Berbaring dengan mata terbuka menatap langit-langit kamar, Arandra menyentuh bibir bawahnya dengan jemari lentiknya–dengan pikiran yang tertuju entah kemana.
Mungkin mengingat kembali bagaimana semua cerita ini dimulai.Ketika Axellino mengutarakan niatnya untuk menikahinya pada kedua orang tuanya, Arandra tidak bisa menggambarkan kegembiraannya saat itu. Dia sangat bahagia. Tapi semua kegembiraan itu lenyap karena satu kejadian tidak terduga. Padahal pernikahan sudah di depan mata. Semua persiapan sudah dilakukan. Cincin sudah dibeli, gaun sudah dipesan, dan undangan hanya tinggal disebar. Tapi semuanya harus dibatalkan karena kecelakaan yang menewaskan Axellino.Ya, calon pengantin pria meninggal dunia karena kecelakaan mobil. Arandra masih ingat dengan jelas bagaimana rapuhnya dia saat Axellino meninggal.Lelaki itu adalah satu-satunya orang yang Arandra punya–ketika Ibu dan Ayahnya tidak memiliki banyak waktu untuknya. Tidak sekalipun dia merasa sendirian ketika lelaki itu ada bersamanya.Kepergiannya membuat Arandra benar-benar terpuruk–sampai kemudian Anggy datang dan membujuknya agar bersedia menikah dengan Alexander. Putra pertama keluarga William–kakak dari Axellino."Ibu tahu kau sangat sedih atas kepergian Axel. Karena Ibu juga sedih. Dia anak Ibu." Anggy berkata sambil mengusap kepalanya saat itu. Wajahnya dipenuhi air mata ketika mengatakannya. "Tapi, Nak... kau harus bisa mengikhlaskan Axel. Dia pasti terluka jika melihatmu seperti ini."Arandra menunduk. Dia menghapus air matanya–meski bulir bening itu terus saja keluar. "Selama ini hanya Axel yang selalu bersamaku. Sekarang aku sendirian.""Kau memiliki Ibu. Kau memiliki Ayah," balas Anggy dengan cepat. "Kau tidak sendirian, Arandra. Kau masih memiliki kami. Kau adalah anak kami."Arandra menggeleng. "Axel sudah tidak ada. Bagaimana bisa aku tetap menjadi anak Ibu dan Ayah?" ucapnya lirih.Arandra merasa memiliki takdir yang sangat buruk. Kepergian Axellino membawa banyak luka untuknya. Wanita itu menunduk dalam–sebelum kepalanya terangkat dengan cepat mendengar jawaban Anggy."Menikahlah dengan Alex," ucap Anggy sungguh-sungguh. "Dengan begitu kau akan tetap menjadi anak Ibu. Kau bisa tinggal bersama Ibu."Awalnya Arandra menolak–karena dari awal, Arandra hanya ingin menikah dengan Axellino. Arandra hanya mencintai Axellino.Tapi Arandra kemudian berpikir. Hanya keluarga William yang benar-benar memperlakukannya dengan baik. Terutama Arthur dan Anggy. Mereka menyayanginya dengan tulus. Arandra seperti memiliki keluarga lain–di saat keluarganya sendiri lebih banyak menghabiskan waktu untuk bekerja.Alasan itu yang membuat Arandra akhirnya menerima pernikahan ini.Arandra menghela napas panjang. Merasa lelah. Pada tubuhnya, juga kepalanya yang tidak berhenti berpikir. Dia memejamkan mata. Tubuhnya yang terasa sangat lelah membuat kantuk dengan cepat mengambil alih. Arandra nyaris tertidur ketika pintu kamar terdengar dibuka dari luar.Arandra tahu itu Alexander. Tapi dia tidak membuka matanya. Tidak bergerak sedikitpun–seolah ingin menunjukkan bahwa dia sudah tertidur.Entah kenapa Arandra berpura-pura tidur, di saat seharusnya dia bangun. Ini adalah malam pertama mereka. Tapi sepertinya...Arandra belum siap untuk melakukannya."Kau tidak berganti pakaian?"Arandra tidak menanggapi. Kelopak matanya masih dia tutup dengan rapat."Aku tidak terbiasa melepas pakaian seorang perempuan dengan lembut. Lebih cepat jika langsung merobeknya. Hanya saja gaun yang kau pakai itu dari Ibu. Aku bisa dimarahi jika merusaknya."Arandra berusaha untuk tidak mendengar perkataan