Arandra membuka pintu kamar, menggelengkan kepala dengan kedua bibir masuk ke dalam mulut melihat Alexander yang masih berbaring dengan nyaman di tempat tidur. Dia berjalan menghampirinya dengan napas di hela."Alex, bangun." Dengan berdiri di samping ranjang tempat Alexander berbaring, Arandra menusuk-nusuk pelan lengan lelaki itu dengan jarinya. Berusaha membangunkannya.Terdengar gumaman tidak jelas dari Alexander. Namun lelaki itu tidak membuka matanya."Alex, bangun," ulang Arandra dengan nada gemas. Kali ini dengan mengguncang cukup kuat lengan Alexander. "Ini sudah sore. Kenapa kau tidur terus? Ayo kita berbelanja," katanya."Berbelanja untuk apa?" gumam Alexander sembari membuka matanya dengan malas."Untuk hadiah natal," jawab Arandra antusias. Beberapa hari lagi adalah perayaan natal, dan dia ingin berbelanja hadiah natal untuk diberikan pada orang-orang."Minta saja pelayan untuk membelinya. Katakan padanya kau ingin membeli apa."Balasan Alexander membuat Arandra mengerucu
Dengan kaki menyilang dan satu tangan berada di atas meja–menumpu kepalanya, Alexander membalik-balik kertas di depannya dengan satu tangannya yang lain. Kepalanya mengangguk-angguk. "Tapi apa kau yakin pembangunan resort ini akan mendapat persetujuan dari pemerintah setempat?"Mr. Aldrich mengangguk dengan yakin. "Dengan adanya resort ini akan memenuhi kebutuhan para wisatawan di sana. Selain itu, akan dapat menambah daya tarik pada kawasan itu sendiri. Jadi pembangunan resort ini jelas akan menguntungkan mereka juga. Saya juga sudah pergi ke sana sebelumnya dan mendapat tanggapan positif dari mereka.""Bagus. Kalau begitu kita akan memulai pembangunannya segera setelah proyek ini disetujui."Semua langsung menghembuskan napas lega setelah banyak keluhan diberikan oleh Alexander atas perencanaan pembangunan resort selama tiga jam melakukan rapat. Alexander adalah tipikal bos yang paling tidak suka jika ada suatu kekurangan. Semua harus berjalan dengan baik dan sempurna.Semua orang
Alexander membuka matanya, duduk, lalu menolehkan kepala ke kiri dan kanan. Tubuhnya terasa sakit semua. Kasur yang dia tiduri tidak empuk sama sekali, ranjangnya berderit hanya karena sedikit saja gerakan. Dia tidak akan mau lagi tidur di sini.Alexander menginap di rumah Rosaline bersama Arandra. Awalnya dia hanya berniat menjemput Arandra–Arandra belum juga pulang saat Alexander pulang dari kantor. Alexander menjemputnya, tapi dia merengek ingin menginap di sana. Dan seperti biasa, Alexander tidak bisa menolak keinginannya.Alexander turun dari ranjang. Membuka pintu kamar, menoleh ke kiri-kanan. Rosaline yang sedang menata makanan di meja makan datang menghampirinya."Tuan sudah bangun? Saya sudah menyiapkan makanan. Setelah ini kita bisa sarapan bersama."Alexander menatap meja makan–piring-piring berisi berbagai macam makanan tertata dengan rapi di atasnya. Alexander mengangguk, lalu dia bertanya. "Di mana istriku?""Nyonya Arandra ikut suami saya pergi ke ladang, Tuan. Katanya
Mereka merayakan natal di kediaman William. Bersama dengan Arthur dan Anggy, juga semua keluarga dari pihak Arthur dan beberapa dari pihak Anggy yang akan datang tidak lama lagi.Arandra terlihat tengah sibuk menyusun tumpukan kotak kado warna biru dan putih di bawah pohon natal, setelah sebelumnya telah mendekorasi pohon natalnya sendiri."Pohon natalnya sudah selesai?"Arandra yang sedang berjongkok di bawah pohon natal menoleh, mengangguk pada Anggy yang berjalan masuk dari pintu ruang keluarga sambil membawa tumpukan kado lain. Wanita itu meraih kotak-kotak yang di bawah Anggy dan menyusunnya bersama kado-kado yang dia bawa."Cantik tidak, Ibu?" tanya Arandra, meminta pendapat untuk pohon natal yang telah selesai dia dekorasi. Dengan ornamen dan pernak-pernik berwarna biru dan putih–memberikan kesan musim dingin yang sejuk dan khas natal. Perpaduan warna yang cocok dengan warna hijau pada pohon natal. Terlihat simpel tapi tetap menarik perhatian."Cantik sekali." Anggy menjawab de
