"Ibu meminta pelayan untuk menghilangkan bawang bombay di tortillanya ketika memasaknya. Jadi kau bisa memakannya."
Arandra mengangkat wajah, menatap Anggy yang duduk di depannya. Arthur duduk di kursi paling ujung. Sementara dia sendiri duduk di sebelah Alexander."Semua makanannya juga tidak menggunakan cabai, karena kau tidak bisa memakan makanan pedas." Anggy kembali bersuara. "Oh iya, kau tidak boleh memakan yang ini. Di dalamnya ada udangnya. Kau kan alergi udang." Dia menunjuk satu masakan yang terdapat udang di dalamnya.Arandra mengangguk-angguk. Anggy tahu apa yang dia sukai dan tidak sukai, apa yang dia bisa makan dan tidak bisa makan. Dia terlihat sangat memperhatikan Arandra. Berbagai perasaan muncul di hatinya. Terharu, tersentuh, dan juga senang.Anggy memang seperti itu. Tapi Arandra tetap selalu menikmati perhatiannya. Dia tersenyum senang–sebelum senyum itu dengan cepat lenyap hanya karena satu pesan masuk dari Ibunya.[Ibu dan Ayah harus kembali ke Korea sekarang, karena pekerjaan. Maaf, sayang. Kita akan bertemu setelah kita kembali ke Spanyol, oke?]Tanpa memberikan balasan, Arandra menyimpan kembali ponselnya. Wajahnya tertekuk.Alexander meliriknya. Melihat Arandra yang mengaduk-aduk makanan di piring tanpa memakannya. "Ada apa?" tanyanya menyadari perubahan emosi pada wajah Arandra.Suara Alexander tidak berusaha ditahan sehingga Arthur dan Anggy pun bisa mendengarnya. Mereka memfokuskan tatapan pada Arandra.Arandra menggeleng. "Ibu dan ayahku kembali ke Korea," ucapnya pelan. Wanita itu menghela napas samar. "Aku sudah selesai. Boleh aku ke kamar dulu?" Dia menatap Arthur dan Anggy bergantian.Anggy menatapnya lekat sebelum memberikan anggukan. Dan tidak butuh waktu lama untuk Arandra langsung berdiri. Berjalan keluar dari ruang makan dengan langkah lesu.Alexander menatap punggung Arandra ketika Anggy berkata, "Aku kasihan pada anak itu. Lucas dan Riana selalu sibuk pada pekerjaannya. Mereka seperti lupa jika masih memiliki seorang putri yang butuh diperhatikan," ucap Anggy dengan helaan napas."Kau kan tahu sendiri Arandra bukan anak yang mereka harapkan terlepas dari bagaimanapun cantik dan baiknya anak itu." Arthur memberikan tanggapan. Dia mengelap bibirnya dengan sapu tangan. Sudah selesai sarapan."Tidak peduli Arandra memiliki tubuh yang lemah, atau tidak bisa menjadi apa yang mereka inginkan, tidak seharusnya Lucas dan Riana mengabaikannya seperti itu. Mereka memang keterlaluan."Sementara Arthur dan Anggy berbicara, Alexander mendengarkan dalam diam. Tangannya yang berada di bawah meja terkepal."Arandra sudah banyak disakiti oleh keluarganya sendiri," ucap Arthur, sebelum pandangannya dia fokuskan pada Alexander. "Ayah harap kau bisa menjaganya dengan baik. Jangan coba-coba untuk menyakitinya. Karena Ayah benar-benar akan marah padamu jika sampai melakukannya," katanya serius.Alexander mengangguk, mantap. Tidak ada keraguan. "Tapi aku ingin bertanya satu hal." Dia menjeda kalimatnya sebelum melanjutkan. "Tidakkah Ayah dan Ibu merasa sudah dimanfaatkan oleh keluarga Genovan? Mereka mengalihkan tanggung jawabnya pada Arandra kepada keluarga kita, di saat mereka sendiri tidak pernah melakukan tanggung jawabnya padanya.""Memang benar." Arthur mengangguk