Alexander. Dia tahu bahwa diam adalah pilihan terbaik."Kau mau aku melepaskannya untukmu? Aku akan melakukannya selembut yang aku bisa."Arandra mendengar suara langkah kaki yang melangkah mondar-mandir."Ara..."Suara lelaki itu terdengar semakin dekat. Sebelum kemudian ranjang bergerak saat beban tubuh yang lain menimpanya. Kedua tangan Arandra yang berada di atas dada mengepal dengan samar. Menunggu dengan mata yang masih terpejam erat.Namun selama Arandra menunggu, hanya ada keheningan–yang membuatnya malah menjadi was-was. Dia pikir dia tidak akan bisa tidur malam ini di saat alarm tanda bahaya terus menyala di kepalanya. Bagaimana jika Alexander merealisasikan rencana jahatnya sekarang?Namun tidak lama kemudian, bahkan tidak sampai lima menit, Arandra benar-benar terlelap–di saat dia hanya pura-pura sebelumnya.Tapi Arandra masih merasakan sebuah tangan menyentuh punggungnya. Menariknya bangun dengan lembut. Lalu tubuhnya terasa dingin untuk sesaat, sebelum kembali hangat. Sesuatu yang nyaman melingkupi tubuhnya. Mungkin Arandra sedang bermimpi sekarang.*****"Saya tidak menyangka Nyonya Arandra malah menikah dengan kakaknya Tuan Axel."Arandra menolehkan kepalanya sekilas pada Rosaline–pelayan yang bersama Arandra sejak kecil–yang tengah menyisir rambutnya. Rosaline hanya berkata, tapi entah kenapa ada efek menyakitkan ketika mendengarnya. Dia seolah kembali diingatkan tentang Axellino."Kenapa panggilanmu berubah? Panggil saja seperti biasanya." Arandra tidak memberikan tanggapan pada apa yang seharusnya ditanggapi. Wanita itu malah membahas yang lain. Berkata dengan nada kesal."Nyonya Arandra kan sudah menikah. Saya tidak bisa memanggil Nyonya seperti biasanya. Saya takut Tuan Alexander marah.""Alex memarahi mu?" Lagi, Arandra memberikan tanggapan pada yang bukan seharusnya ditanggapi.Tapi Rosaline menggeleng dengan cepat. "Apakah Nyonya ingin tahu sesuatu?"Arandra menatap Rosaline dari kaca meja rias di depannya. Dahinya berkerut."Beberapa hari sebelum meninggal, saya sempat berbincang dengan Tuan Axel." Rosaline seperti menerawang ke hari itu. Ketika dia dan Axellino sama-sama menunggui Arandra yang sedang dirawat di rumah sakit. "Tuan Axel berkata kepada saya, jika ada laki-laki lain yang dia percaya untuk menjaga Nyonya Arandra di dunia ini, maka laki-laki itu adalah Tuan Alex."Arandra tersentak. Dia menoleh cepat pada Rosaline. Benarkah Axel pernah berkata seperti itu?"Saya memang tidak mengenal dengan baik Tuan Alexander. Tapi saya yakin dia laki-laki yang baik. Buktinya adalah perkataan Tuan Axel sendiri. Tuan Axel sangat mempercayai kakaknya."Arandra terdiam. Kehilangan kata untuk disampaikan."Saya sempat merasa khawatir sebelumnya. Tetapi sekarang saya tahu, Nyonya Arandra akan aman bersama Tuan Alexander. Tuan Alex pasti akan menjaga Nyonya dengan baik. Sama seperti Tuan Axel menjaga Nyonya."Benarkah? Kenapa mendengar semua ini memunculkan rasa bersalah di hatinya? Dia pura-pura tidur–sebelum akhirnya benar-benar tertidur–untuk menghindar dari apa yang seharusnya dilakukan pasangan pengantin di malam pertama mereka.Semalam Arandra tidak bermimpi ketika Alexander menggantikan pakaiannya. Karena saat dia bangun pagi ini, gaun pengantin yang melekat di tubuhnya sudah berganti dengan sebuah piyama. Alexander membantunya mengganti pakaiannya–tanpa melakukan apapun. Sementara Arandra tidur dengan nyenyak.Apakah Arandra salah? Di saat kepalanya sedang berpikir keras, pintu terbuka dari luar. Alexander masuk dengan peluh membanjiri kaos polo yang dikenakannya. Sementara kakinya dibalut celana jogger