"Keluarga pasien atas nama Melati Putriyanne!"
Bu Salma diikuti Rosana, Widuri, Johan dan Lukman berderap menuju asal suara yang memanggil."Bagaimana dengan Melati dan anaknya, Bu Bidan?" Lukman to the point bertanya pada petugas yang memanggil mereka."Bayinya aman, namun Bu Melati masih dalam kondisi kritis saat ini, dia ingin bicara empat mata dengan yang bernama Rosana.Apa orangnya ada?"Wajah Lukman pias seketika, dia begitu takut akan terjadi hal - hal yang buruk pada Melati."Saya Rosana!""Segeralah masuk, BuAnda sudah ditunggu oleh Bu Melati."Petugas medis itu lanjut membawa Rosana menuju bed tempat Melati terbaring tak berdaya."Mel! Ya Tuhan!Sudah, jangan.bicara apa-apa lagi, istirahat saja dulu," titah Rosana kala melihat wajah pucat Melati pasca melahirkan.Melati hanya bisa menangis, tak sepatah kata pun yang sanggup ia ucapkan selain kata maaf yang dilafazkan terbata.Kondisinya terus menurun hingga kembali kehilangan kesadaran."Dia bicara apa?" tanya Lukman pada Rosana yang hanya menjawab dengan gelengan kepalanya."Hanya kata maaf yang sanggup ia ucapkan ... ntah untuk kesalahan yang mana, aku juga tak mengerti."Keduanya masih berbincang kala kembali seorang nakes berlari terbirit-birit dan mengabarkan kondisi Melati kembali kritis dan meminta Rosana kembali masuk mendampinginya."D ... DNA," ucap Melati dengan lirih sebelum akhirnya menutup mata dan tak pernah membukanya kembali.Tadinya Bu Salma akan membawa bayi malang itu untuk diasuh di pantinya. Namun setelah berdiskusi singkat akhirnya Lukman dan Rosana sepakat untuk membawa pulang putri mendiang Melati dan mengasuhnya seperti anak sendiri.Selepas melahirkan putra sematawayangnya Rosana memang tak dapat melahirkan lagi karena rahimnya yang terpaksa harus diangkat demi menyelamatkan nyawanya.Tumor yang bersemayam di peranakan wanita itu tidak memberi banyak opsi hingga pengangkatan rahim itu tak dapat lagi dielakkan.Keputusan mengangkat putri Melati dirasakan paling tepat saat itu. Bukankah Melati adalah sahabatnya? Lukman bahkan pernah begitu mencintai wanita itu.Meski awalnya Bu Salma tampak ragu melepas bayi mungil itu, Namun akhirnya ia merelakannya juga karena kondisi panti yang memang tak selapang dulu dari sisi pendanaan."Kalau kalian keberatan, aku yang akan mengasuh bayi Melati!" Johan maju menawarkan diri."No way, Jo! Kita sudah punya Raya dan Rajendra. Biar mereka saja ... toh Rosana sudah tidak bisa melahirkan lagi, anggaplah itu rezeki mereka yang datang melalui musibah yang menimpa Melati," cetus Widuri menolak itikad Johan untuk mengambil hak asuh atas bayi mendiang Melati.Lukman dan Rosana yang pada akhirnya menerima hak asuh bayi itu. Mereka menamainya Mentari Paramita. Mita, demikian mereka memanggilnya.Flashback offMengapa Melati menyebut DNA? Apakah ia bermaksud mengatakan tes DNA?Antara putrinya dengan siapa?Siapa tersangka ayah dari putri cantiknya yang kini telah menjadi putri angkatnya?Apakah suaminya?Mungkinkah Mas Lukman? pikirannya berkecamuk, hatinya kembali resah setelah berpuluh tahun mengabaikan segala fakta yang berkelindan di depan mata tentang betapa sayangnya sang suami pada putri angkatnya.Lukman bahkan tega menolak putra kesayangannya untuk menikahi putri angkatnya nan jelita.Aneh.Kalau memang sayang, bukankah menikahkan Arya dan Mita justru akan semakin mengokohkan kedudukan sang putri? Mita bahkan secara otomatis menjadi