dengan santai."Lalu?" Kedua alis Alexander tertaut. "Kenapa menerimanya masuk ke keluarga kita?""Karena Ibu dan Ayah sudah jatuh cinta padanya." Anggy yang menjawab. "Arandra mudah sekali dicintai. Ketika Axel membawanya pertama kali ke rumah ini, Ibu dan Ayah langsung begitu saja menyukainya." Dia tersenyum kecil, mengingat wajah lugu Arandra. Hingga senyum itu berubah menjadi senyum pedih. "Adikmu juga sangat mencintai Arandra. Jadi tidak ada alasan untuk kami tidak menerimanya."Alexander terdiam– seolah tengah memikirkan sesuatu di kepalanya."Sekarang Ayah yang tanya padamu."Alexander mengarahkan bola matanya pada Arthur. Tatapannya bertanya."Apa yang membuatmu mau menikah dengan Arandra? Ibumu hanya meminta sekali. Tapi kau langsung menyetujuinya."Dan Alexander kembali terdiam. Bola matanya bergerak ke kiri dan ke kanan– mencoba menghindari tatapan menyelidik Arthur. Karena dia tidak bisa menjawab, dan juga tidak ingin menjawabnya.*****Lagi-lagi mereka mengingkari janji. Padahal Arandra sudah biasa dengan itu. Tapi tetap saja dia merasa sedih.Meski pernikahan kemarin bukan menjadi pernikahan yang dia inginkan, tapi Arandra tidak sabar menunggu hari itu. Karena semua keluarganya akan berkumpul, dan ibu serta ayahnya akan pulang.Lucas dan Riana memang pulang. Satu hari sebelum acara pernikahannya. Tapi Arandra belum sempat berbicara dengan mereka, karena mereka yang lebih sibuk dengan acara pernikahannya.Setiap Arandra akan berbicara, mereka seolah memiliki banyak alasan untuk menghindar. Sejak dulu, kedua orangtuanya memang orang yang sibuk. Tapi mereka masih bisa meluangkan sedikit waktu mereka untuknya. Berbeda dengan sekarang. Arandra merasa diabaikan oleh mereka.Hingga hari ini, mereka berkata akan menemuinya. Tapi sekali lagi, alasan yang sama yang membuat perkataan itu hanya menjadi perkataan belaka.Arandra memang sangat menyedihkan. Dia sudah tahu ini akan terjadi, tapi masih saja berharap pada orang tuanya.Wanita itu menunduk lesu. Duduk di bibir ranjang dengan wajah murung ketika Alexander membuka pintu.Arandra menolehkan kepalanya. Mendongak menatap Alexander–matanya berkaca. Sementara Alexander berhenti di tengah ruangan. Menatap Arandra balik, lekat."Kemarilah. Aku akan memberikanmu pelukan."Air mata Arandra menetes. Dan tidak membutuhkan waktu lama untuk wanita itu bangkit, berlari, sebelum melingkarkan kedua tangannya di tubuh Alexander. Alexander memeluk tubuh kecil itu, sembari berbisik,"Tidak apa-apa, Ara. Kau tidak membutuhkan kedua orang tuamu, karena sudah ada aku disini. Kau bisa jadikan aku sebagai bahu sandaranmu."Hari itu hari Selasa, hari pertama di musim semi. Alexander kembali ke Spanyol setelah menyelesaikan doctoral degree-nya di Amerika. Alexander seharusnya masuk ke dalam mansion–menemui orang tuanya yang pasti sudah menunggunya–setelah keluar dari helikopter yang mendarat di helipad mansion. Tapi suara tawa yang samar-samar terdengar di telinganya, membuat lelaki itu mengubah arah. Dari ambang pintu, Alexander berbalik, berjalan ke arah halaman samping mansion. Di sana terdapat kebun bunga milik Anggy. Ibunya itu memang sangat menyukai bunga. Karena itu ayahnya membuat kebun bunga itu untuk ibunya. Terdapat berbagai macam bunga, berwarna-warni dan mekar dengan cantiknya. Tapi bukan itu yang menjadi fokus Alexander. Melainkan seorang perempuan yang ada di kebun bunga itu. Suara tawa yang didengarnya itu keluar dari bibirnya. "Axel, ayo senyum." Perempuan itu mengarahkan ponsel yang dibawanya di depan wajah Axellino. Sepertinya ingin memotretnya. "Ara, kenapa kau melakukan ini padak
