Sakhala memutuskan untuk pulang ke rumah setelah menemui Laudya di rumah sakit. Entah kenapa dia akhir-akhir ini sering sekali merindukan Dayana, padahal belum ada setengah hari mereka berpisah. Sakhala mengeluarkan ponselnya yang ada di dalam saku celana karena ingin menelepon Dayana."Halo, Sayang," sapanya terdengar lembut ketika Dayana menerima teleponnya. "Iya, Sakha. Ada apa? Tumben sekali kamu menelepon?" "Aku mau pulang. Apa kamu ingin menitip sesuatu?"Kening Dayana berkerut dalam memikirkan ucapan Sakhala barusan. Sepertinya dia tidak ingin menitip apa pun karena dia sedang tidak nafsu makan."Sayang?" tegur Sakhala karena Dayana tidak kunjung menjawab pertanyaannya."Tidak ada, Sakha. Kamu langsung pulang saja.""Baiklah. Sampai jumpa di rumah." Sakhala pun menutup teleponnya lalu melajukan mobilnya meninggakan pelataran parkir rumah sakit. Rasanya dia sudah tidak sabar sekali ingin bertemu dengan Dayana.***Dayana sedang menyiapkan makan siang untuk Sakhala. Wajah Day
Dayana menaruh belanjaannya di atas meja dengan sedikit keras. Perasaannya semakin bertambah buruk setelah bertemu dengan Laudya. Lebih baik mandi untuk mendinginkan kepalanya sekaligus meredam emosinya agar tidak meledak.Dayana menghabiskan waktu selama empat puluh menit lima menit untuk berendam di bak mandi. Setelah merasa sedikit tenang dia pun memutuskan untuk keluar dari kamar mandi dengan memakai bathrobe dan handuk kecil yang menutupi kepala.Karena terlalu asyik berendam, Dayana sampai tidak menyadari kalau sekarang sudah jam lima. Namun, Sakhala belum juga pulang sampai sekarang padahal suaminya itu biasanya selalu pulang tepat waktu. Mungkin saja Sakhala masih ada urusan, pikir Dayana. Dia pun memutuskan untuk ganti baju lalu menyiapkan makan malam. Sementara itu Sakhala sedang menyusun cara untuk membalas perbuatan Laudya dengan Erick di kantor. Dia pasti akan membuat Laudya menyesal karena sudah melenyapkan calon buah hatinya dan Dayana."Aku ingin membeli saham rumah s
Sakhala hanya tersenyum menanggapi pertanyaan dari Dayana. Dia memutuskan untuk tidak memberitahu Dayana tentang apa yang baru saja Erick sampaikan pada dirinya. "Hanya masalah kecil, Sayang. Tidak perlu dipikirkan," ujar Sakhala.Dayana percaya begitu saja dengan apa yang Sakhala katakan. Dia tidak bertanya lebih jauh lagi dan memilih untuk mengisi perutnya yang sudah berbunyi sejak tadi.Dayana menumpuk dua buah roti gandum dengan telur setengah matang di tengahnya lalu melahap makanannya dengan terburu-buru."Kalau makan pelan-pelan, Sayang. Lagi pula tidak akan ada yang merebut makananmu," ucap Sakhala setelah menyesap segelas kopi robustanya."Aku sudah tidak sabar ingin pergi denganmu, Sakha." Sakhala terkekeh pelan, sepertinya Dayana merasa sangat senang karena akan diajak pergi keluar. "Apa semua benar-benar baik-baik saja, Sakha? Entah kenapa aku merasa sedikit khawatir karena Erick jarang meneleponmu saat weekend." Raut wajah Dayana terlihat cemas."Tidak apa-apa, Sayang.
