"Jingle bells, jingle bells, jingle all the way... Oh what fun it is to ride, in a one-horse open sleigh, hey! Jingle bells, jingle bells, jingle all the way... Oh what fun it is to ride, in a one-horse open sleigh..."Malam natal tiba. Mansion William tampak sangat meriah. Semua keluarga berkumpul–berbincang-bincang riang ditemani suara denting lonceng dan iringan lagu natal yang membuat suasana makin meriah.Semua orang tampak riang dan bergembira menyambut perayaan natal. Berbeda dengan Arandra yang hanya berdiri diam di tepi ruangan. Kedua tangannya menyilang di perut–menatap sekitar dengan pandangan kosong, hingga matanya tanpa sengaja beradu dengan mata Alexander yang tengah berdiri di seberang ruangan–berbincang dengan suami Alena dan sepupunya yang lain. Lalu Alexander berjalan menghampirinya."Aku mencarimu sejak tadi. Kau kemana saja?" tanya Alexander sembari merengkuh pinggang Arandra–menariknya mendekat.Sejak Alexander pulang dari kan
Ada yang berbeda dari Arandra. Selama menginap beberapa hari di mansion ayah dan ibunya, Alexander merasa Arandra menghindarinya. Arandra seolah mendiamkannya. Entah hanya perasaannya saja atau tidak, karena dia pun tidak merasa sedang bertengkar dengan Arandra. Arandra masih menyiapkan pakaiannya, memasangkan dasinya seperti biasa–tapi dengan tatapan yang lebih sering terlihat dingin. Raut perhatian dan cerianya tidak tampak."Ara, setelah sarapan kita pulang," kata Alexander bermaksud memberitahu, tidak untuk bertanya pada Arandra.Tapi Arandra membalasnya dengan penolakan. "Kau saja yang pulang. Aku masih mau di sini dulu," ucapnya sambil menyuap makanan ke dalam mulut–tidak menatap Alexander."Tidak bisa disebut pulang jika tidak denganmu," balas Alexander tegas–mulai kesal dengan sikap Arandra. Berkali-kali dia bertanya padanya, tapi jawaban Arandra selalu sama. Tidak ada apa-apa. Lalu dari mana Alexander bisa tahu apa yang menjadi masalahnya?"Ibu, tidak apa-apa kan kalau aku me
Alexander menutup laptopnya, lalu mengangkat kedua tangannya–merenggangkan otot-ototnya yang terasa pegal, sebelum bangkit dari kursi kerjanya. Kemudian berjalan keluar menuju kamar.Di dalam tidak ada Arandra. Alexander menatap ke sekitar ketika ponselnya di atas nakas berdering. Melangkah ke arah ranjang, Alexander duduk di tepi ranjang dan mengangkat panggilan dari ibunya.["Apa yang sudah kau lakukan pada Arandra?"] Tanpa sapaan atau basa-basi terlebih dahulu, pertanyaan bernada kesal Anggy langsung terdengar begitu Alexander menempelkan ponselnya ke telinga.Alexander mengerutkan kening tidak paham. "Apa?"["Kau berbuat salah apa pada Arandra? Ibu mengamati tingkah kalian berdua. Wajah Arandra terlihat murung setiap saat. Dan dia juga mengabaikan mu kan?"]"Tidak...," jawab Alexander terdengar tidak yakin dari suaranya. "Aku dan Ara baik-baik saja..."["Jangan berbohong pada Ibu."] Anggy menyela cepat perkataan putranya. ["S
Arandra ternyata belum selesai dengan kemarahannya. Alexander terlalu bingung memikirkan apa yang sebenarnya wanita itu inginkan. Dia kembali bertingkah.Alexander sudah melarangnya untuk pergi ke wilayah didekat kota kecil Lorca yang menjadi tempat terjadinya gempa. Tapi Arandra tetap pergi. Larangannya tidak didengarkan, dan dia pergi tanpa memberitahunya."Jam berapa dia pergi?""Sekitar pukul enam, Tuan," jawab pelayan dengan kepala tertunduk. Dia pikir Alexander sudah mengetahuinya dan memberinya izin. Alexander masuk kembali ke dalam kamarnya. Dia melepaskan jas yang sudah membalut rapi tubuhnya–menyisakan rompi hitam dengan kemeja putih. Alexander menatap jam dinding yang menunjukkan pukul setengah tujuh. Rencananya dia akan pergi ke Venice untuk urusan pekerjaan setelah ini. Tapi sepertinya lelaki itu akan membatalkannya. Menyusul Arandra–menjemput dan membawanya pulang akan menjadi hal yang lebih penting."Kau dari mengantar istriku kan?" Alexander baru akan masuk ke mobilny