"Apa kau senang?" tanya Alexander pada istrinya.Pada akhirnya mereka berdua sampai di Albinen di jam sepuluh pagi dengan jet pribadinya. Dan Arandra tidak membuang waktu untuk langsung menjelajahi desa dengan pemandangan pegunungan yang indah itu.Pemandangan desa Albinen yang tertutup oleh salju merupakan hal yang sangat indah untuk dinikmati. Arandra tidak berhenti berdecak kagum di setiap kakinya melangkah. Damai dan tenang. Terasa sangat menyenangkan ketika dia bisa menghirup udara pegunungan yang segar sambil memanjakan matanya dengan pemandangan pegunungan Alpen yang spektakuler.Arandra menoleh pada Alexander yang tengah menoleh padanya juga, lalu mereka berdua sama-sama tersenyum."Tentu saja!" jawab Arandra sembari mengangguk antusias. Dia mengayun-ayunkan tangannya yang terus digenggam Alexander sepanjang jalan. Sejak mereka memutuskan untuk menjalani pernikahan mereka seperti pernikahan pada umumnya, Alexander benar-benar berubah. Tatapan tajam dan menakutkan di matanya,
Seluruh tubuhnya terasa sakit!Arandra tidak pernah merasa seburuk ini bangun di pagi hari. Tubuhnya terasa remuk, pening di kepala, dan mata yang sulit terbuka karena kantuk– membuatnya sampai enggan hanya untuk sekedar membuka mata."Morning, sweetheart." Sebuah suara yang berat dan maskulin terdengar bersamaan dengan usapan lembut yang terasa di puncak kepalanya. Membuat Arandra tidak bisa menahan diri untuk tidak membuka mata.Arandra memaksa kelopak matanya yang terasa berat agar terbuka. Kepalanya menoleh ke samping dengan gerakan lambat. Melihat Alexander sudah duduk di tepi ranjang didekatnya. Menatapnya dengan senyum hangat yang tampak di mata."Aku membawakan mu sarapan. Ayo bangun dulu dan makan. Nanti kau bisa sakit jika melewatkan sarapan."Arandra melirik sebuah mangkuk di atas nakas yang diletakkan Alexander sebelumnya. Wanita itu kemudian bergerak sedikit untuk mengubah posisi berbaringnya, tapi rasa sakit menyengat langsung terasa di beberapa bagian tubuhnya. Arandra
Alexander dan Arandra menghabiskan satu minggu lebih untuk berlibur di Switzerland. Tetapi sebelum benar-benar kembali ke Spanyol, Alexander membawa Arandra terbang ke negara lain. Menunjukkan tempat-tempat lain yang tidak kalah indah dari Switzerland.Senyuman lebar tak hentinya menghiasi wajah cantik Arandra. Wanita itu tampak sangat antusias. Kakinya melangkah dengan riang, menikmati pemandangan kota Paris yang terletak di tepi Sungai Seine.Mereka memanjakan mata dengan menatap keindahan Menara Eiffel, mengunjungi Museum Louvre, Arch de Triomphe, dan Jembatan Tembok Cinta Paris yang sangat memukau mata.Setelah menghabiskan waktu tiga hari yang luar biasa indah di kota itu, mereka melanjutkan perjalanan ke Maldives.Empat hari di Maldives, Alexander dan Arandra tidak hanya berkeliling untuk jalan-jalan, mereka juga sempat melakukan snorkeling di Banana and Turtle Reef. Mengintip keindahan bawah laut Maldives yang masih sangat terjaga, dan menjumpai ikan-ikan yang eksotik dan juga