mahromnya. Kenapa justru sibuk menjodohkan cucu-cucunya? Rosana sungguh tak habis pikir dibuatnya.Haruskah ia bicara pada putranya? Ia mulai berpikir ke arah yang sama dengan apa yang kerap dicelotehkan putranya, 'Mita adalah putri ayahnya dengan teman wanitanya itu_ wanita yang pernah ayahnya cintai di masa lalu'.Flashback off***Anye menatap pria yang sedang bicara padanya melalui layar ponselnya.Gadis yang juga telah berganti pakaian dengan gaun tidur satin berwarna putih gading itu kini tengah mengaplikasikan skincare mahalnya ke seluruh tubuh.Sesekali mata indahnya berpindah dari layar ponsel ke pergerakan jari jemarinya yang lincah."Opa maunya Mas Den itu meminta restunya dulu sebelum nembak melamarku," adu sang jelita.Denis menghela napasnya dengan wajah yang kentara nampak lelah. Malam ini ia memang agak lebih sibuk dari biasanya.Ia menggantikan ayahnya mendampingi atasannya yang tak lain adalah calon mertuanya karena sang ayah diutus menghadiri pertemuan di luar kota oleh atasannya itu.Denis memang sering ditugasi mendampingi Arya menggantikan ayahnya, makanya sang CEO cukup familiar dengan sosok calon menantu."Ya sudah, nanti aku usahakan agar bisa ketemu Opa Lukman dan memintai restunya." ujar Denis seraya menganggukkan kepalanya dengan mata yang mulai kriyipan."Ya sudah Mas, kamu ngantuk banget kayaknya. Besok lagi sambung telponannya.Istirahat dulu ya," titah Anye yang tak tega melihat mata lelah kekasihnya. Sesi video call pun diakhiri lebih cepat dari biasanya yang berlanjut hingga sleep call. Denis memang seperhatian itu pada gadisnya.Anye meletakkan ponselnya di nakas. Rasa haus seketika menyergapnya. Diraihnya tumbler yang ternyata hanya menyisakan sedikit air. Gadis itu pun bergegas keluar kamar menuju dapur yang biasanya sudah sepi jelang tengah malam begini.Anye bergerak perlahan dengan satu tangan membawa tumbler kosong miliknya. Bertelanjang kaki gadis itu melintasi ruang tengah yang telah gelap gulita.Jantungnya hampir saja copot ketika mendapati sesosok tegap yang tengah duduk menyendiri di sana. Tampaknya sosok itu juga mengalami keterkejutan yang sama kala melihat kehadiran Anye yang hanya mengenakan gaun tipis selutut bertali spageti yang bergerak anggun ke arahnya."Anye ..." Lirih terdengar suara menggumamkan nama sang gadis."Mas Anjas?Sedang apa di sini?" todong sang gadis yang langsung mengenali sosok yang menggumamkan namanya dengan suaranya yang so manly.Suara yang kerap memicu jantungnya berdegup lebih kencang dari biasanya.Anjas bergerak mendekati Anye yang bergeming seketika.Mata sang lelaki memindai dengan detail entitas yang kini berada tepat di hadapannya. Keduanya nyaris tanpa jarak kini."Kamu mau kemana?""Ke dapur, MasMas mau aku buatin kopi?""Jangan, nanti aku tambah gak bisa tidur.""Mas menginap di sini?""Aku belum putuskan ... ""Mas mengkhawatirkan sesuatu?"Pemuda itu merapikan rambut wanitanya dengan lembut. Ia selipkan helaian rambut itu ke telinga sang gadis yang memilih untuk menunduk menghindari tatapan intens kakak sepupu yang semula tinggal di bawah satu atap yang sama dengannya, sebelum akhirnya memutuskan untuk tinggal di luar mansion keluarga mereka."Sudah VCannya?" Anjas tak menjawab pertanyaan Anye, ia justru lebih tertarik dengan aktivitas VC adik sepupunya."Mas Den mengantuk, kita gak ngobrol banyak.""Kamu VCan sama dia mengenakan gaun ini?" selidik Anjas dengan