"Padahal aku ingin berkuda." Arandra mengadu pada Alexander dengan suara lemahnya. Wanita itu bersandar di dada Alexander di saat mobil melaju dalam perjalanan pulang.Arandra memiliki alergi terhadap lemon. Napasnya menjadi sesak ketika memakan lemon. Tapi untunglah hanya sedikit lemon yang dicampur dalam tea yang dia minum–Arandra bahkan hampir tidak merasakannya, karena itu dia meminumnya. Arandra sudah baik-baik saja sekarang."Aku akan mengajakmu berkuda lain kali," balas Alexander sembari mengusap kepala Arandra. Arandra mengangguk-angguk tanpa semangat. Matanya hampir terpejam ketika sebuah panggilan masuk ke ponsel Alexander yang dipegang Alexander di depan wajahnya–Arandra melihat sebuah film dari ponsel lelaki itu. "Ada telepon."Alexander memeriksa ponselnya. Nama Mr. Aldrich tertera sebagai penelepon. Tanpa berpikir lelaki itu menekan tombol tolak dan membiarkan Arandra kembali melihat tontonannya."Kenapa ditolak?" "Biarkan saja. Dia bersalah karena–""Bukan salahnya, A
Alexander berjongkok dengan satu lutut menyentuh lantai–memasangkan sepatu Arandra. Dengan jacket hitam dan bawahan celana training model klasik yang memiliki panjang sampai ujung kaki, serta sneakers berwarna senada, wanita itu tampak bersemangat untuk olahraga. Dia bangun pagi-pagi sekali–memang berniat untuk ikut Alexander lari pagi."Sudah." Alexander bangkit setelah selesai mengikat tali sepatu Arandra. Lelaki dengan kaos laurel green pas badan yang dimasukkan ke dalam celana training itu mengulurkan tangan–menggandeng tangan Arandra.Arandra bangkit dari sofa bench yang dia duduki. Dengan genggaman tangan Alexander di tangannya, mereka berjalan bersama keluar kamar. Arandra mengayun-ayunkan tangannya yang terutama dengan lelaki itu."Kenapa terlihat semangat sekali hari ini? Biasanya sangat malas jika disuruh olahraga." Alexandra menekan dengan gemas kedua pipi Arandra dengan ibu jari dan jari telunjuknya–membuat bibir Arandra tampak maju ke depan.Arandra menjauhkan tangan Alex
Alexander masuk dengan lengan melingkar di leher Arandra. Sementara Arandra sendiri sibuk memakan es krim yang dibelinya di jalan."Sir." Seseorang yang berada di ruang tamu langsung bangkit dari duduknya begitu menyadari kehadiran Alexander. Itu Anggita–sekretaris Alexander."Kau di sini? Ada apa?" tanya Alexander sambil melepaskan rangkulannya dari Arandra."Maaf menganggu waktu Anda. Saya ingin meminta tanda tangan Anda untuk berkas yang sangat urgent."Alexander meraih berkas yang diulurkan Anggita. Melihat berkas yang dimaksud."Sebelumnya saya sudah sempat menghubungi Anda, tapi tidak bisa. Jadi saya langsung datang kemari.""Aku meninggalkan ponselku di rumah," kata Alexander dengan tatapan masih pada berkas di tangannya. Lalu dia menatap Arandra. Alexander mengusap sudut bibirnya yang terdapat sisa es krim. "Pergi ke kamar. Bersihkan dirimu dulu. Nanti aku menyusul."Arandra tidak lantas mengangguk. Dia menatap perempuan dengan dress ketat berwarna merah di depannya. Cukup lam
Arandra membuka pintu kamar, menggelengkan kepala dengan kedua bibir masuk ke dalam mulut melihat Alexander yang masih berbaring dengan nyaman di tempat tidur. Dia berjalan menghampirinya dengan napas di hela."Alex, bangun." Dengan berdiri di samping ranjang tempat Alexander berbaring, Arandra menusuk-nusuk pelan lengan lelaki itu dengan jarinya. Berusaha membangunkannya.Terdengar gumaman tidak jelas dari Alexander. Namun lelaki itu tidak membuka matanya."Alex, bangun," ulang Arandra dengan nada gemas. Kali ini dengan mengguncang cukup kuat lengan Alexander. "Ini sudah sore. Kenapa kau tidur terus? Ayo kita berbelanja," katanya."Berbelanja untuk apa?" gumam Alexander sembari membuka matanya dengan malas."Untuk hadiah natal," jawab Arandra antusias. Beberapa hari lagi adalah perayaan natal, dan dia ingin berbelanja hadiah natal untuk diberikan pada orang-orang."Minta saja pelayan untuk membelinya. Katakan padanya kau ingin membeli apa."Balasan Alexander membuat Arandra mengerucu
