Arandra menunduk dengan kedua tangan tertaut. Punggungnya menempel di kepala ranjang, selimut menutupinya kakinya yang diposisikan lurus. "Maaf, Ibu. Pesta kejutan untuk ayahnya jadi batal karena aku," katanya merasa bersalah.Sejak Arandra bangun, Anggy sudah ada di sini dengan tatapan kesal pada Arandra Dia tidak mengatakan apapun, hanya diam saja. Jadi tidak salah jika Arandra berpikir wanita itu marah padanya."Kau pikir Ibu kesal karena itu?" balas Anggy dengan nada bicara garang.Arandra lantas mengangkat kepalanya, mendongak menatap Anggy yang berdiri di sebelah ranjang dengan kedua tangan terlipat di dada."Kau hamil. Sampai sudah berapa bulan itu? Tapi Ibu tidak tahu sama sekali," sindir Anggy. Arandra membuka bibirnya, baru tahu kenapa Ibunya kesal seperti itu. Dia menarik sudut bibirnya, tersenyum merasa bersalah. "Aku ingin memberitahu Ibu dan Ayah. Tapi belum ada waktu," berinya alasan."Belum ada waktu?" Anggy berd
"Alexander! Pulang sekarang! Arandra akan melahirkan!"Alexander memacu kakinya secepat mungkin. Berlari menyusuri koridor rumah sakit setelah melewati satu jam perjalanan.Jadi ini saatnya...Setelah melalui sembilan bulan yang panjang–mereka yang masih beberapa kali bertengkar perihal masalah yang sama, Arandra yang beberapa kali kesakitan, dan Alexander yang terus diliputi ketakutan–sekarang akan berakhir. Dan semuanya akan baik-baik saja."Bagaimana Arandra?" tanya Alexander cepat begitu sampai di hadapan Anggy dan Arthur yang duduk di depan ruang persalinan. Napasnya tidak beraturan."Arandra di dalam. Cepat temani dia," kata Arthur pelan sembari menepuk bahu putranya. Sementara Anggy masih duduk dengan kepala tertunduk–berdoa untuk keselamatan menantu dan kedua cucunya.Alexander menarik napas dalam. Dia berjalan memasuki ruangan tempat Arandra akan melahirkan. Degup jantungnya berpacu dengan keras, serta tangannya yang men
“Saya, Alexander Andrew William, mengambil engkau, Arandra Hana Genoveva, untuk menjadi istri saya, untuk saling memiliki dan menjaga, dari sekarang sampai selama-lamanya; Pada waktu susah maupun senang, pada waktu kelimpahan maupun kekurangan, pada waktu sehat maupun sakit, untuk saling mengasihi dan menghargai, sampai maut memisahkan kita. Dan inilah janji setia saya yang tulus.”“Saya, Arandra Hana Genoveva, mengambil engkau, Alexander Andrew William, untuk menjadi suami saya, untuk saling memiliki dan menjaga, dari sekarang sampai selama-lamanya; Pada waktu susah maupun senang, pada waktu kelimpahan maupun kekurangan, pada waktu sehat maupun sakit, untuk saling mengasihi dan menghargai, sampai maut memisahkan kita. Dan inilah janji setia saya yang tulus.”Sebuah upacara pernikahan diselenggarakan hari ini. Sang pastor menuntun kedua mempelai untuk membaca sumpah pernikahan. Tapi dengan nama pengantin yang berbeda. Pengantin prianya bukan lagi Axellino Andrick William, melainkan Al
Berbaring dengan mata terbuka menatap langit-langit kamar, Arandra menyentuh bibir bawahnya dengan jemari lentiknya–dengan pikiran yang tertuju entah kemana. Mungkin mengingat kembali bagaimana semua cerita ini dimulai. Ketika Axellino mengutarakan niatnya untuk menikahinya pada kedua orang tuanya, Arandra tidak bisa menggambarkan kegembiraannya saat itu. Dia sangat bahagia. Tapi semua kegembiraan itu lenyap karena satu kejadian tidak terduga. Padahal pernikahan sudah di depan mata. Semua persiapan sudah dilakukan. Cincin sudah dibeli, gaun sudah dipesan, dan undangan hanya tinggal disebar. Tapi semuanya harus dibatalkan karena kecelakaan yang menewaskan Axellino. Ya, calon pengantin pria meninggal dunia karena kecelakaan mobil. Arandra masih ingat dengan jelas bagaimana rapuhnya dia saat Axellino meninggal. Lelaki itu adalah satu-satunya orang yang Arandra punya–ketika Ibu dan Ayahnya tidak memiliki banyak waktu untuknya. Tidak sekalipun dia merasa sendirian ketika lelaki itu ada