Laudya meremas ponsel yang berada di dalam genggamannya dengan erat setelah membaca pesan dari Sakhala. Wajah Laudya terlihat memerah, napas pun terengah karena menahan amarah. Dia bersumpah akan membalas perbuatan Sakhala bagaimana pun caranya.'Kamu tidak akan bisa menghancurkanku Sakha!' batin Laudya penuh dendam.Dia pun keluar dari ruangannya sambil membanting pintu dengan sangat keras lalu pergi ke rumah Sakhala. Dia ingin memberi sedikit kejutan pada Dayana karena wanita itu sedang berada di rumah sendirian.Laudya turun dari mobil sedan miliknya sambil membawa seikat bunga gradiola dan sekotak kue untuk Dayana. Dia mengetuk pintu yang ada di hadapannya dengan tidak sabar.Bik Suti yang mendengar suara pintu diketuk pun segera beranjak ke depan untuk membuka pintu."Tunggu sebentar!" teriaknya."Siapa yang datang, Bi?" tanya Dayana."Anu—" Tubuh Dayana menegang, jantungnya seolah-olah berhenti berdetak selama beberapa saat melihat seorang wanita yang berdiri tepat di belakang B
Erick tanpa sadar bergidik melihat reaksi Sakhala yang tampak begitu puas setelah mendengar berita kecelakaan Laudya. Namun, dia bisa menyembuyikan ekspresi wajahnya dengan sangat baik karena ingin menjaga perasaan bos sekaligus sahabat baiknya itu.Sampai sekarang Erick masih tidak menyangka Sakhala yang terkenal dingin tega melakukan hal segila itu untuk membalas perbuatan Laudya pada Dayana.Namun, Laudya memang pantas mendapat balasan atas perbuatannya karena dia sudah membunuh calon anak Sakhala dan Dayana. Jauh sebelum itu Laudya bahkan pernah menyelakai Dayana agar berpisah dari Sakhala."Kenapa kamu melamun, Rick?""Ah, ti-tidak, Tuan. Apa ada lagi yang Anda butuhkan?" Erick berusaha tetap terlihat tenang."Tidak ada. Lanjutkan saja pekerjaanmu."Erick mengangguk lalu pamit undur diri dari hadapan Sakhala.*** Dayana sibuk mengganti channel televisi untuk mencari acara yang menarik sambil menikmati camilan pedas kesukaannya. Setiap hari yang dia lakukan sekarang hanya bermala
Setelah pulang dari rumah sakit, Ruth dan Dayana tidak langsung pulang ke rumah. Mereka memilih mampir ke salah satu pusat perbelanjaan karena mereka sudah lama tidak menghabiskan waktu bersama. "Mama tidak tega melihat kondisi Laudya. Semoga dia bisa cepat pulih," ucap Ruth saat mereka sedang berjalan menyusuri pusat perbelanjaan. Mendengar ucapan Ruth barusan membuat Dayana menjadi teringat dengan ucapan Chandra di rumah sakit tadi. Apa benar yang menyebabkan Laudya kecelakaan adalah Sakhala?Dayana tanpa sadar menggelengkan kepala. Dia yakin sekali Sakhala tidak mungkin tega melakukan hal sejahat itu pada Laudya."Iya Ma, Dayana juga tidak tega melihatnya." Dayana dan Ruth memasuki sebuah toko pakaian karena Ruth ingin membeli baju. Setelah menemukan baju yang diinginkan, Ruth pun mengajak Dayana pulang. Ruth tidak sengaja bertemu dengan temannya ketika berjalan menuju pintu keluar. Temannya yang bernama Lina itu sedang berbelanja bersama menantu dan cucunya yang diletakkan di
Dayana merasa sangat haus, dia pun bangun lalu mengambil botol berisi air putih yang berada di atas meja samping tempat tidurnya.Sakhala tertidur sangat lelap. Suaminya itu pasti kelelahan karena bekerja di kantor seharian. Dayana pun menaikkan selimut untuk menutupi tubuh Sakhala sampai pada batas dada lalu mengecup kening lelaki itu dengan penuh sayang."Aku harap kamu tidak berbohong, Sakha. Aku percaya kamu tidak mungkin tega mencelakai Laudya." Dayana mengusap rambut Sakhala dengan lembut sebelum kembali merebahkan diri di samping lelaki itu.Namun, dia tidak bisa tidur karena ucapan Chandra terus terngiang-ngiang di kepalanya. Sepertinya dia harus menyelidiki penyebab kecelakaan yang dialami Laudya agar tahu kebenarannya.***"Selamat pagi, Sayang," sapa Sakhala.Wajahnya hanya berjarak satu sentimeter dari Dayana. "Selamat pagi juga, Sakha." Dayana menggeliat pelan lalu kembali mencari posisi tidur yang paling nyaman karena dia masih mengantuk."Apa aku membangunkanmu?" tanya
