dia melihat Pak Habib telah standby dengan sebuah tablet pipih di tangan.“Berangkat sekarang, Pak,” ujar Brandon memberi kode agar Pak Habib ikut dengannya.Pria berusia enam puluh tahunan itu berjalan di belakang bosnya dengan tenang. Hari ini keduanya berencana memantau proyek yan
Arini dan BrandonBrandon masih memikirkan perubahan sikap kedua buah hatinya tadi sore. Dia tahu El dan Al awalnya duduk bersama Arini di ruang tamu, tapi segera pergi setelah dirinya tiba. Pria itu bisa memahami jika El bersikap seperti itu, tapi kenapa Alyssa juga ikut-ikutan? Biasanya gadis itu lebih manja dengan Bran dibandingkan Iin.Saat makan malam mereka juga tidak banyak berbicara. Pertanyaan Brandon hanya ditanggapi dengan gumaman dan anggukan kepala dari keduanya. Hal ini membuat Bran tidak bisa menahan diri lagi untuk bertanya kepada istrinya.“In,” panggil Brandon saat melihat Arini mengenakan perawatan kulit khusus malam hari.Arini menoleh ke arahnya dengan tatapan bingung, lalu meletakkan botol krim malam yang dipegang. “Kenapa, Sayang?”Brandon berdiri, lantas melangkah mendekati Arini yang duduk di meja rias. Dia memeluk istrinya dari belakang.“Gimana anak-anak hari ini?” tanya Bran sambil mengusap lengan Arini.“Baik. Cuma kayaknya sedih aja sih karena harus pinda
Brandon dan AriniBrandon menyandarkan punggung di kursi mobil sambil sesekali mengurut pelipis. Akhir minggu dia harus pergi lagi ke Poris memastikan persiapan ulang tahun pernikahannya sudah mencapai 100%, sekaligus mengurus beberapa dokumen rumah singgah. Pria itu memberikan alasan ingin melihat-lihat rumah yang akan mereka tinggali nanti. Bersyukur Arini tidak pergi hari ini, katanya ingin istirahat di rumah dulu.Nggak sabar pengin tahu reaksi Iin nanti, bisik Brandon dalam hati sembari tersenyum.Rumah singgah itu didirikan sebagai pembuktian cintanya kepada Arini. Dia hanya ingin melihat sang Istri bisa berbahagia dikelilingi anak-anak, meski tidak lahir dari rahimnya.Perlahan mobil memasuki pekarangan rumah keluarga Harun. Tak lama kemudian, Bran melangkah memasuki rumah setelah turun dari kendaraan.“Gimana, Sayang?” tanya Arini begitu Brandon berada di ruang keluarga.Di sana ada Alyssa. Gadis itu duduk di samping Arini sembari menonton.“Masih lihat-lihat sih, In. Belum ne
ElfarehzaEl bersandar lesu di dinding kamar. Sulit untuk bersikap seperti tidak terjadi apa-apa di hadapan Bran. Ingin sekali menanyakan langsung kepada pria itu, tapi diurungkan. Khawatir jika Arini mendengarkan pembicaraan mereka. Apalagi dia berpikir ayahnya tidak akan mau mengatakan yang sejujurnya.Pemuda itu memukul dinding dilapisi wallpaper bermotif kotak campuran warna putih dan abu-abu. Hanya itu satu-satunya cara agar El bisa melepaskan kekesalan yang terasa. Pandangannya beralih ke arah ponsel yang tergeletak di atas kasur. Saat ini ia butuh seseorang untuk berbicara, selain Al.El membuka aplikasi whatsapp dan mencari nama orang yang bisa diajak berbicara. Pencarian berakhir ketika menemukan nama Syifa di daftar kontak. Barangkali gadis itu bisa mendengarkan keluh kesahnya. Hanya dia yang bisa dipercaya. Tidak mungkin bercerita kepada Hariz, karena hari libur sering jalan-jalan dengan keluarganya.Me: Assalamualaikum. Kamu lagi sibuk nggak, Syifa?Pesan berhasil dikirim