tatapan tajam menghujam.Anyelir menghela napasnya."Aku hanya kasi liat dia wajahku, Mas.Dia bahkan gak tau aku pakai baju apa nggak," jawab Anye sembari membuang tatapan.Giliran Anjas yang menghela napasnya.Suasana seperti ini yang tidak sanggup ia hadapi jika masih harus bertahan tinggal bersama di mansion Lukman Bagaskara.Momen di saat hanya ada dia dan gadis kesayangannya terlibat dalam konversasi random yang tak jarang menghadirkan topik vulgar yang menggelegakkan darahnya tanpa terkendali. Belum lagi pilihan outfit gadis itu yang tak jarang menumpulkan kewarasannya.Anjas sadar imannya sangatlah lemah, terlebih saat dihadapkan pada semerbak keharuman yang menguar dari tubuh jelita itu kala menyapa penciumannya."Jangan pernah perlihatkan dirimu dalam keadaan seperti ini pada lelaki manapun selain pada suamimu kelak, NyeKamu pakai parfum apa sih? Kamu tidak pakai parfum juga sudah wangi.Kamu sadar tidak sih, betapa menggodanya kamu?"TBC"Kamu sadar tidak sih, betapa menggodanya dirimu?"Anyelir tergugu, ia tidak bermaksud menggoda siapa-siapa.Bahkan kepada Denis pun awalnya ia hanya menawarkan pertemanan. Tak ada sedikit pun keinginan menarik perhatian pria itu untuk ia jadikan kekasih.Namun Denis memang sebaik itu. Pria itu paket komplit yang pesonanya sangat sulit dinafikan oleh para wanita termasuk dirinya yang nyata membutuhkan 'seseorang'."Aku gak pernah bermaksud menggoda siapa pun, MasKamu tahu sejak dulu beginilah aku. Aku bahkan nyaris gak pernah pake parfum dan lebih suka memakai minyak telon. Kalau soal pakaian ya memang dari dulu aku seperti ini terkecuali jika keluar, aku selalu berpakaian sopan kok meski belum berhijab seperti gadis yang selalu membersamai kamu itu.Aku memang suka tidur dengan gaun begini, aku mencontoh bunda Mita yang di mataku anggun mengenakan dress sehari-hari. Bunda Mita yang pertama kali menghadiahiku gaun tidur yang nyaman dikenakan ini, selanjutnya aku memang jadi ketagi
Anjas urung memasuki kamarnya. Ia memilih untuk menajamkan telinganya.Suara-suara ambigu itu kian terdengar jelas dan parahnya ia merasa familiar dengan suara-suara yang saling bersahutan itu."Udah ah, Mas ... Pegel tau!' Itu suara Paramita, Anjas tentu tak salah mengenali suara bundanya. "Lima menit lagi, Mit ... yang tadi rasanya nyaman sekali, jangan salahkan kalo aku jadi ketagihan," tawar pria yang menjadi lawan bicara sang bunda. Suara pria itu pun sangat Anjas kenali. Siapa lagi kalau bukan Arya Bagaskara, paman angkatnya.Anjas merasa tak perlu menunda untuk menegur keduanya. Sudah bukan rahasia lagi kalau bundanya menjalin hubungan dengan sang kakak angkat. Seluruh penghuni rumah bahkan karyawan kantor sudah mengendus cukup lama meski tak ada yang berani angkat bicara. Tentu saja alasannya karena tak ingin punya masalah dengan sang CEO dan berpikir masih sangat sayang dengan mata pencaharian mereka.Sungguh mereka belum siap untuk didepak karena meributkan hubungan sang
