"Jadi bukan Lucas yang melakukan korupsi?" Alexander sedang berdiri di balkon kamarnya dengan ponsel yang menempel di telinga ketika pandangannya mengarah ke bawah.["Benar, Tuan Muda. Seseorang yang tidak bertanggung jawab menggunakan nama Mr. Genovan."]"Baguslah kalau begitu. Segera bersihkan namanya," perintahnya pada Adrian. Helaan napas keluar dari bibir Alexander. Merasa lega–meskipun telah melakukan kelalaian hingga membuat adiknya meninggal, dan menyembunyikan tindakan yang dia lakukan–setidaknya Lucas tidak pernah memberi makan istrinya dengan uang yang tidak benar. Lelaki itu masih memikirkan kehormatannya. Alexander tersenyum mengamati Arandra. Wanita itu sedang berjalan-jalan di halaman mansion. Kedua tangannya memegangi lengan Rosaline sebagai tumpuannya berjalan. "Nyonya, Tuan Alex sepertinya memanggil Anda."Arandra yang sedikit membungkukkan tubuh–memegang bunga lavender yang tumbuh dengan cantik di sisi kanan dan kiri undakan tangga teras langsung menegakkan tubuh.
Rintihan kesakitan keluar dari bibir merah alami Arandra yang kini tampak memucat. Suaranya mengalun lemah. Terdengar mengalun samar di ruangan yang hening."Sakit...." Arandra menyentuh perutnya. Meremasnya kuat–berusaha menghilangkan rasa sakit yang menusuk-nusuk perutnya. Wajahnya sudah pucat pasi, sementara keringat dingin membanjiri dahinya.Arandra bergerak tidak beraturan. Membalik tubuhnya ke kiri dan kanan dengan bibir bawah digigit. Tidak tahan dengan rasa sakitnya. Matanya terpejam dengan napas yang tampak terengah-engah.Prang!Lalu suara gelas pecah terdengar ketika satu tangan Arandra tanpa sengaja menyenggol gelas yang berada di atas nakas saat mencoba untuk bangun. Arandra terjatuh dari ranjang. Bibirnya mengeluarkan rintihan sakit sementara tubuhnya meringkuk di lantai. Menekan perutnya yang terasa sakit sekali di saat air mata membanjiri wajahnya. "Alex, sakit...!""Astaga! Ara!"Suara Alexander terdengar nyaring–penuh ketakutan ketika dia baru saja membuka pintu da
Di depan jendela besar kamarnya yang menampakkan pemandangan halaman mansion di malam hari, Arandra termenung, sendirian. Matanya sayu, tidak ada semangat di wajahnya."Kenapa berdiri di sini?" Bersamaan dengan sebuah lengan yang memeluknya dari belakang, suara Alexander terdengar didekatnya.Arandra menolehkan sedikit kepalanya ke belakang. Tetesan air dari rambut Alexander yang baru selesai mandi terasa di pundaknya."Dingin, Ara." Alexander melepas pelukannya, memutar tubuh Arandra menghadapnya, dan disambut dengan tatapan sendunya–cukup untuk menyayat hati Alexander."Kau mau mandi?""Apakah aku bau?"Alexander menggeleng, tersenyum kecil sambil meletakkan telapak tangannya di satu sisi wajah Arandra. Mengusapnya pelan."Malas mandi.""Tidak apa-apa. Ayo tidur." Alexander membawa Arandra ke tempat tidur. Naik ke ranjang, Alexander merentangkan satu lengannya, dan Arandra meletakkan kepalanya di sana–masuk ke pelukan Alexander dan menenggelamkan wajah di dada bidangnya."Alex." Ara
Arandra keluar dari walk in closet–tampak segar dan rapi dengan sweater pastel dan rok semata kaki. Hanya saja binar ceria yang selalu menghiasi wajahnya sudah tidak terlihat lagi. "Kemari, Ara." Alexander memanggil–melihat Arandra berdiri diam di ambang pintu dengan tatapan kosong. Dia melamun.Arandra lantas berjalan mendekat pada Alexander. Lelaki itu duduk di tepi ranjang–baru selesai memakai jam tangannya ketika melambaikan tangan pada Arandra. Di sampingnya sudah ada sisir yang dia siapkan untuk merapikan rambut Arandra yang baru selesai mandi. Arandra duduk diam di depan Alexander. Membiarkannya menyisir rambutnya yang masih sedikit basah."Kemana semua barang-barangnya?"Alexander mengerutkan kening. Tidak terlalu jelas mendengar kalimat Arandra yang menyerupai gumaman. "Hm?" Alexander sedikit mencondongkan tubuhnya ke depan, melihat wajah Arandra dari samping."Baju bayi, sepatu, dan lainnya. Kemana? Kenapa sudah tidak ada di sana?" ulang Arandra.Alexander menyisir rambut