AriniSetelah salat Subuh, Arini pergi ke kamar El. Seperti janji dengan Brandon, ia akan mencoba bicara dengan kedua buah hatinya. Wanita itu penasaran hal apa yang membuat mereka berubah menjadi dingin kepada Brandon?“El?” panggilnya dari luar kamar setelah mengetuk pintu.“Ya, Mi?” sahut El dari dalam kamar.Tak lama kemudian pintu kamar terbuka. Senyum hangat tergambar dari wajah tampan Elfarehza.“Mami pagi ini cantik banget,” puji El memandangi ibunya.Arini berdecak lalu menyipitkan mata. “Kamu persis kayak Papi. Pintar banget ngerayu Mami.”Tarikan lebar bibir El berangsur menyusut. Dia melangkah lesu ke dalam kamar, lalu duduk di pinggir tempat tidur.Iin juga masuk ke kamar dan duduk di samping putranya. Dia mengusap lembut puncak kepala El sembari menatapnya lekat.“Kamu masih marah ya sama Papi?”Pemuda itu menundukkan kepala dengan pandangan tertuju ke lantai keramik berwarna putih gading.“Nggak boleh gitu, Sayang. Papi larang pakai motor ‘kan demi kebaikan kamu. Papi j
ElfahrezaDesahan pelan keluar dari sela bibir El saat duduk di bangku atap gedung sekolah. Mata cokelatnya menatap nanar langit kota Jakarta Pusat yang cukup cerah menjelang siang. Warna biru langit hanya ditutupi sedikit awan putih.Dia tidak habis pikir dengan apa yang telah dilakukan Brandon. Jika terbukti pria itu mengkhianati Arini, El tidak akan pernah memaafkannya.Pandangan pemuda itu beralih ke samping belakang ketika mendengar pintu terbuka. Tampak seorang siswi berkerudung nan imut dan berparas cantik memasuki area atap.“Maaf, Kak. Aku pikir tadi nggak ada orang,” ucap gadis itu.Senyuman mengambang di wajah tampan El. “Nggak pa-pa. Kalau mau duduk di sini silakan, Syifa. Sekalian ngobrol.”Syifa berdiri di sela pintu. Tampak ragu di irasnya.El mengerling ke arah bangku satu lagi agar bisa ditempati Syifa.Gadis itu masih bergeming dengan tilikan mata tidak beranjak dari El. Ada yang tidak biasa di paras pemuda itu. Dia bisa menangkap raut kalut di wajahnya. Setelah mena
Arini dan BrandonBrandon masih memikirkan perubahan sikap kedua buah hatinya tadi sore. Dia tahu El dan Al awalnya duduk bersama Arini di ruang tamu, tapi segera pergi setelah dirinya tiba. Pria itu bisa memahami jika El bersikap seperti itu, tapi kenapa Alyssa juga ikut-ikutan? Biasanya gadis itu lebih manja dengan Bran dibandingkan Iin.Saat makan malam mereka juga tidak banyak berbicara. Pertanyaan Brandon hanya ditanggapi dengan gumaman dan anggukan kepala dari keduanya. Hal ini membuat Bran tidak bisa menahan diri lagi untuk bertanya kepada istrinya.“In,” panggil Brandon saat melihat Arini mengenakan perawatan kulit khusus malam hari.Arini menoleh ke arahnya dengan tatapan bingung, lalu meletakkan botol krim malam yang dipegang. “Kenapa, Sayang?”Brandon berdiri, lantas melangkah mendekati Arini yang duduk di meja rias. Dia memeluk istrinya dari belakang.“Gimana anak-anak hari ini?” tanya Bran sambil mengusap lengan Arini.“Baik. Cuma kayaknya sedih aja sih karena harus pinda
BrandonBeberapa jam yang laluMata sayu Bran beralih melihat ke arah jam dinding yang ada di ruang kerja. Dia mengambil beberapa berkas, lalu memasukkannya ke dalam tas. Sebelum melangkah ke luar ruangan, pria itu menerima sebuah pesan dari seseorang melalui aplikasi whatsapp.Dia tersenyum melihat foto yang tampil di layar ponsel. Di foto itu tampak sepuluh anak-anak dengan usia sekitar tiga hingga sepuluh tahun berdiri dengan rapi. Ada juga lima orang mendampingi, dua orang berusia paruh baya sementara tiga lagi masih muda. Beberapa di antara mereka sedang menggendong bayi berusia lima bulan hingga satu tahun.“Nggak sabar menunggu saatnya tiba,” gumam Bran melangkah menuju pintu.Tiba di luar ruangan, dia melihat Pak Habib telah standby dengan sebuah tablet pipih di tangan.“Berangkat sekarang, Pak,” ujar Brandon memberi kode agar Pak Habib ikut dengannya.Pria berusia enam puluh tahunan itu berjalan di belakang bosnya dengan tenang. Hari ini keduanya berencana memantau proyek yan