Semalaman mata Anjas terjaga. Meski telah menegakkan sholat witir dilanjutkan melafazkan dzikir tetap saja berbagai kejadian sepanjang awal malam hingga adzan subuh berseliweran di kepalanya. Tentang Anyelir yang dijodohkan Opa dengannya, namun ternyata telah dilamar oleh kekasihnya. Tentang Bundanya dan Om Arya yang ternyata telah menikah siri setahun yang lalu.'Terang saja semakin mesra kala bersama.'Dia butuh waktu dan ketenangan batin untuk mencerna semua itu.Anjas memilih untuk tidak langsung kembali ke kamarnya sepulang dari mengerjakan sholat subuh di masjid terdekat yang biasa ia tempuh dengan hanya berjalan kaki.Pemuda yang sudah cukup lama tak mengunjungi mansion Opanya itu kemudian menyambangi spot-spot favorit ketika dirinya masih tinggal di bangunan megah itu."Lha, Mas Anjas ada di sini tho! Lama gak ketemu manglingi banget!" seru Dito, salah satu pekerja yang awalnya ikut sang ayah bekerja di Mansion Lukman, kemudian lanjut bekerja menggantikan ayahnya yang pulang
Anye menyelinap masuk ke kamar Anjas setelah terlebih dahulu mengetuk pintu.Memang sudah kebiasaannya sejak dulu, akan langsung masuk setelah mengetuk pintu tanpa menunggu dipersilakan masuk terlebih dahulu oleh si pemilik kamar."Ups, maaf Mas!" Anye spontan menutup kedua matanya lalu memutar tubuh membelakangi. "Kebiasaan lama belum hilang juga rupanya," omel Anjas seraya menyambar bathrobenya.Pemuda itu tadi hanya mengenakan boxernya saja."Maaf, Mas ... aku tadinya mau mengajak Mas sarapan pagi bareng, tapi rupanya Mas Denis harus segera pulang setelah menerima telpon dari papanya.Mas belum sarapan kan?" "Aku tadi minta Dito membuatkan jus alpukat saja, mau nimbrung khawatir mengganggu kebersamaan kalian, jadinya ya ... ""Maafin aku ya, Mas. Beneran gak nyangka Mas Denis akan datang tadi setelah aku bilang gak bisa ikut jogging karena kesiangan bangun.""Its okay, jadi udah pada kelar sarapannya?" Anyelir menggelengkan kepalanya. "Aku gak selera makan nasi goreng seafoodny
Anye mengencangkan pelukannya seolah tak ingin berpisah lagi dengan sosok yang kini tengah membalas pelukannya. "Nye, sudah ... kita naik, Mas mau siap-siap pulang ke apartemen. ""Tapi nanti bakalan sering main ke sini lagi kan ya, Mas." Anye masih belum mau mengurai pelukannya. Ntah karena masih sangat rindu ataukah takut tenggelam. Allahua'lam."Mas gak janji, Nye ...Apalagi kalau kamu sudah resmi menerima lamaran Denis, haram bagi Mas menikung sesama saudara seiman. Mas tentunya akan semakin menjaga jarak dan menghormati keputusan kamu.Saran Mas, istikharahlah agar Allah menuntun kamu menentukan pilihan terbaik.""Iya, Mas.Oh ya, Mas ... Jadi aku boleh ikut kamu ke apartemen kan siang ini? Janji aku gak akan ganggu kamu menyiapkan bahan seminar, aku juga gak akan ngotot ngajak makan di warungnya Cak Somad, kita delivery order aja atau aku yang akan masak di sana biar Mas bisa fokus menyelesaikan pekerjaan.Boleh ya, Mas. Seharian ini aku akan jadi teman yang manis di apartem
Anye menggigit bibirnya sembari membuang tatapan menyembunyikan matanya yang mulai berkaca-kaca. "Kita bukan mahrom, Sayang. Jangan kelamaan duduk di pangkuan Mas, khawatirnya dia bangun dan Mas harus mengambil waktu untuk menidurkan dia agar bisa konsentrasi menyelesaikan materi seminar besok." Kembali Anjas berbisik dan sukses memerahkan wajah tuan putri kesayangannya. "Mas, kamu ..." Anye merasa gemas sekali hingga reflek mencubit roti sobek Anjas yang ternyata begitu keras."Udah ah, aku mau lanjut masak dulu! Ba'da dzuhur kita makan siang di sini saja, Mas. Insyaa Allah semua sudah akan siap untuk kita berdua.Oh ya nanti aku numpang sholat di kamar kamu ya, Mas!" serunya sambil bergerak cepat melipir kembali ke pantry sebelum Anjas kembali mengeluarkan kata-kata yang membuatnya salah tingkah. Tepat saat Adzan berkumandang Anye selesai melakukan plating. Dia juga menyiapkan salad buah untuk cuci mulut dan cemilan nantinya."Mas aku numpang mandi di kamarmu ya, gerah banget soa