Arandra menatap keluar melalui jendela mobil di sampingnya dengan kedua tangan terlipat di perut. Hujan tiba-tiba turun dengan sangat deras, membasahi jalanan dan pohon-pohon di sepanjang tepi jalan. "Apa kau merasa dingin?"Sebuah pertanyaan dilontarkan kepadanya, dan Arandra tidak berniat menjawabnya. Wanita itu hanya menggeleng singkat, lalu memiringkan duduknya ke arah pintu–sedikit membelakangi Alexander.Arandra akhirnya memutuskan kembali pulang–menuruti Alexander, karena tidak ingin memperpanjang perdebatan mereka. Arandra tidak mau memperlihatkan masalah rumah tangganya kepada orang-orang yang berada di dalam bus. Arandra turun dari bus di saat Alexander masih terdiam setelah Arandra menyampaikan kebohongan lelaki itu yang sudah dia ketahui. Tapi bahkan setelah mengetahuinya, Alexander seolah tidak berniat menjelaskan apapun padanya. Alexander merunduk ketika sebuah jas hitam diletakkan di pangkuannya. Jas itu milik Alexander. "Pakai jasnya supaya tidak kedinginan."Arandr
Arandra mengangkat kelima jarinya ke atas, seolah tengah menyentuh langit yang tidak berawan. Wanita itu sedang duduk di balkon kamarnya dengan kepala menyender di pundak Alexander yang duduk di sebelahnya."Aah, seharusnya aku ada di Lorca sekarang," ucap Arandra sambil mencebikkan bibir. Lalu wanita itu menegakkan kepalanya, menoleh pada Alexander–menatapnya dengan wajah ditekuk. "Kau sangat menyebalkan. Kenapa harus menjemputku?"Alexander mendengus, menampilkan wajah sama kesalnya dengan Arandra. "Kau yang menyebalkan. Sudah aku bilang untuk jangan pergi. Kau tetap saja masih pergi. Dasar pembangkang," omelnya.Arandra memajukan bibirnya sambil membuang muka. Merasa kesal, tapi tidak bisa membalas karena memang dia salah. Alexander sudah melarangnya untuk pergi, tapi dia tetap pergi, tanpa memberitahunya pula."Alex, aku boleh bekerja?" tanya Arandra tiba-tiba. Wajah muramnya sudah menghilang. Dia menatap Alexander dengan mata berbinar penuh harap–mendadak terpikirkan keinginan it
Alexander menatap ke sekitar dengan tangan merangkul pinggang Arandra di saat satu tangannya lagi menggeret koper berwarna biru. "Penerbangannya jam berapa?" Arandra bertanya. Dia menoleh ke sekitar–sudah sangat ramai orang dengan koper-koper yang dibawanya meski hari masih sangat pagi. Alexander melepas pegangannya di pinggang Arandra sebentar untuk memeriksa tiket yang dibawanya. "enam lebih tiga puluh lima. Masih sekitar setengah jam lagi," jawab Alexander, lalu dengan cepat meraih pinggang Arandra lagi dan menariknya lebih merapat padanya di saat seseorang dari arah belakang hampir menabraknya. Alexander berdecak. "Padahal kita tidak perlu bangun pagi-pagi sekali dan menunggu seperti ini jika kau mau menggunakan helikopter," keluhnya. Arandra menggeleng keras. "Aku hanya ingin liburan seperti orang normal, Alex," balasnya. Alexander melebarkan mata, menggeram kesal. "Memangnya selama ini kita tidak normal?" tanyanya sewot sembari mendudukkan Arandra di kursi tunggu keberangkat
"Kau ingin pergi ke mana lagi besok?" Arandra menatap langit-langit kamar sambil memainkan jemari Alexander yang lengannya dia gunakan sebagai bantalan kepalanya. "Eung...tidak tahu. Aku ikut saja denganmu," jawab Arandra karena belum memikirkan tempat-tempat mana saja yang ingin dia kunjungi selain melihat air mancur di Trevi Fountain."Hm. Baiklah. Sekarang tidurlah. Kau pasti lelah setelah berjalan-jalan seharian," ucap Alexander sembari mengeratkan pelukannya. Sempat menatap keluar sekilas dari jendela di belakang Arandra yang tirainya dibiarkan terbuka. Suasana di luar sudah gelap. Malam datang menampilkan bintang-bintang yang menghiasi langitnya."Alex." Arandra mengangkat sedikit kepalanya. Menatap Alexander yang telah memejamkan mata. Alexander membuka matanya lagi. Menatap Arandra bertanya."Aku sedang memakai yang tadi kita lihat," bisik Arandra dengan senyum malu. Alexander sempat diam untuk berpikir apa yang dimaksud Arandra, lalu bola matanya membesar. "Padahal aku me