AriniSenyuman mengambang di wajah cantik milik Iin saat melihat El dan Al duduk di ruang tamu. Kedua remaja itu langsung berlari menghampirinya. Tanpa basa-basi mereka memeluk erat sang Ibu.Seperti biasa Arini memberi kecupan di kening keduanya bergantian.“Tumben tungguin Mami pulang di sini?” tanya Arini bingung.“Kangen sama Mami,” jawab Al bergelayut manja di lengan Iin.“Sama, kangen pelukan Mami,” imbuh El tak kalah manja.Arini duduk di sofa melepas penat setelah bekerja seharian di kantor.Tahu Ibunya kelelahan, El dan Al langsung memberi pijatan di pundak hingga lengan Iin tanpa diberi komando. Wanita berusia pertengahan empat puluh itu kembali mengulas senyum lembut keibuan. Dia mengamati kedua buah hatinya lekat satu per satu.“Papi kok nggak pulang sama Mami?” selidik Al setelah hening beberapa menit.“Papi lagi ke luar kota dari tadi pagi. Ngecek proyek di Tangerang,” sahut Iin menyandarkan punggung di sofa sembari menikmati pijatan yang diberikan El dan Al.“Emang lagi
ElfarehzaAlyssa tersenyum lembut sambil menepuk pelan pundak kakaknya. Dia tahu saat ini El masih kesal, karena Brandon kembali menjual motor yang dibelikan oleh Sandy sepuluh hari yang lalu. Apalagi dalam minggu depan mereka akan pindah rumah. Arini terpaksa menyetujui keinginan Bran untuk tinggal terpisah dari kedua orang tuanya.“Mau sampai kapan Abang diemin Papi?” tanya Al ketika mereka sedang dalam perjalanan menuju sekolah.Pemuda itu mengangkat bahu sambil mendesah pelan.“Udah dua hari loh, Bang. Lebih dari tiga hari udah dosa, apalagi sama orang tua sendiri,” tanggap Al berusaha menasihati kakaknya.“Kamu nggak ngerti sih perasaan Abang sekarang.”“Siapa bilang nggak ngerti? Aku tahu kok, ‘kan ikut menikmati juga kalau Abang punya motor.”El menatap malas adiknya, kemudian melengos ke sisi kiri jalan.“Aku ketemu sama Tante Moza waktu ke mall hari Minggu kemarin,” ungkap Al membuat El kembali melihat ke arahnya.“Oya? Kok nggak cerita sih?” protes El menyipitkan mata. “Udah
Arini dan BrandonSesosok tubuh tampak menggeliat di balik selimut. Dia meregangkan tangan ke atas sambil sesekali menguap. Perjalanan panjang dari ujung timur Indonesia menuju Jakarta membuat tubuh terasa pegal.“Good morning, My Angel,” sapa Bran ketika merasakan gerakan tempat tidur.Dia beringsut mendekat istrinya, lantas memberi pelukan erat.“Kamu udah bangun?” gumam Iin dengan suara serak khas bangun tidur.“Baru aja bangun. Kalau masih capek tidur lagi aja.”Arini mengalihkan pandangan ke sisi kanan dinding kamar. “Udah jam 04.00, Sayang. Sebentar lagi subuh.”“30 menit lagi, In. Kamu masih bisa tidur.”Iin memutar balik tubuh, lalu memeluk suaminya erat. Dia menenggelamkan kepala di dada bidang Bran yang terbungkus baju kaus putih polos. Penggalan kejadian memalukan ketika berada di daerah Misool kembali berputar di pikiran.Hingga detik ini, Arini belum menceritakannya kepada Brandon. Dia memilih untuk merahasiakan hal ini, karena tidak ingin membuat pria itu khawatir.“Udah