"Selesaikan makannya, habis itu istirahat dulu di kamar Mas. Sorenya nanti Mas antar pulang, " titah Anjas. Anye patuh dan langsung masuk kamar selepas menyelesaikan makan siangnya. Anjas sendiri memilih mencuci semua perabot dan alat makan kotor yang berada di sink cuci piring sebelum akhirnya menyerah dan ikut merebahkan dirinya di sofa ruang tengah.Pekerjaannya sudah hampir rampung sementara matanya sangat sulit diajak bekerja sama. Hampir terjaga semalaman membuat Anjas agak kesulitan berkonsentrasi berujung ngantuk yang tak tertahankan selepas menikmati makan siangnya. Anye hampir saja terlelap saat panggilan video dari sang oma mendistraksinya."Apa kamu masih bersama Masmu, Sayang?" tanya Rosana"Anye baru selesai makan siang sama Mas Anjas, Oma.Anye disuruh istirahat dulu siang ini di kamarnya Mas Anjas, orangnya sendiri mungkin masih lanjut menyelesaikan pekerjaannya atau bisa jadi juga sedang rehat di ruangan lain.Oma mau bicara sama Mas Anjas?" tanya Anye yang saat
"Papa tidak akan pernah merestui kalian menikah. Ada banyak wanita di muka bumi ini mengapa harus dengan adik angkatmu sendiri, Arya?" Lukman menatap tajam ke arah putra sematawayangnya."Karena aku mencintainya sejak lama, Pa," jawab Arya dengan tenang."Hah! Cinta monyet saja kau pelihara! Kau tahu aku sangat kecewa ketika rumah tanggamu dengan Marisa kandas di masa pernikahan yang baru seumur jagung. Sama kecewanya aku dengan kandasnya pernikahan Mita dan Henry. Hubungan baikku dengan Tuan Hardy, Ayah Marisa merenggang setelahnya. Aku juga kehilangan asisten sebaik Henry yang kini malah merapat ke grup Hardy.Kalian berdua menghancurkan grand desain masa depan yang kususun dengan susah payah hanya karena keegoisan kalian!" hardik Lukman yang sama sekali tak menggetarkan Arya yang duduk tenang di hadapannya. Arya meminta Mita untuk tidak ikut dengannya menemui sang papa. Pria itu tidak ingin melihat wanitanya bersedih menyaksikan perseteruan yang memang bagai bom waktu, cepat ata
Rosana tak kuasa menahan luapan emosi yang telah ia tahan selama dua pekan terakhir ini. Mendapati kenyataan sang suami pernah menduakannya telah benar-benar menguji kewarasan wanita yang sebagian rambutnya telah memutih itu.Kenyataan yang membuatnya merasakan kesakitan yang teramat sangat tentu saja dikarenakan ia mengenal dengan sangat baik sosok wanita yang pernah menjadi orang ketiga di dalam rumah tangganya. Jangan dikira karena wanita itu telah tiada, lantas dapat dengan mudah menghapus segala rasa yang hadir pasca tersibaknya tabir kelam pers3l1ngkuh4n sang suami yang pernah teramat ia cintai. Tidak segampang itu dan Lukman Bagaskara menyadari pula hal tersebut. "Haruskah aku bersimpuh di kakimu, Rosana?" Lukman mengiba. Rosana membuang tatapannya ke luar jendela. Hatinya masih sangat panas, luka tak berdarah itu masih terasa begitu perih, Ia bahkan tak tahu lagi bagaimana cara meneduhkan luka bathin yang kerap kembali menganga setiap kali ia mengingat sosok Melati dan juga