Dayana segera turun dari mobil begitu tiba di kantor Sakhala. Ada perasaan bahagia yang sulit dia jelaskan ketika menginjakkan kaki di Jordan Corps. Rasanya Dayana ingin sekali kembali bekerja, tapi Sakhala melarangnya.Dayana segera masuk ketika pintu lift yang ada di hadapannya terbuka lalu menekan angka dua belas karena dia ingin pergi ke ruangan Sakhala. Suaminya itu pasti terkejut jika melihatnya tiba-tiba ada di kantor. Dayana langsung menuju ruangan Sakhala begitu pintu lift terbuka. Meja kerja Erick terlihat kosong. Apa mungkin lelaki berkaca mata itu sedang ada di dalam bersama Sakhala?Dayana mendengar sayup-sayup Sakhala yang sedang berdebat dengan Erick ketika ingin membuka pintu. Namun, dia tidak mendengar dengan jelas apa yang sedang mereka bicarakan. Dayana pun membuka pintu ruangan Sakhala begitu saja lantas masuk ke dalam. Seperti yang sudah dia duga, Sakhala terlihat sangat terkejut ketika melihatnya datang."Dayana?!" Tubuh Sakhala menegang, jantungnya seolah-olah
"Sakha, lihat ini." Dayana mengusap perutnya yang tampak semakin membesar. Sakhala sontak mengalihkan pandang dari layar laptopnya lalu menatap Dayana dan ikut mengusap perut istrinya itu dengan lembut."Halo, Jagoan Papa. Sehat-sehat ya, di dalam perut mama. Papa sudah tidak sabar ingin ketemu sama kamu," ucap Sakhala sambil tersenyum karena merasakan pergerakan dari calon buah hatinya yang masih berada di dalam perut Dayana."Apa kamu bisa merasakannya, Sakha?"Sakhala mengangguk. Kedua matanya tampak berbinar merasakan gerakan dari calon buah hatinya. "Dia pasti tidak sabar ingin bertemu sama mama papanya."Perasaan Dayana seketika menghangat melihat Sakhala yang sedang berbicara dengan calon buah hati mereka. Dia bisa melihat dengan jelas jika Sakhala sangat menyayangi buah hatinya."Sakha," panggil Dayana pelan."Iya, Sayang?" "Dokter Tasqia kemarin bilang kalau aku mungkin akan melahirkan akhir bulan nanti. Tapi kenapa perutku sekarang sering merasa mulas?" tanya Dayana sambil
Dayana menjalani masa kehamilannya dengan penuh kebahagiaan meskipun ini bukan kehamilannya yang pertama. Minggu ini usia kehamilannya tepat tujuh bulan. Dayana merasa napasnya menjadi lebih berat dan sesak dari pada biasanya karena janin yang ada di dalam perutnya semakin membesar.Sebagai seorang suami, Sakhala berusaha memberikan yang terbaik untuk Dayana. Seperti dua hari yang lalu, dia baru saja membelikan istrinya itu sebuah sofa santai khusus untuk ibu hamil yang harganya puluhan juta. Sakhala sengaja membelinya agar Dayana merasa nyaman. Selain itu dia tidak tega melihat Dayana yang terus mengeluh karena pinggangnya sakit dan pegal-pegal. Dayana menganggap Sakhala terlalu berlebihan. Namun dia sendiri tidak bisa menolak karena Sakhala membeli sofa itu tanpa sepengetahuan dirinya. Selain itu, dia juga tidak ingin berdebat dengan Sakhala karena itu hanya akan menguras energinya.Dayana duduk di sofa ruang keluarga dengan wajah bahagia. Dia tersenyum saat mengingat pesta gender