"Kita tidak pulang ke mansion?" Arandra bertanya ketika menyadari jalan yang mereka lalui bukanlah jalan pulang. Wanita itu memandang keluar melalui kaca jendela mobil di sampingnya yang terbuka. "Kita mau ke mana?" Arandra bertanya lagi setelah tidak mendapat jawaban dari pertanyaannya yang pertama. Kepalanya kini menoleh pada Alexander. Arandra menatap Alexander yang tengah sibuk menggeser-geser layar tablet dengan jemarinya, kaki kanannya diletakkan di atas kaki kiri–mengabaikan Arandra. "Kau marah padaku ya?"Alexander melirik Arandra sesaat dengan tatapan datar. "Tidak," jawabnya singkat sebelum memaku matanya lagi pada tablet di tangannya."Iya. Kau marah," simpul Arandra sendiri melihat dari sikap Alexander yang terkesan mendiaminya. "Dia hanya anak kecil, Alex. Masih kecil sekali, dan kau marah karena dia menciumku?"Wajah Alexander memang terus tertekuk sejak bocah yang diketahui bernama Maxime itu mencium Arandra. Setelah acara di panti asuhan itu selesai, Alexander dan Ar
Langit di penuhi dengan bintang ketika Alexander dan Arandra bersantai di balkon kamar–berbaring saling hadap dengan kepala menengadah ke atas, memperhatikan bintang-bintang yang berkelip di tengah gelapnya malam."Alex, geli," rengek Arandra karena Alexander yang menjahilinya dengan meniup telinganya. Sebelumnya dia sudah memain-mainkan rambut Arandra, lalu mencubiti pipinya. Arandra bergerak sedikit menjauh dari lelaki itu. Tapi Alexander dengan cepat kembali menariknya mendekat. Merapatkan tubuh mereka, lalu melingkarkan tangannya di pinggang Arandra."Ish! Jangan main-main." Arandra mencubit lengan Alexander cukup kuat. Lelaki itu kembali berulah dengan menggelitiki pinggangnya. Tidak bisa diam."Kasar sekali." Alexander mengadu, mengusap lengannya yang mendapatkan cubitan dengan wajah ditekuk. Tidak benar-benar kesal, hanya berniat menggoda Arandra."Salahmu kenapa usil?" Arandra memajukan bibirnya, tidak merasa bersalah."Kau sejak tadi diam. Apa yang kau pikirkan?" tanya Alexand
"Bukan yang merah. Yang warna kuning. Yang itu." Sembari berkata, Arandra mengeluarkan kepalanya dari jendela mobil. Dia memberikan kembali bunga yang diberikan Alexander dan menunjuk bunga tulip berwarna kuning yang terlihat dari kaca jendela toko bunga. "Sama saja, Ara. Yang penting bunga tulip," balas Alexander, bersiap masuk ke dalam mobil setelah meletakkan satu buket bunga mawar putih di jok belakang. "Axel suka warna kuning, bukan merah. Tukar dulu bunganya." Arandra tidak mau mengalah. Dia bahkan menekan kunci pintu mobil–tidak membiarkan Alexander masuk sebelum menukar bunganya.Alexander menghembuskan napas kesal. Dia mengambil bunga di tangannya Arandra, lalu kembali masuk ke dalam toko bunga. Membawa bunga sesuai yang wanita itu mau."Sudah?" Alexander meletakkan bunga itu di pangkuan Arandra setelah masuk ke dalam mobil. Melihat senyum cengengesan Arandra, dia mendengus kesal. "Kau sepertinya masih sangat menghapal apa yang di sukai Axel," katanya dengan nada menyindir,
Arandra mengangkat kedua tangannya di atas wajah–menutupi wajahnya dari sengatan matahari yang menusuk kulit. Dia dan Alexander sedang berdiri di pinggir jalan didekat lampu merah, sedang mengantri untuk membeli bubble tea."Bagaimana jika gerobaknya aku beli saja, Ara? Kau bisa minum sepuas mu nanti di mansion," ucap Alexander sembari menghalangi matahari yang menyorot ke wajah Arandra dengan tangan besarnya."Tidak boleh." Arandra menggeleng keras. Dia tahu suaminya itu sangat kaya. Tapi tidak perlu sampai membeli semua es itu dengan gerobak-gerobaknya. Lagipula siapa yang akan menghabiskan es sebanyak itu? Arandra hanya butuh satu gelas."Di sini panas sekali, Ara. Orang-orang itu juga, kenapa mereka lama sekali," keluh Alexander, melihat orang-orang yang berbaris di depannya untuk membeli es yang sama. Lama sekali."Ish! Kau menunggu di mobil saja. Aku akan mengantri sendiri," omel Arandra. Alexander sangat tidak sabaran.Alexander berdecak. Jemarinya bergerak menyelipkan rambut A