"Halo, Zzar manisku! Aku kembali!" Arandra berseru dari ambang pintu utama mansion ketika melihat anjingnya lewat. Wanita itu berlari kecil menghampiri anjingnya itu, langsung mengangkat dan memeluknya seolah sudah lama tidak bertemu.Alexander menggelengkan kepala. Mengamati wanita itu sebenar, kemudian pergi lebih dulu ke kamar untuk mengganti setelan hitamnya. Keluar dari walk in closet, Alexander mengambil ponselnya yang sebelumnya dia letakkan di atas nakas. Lelaki itu duduk di bibir ranjang, memeriksa dokumen yang beberapa saat lalu dikirim oleh sekretarisnya melalui email."Apa kau sudah memeriksanya sebelum mengirimkannya padaku? Baca dengan teliti lebih dulu," ucap Alexander di telepon. Tampak kesal. Masih dengan ponsel di telinga, lelaki itu bangkit. Membuka pintu kamar dan berjalan keluar."Di halaman tujuh. Bukankah aku sudah menyebutkan sebelumnya jika jumlahnya adalah 34%. Kenapa masih belum diubah?" Alexander berdiri di balkon lantai dua, melihat ke bawah. "Ara! Berhen
Senandung kecil yang terasa tidak nyaman di gendang telinga, terdengar dari dapur mansion. Menyadari suaranya yang seperti 'tikus kejepit', Arandra bernyanyi dengan suara pelan. Tidak ingin membuat orang lain sakit telinga karena suaranya.Sembari membalik roti di atas pemanggangan, kepala Arandra bergerak ke kiri dan kanan mengikuti irama dari nyanyiannya."Nyonya membutuhkan bantuan saya?"Arandra menolehkan kepalanya, menggeleng. "Aku bisa," balasnya. Setelah pelayan itu pergi–meletakkan makanan lain ke meja makan, Arandra kembali bernyanyi sambil menunggu roti yang dipanggangnya menjadi sedikit kecoklatan."And all along I believed I would find youTime has brought your heart to meI have loved you for a thousand yearsI'll love you for a thousand more."Alexander yang bersandar di daun pintu tersenyum geli mendengar nyanyian Arandra–dia bahkan tidak bisa mencapai nada tingginya. Alexander yang ingin mengomelinya karena masih saja berani masuk ke dapur untuk memasak, mengurungkan
"Senang bertemu dengan Anda, Mrs. William."Arandra tersenyum ramah, menerima jabatan tangan dari Mr. Aldrich–rekan kerja yang dibicarakan Alexander sebelumnya. Di sampingnya berdiri istri dari lelaki itu, namanya Serena. Dia sangat cantik. Pakaiannya tampak stylish–masih seperti anak muda, meskipun sudah memasuki kepala tiga."Ini semua kuda-kudamu?" tanya Alexander setelah waktu untuk saling sapa-menyapa berakhir. Dia mengamati kuda-kuda yang tengah berkeliaran dari balik pagar kayu."Benar, Mr. William. Beberapa dari mereka aku merawatnya sejak masih bayi, sampai sebesar sekarang," jawab Aldrich dengan kekehannya.Arandra meletakkan tangannya di pagar kayu. Melihat tempat pacuan kuda yang sangat luas di depannya kuda-kuda yang berjumlah cukup banyak. "Di sini terlihat indah. Kuda-kudanya juga sangat cantik."Aldrich sedikit membungkuk dengan sebelah tangan diletakkan di dada, menampilkan senyum terima kasih atas pujian Arandra. "Tapi ini semua bukan kuda terbaikku. Kuda-kuda terbai
"Padahal aku ingin berkuda." Arandra mengadu pada Alexander dengan suara lemahnya. Wanita itu bersandar di dada Alexander di saat mobil melaju dalam perjalanan pulang.Arandra memiliki alergi terhadap lemon. Napasnya menjadi sesak ketika memakan lemon. Tapi untunglah hanya sedikit lemon yang dicampur dalam tea yang dia minum–Arandra bahkan hampir tidak merasakannya, karena itu dia meminumnya. Arandra sudah baik-baik saja sekarang."Aku akan mengajakmu berkuda lain kali," balas Alexander sembari mengusap kepala Arandra. Arandra mengangguk-angguk tanpa semangat. Matanya hampir terpejam ketika sebuah panggilan masuk ke ponsel Alexander yang dipegang Alexander di depan wajahnya–Arandra melihat sebuah film dari ponsel lelaki itu. "Ada telepon."Alexander memeriksa ponselnya. Nama Mr. Aldrich tertera sebagai penelepon. Tanpa berpikir lelaki itu menekan tombol tolak dan membiarkan Arandra kembali melihat tontonannya."Kenapa ditolak?" "Biarkan saja. Dia bersalah karena–""Bukan salahnya, A