Anjas tak menyangka akan menuai penolakan dari sang ayah mertua.Padahal sebelum memutuskan akan membawa Anye ikut tinggal bersamanya di rumah dinas petani, Anjas telah mempertimbangkan matang-matang segala sesuatunya dari segala sisi.Dari sisi keamanan dan kenyamanan jelas rumah dinasnya lebih unggul, karena selain berada di tengah hamparan kebun sayur yang indah, pengamanan jelas sangat diutamakan mengingat mereka berada di tengah-tengah komoditi utama yang tentu saja sangat ketat dilindungi oleh sistem yang dirancang sedemikian rupa oleh Anjas dibantu semua staff yang ada di instalasi perkebunan hidroponik miliknya. Jangan ragukan kenyamanan yang telah Anjas persiapkan. Meski terlihat sederhana dari luar, sesungguhnya Anjas telah meng-upgrade banyak hal di rumah dinasnya menyesuaikan dengan kebutuhan pemulihan Anye. Semua itu ia persiapkan selama Anye berada dalam keadaan koma selama empat belas hari terakhir. "Papi apa pernah berkunjung ke rumah dinasku yang berada di pinggir k
Mata yang tadinya berkaca-kaca kini telah basah oleh air mata yang menggenang berselimut haru."T t tapi ... a a aku ... k k ka ki a a a ku ... kaki aku ...." Anye menggelengkan kepalanya sembari sebelah tangan menyentuh permukaan bibir menahan isakan yang pecah diwarnai kekalutan dan rasa hancur."Its okay, its no a big deal ... di mataku kamu sempurna, Sayangku ... ada atau tidak adanya pergelangan kakimu tidak mengubah sedikitpun rasa yang aku miliki padamu, bahkan menambah rasa sayang dan kekagumanku padamu karena telah memberanikan diri mengambil langkah demi mewujudkan hubungan kita yang semestinya, walau berakhir begini ... aku mohon, bersabarlah. Semua insyaa Allah akan baik-baik saja ke depannya. Trust me, kita hadapi semua sama-sama ya, Sayang." Anjas meraih telapak tangan Anye, dan menciumnya dengan lembut penuh kasih."Aku tidak mau lama-lama berada di sini, Mas," rengek Anye. Anjas tersenyum lembut sembari kembali menciumi tangan Anye yang masih berada di dalam genggam
Anjas tak bosan-bosannya berada di dekat sang istri terkasih. Berdoa tanpa jeda mengharap sang kekasih membuka mata dan kembali seperti sedia kala. Meski kini pergelangan kaki sebelah kiri Anye telah diamputasi, Anjas tak pernah mempermasalahkan itu. Kaki artificial untuk Anye bahkan telah dipesan oleh Arya Bagaskara untuk sang putri sematawayang kesayangan. Anjas tak mempermasalahkan ketidakhadiran Lukman Bagaskara, yang penting saat ini Anye telah berhasil ia halalkan, dinikahi secara sah dengan menggenggam tangan ayah kandung sang kekasih kala ijab kabul dilafadzkan. Anjas begitu bersyukur kini telah menjadi sosok suami bagi wanita yang paling ia inginkan dalam hidupnya. Wanita yang ia jaga sejak terlahir ke dunia, dibersamai dengan penuh kasih sayang hingga putik cinta bermekaran di hati keduanya. Anjas rutin membacakan ayat-ayat suci Al Qur'an saat berada di sisi Anye. Sesekali ia akan membisikkan kata-kata cinta dan pengharapan ke telinga sang dayita. "Baby, buka matanya
Anjas dan Arya saling menatap sarat kepedihan."Apakah memang tidak dapat dipertahankan saja? Aku khawatir Anyelir shock saat ia siuman nanti." Arya mencoba untuk bernegosiasi."Terlalu beresiko, Pak. Kami hanya ingin mengusahakan yang terbaik untuk keselamatan putri anda." Seorang dokter mencoba memberikan penjelasan pada Arya terkait sebelah kaki Anye yang memang tak dapat diselamatkan. "Segera nikahkan kami, Om, agar aku dapat turut merawat Anyelir," pinta Anjas. "Bagaimana kalau bertunangan saja dulu, Jas?" tawar Arya. Cepat Anjas menggeleng dengan tegas."Sebagai tunangan Anye aku belum halal untuk menyentuhnya, sementara ia sedang sakit, ia pasti membutuhkanku sebagai kakinya, tangannya, matanya dan segala yang ada pada dirinya.Tolong, OmKumohon mengertilah, Anye akan lebih cepat pulih dibawah perawatanku. Aku akan selalu ada untuknya.Aku akan membawanya tinggal bersamaku. Siang malam akan kami lewati bersama, aku yakin ia akan lebih bahagia kala mendapatiku saat membuka