hitam. Baru selesai dari lari pagi.Arandra tidak tahu jika pelayan tidak memberitahunya. Lelaki itu sudah tidak ada saat Arandra membuka mata.Alexander menarik headset dari telinganya. Melemparnya ke ranjang sembari memberikan anggukan kecil pada Rosaline yang pamit undur diri. Sudah selesai menyisir rambut Arandra. "Sudah selesai mandi?" tanyanya yang kemudian menoleh pada Arandra.Arandra mengangguk kecil."Turunlah dulu. Ibu dan Ayah sudah menunggu untuk sarapan. Aku akan mandi sebentar," ucap Alexander. Lalu berjalan ke kamar mandi, sebelum berhenti ketika Arandra memanggil.Arandra membasahi bibirnya. Ragu untuk berkata. "Semalam seharusnya menjadi malam pertama kita. Tapi aku malah tidur. Maaf...," ucapnya pelan. Takut Alexander marah."Tidak masalah. Kita bisa melakukannya kapan saja. Besok, nanti, atau bahkan sekarang. Ada banyak waktu untuk melakukannya."Arandra mengangkat wajahnya. Jawaban Alexander terdengar santai."Benar kan?"Pipi Arandra tiba-tiba memanas. Wanita itu menyembunyikan wajahnya dengan menunduk. Tapi sebuah anggukan diberikannya."Ibu meminta pelayan untuk menghilangkan bawang bombay di tortillanya ketika memasaknya. Jadi kau bisa memakannya." Arandra mengangkat wajah, menatap Anggy yang duduk di depannya. Arthur duduk di kursi paling ujung. Sementara dia sendiri duduk di sebelah Alexander. "Semua makanannya juga tidak menggunakan cabai, karena kau tidak bisa memakan makanan pedas." Anggy kembali bersuara. "Oh iya, kau tidak boleh memakan yang ini. Di dalamnya ada udangnya. Kau kan alergi udang." Dia menunjuk satu masakan yang terdapat udang di dalamnya. Arandra mengangguk-angguk. Anggy tahu apa yang dia sukai dan tidak sukai, apa yang dia bisa makan dan tidak bisa makan. Dia terlihat sangat memperhatikan Arandra. Berbagai perasaan muncul di hatinya. Terharu, tersentuh, dan juga senang. Anggy memang seperti itu. Tapi Arandra tetap selalu menikmati perhatiannya. Dia tersenyum senang–sebelum senyum itu dengan cepat lenyap hanya karena satu pesan masuk dari Ibunya. [Ibu dan Ayah harus kembali ke Korea sekara
Hari itu hari Selasa, hari pertama di musim semi. Alexander kembali ke Spanyol setelah menyelesaikan doctoral degree-nya di Amerika. Alexander seharusnya masuk ke dalam mansion–menemui orang tuanya yang pasti sudah menunggunya–setelah keluar dari helikopter yang mendarat di helipad mansion. Tapi suara tawa yang samar-samar terdengar di telinganya, membuat lelaki itu mengubah arah. Dari ambang pintu, Alexander berbalik, berjalan ke arah halaman samping mansion. Di sana terdapat kebun bunga milik Anggy. Ibunya itu memang sangat menyukai bunga. Karena itu ayahnya membuat kebun bunga itu untuk ibunya. Terdapat berbagai macam bunga, berwarna-warni dan mekar dengan cantiknya. Tapi bukan itu yang menjadi fokus Alexander. Melainkan seorang perempuan yang ada di kebun bunga itu. Suara tawa yang didengarnya itu keluar dari bibirnya. "Axel, ayo senyum." Perempuan itu mengarahkan ponsel yang dibawanya di depan wajah Axellino. Sepertinya ingin memotretnya. "Ara, kenapa kau melakukan ini padak
"Apa kau senang?" tanya Alexander pada istrinya.Pada akhirnya mereka berdua sampai di Albinen di jam sepuluh pagi dengan jet pribadinya. Dan Arandra tidak membuang waktu untuk langsung menjelajahi desa dengan pemandangan pegunungan yang indah itu.Pemandangan desa Albinen yang tertutup oleh salju merupakan hal yang sangat indah untuk dinikmati. Arandra tidak berhenti berdecak kagum di setiap kakinya melangkah. Damai dan tenang. Terasa sangat menyenangkan ketika dia bisa menghirup udara pegunungan yang segar sambil memanjakan matanya dengan pemandangan pegunungan Alpen yang spektakuler.Arandra menoleh pada Alexander yang tengah menoleh padanya juga, lalu mereka berdua sama-sama tersenyum."Tentu saja!" jawab Arandra sembari mengangguk antusias. Dia mengayun-ayunkan tangannya yang terus digenggam Alexander sepanjang jalan. Sejak mereka memutuskan untuk menjalani pernikahan mereka seperti pernikahan pada umumnya, Alexander benar-benar berubah. Tatapan tajam dan menakutkan di matanya,