"Ara! Ibu rindu sekali padamu!"Arandra baru menapakkan kakinya keluar dari mobil ketika Anggy sudah keluar lebih dulu dari mansion. Sembari berteriak kegirangan, wanita paruh baya itu langsung memeluk menantunya dengan erat–seolah mereka sudah sangat lama tidak bertemu. Padahal hanya kurang lebih dua minggu Alexander dan Arandra pergi liburan dan akhirnya pulang. Tapi jangan heran, karena Anggy memang sangat suka berlebihan.Arandra sudah menjadi menantu kesayangannya sejak pertama kali datang ke keluarga William. Menurutnya, Arandra sangat menyenangkan. Wanita itu begitu cepat dan begitu mahir mengambil hatinya. Rumah yang dulunya terasa sunyi karena suami dan kedua anak laki-lakinya selalu sibuk bekerja, menjadi ramai sejak kehadiran Arandra."Bagaimana liburannya? Menyenangkan? Apa saja yang kalian lakukan di sana? Ceritakan pada Ibu."Alexander melepaskan tangan ibunya yang membelit istrinya. "Intinya kami sudah menyicil cucu untuk Ibu," ucapnya singkat, sebelum menarik Arandra m
Arandra berdiri di depan puluhan kemeja Alexander yang tergantung dengan rapi. Dia mengamatinya satu per satu sebelum mengambil satu kemeja berwarna putih, juga mengambil jas biru, dan dasi bermotif stripes hitam putih.Ketika Arandra keluar dari walk ini closet, Alexander terlihat sudah berdiri di tengah kamar. Hanya mengenakan celana pendek dengan rambut yang telah dikeringkan. Sudah selesai mandi."Aku tidak tahu pakaian seperti apa yang biasa kau kenakan." Arandra menyerahkan setelan kerja yang telah dia siapkan pada Alexander. "Apa kau menyukai pilihanku?"Alexander bahkan tidak menatap setelan yang diulurkan Arandra, tapi dia mengangguk. Bangun dari tidur, Arandra sudah sibuk membantunya bersiap-siap untuk pergi ke kantor. Istrinya berinisiatif sendiri untuk menyiapkan pakaiannya. Alexander senang dengan itu."Bantu aku berpakaian."Arandra menurut. Dia membantu Alexander mengenakan kemeja dan jasnya. Lalu menyimpulkan dasinya. "Dasinya terlihat tidak cocok. Aku ambilkan yang l
"Kenapa menjemputku? Aku kan bisa pulang sendiri." Berjalan bersisian dengan tangan yang saling tertaut, Arandra menolehkan kepalanya ke samping. Mendongak menatap Alexander. "Aku tidak menjemputmu. Aku juga ingin pergi ke makam Axel," balas Alexander dengan seringai kecil. Dia memang datang untuk menjemput Arandra. Tapi ingin menggodanya sebentar. Tidak mau istrinya menjadi terlalu percaya diri."Lalu kenapa tidak masuk?" tanya Arandra. Alexander belum sampai masuk ketika dia kembali keluar dari area pemakaman sambil menggenggam tangannya pergi."Tidak jadi.""Kenapa tidak jadi?""Malas.""Kenapa malas? Kau tidak mau bertemu Axel?"Alexander berhenti melangkah. Menghadap Arandra, dia menarik pelan pipi Arandra. "Cerewet."Arandra memajukan bibirnya. Sambil mengusap pipinya, wanita itu berjalan meninggalkan Alexander di belakang."Kau mau ke mana, Ara?!" Arandra menghilang dari pandangannya. Alexander berjalan cepat menerobos kerumunan orang-orang. Tapi tidak berhasil menemukan kebe