"Jingle bells, jingle bells, jingle all the way... Oh what fun it is to ride, in a one-horse open sleigh, hey! Jingle bells, jingle bells, jingle all the way... Oh what fun it is to ride, in a one-horse open sleigh..."Malam natal tiba. Mansion William tampak sangat meriah. Semua keluarga berkumpul–berbincang-bincang riang ditemani suara denting lonceng dan iringan lagu natal yang membuat suasana makin meriah.Semua orang tampak riang dan bergembira menyambut perayaan natal. Berbeda dengan Arandra yang hanya berdiri diam di tepi ruangan. Kedua tangannya menyilang di perut–menatap sekitar dengan pandangan kosong, hingga matanya tanpa sengaja beradu dengan mata Alexander yang tengah berdiri di seberang ruangan–berbincang dengan suami Alena dan sepupunya yang lain. Lalu Alexander berjalan menghampirinya."Aku mencarimu sejak tadi. Kau kemana saja?" tanya Alexander sembari merengkuh pinggang Arandra–menariknya mendekat.Sejak Alexander pulang dari kan
Ada yang berbeda dari Arandra. Selama menginap beberapa hari di mansion ayah dan ibunya, Alexander merasa Arandra menghindarinya. Arandra seolah mendiamkannya. Entah hanya perasaannya saja atau tidak, karena dia pun tidak merasa sedang bertengkar dengan Arandra. Arandra masih menyiapkan pakaiannya, memasangkan dasinya seperti biasa–tapi dengan tatapan yang lebih sering terlihat dingin. Raut perhatian dan cerianya tidak tampak."Ara, setelah sarapan kita pulang," kata Alexander bermaksud memberitahu, tidak untuk bertanya pada Arandra.Tapi Arandra membalasnya dengan penolakan. "Kau saja yang pulang. Aku masih mau di sini dulu," ucapnya sambil menyuap makanan ke dalam mulut–tidak menatap Alexander."Tidak bisa disebut pulang jika tidak denganmu," balas Alexander tegas–mulai kesal dengan sikap Arandra. Berkali-kali dia bertanya padanya, tapi jawaban Arandra selalu sama. Tidak ada apa-apa. Lalu dari mana Alexander bisa tahu apa yang menjadi masalahnya?"Ibu, tidak apa-apa kan kalau aku me
Alexander menutup laptopnya, lalu mengangkat kedua tangannya–merenggangkan otot-ototnya yang terasa pegal, sebelum bangkit dari kursi kerjanya. Kemudian berjalan keluar menuju kamar.Di dalam tidak ada Arandra. Alexander menatap ke sekitar ketika ponselnya di atas nakas berdering. Melangkah ke arah ranjang, Alexander duduk di tepi ranjang dan mengangkat panggilan dari ibunya.["Apa yang sudah kau lakukan pada Arandra?"] Tanpa sapaan atau basa-basi terlebih dahulu, pertanyaan bernada kesal Anggy langsung terdengar begitu Alexander menempelkan ponselnya ke telinga.Alexander mengerutkan kening tidak paham. "Apa?"["Kau berbuat salah apa pada Arandra? Ibu mengamati tingkah kalian berdua. Wajah Arandra terlihat murung setiap saat. Dan dia juga mengabaikan mu kan?"]"Tidak...," jawab Alexander terdengar tidak yakin dari suaranya. "Aku dan Ara baik-baik saja..."["Jangan berbohong pada Ibu."] Anggy menyela cepat perkataan putranya. ["S
Arandra ternyata belum selesai dengan kemarahannya. Alexander terlalu bingung memikirkan apa yang sebenarnya wanita itu inginkan. Dia kembali bertingkah.Alexander sudah melarangnya untuk pergi ke wilayah didekat kota kecil Lorca yang menjadi tempat terjadinya gempa. Tapi Arandra tetap pergi. Larangannya tidak didengarkan, dan dia pergi tanpa memberitahunya."Jam berapa dia pergi?""Sekitar pukul enam, Tuan," jawab pelayan dengan kepala tertunduk. Dia pikir Alexander sudah mengetahuinya dan memberinya izin. Alexander masuk kembali ke dalam kamarnya. Dia melepaskan jas yang sudah membalut rapi tubuhnya–menyisakan rompi hitam dengan kemeja putih. Alexander menatap jam dinding yang menunjukkan pukul setengah tujuh. Rencananya dia akan pergi ke Venice untuk urusan pekerjaan setelah ini. Tapi sepertinya lelaki itu akan membatalkannya. Menyusul Arandra–menjemput dan membawanya pulang akan menjadi hal yang lebih penting."Kau dari mengantar istriku kan?" Alexander baru akan masuk ke mobilny