Seluruh tubuhnya terasa sakit!Arandra tidak pernah merasa seburuk ini bangun di pagi hari. Tubuhnya terasa remuk, pening di kepala, dan mata yang sulit terbuka karena kantuk– membuatnya sampai enggan hanya untuk sekedar membuka mata."Morning, sweetheart." Sebuah suara yang berat dan maskulin terdengar bersamaan dengan usapan lembut yang terasa di puncak kepalanya. Membuat Arandra tidak bisa menahan diri untuk tidak membuka mata.Arandra memaksa kelopak matanya yang terasa berat agar terbuka. Kepalanya menoleh ke samping dengan gerakan lambat. Melihat Alexander sudah duduk di tepi ranjang didekatnya. Menatapnya dengan senyum hangat yang tampak di mata."Aku membawakan mu sarapan. Ayo bangun dulu dan makan. Nanti kau bisa sakit jika melewatkan sarapan."Arandra melirik sebuah mangkuk di atas nakas yang diletakkan Alexander sebelumnya. Wanita itu kemudian bergerak sedikit untuk mengubah posisi berbaringnya, tapi rasa sakit menyengat langsung terasa di beberapa bagian tubuhnya. Arandra
Alexander dan Arandra menghabiskan satu minggu lebih untuk berlibur di Switzerland. Tetapi sebelum benar-benar kembali ke Spanyol, Alexander membawa Arandra terbang ke negara lain. Menunjukkan tempat-tempat lain yang tidak kalah indah dari Switzerland.Senyuman lebar tak hentinya menghiasi wajah cantik Arandra. Wanita itu tampak sangat antusias. Kakinya melangkah dengan riang, menikmati pemandangan kota Paris yang terletak di tepi Sungai Seine.Mereka memanjakan mata dengan menatap keindahan Menara Eiffel, mengunjungi Museum Louvre, Arch de Triomphe, dan Jembatan Tembok Cinta Paris yang sangat memukau mata.Setelah menghabiskan waktu tiga hari yang luar biasa indah di kota itu, mereka melanjutkan perjalanan ke Maldives.Empat hari di Maldives, Alexander dan Arandra tidak hanya berkeliling untuk jalan-jalan, mereka juga sempat melakukan snorkeling di Banana and Turtle Reef. Mengintip keindahan bawah laut Maldives yang masih sangat terjaga, dan menjumpai ikan-ikan yang eksotik dan juga
"Ara! Ibu rindu sekali padamu!"Arandra baru menapakkan kakinya keluar dari mobil ketika Anggy sudah keluar lebih dulu dari mansion. Sembari berteriak kegirangan, wanita paruh baya itu langsung memeluk menantunya dengan erat–seolah mereka sudah sangat lama tidak bertemu. Padahal hanya kurang lebih dua minggu Alexander dan Arandra pergi liburan dan akhirnya pulang. Tapi jangan heran, karena Anggy memang sangat suka berlebihan.Arandra sudah menjadi menantu kesayangannya sejak pertama kali datang ke keluarga William. Menurutnya, Arandra sangat menyenangkan. Wanita itu begitu cepat dan begitu mahir mengambil hatinya. Rumah yang dulunya terasa sunyi karena suami dan kedua anak laki-lakinya selalu sibuk bekerja, menjadi ramai sejak kehadiran Arandra."Bagaimana liburannya? Menyenangkan? Apa saja yang kalian lakukan di sana? Ceritakan pada Ibu."Alexander melepaskan tangan ibunya yang membelit istrinya. "Intinya kami sudah menyicil cucu untuk Ibu," ucapnya singkat, sebelum menarik Arandra m