Arandra menghampiri ibunya dengan langkah pelan sebelum masuk ke dalam pelukan–setelah Riana merentangkan kedua tangannya untuk mendapat pelukan Arandra.Arandra tidak akan menjadi pendiam jika wanita itu adalah Anggy. Dia bisa bersikap lebih manja jika itu pada Anggy. Tapi menjadi canggung pada ibu kandungnya sendiri. "Ayah tidak ikut pulang?" Arandra memiringkan kepalanya. Melihat dari balik punggung Riana untuk mencari ayahnya yang tidak tampak. Seperti yang sebelumnya dikatakan pada Arandra, Riana memang pulang, dan sekarang berada di mansion keluarga William untuk menemui putrinya."Ayahmu pulang lebih dulu ke mansion. Ibu ke sini untuk menjemputmu. Ibu merindukanmu."Arandra mengerjap. Cukup terkejut–karena tidak pernah mengingat kapan ibunya pernah berkata-kata seperti itu. "Ibu Anggy, boleh aku ikut Ibuku?" tanya Arandra pada Anggy.Anggy memberikan anggukan. "Kau sudah memberitahu Alex kan?"Arandra mengangguk. Dia sudah meminta izin pada Alexander melalui telepon. Lelaki
"Alexander! Pulang sekarang! Arandra akan melahirkan!"Alexander memacu kakinya secepat mungkin. Berlari menyusuri koridor rumah sakit setelah melewati satu jam perjalanan.Jadi ini saatnya...Setelah melalui sembilan bulan yang panjang–mereka yang masih beberapa kali bertengkar perihal masalah yang sama, Arandra yang beberapa kali kesakitan, dan Alexander yang terus diliputi ketakutan–sekarang akan berakhir. Dan semuanya akan baik-baik saja."Bagaimana Arandra?" tanya Alexander cepat begitu sampai di hadapan Anggy dan Arthur yang duduk di depan ruang persalinan. Napasnya tidak beraturan."Arandra di dalam. Cepat temani dia," kata Arthur pelan sembari menepuk bahu putranya. Sementara Anggy masih duduk dengan kepala tertunduk–berdoa untuk keselamatan menantu dan kedua cucunya.Alexander menarik napas dalam. Dia berjalan memasuki ruangan tempat Arandra akan melahirkan. Degup jantungnya berpacu dengan keras, serta tangannya yang men
Arandra menunduk dengan kedua tangan tertaut. Punggungnya menempel di kepala ranjang, selimut menutupinya kakinya yang diposisikan lurus. "Maaf, Ibu. Pesta kejutan untuk ayahnya jadi batal karena aku," katanya merasa bersalah.Sejak Arandra bangun, Anggy sudah ada di sini dengan tatapan kesal pada Arandra Dia tidak mengatakan apapun, hanya diam saja. Jadi tidak salah jika Arandra berpikir wanita itu marah padanya."Kau pikir Ibu kesal karena itu?" balas Anggy dengan nada bicara garang.Arandra lantas mengangkat kepalanya, mendongak menatap Anggy yang berdiri di sebelah ranjang dengan kedua tangan terlipat di dada."Kau hamil. Sampai sudah berapa bulan itu? Tapi Ibu tidak tahu sama sekali," sindir Anggy. Arandra membuka bibirnya, baru tahu kenapa Ibunya kesal seperti itu. Dia menarik sudut bibirnya, tersenyum merasa bersalah. "Aku ingin memberitahu Ibu dan Ayah. Tapi belum ada waktu," berinya alasan."Belum ada waktu?" Anggy berd
Kelopak mata Arandra bergerak-gerak karena terusik oleh kecupan-kecupan yang mendarat di wajahnya. Perlahan dia membuka mata, lalu mendapati Alexander di depannya dengan sebuah senyuman tipisnya."Kau sudah pulang?!" Arandra langsung bangun, menerjang Alexander dan langsung memeluknya sambil tertawa riang. Alexander terkekeh kecil. "Rapatnya tadi lebih lama dari biasanya. Jadi aku pulang telat," beritahunya. "Aku menghubungimu beberapa kali. Tapi kau tidak mengangkatnya."Arandra menyengir. "Aku