Dengan kaki menyilang dan satu tangan berada di atas meja–menumpu kepalanya, Alexander membalik-balik kertas di depannya dengan satu tangannya yang lain. Kepalanya mengangguk-angguk. "Tapi apa kau yakin pembangunan resort ini akan mendapat persetujuan dari pemerintah setempat?"Mr. Aldrich mengangguk dengan yakin. "Dengan adanya resort ini akan memenuhi kebutuhan para wisatawan di sana. Selain itu, akan dapat menambah daya tarik pada kawasan itu sendiri. Jadi pembangunan resort ini jelas akan menguntungkan mereka juga. Saya juga sudah pergi ke sana sebelumnya dan mendapat tanggapan positif dari mereka.""Bagus. Kalau begitu kita akan memulai pembangunannya segera setelah proyek ini disetujui."Semua langsung menghembuskan napas lega setelah banyak keluhan diberikan oleh Alexander atas perencanaan pembangunan resort selama tiga jam melakukan rapat. Alexander adalah tipikal bos yang paling tidak suka jika ada suatu kekurangan. Semua harus berjalan dengan baik dan sempurna.Semua orang
Alexander membuka matanya, duduk, lalu menolehkan kepala ke kiri dan kanan. Tubuhnya terasa sakit semua. Kasur yang dia tiduri tidak empuk sama sekali, ranjangnya berderit hanya karena sedikit saja gerakan. Dia tidak akan mau lagi tidur di sini.Alexander menginap di rumah Rosaline bersama Arandra. Awalnya dia hanya berniat menjemput Arandra–Arandra belum juga pulang saat Alexander pulang dari kantor. Alexander menjemputnya, tapi dia merengek ingin menginap di sana. Dan seperti biasa, Alexander tidak bisa menolak keinginannya.Alexander turun dari ranjang. Membuka pintu kamar, menoleh ke kiri-kanan. Rosaline yang sedang menata makanan di meja makan datang menghampirinya."Tuan sudah bangun? Saya sudah menyiapkan makanan. Setelah ini kita bisa sarapan bersama."Alexander menatap meja makan–piring-piring berisi berbagai macam makanan tertata dengan rapi di atasnya. Alexander mengangguk, lalu dia bertanya. "Di mana istriku?""Nyonya Arandra ikut suami saya pergi ke ladang, Tuan. Katanya
Mereka merayakan natal di kediaman William. Bersama dengan Arthur dan Anggy, juga semua keluarga dari pihak Arthur dan beberapa dari pihak Anggy yang akan datang tidak lama lagi.Arandra terlihat tengah sibuk menyusun tumpukan kotak kado warna biru dan putih di bawah pohon natal, setelah sebelumnya telah mendekorasi pohon natalnya sendiri."Pohon natalnya sudah selesai?"Arandra yang sedang berjongkok di bawah pohon natal menoleh, mengangguk pada Anggy yang berjalan masuk dari pintu ruang keluarga sambil membawa tumpukan kado lain. Wanita itu meraih kotak-kotak yang di bawah Anggy dan menyusunnya bersama kado-kado yang dia bawa."Cantik tidak, Ibu?" tanya Arandra, meminta pendapat untuk pohon natal yang telah selesai dia dekorasi. Dengan ornamen dan pernak-pernik berwarna biru dan putih–memberikan kesan musim dingin yang sejuk dan khas natal. Perpaduan warna yang cocok dengan warna hijau pada pohon natal. Terlihat simpel tapi tetap menarik perhatian."Cantik sekali." Anggy menjawab de
"Jingle bells, jingle bells, jingle all the way... Oh what fun it is to ride, in a one-horse open sleigh, hey! Jingle bells, jingle bells, jingle all the way... Oh what fun it is to ride, in a one-horse open sleigh..."Malam natal tiba. Mansion William tampak sangat meriah. Semua keluarga berkumpul–berbincang-bincang riang ditemani suara denting lonceng dan iringan lagu natal yang membuat suasana makin meriah.Semua orang tampak riang dan bergembira menyambut perayaan natal. Berbeda dengan Arandra yang hanya berdiri diam di tepi ruangan. Kedua tangannya menyilang di perut–menatap sekitar dengan pandangan kosong, hingga matanya tanpa sengaja beradu dengan mata Alexander yang tengah berdiri di seberang ruangan–berbincang dengan suami Alena dan sepupunya yang lain. Lalu Alexander berjalan menghampirinya."Aku mencarimu sejak tadi. Kau kemana saja?" tanya Alexander sembari merengkuh pinggang Arandra–menariknya mendekat.Sejak Alexander pulang dari kan