Arandra berdiri di depan puluhan kemeja Alexander yang tergantung dengan rapi. Dia mengamatinya satu per satu sebelum mengambil satu kemeja berwarna putih, juga mengambil jas biru, dan dasi bermotif stripes hitam putih.Ketika Arandra keluar dari walk ini closet, Alexander terlihat sudah berdiri di tengah kamar. Hanya mengenakan celana pendek dengan rambut yang telah dikeringkan. Sudah selesai mandi."Aku tidak tahu pakaian seperti apa yang biasa kau kenakan." Arandra menyerahkan setelan kerja yang telah dia siapkan pada Alexander. "Apa kau menyukai pilihanku?"Alexander bahkan tidak menatap setelan yang diulurkan Arandra, tapi dia mengangguk. Bangun dari tidur, Arandra sudah sibuk membantunya bersiap-siap untuk pergi ke kantor. Istrinya berinisiatif sendiri untuk menyiapkan pakaiannya. Alexander senang dengan itu."Bantu aku berpakaian."Arandra menurut. Dia membantu Alexander mengenakan kemeja dan jasnya. Lalu menyimpulkan dasinya. "Dasinya terlihat tidak cocok. Aku ambilkan yang l
"Kenapa menjemputku? Aku kan bisa pulang sendiri." Berjalan bersisian dengan tangan yang saling tertaut, Arandra menolehkan kepalanya ke samping. Mendongak menatap Alexander. "Aku tidak menjemputmu. Aku juga ingin pergi ke makam Axel," balas Alexander dengan seringai kecil. Dia memang datang untuk menjemput Arandra. Tapi ingin menggodanya sebentar. Tidak mau istrinya menjadi terlalu percaya diri."Lalu kenapa tidak masuk?" tanya Arandra. Alexander belum sampai masuk ketika dia kembali keluar dari area pemakaman sambil menggenggam tangannya pergi."Tidak jadi.""Kenapa tidak jadi?""Malas.""Kenapa malas? Kau tidak mau bertemu Axel?"Alexander berhenti melangkah. Menghadap Arandra, dia menarik pelan pipi Arandra. "Cerewet."Arandra memajukan bibirnya. Sambil mengusap pipinya, wanita itu berjalan meninggalkan Alexander di belakang."Kau mau ke mana, Ara?!" Arandra menghilang dari pandangannya. Alexander berjalan cepat menerobos kerumunan orang-orang. Tapi tidak berhasil menemukan kebe
"Alexander! Pulang sekarang! Arandra akan melahirkan!"Alexander memacu kakinya secepat mungkin. Berlari menyusuri koridor rumah sakit setelah melewati satu jam perjalanan.Jadi ini saatnya...Setelah melalui sembilan bulan yang panjang–mereka yang masih beberapa kali bertengkar perihal masalah yang sama, Arandra yang beberapa kali kesakitan, dan Alexander yang terus diliputi ketakutan–sekarang akan berakhir. Dan semuanya akan baik-baik saja."Bagaimana Arandra?" tanya Alexander cepat begitu sampai di hadapan Anggy dan Arthur yang duduk di depan ruang persalinan. Napasnya tidak beraturan."Arandra di dalam. Cepat temani dia," kata Arthur pelan sembari menepuk bahu putranya. Sementara Anggy masih duduk dengan kepala tertunduk–berdoa untuk keselamatan menantu dan kedua cucunya.Alexander menarik napas dalam. Dia berjalan memasuki ruangan tempat Arandra akan melahirkan. Degup jantungnya berpacu dengan keras, serta tangannya yang men
Arandra menunduk dengan kedua tangan tertaut. Punggungnya menempel di kepala ranjang, selimut menutupinya kakinya yang diposisikan lurus. "Maaf, Ibu. Pesta kejutan untuk ayahnya jadi batal karena aku," katanya merasa bersalah.Sejak Arandra bangun, Anggy sudah ada di sini dengan tatapan kesal pada Arandra Dia tidak mengatakan apapun, hanya diam saja. Jadi tidak salah jika Arandra berpikir wanita itu marah padanya."Kau pikir Ibu kesal karena itu?" balas Anggy dengan nada bicara garang.Arandra lantas mengangkat kepalanya, mendongak menatap Anggy yang berdiri di sebelah ranjang dengan kedua tangan terlipat di dada."Kau hamil. Sampai sudah berapa bulan itu? Tapi Ibu tidak tahu sama sekali," sindir Anggy. Arandra membuka bibirnya, baru tahu kenapa Ibunya kesal seperti itu. Dia menarik sudut bibirnya, tersenyum merasa bersalah. "Aku ingin memberitahu Ibu dan Ayah. Tapi belum ada waktu," berinya alasan."Belum ada waktu?" Anggy berd