"Ibu meminta pelayan untuk menghilangkan bawang bombay di tortillanya ketika memasaknya. Jadi kau bisa memakannya." Arandra mengangkat wajah, menatap Anggy yang duduk di depannya. Arthur duduk di kursi paling ujung. Sementara dia sendiri duduk di sebelah Alexander. "Semua makanannya juga tidak menggunakan cabai, karena kau tidak bisa memakan makanan pedas." Anggy kembali bersuara. "Oh iya, kau tidak boleh memakan yang ini. Di dalamnya ada udangnya. Kau kan alergi udang." Dia menunjuk satu masakan yang terdapat udang di dalamnya. Arandra mengangguk-angguk. Anggy tahu apa yang dia sukai dan tidak sukai, apa yang dia bisa makan dan tidak bisa makan. Dia terlihat sangat memperhatikan Arandra. Berbagai perasaan muncul di hatinya. Terharu, tersentuh, dan juga senang. Anggy memang seperti itu. Tapi Arandra tetap selalu menikmati perhatiannya. Dia tersenyum senang–sebelum senyum itu dengan cepat lenyap hanya karena satu pesan masuk dari Ibunya. [Ibu dan Ayah harus kembali ke Korea sekara
Hari itu hari Selasa, hari pertama di musim semi. Alexander kembali ke Spanyol setelah menyelesaikan doctoral degree-nya di Amerika. Alexander seharusnya masuk ke dalam mansion–menemui orang tuanya yang pasti sudah menunggunya–setelah keluar dari helikopter yang mendarat di helipad mansion. Tapi suara tawa yang samar-samar terdengar di telinganya, membuat lelaki itu mengubah arah. Dari ambang pintu, Alexander berbalik, berjalan ke arah halaman samping mansion. Di sana terdapat kebun bunga milik Anggy. Ibunya itu memang sangat menyukai bunga. Karena itu ayahnya membuat kebun bunga itu untuk ibunya. Terdapat berbagai macam bunga, berwarna-warni dan mekar dengan cantiknya. Tapi bukan itu yang menjadi fokus Alexander. Melainkan seorang perempuan yang ada di kebun bunga itu. Suara tawa yang didengarnya itu keluar dari bibirnya. "Axel, ayo senyum." Perempuan itu mengarahkan ponsel yang dibawanya di depan wajah Axellino. Sepertinya ingin memotretnya. "Ara, kenapa kau melakukan ini padak
"Apa kau senang?" tanya Alexander pada istrinya.Pada akhirnya mereka berdua sampai di Albinen di jam sepuluh pagi dengan jet pribadinya. Dan Arandra tidak membuang waktu untuk langsung menjelajahi desa dengan pemandangan pegunungan yang indah itu.Pemandangan desa Albinen yang tertutup oleh salju merupakan hal yang sangat indah untuk dinikmati. Arandra tidak berhenti berdecak kagum di setiap kakinya melangkah. Damai dan tenang. Terasa sangat menyenangkan ketika dia bisa menghirup udara pegunungan yang segar sambil memanjakan matanya dengan pemandangan pegunungan Alpen yang spektakuler.Arandra menoleh pada Alexander yang tengah menoleh padanya juga, lalu mereka berdua sama-sama tersenyum."Tentu saja!" jawab Arandra sembari mengangguk antusias. Dia mengayun-ayunkan tangannya yang terus digenggam Alexander sepanjang jalan. Sejak mereka memutuskan untuk menjalani pernikahan mereka seperti pernikahan pada umumnya, Alexander benar-benar berubah. Tatapan tajam dan menakutkan di matanya,
Seluruh tubuhnya terasa sakit!Arandra tidak pernah merasa seburuk ini bangun di pagi hari. Tubuhnya terasa remuk, pening di kepala, dan mata yang sulit terbuka karena kantuk– membuatnya sampai enggan hanya untuk sekedar membuka mata."Morning, sweetheart." Sebuah suara yang berat dan maskulin terdengar bersamaan dengan usapan lembut yang terasa di puncak kepalanya. Membuat Arandra tidak bisa menahan diri untuk tidak membuka mata.Arandra memaksa kelopak matanya yang terasa berat agar terbuka. Kepalanya menoleh ke samping dengan gerakan lambat. Melihat Alexander sudah duduk di tepi ranjang didekatnya. Menatapnya dengan senyum hangat yang tampak di mata."Aku membawakan mu sarapan. Ayo bangun dulu dan makan. Nanti kau bisa sakit jika melewatkan sarapan."Arandra melirik sebuah mangkuk di atas nakas yang diletakkan Alexander sebelumnya. Wanita itu kemudian bergerak sedikit untuk mengubah posisi berbaringnya, tapi rasa sakit menyengat langsung terasa di beberapa bagian tubuhnya. Arandra