Alexander berjongkok dengan satu lutut menyentuh lantai–memasangkan sepatu Arandra. Dengan jacket hitam dan bawahan celana training model klasik yang memiliki panjang sampai ujung kaki, serta sneakers berwarna senada, wanita itu tampak bersemangat untuk olahraga. Dia bangun pagi-pagi sekali–memang berniat untuk ikut Alexander lari pagi."Sudah." Alexander bangkit setelah selesai mengikat tali sepatu Arandra. Lelaki dengan kaos laurel green pas badan yang dimasukkan ke dalam celana training itu mengulurkan tangan–menggandeng tangan Arandra.Arandra bangkit dari sofa bench yang dia duduki. Dengan genggaman tangan Alexander di tangannya, mereka berjalan bersama keluar kamar. Arandra mengayun-ayunkan tangannya yang terutama dengan lelaki itu."Kenapa terlihat semangat sekali hari ini? Biasanya sangat malas jika disuruh olahraga." Alexandra menekan dengan gemas kedua pipi Arandra dengan ibu jari dan jari telunjuknya–membuat bibir Arandra tampak maju ke depan.Arandra menjauhkan tangan Alex
Alexander masuk dengan lengan melingkar di leher Arandra. Sementara Arandra sendiri sibuk memakan es krim yang dibelinya di jalan."Sir." Seseorang yang berada di ruang tamu langsung bangkit dari duduknya begitu menyadari kehadiran Alexander. Itu Anggita–sekretaris Alexander."Kau di sini? Ada apa?" tanya Alexander sambil melepaskan rangkulannya dari Arandra."Maaf menganggu waktu Anda. Saya ingin meminta tanda tangan Anda untuk berkas yang sangat urgent."Alexander meraih berkas yang diulurkan Anggita. Melihat berkas yang dimaksud."Sebelumnya saya sudah sempat menghubungi Anda, tapi tidak bisa. Jadi saya langsung datang kemari.""Aku meninggalkan ponselku di rumah," kata Alexander dengan tatapan masih pada berkas di tangannya. Lalu dia menatap Arandra. Alexander mengusap sudut bibirnya yang terdapat sisa es krim. "Pergi ke kamar. Bersihkan dirimu dulu. Nanti aku menyusul."Arandra tidak lantas mengangguk. Dia menatap perempuan dengan dress ketat berwarna merah di depannya. Cukup lam
Arandra membuka pintu kamar, menggelengkan kepala dengan kedua bibir masuk ke dalam mulut melihat Alexander yang masih berbaring dengan nyaman di tempat tidur. Dia berjalan menghampirinya dengan napas di hela."Alex, bangun." Dengan berdiri di samping ranjang tempat Alexander berbaring, Arandra menusuk-nusuk pelan lengan lelaki itu dengan jarinya. Berusaha membangunkannya.Terdengar gumaman tidak jelas dari Alexander. Namun lelaki itu tidak membuka matanya."Alex, bangun," ulang Arandra dengan nada gemas. Kali ini dengan mengguncang cukup kuat lengan Alexander. "Ini sudah sore. Kenapa kau tidur terus? Ayo kita berbelanja," katanya."Berbelanja untuk apa?" gumam Alexander sembari membuka matanya dengan malas."Untuk hadiah natal," jawab Arandra antusias. Beberapa hari lagi adalah perayaan natal, dan dia ingin berbelanja hadiah natal untuk diberikan pada orang-orang."Minta saja pelayan untuk membelinya. Katakan padanya kau ingin membeli apa."Balasan Alexander membuat Arandra mengerucu
Dengan kaki menyilang dan satu tangan berada di atas meja–menumpu kepalanya, Alexander membalik-balik kertas di depannya dengan satu tangannya yang lain. Kepalanya mengangguk-angguk. "Tapi apa kau yakin pembangunan resort ini akan mendapat persetujuan dari pemerintah setempat?"Mr. Aldrich mengangguk dengan yakin. "Dengan adanya resort ini akan memenuhi kebutuhan para wisatawan di sana. Selain itu, akan dapat menambah daya tarik pada kawasan itu sendiri. Jadi pembangunan resort ini jelas akan menguntungkan mereka juga. Saya juga sudah pergi ke sana sebelumnya dan mendapat tanggapan positif dari mereka.""Bagus. Kalau begitu kita akan memulai pembangunannya segera setelah proyek ini disetujui."Semua langsung menghembuskan napas lega setelah banyak keluhan diberikan oleh Alexander atas perencanaan pembangunan resort selama tiga jam melakukan rapat. Alexander adalah tipikal bos yang paling tidak suka jika ada suatu kekurangan. Semua harus berjalan dengan baik dan sempurna.Semua orang