Kelopak mata Arandra bergerak-gerak karena terusik oleh kecupan-kecupan yang mendarat di wajahnya. Perlahan dia membuka mata, lalu mendapati Alexander di depannya dengan sebuah senyuman tipisnya."Kau sudah pulang?!" Arandra langsung bangun, menerjang Alexander dan langsung memeluknya sambil tertawa riang. Alexander terkekeh kecil. "Rapatnya tadi lebih lama dari biasanya. Jadi aku pulang telat," beritahunya. "Aku menghubungimu beberapa kali. Tapi kau tidak mengangkatnya."Arandra menyengir. "Aku tidur.""Sepanjang hari?"Arandra mengangguk. "Aku bermain sebentar dengan Zzar tadi. Setelah itu kembali tidur."Alexander mengusap puncak kepala Arandra sambil mengamati wajahnya. "Wajahmu kenapa pucat?" Lelaki itu memperhatikan wajah Arandra dengan teliti, baru menyadarinya.Kening Arandra berkerut. "Memangnya iya?" Dia menyentuh wajahnya sendiri–memeriksa tanpa melihat wajahnya. "Tapi aku baik-baik saja. Mungkin karena terlalu banyak tidur," jawabnya asal. Alexander berdecak, dia akan me
Arandra sedikit mendongakkan kepala untuk menatap wajah Alexander. Lelaki itu berbaring di sebelahnya–menyangga kepalanya dengan satu tangan di saat tangannya yang lain mengusap kepala Arandra."Tidur," kata Alexander dengan raut tenangnya sembari terus mengusap kepala Arandra. Sudah cukup dia marah pada wanita ini. Alexander tidak bisa terus melakukannya. Arandra selalu memiliki cara untuk menghentikan amarahnya.Arandra memperlihatkan deretan giginya yang tersusun dengan rapi–tersenyum cerah. Lalu dia menempelkan wajahnya di dada Alexander, memejamkan matanya."Aku sangat menyayangimu, Ara."Arandra membuka lagi matanya, menatap Alexander. Lalu sebelah tangannya terangkat, menyentuh rahang Alexander."Alex..." Arandra menatap serius Alexander. "Aku berjanji akan melahirkan mereka dengan selamat. Mereka berdua akan baik-baik saja sampai dilahirkan nanti."Alexander mengangguk dengan senyum kecil. "Dan kau juga harus baik-baik saja," ucapnya menambahkan.Arandra tidak memberikan tangg
"Sebuah teori menyebutkan bahwa Ayah akan lebih cenderung merawat anaknya dengan lembut dan penuh kasih sayang jika anak tersebut mirip dengannya." Kening Arandra berkerut membaca sebuah kalimat dalam buku yang sedang dibacanya. Arandra merebahkan tubuhnya dengan posisi telungkup–mencari posisi yang lebih nyaman untuk membaca. Namun menyadari apa yang dia lakukan, wanita itu langsung beranjak bangun lagi.Arandra mengusap perutnya dengan gumaman permintaan maaf. Kemudian dia melirik Alexander yang berada di sofa dengan posisi setengah berbaring. Matanya terpaku pada ponsel di tangannya. Arandra tersenyum. "Kalian harus mirip dengan Alex ya ketika sudah lahir nanti," gumam Arandra, berbicara pada kedua anaknya. Alexander yang sempurna. Mereka harus mirip dengannya. "Kenapa?" tanya Arandra ketika kemudian Alexander menolehkan kepala ke arahnya. Di saat wanita itu yang sejak tadi memandangi Alexander, dia malah yang bertanya dengan santainya.Alexander mengarahkan kembali matanya pada