tidur.""Sepanjang hari?"Arandra mengangguk. "Aku bermain sebentar dengan Zzar tadi. Setelah itu kembali tidur."Alexander mengusap puncak kepala Arandra sambil mengamati wajahnya. "Wajahmu kenapa pucat?" Lelaki itu memperhatikan wajah Arandra dengan teliti, baru menyadarinya.Kening Arandra berkerut. "Memangnya iya?" Dia menyentuh wajahnya sendiri–memeriksa tanpa melihat wajahnya. "Tapi aku baik-baik saja. Mungkin karena terlalu banyak tidur," jawabnya asal. Alexander berdecak, dia akan me
Arandra sedikit mendongakkan kepala untuk menatap wajah Alexander. Lelaki itu berbaring di sebelahnya–menyangga kepalanya dengan satu tangan di saat tangannya yang lain mengusap kepala Arandra."Tidur," kata Alexander dengan raut tenangnya sembari terus mengusap kepala Arandra. Sudah cukup dia marah pada wanita ini. Alexander tidak bisa terus melakukannya. Arandra selalu memiliki cara untuk menghentikan amarahnya.Arandra memperlihatkan deretan giginya yang tersusun dengan rapi–tersenyum cerah. Lalu dia menempelkan wajahnya di dada Alexander, memejamkan matanya."Aku sangat menyayangimu, Ara."Arandra membuka lagi matanya, menatap Alexander. Lalu sebelah tangannya terangkat, menyentuh rahang Alexander."Alex..." Arandra menatap serius Alexander. "Aku berjanji akan melahirkan mereka dengan selamat. Mereka berdua akan baik-baik saja sampai dilahirkan nanti."Alexander mengangguk dengan senyum kecil. "Dan kau juga harus baik-baik saja," ucapnya menambahkan.Arandra tidak memberikan tangg
"Sebuah teori menyebutkan bahwa Ayah akan lebih cenderung merawat anaknya dengan lembut dan penuh kasih sayang jika anak tersebut mirip dengannya." Kening Arandra berkerut membaca sebuah kalimat dalam buku yang sedang dibacanya. Arandra merebahkan tubuhnya dengan posisi telungkup–mencari posisi yang lebih nyaman untuk membaca. Namun menyadari apa yang dia lakukan, wanita itu langsung beranjak bangun lagi.Arandra mengusap perutnya dengan gumaman permintaan maaf. Kemudian dia melirik Alexander yang berada di sofa dengan posisi setengah berbaring. Matanya terpaku pada ponsel di tangannya. Arandra tersenyum. "Kalian harus mirip dengan Alex ya ketika sudah lahir nanti," gumam Arandra, berbicara pada kedua anaknya. Alexander yang sempurna. Mereka harus mirip dengannya. "Kenapa?" tanya Arandra ketika kemudian Alexander menolehkan kepala ke arahnya. Di saat wanita itu yang sejak tadi memandangi Alexander, dia malah yang bertanya dengan santainya.Alexander mengarahkan kembali matanya pada
Alexander menampilkan wajah datar di saat matanya menatap tanpa berkedip layar monitor yang memperlihatkan dua janin seukuran buah stroberi. Mereka kembar. Karena itu Arandra menyebut kata 'mereka' dalam kalimatnya sebelumnya.Apakah Alexander merasa senang? Dia tidak tahu. Setelah kehilangan anaknya yang pertama, sekarang Tuhan menggantinya dengan memberikannya dua sekaligus. Tapi apakah harus dengan taruhan nyawa Arandra? Lebih baik tidak perlu. Alexander hanya membutuhkan Arandra. "Apakah jenis kelamin bayinya sudah bisa diketahui?!"Bola mata Alexander melirik Arandra yang berbaring di ranjang–tampak antusias dengan pertanyaan yang diajukannya pada dokter. "Belum ya, Mrs. Alexander. Jenis kelamin bayinya baru bisa diketahui setelah sekitar 16 minggu kehamilan."Lalu tampak Arandra mengerucutkan bibirnya sebagai tanda kecewa atas jawaban yang diberikan dokter perempuan itu. Hanya sebentar ketika kemudian wanita itu mendongak–menatap Alexander yang berdiri di samping kepalanya den