Keesokan harinya Dayana bangun dengan kondisi tubuh yang segar bugar karena dia semalam tidur dengan sangat nyenyak. Dia bahkan tidak terganggu dengan suara alarm yang dia pasang sebelum tidur.Dayana melirik jam digital yang ada di atas meja kecil samping tempat tidurnya. Ternyata sekarang sudah jam tujuh pagi dan dia ingat kalau hari ini Sakhala ingin mengajaknya pergi ke suatu tempat untuk babymoon. "Sakha sudah bangun belum, ya?" gumam Dayana sambil beranjak dari tempat tidurnya dengan hati-hati.Biasanya Sakhala selalu membantunya saat turun, tapi beberapa minggu ini dia harus melakukannya sendiri karena perutnya selalu merasa mual bila berada di dekat Sakhala. Mungkin saja ini bawaan bayi yang berada di dalam kandungannya.Tiba-tiba saja pintu kamarnya diketuk dari luar. "Apa kamu sudah bangun, Sayang?" tanya Sakhala sambil membuka sedikit pintu kamarnya untuk melihat Dayana. Tingkah lelaki itu benar-benar mirip seorang pencuri yang mengintai rumah korbannya."Aku sudah bangun
Dayana terbangun dari tidurnya karena perutnya tiba-tiba terasa sangat mual. Dia pun langsung bangun lalu berlari ke kamar mandi dan memuntahkan semua isi perutnya. Sakhala yang mendengar Dayana muntah-muntah ikut terbangun dan segera menghampiri istrinya itu. "Kamu nggak papa, Sayang?" Sakhala mengetuk pintu kamar mandi dengan perasaan khawatir. Dayana tidak menjawab panggilan Sakhala dan terus muntah-mutah. Rasanya Sakhala ingin sekali menemani Dayana di dalam sana, akan tetapi dia tidak bisa masuk karena pintu kamar mandi dikunci Dayana dari dalam. "Sayang?!" Sakhala terus berdiri di depan pintu kamar mandi sambil terus memanggil Dayana. Dia akan mendobrak pintu kamar mandi tersebut jika Dayana tidak kunjung keluar. Namun, belum sempat dia melakukannya Dayana tiba-tiba membuka pintu kamar mandi tersebut dengan wajah yang terlihat sedikit pucat. Sakhala segera menghampiri Dayana lalu menuntun wanita itu agar duduk di atas tempat tidur. "Bagaiamana keadaanmu sekarang? Apa sudah
Dayana telah dipindahkan ke ruang rawat setelah menjalani proses pemindahan embrio di rahimnya. Wanita itu masih belum sadar karena efek bius. Sakhala tidak pernah beranjak dari sisi Dayana, dia duduk di kursi yang ada di sebelah ranjang Dayana sambil menggenggam jemari tangan wanita itu dengan erat. Setelah menunggu cukup lama, akhirnya Dayana membuka mata. Dia mengerjapkan kedua matanya perlahan untuk menyesuaikan dengan cahaya yang menerobos masuk ke dalam indra penglihatannya."Sayang?!" Sakhala sontak mengembuskan napas lega karena Dayana akhirnya membuka mata. Dia segera menekan tombol Nurse Call untuk memanggil perawat atau dokter agar memeriksa Dayana."Sakha ...," panggil Dayana pelan karena tubuhnya masih terasa lemas. Tiba-tiba saja pintu ruang rawatnya diketuk dari luar disusul dengan masuknya seorang perawat untuk memeriksa kondisinya"Bagaimana keadaan Ibu Dayana sekarang? Apa Anda masih merasa pusing?" tanya perawat tersebut."Tidak, Sus. Tapi saya masih merasa sedikit