Alexander menampilkan wajah datar di saat matanya menatap tanpa berkedip layar monitor yang memperlihatkan dua janin seukuran buah stroberi. Mereka kembar. Karena itu Arandra menyebut kata 'mereka' dalam kalimatnya sebelumnya.Apakah Alexander merasa senang? Dia tidak tahu. Setelah kehilangan anaknya yang pertama, sekarang Tuhan menggantinya dengan memberikannya dua sekaligus. Tapi apakah harus dengan taruhan nyawa Arandra? Lebih baik tidak perlu. Alexander hanya membutuhkan Arandra. "Apakah jenis kelamin bayinya sudah bisa diketahui?!"Bola mata Alexander melirik Arandra yang berbaring di ranjang–tampak antusias dengan pertanyaan yang diajukannya pada dokter. "Belum ya, Mrs. Alexander. Jenis kelamin bayinya baru bisa diketahui setelah sekitar 16 minggu kehamilan."Lalu tampak Arandra mengerucutkan bibirnya sebagai tanda kecewa atas jawaban yang diberikan dokter perempuan itu. Hanya sebentar ketika kemudian wanita itu mendongak–menatap Alexander yang berdiri di samping kepalanya den
Alexander tidak kembali ke kamar mereka hingga malam tiba. Dia tidak mau berbicara dengan Arandra. Ketika memiliki masalah, mereka hanya perlu saling membicarakannya–lalu masalah mereka selesai begitu saja. Tapi jangankan untuk berbicara, Alexander bahkan sepertinya tidak mau melihat wajahnya. Arandra menunduk dalam. Dia tahu dia salah. Alexander pasti sangat kecewa padanya. Arandra tidak berniat terus menyembunyikan kehamilannya darinya. Dia hanya ingin menunggu waktu yang tepat untuk mengatakannya. Arandra ingin meyakinkannya terlebih dahulu bahwa dia akan baik-baik saja dengan kehamilan ini. Tapi Alexander ternyata mengetahuinya lebih dulu. Dan sekarang lelaki itu sangat marah."Jangan didengarkan perkataan Alex tadi, ya. Dia hanya sedang marah," ucap Arandra sambil mengelus perutnya dengan sayang. Bagaimanapun anak ini adalah anaknya. Alexander pasti akan menerimanya. Arandra menghapus air matanya, kemudian menyingkap selimut–menurunkan kakinya dari ranjang. Berniat keluar untuk
Arandra memberikan gelasnya kembali ke pelayan setelah meminum sedikit airnya. Kemudian meletakkan kepalanya lagi di kepala ranjang–masih merasa pusing."Nyonya Arandra pingsan karena terlalu kelelahan." Rosaline bersuara. Lalu dia menatap Arandra dengan wajah garang–seperti seorang ibu yang siap memarahi anaknya. "Saya kan sudah bilang agar Nyonya istirahat saja. Tapi Nyonya tidak mendengarkan dan ngotot berkebun. Karena itu berakhir pingsan seperti ini."Arandra meletakkan jemarinya di pelipis–memijatnya sambil memejamkan mata. Tidak menanggapi kalimat Rosaline yang terdengar seperti omelan untuknya. Arandra hanya memajukan bibirnya sesaat. Tapi kemudian dia membuka mata cepat ketika menyadari sesuatu. Jas biru Alexander–yang lelaki itu pakai saat ke kantor tadi pagi–sudah tersampir di sandaran sofa sejak Arandra membuka matanya beberapa saat lalu."Alex sudah pulang?" tanya Arandra cepat. "Sudah, Nyonya. Saya tadi menghubungi Tuan dan memberitahukan jika Nyonya Arandra pingsan. Tu
Alexander menusuk potongan roti tawar dengan selai blueberry di dalamnya menggunakan garpu, kemudian memasukkannya ke dalam mulut di saat satu tangannya lagi sibuk bergerak di atas layar ponselnya. "Rosaline!" "Iya, Tuan?" Wanita paruh baya yang namanya terpanggil itu bergegas menghampiri Alexander–berdiri di samping Alexander yang duduk dengan tenang di meja makan. "Kemungkinan aku akan pulang malam nanti. Kau awasi Arandra. Pastikan dia makan, tidur siang, dan meminum vitaminnya," pesan Alexander pada pelayan pribadi Arandra itu. "Baik, Tuan." Rosaline mengangguk patuh. "Apakah Nyonya Arandra masih tidur?" "Hm. Bangunkan dia saat sudah waktunya sarapan. Sekarang biarkan saja dulu. Dia–" "Alex..." Ucapan Alexander terpotong karena suara lembut seseorang yang sudah sangat dia kenali. Arandra muncul dari balik pintu ruang makan dengan gaun tidurnya yang berwarna biru–terlihat jelas baru bangun tidur dan belum mencuci wajahnya, rambutnya pun masih berantakan. "Kemari." Alexande