Alexander tidak kembali ke kamar mereka hingga malam tiba. Dia tidak mau berbicara dengan Arandra. Ketika memiliki masalah, mereka hanya perlu saling membicarakannya–lalu masalah mereka selesai begitu saja. Tapi jangankan untuk berbicara, Alexander bahkan sepertinya tidak mau melihat wajahnya. Arandra menunduk dalam. Dia tahu dia salah. Alexander pasti sangat kecewa padanya. Arandra tidak berniat terus menyembunyikan kehamilannya darinya. Dia hanya ingin menunggu waktu yang tepat untuk mengatakannya. Arandra ingin meyakinkannya terlebih dahulu bahwa dia akan baik-baik saja dengan kehamilan ini. Tapi Alexander ternyata mengetahuinya lebih dulu. Dan sekarang lelaki itu sangat marah."Jangan didengarkan perkataan Alex tadi, ya. Dia hanya sedang marah," ucap Arandra sambil mengelus perutnya dengan sayang. Bagaimanapun anak ini adalah anaknya. Alexander pasti akan menerimanya. Arandra menghapus air matanya, kemudian menyingkap selimut–menurunkan kakinya dari ranjang. Berniat keluar untuk
Arandra memberikan gelasnya kembali ke pelayan setelah meminum sedikit airnya. Kemudian meletakkan kepalanya lagi di kepala ranjang–masih merasa pusing."Nyonya Arandra pingsan karena terlalu kelelahan." Rosaline bersuara. Lalu dia menatap Arandra dengan wajah garang–seperti seorang ibu yang siap memarahi anaknya. "Saya kan sudah bilang agar Nyonya istirahat saja. Tapi Nyonya tidak mendengarkan dan ngotot berkebun. Karena itu berakhir pingsan seperti ini."Arandra meletakkan jemarinya di pelipis–memijatnya sambil memejamkan mata. Tidak menanggapi kalimat Rosaline yang terdengar seperti omelan untuknya. Arandra hanya memajukan bibirnya sesaat. Tapi kemudian dia membuka mata cepat ketika menyadari sesuatu. Jas biru Alexander–yang lelaki itu pakai saat ke kantor tadi pagi–sudah tersampir di sandaran sofa sejak Arandra membuka matanya beberapa saat lalu."Alex sudah pulang?" tanya Arandra cepat. "Sudah, Nyonya. Saya tadi menghubungi Tuan dan memberitahukan jika Nyonya Arandra pingsan. Tu
Alexander menusuk potongan roti tawar dengan selai blueberry di dalamnya menggunakan garpu, kemudian memasukkannya ke dalam mulut di saat satu tangannya lagi sibuk bergerak di atas layar ponselnya. "Rosaline!" "Iya, Tuan?" Wanita paruh baya yang namanya terpanggil itu bergegas menghampiri Alexander–berdiri di samping Alexander yang duduk dengan tenang di meja makan. "Kemungkinan aku akan pulang malam nanti. Kau awasi Arandra. Pastikan dia makan, tidur siang, dan meminum vitaminnya," pesan Alexander pada pelayan pribadi Arandra itu. "Baik, Tuan." Rosaline mengangguk patuh. "Apakah Nyonya Arandra masih tidur?" "Hm. Bangunkan dia saat sudah waktunya sarapan. Sekarang biarkan saja dulu. Dia–" "Alex..." Ucapan Alexander terpotong karena suara lembut seseorang yang sudah sangat dia kenali. Arandra muncul dari balik pintu ruang makan dengan gaun tidurnya yang berwarna biru–terlihat jelas baru bangun tidur dan belum mencuci wajahnya, rambutnya pun masih berantakan. "Kemari." Alexande