Waktu berjalan dengan begitu cepat, membawa semua hal berlalu bersamanya. Hari ini adalah hari yang penting bagi Sakhala dan Dayana. Sudah genap empat belas hari pasangan itu menunggu hasil dari program bayi tabung yang telah mereka jalani selama kurang lebih satu bulan. "Apa kamu cemas?" tanya Sakhala terdengar lembut. Genggaman tangannya pada Dayana tidak terlepas sedikit pun sejak mereka memasuki halaman rumah sakit."A-aku baik-baik saja."Sakhala menggeleng pelan karena wanita yang berjalan di sampingnya itu tidak pandai berbohong. "Kamu masih ingat ucapanku kemarin malam, kan? Apa pun hasilnya kita pasrahkan sama Tuhan. Yang terpenting kita sudah melakukan yang terbaik," ucap Sakhala berusaha menyalurkan energi positif pada Dayana. "Iya, aku tahu. Terima kasih karena kamu sudah ada di sampingku selama ini," balas Dayana pelan.Kedua pasangan itu pun akhirnya tiba di depan pintu ruangan bercat putih dengan sebuah papan nama bertuliskan Dokter Tasqia, SpOG.Sebelum menarik han
"Sayang!" Sakhala terus mengetuk pintu kamar mandi yang ada di hadapannya karena Dayana tidak kunjung keluar.Apa mungkin Dayana pingsan?"Kamu baik-baik saja, kan? Aku akan mendobrak pintu ini kalau kamu tidak juga keluar!" ucap Sakhala cemas. Dia terus mondar-mandir di depan pintu kamar mandi karena tidak terdengar suara apa pun dari dalam.Apa Dayana baik-baik saja? Sakhala melirik jam tangannya sekilas. Sudah lima menit dia menunggu tapi Dayana belum juga keluar. Sepertinya dia harus mendobrak pintu kamar mandi tersebut. Namun, tiba-tiba saja terdengar suara Dayana dari dalam."Tunggu, Sakha. Sebentar lagi aku keluar." Sakhala sontak mengembuskan napas lega karena Dayana akhirnya keluar dari kamar mandi. "Demi Tuhan, Sayang. Aku sudah berdiri di sini selama dua puluh menit. Apa kamu ingin membuatku khawatir?" Dayana malah terkekeh alih-alih merasa bersalah pada Sakhala. "Maaf Sakha. Aku tadi berendam air hangat sambil dengerin musik. Jadi nggak dengar kalau kamu mengetuk pintu.
Beberapa hari kemudian, Sakhala mengantar Dayana ke rumah sakit untuk berkonsultasi dengan Dokter Tasqia mengenai program bayi tabung. Dayana merasa sangat cemas karena ini pengalaman pertama baginya. Meskipun begitu, dia sudah siap dengan semua risiko yang mungkin akan dia temui nanti. "Apa kamu baik-baik saja?" tanya Sakhala karena melihat Dayana duduk dengan gelisah. Kedua mata istrinya berulang kali melihat ke arah pintu ruangan Dokter Tasqia yang masih tertutup rapat."A-aku baik-baik saja, Sakha. Cuma sedikit gugup."Sakhala menggenggam tangan Dayana semakin erat. Telapak tangan istrinya itu terasa sangat dingin dan basah. Dayana pasti merasa sangat gugup sekarang."Tenang saja, ada aku di sini. Semua pasti akan baik-baik saja," ujar Sakhala terdengar lembut. Pintu yang sedari tadi Dayana amati tiba-tiba dibuka dengan pelan dari dalam. Seorang wanita muda yang sedang hamil terlihat keluar dari ruangan tersebut disusul dengan seorang perawat dari arah belakang. "Silakan, Non
"Mama bilang apa? Nikah lagi? Apa Mama sudah kehilangan akal? Abang nggak mau Ma." Sakhala menolak dengan tegas permintaan Ruth. "Memangnya kenapa, Bang? Mama menyuruh Abang menikah lagi karena keluarga kita butuh seorang pewaris dari darah Abang. Apa mama salah?"Sakhala mengusap wajahnya dengan kasar. Dia benar-benar merasa kecewa dengan mamanya. Bagaimana mungkin Ruth bisa menyuruhnya untuk menikah lagi? Apa Ruth tidak pernah memikirkan perasaan Dayana?"Mama jelas-jelas salah kalau menyuruh abang menikah lagi demi mendapat keturunan. Apa Mama tidak memikirkan bagaimana perasaan Dayana?" Sakhala mengatupkan rahangnya rapat-rapat, berusaha menahan amarahnya agar tidak meledak. Sepertinya keputusannya untuk datang ke rumah mamanya setelah pulang dari kantor ini salah karena Ruth semakin menambah beban pikirannya. "Tapi kita butuh seorang pewaris, Bang," ucap Ruth dengan menekan kata pewaris. "Apa Mama lupa kalau kita sudah memiliki Anya?""Tapi dia bukan darah daging Abang." Ruth