Anye segera dilarikan ke IGD rumah sakit terdekat. Anjas selalu setia mendampingi calon istrinya dan tak lupa menghubungi Arya untuk mengabarkan kondisi Anye. Arya tiba secepatnya ke tempat yang diberitahukan oleh Anjas. Kini keduanya sama-sama bergeming menanti kelanjutan kabar nasib orang yang mereka cintai."Pasien akan kita pindahkan ke ruang ICU, siapa di sini yang akan bertanggungjawab terkait administrasi dan lainnya?""Saya!""Saya!""Anye itu putri Om, Jas ... biar Om yang menanggung semua, lagi pula pengendara g1l4 yang melanggar putri Om sudah diringkus, Om tidak akan dengan mudah melepaskannya. Dia harus mempertanggungjawabkan perbuatannya. Anye putri Om satu-satunya, jantung hati Om!" Arya menegaskan posisinya pada sang calon menantu. Anjas mengangguk patuh."Kau berhutang penjelasan pada Om, apa yang kalian lakukan di apartemen itu? Kenapa Anye bisa mengalami kecelakaan yang membuat dia tak sadarkan diri di ICU saat ini?"Anjas menjelaskan dengan detail awal mula ke
Andre kesal bukan main mendengar pertanyaan asal bunyi dari mulut sohibnya mempertanyakan kenapa ia masih berada di kantor pada malam hari."Kamvreeddt, ini kan karena elu yang tetiba resign, jobdesc gue jadi di luar nurul begini, seabreg-abreg kek cucian kotor yang belom sempat gue antar ke laundry," omel Andre.Keduanya langsung cabut menuju apartemen Denis yang terletak tidak begitu jauh dari Bagaskara Group Building."Yakin masih hapal passcodenya, Nye?" tanya Anjas."Iya, Mas ... semoga belum diganti deh, kalau sudah berubah ya ntar Nye telpon minta bukain ajalah." Anye kembali melakukan touch up sebelum turun dari mobil. "Jangan terlalu cantik, Nye. Mas cemburu!" titah Anjas yang wajahnya sudah ditekuk tanda tak rela.Keduanya lalu memasuki lobi dan menuju lift.Anye menekan angka lima dan berdiri tegang di sisi Anjas yang menyadari betapa gugupnya sang calon istri."Doakan semuanya lancar ya, Mas ... jujur aku merasa agak kurang nyaman, tapi ya mau bagaimana lagi. Aku in
"Mas, bantu pilihin juga ya, ntar aku salah pilih, yang ada bukannya hijab syar'i malah semakin meluber-luber seksinya berkedok hijab syar'i." Anjas mengangguk mengiyakan, ia memang bertekad memberikan panduan dalam memilih fashion yang sesuai dengan ketentuan yang semestinya. "Mas, kalau yang ini gimana? Bahannya adem, potongannya juga longgar, aplikasi renda dan brokatnya aku suka, manis minimalis, hijabnya juga panjang menutupi bokong." Anye menunjukkan satu stel gamis set berwarna lilac yang anggun seharga du4 jut4 tu7uh r4tus r18u rup14h. Anjas mengangguk setuju. "Kalau ini suka nggak?" Anjas menunjuk gamis berwarna navy. Anya mengerjap senang karena gamis yang ditunjukkan Anjas senada dengan outfit yang dikenakan calon suaminya itu."Suka banget, Mas. Bahannya juga adem, aku langsung pake aja kali ya, boleh kan?" Anye berputar-putar sembari melekatkan set gamis navy seharga l1m4 jut4 rup14h itu ke tubuhnya. "Good idea, beli lagi Nye ... ambil lagi setidaknya tujuh stel, ja
Herman sangat takjub kala matanya memindai sosok Anjas yang berdiri tegak di sisi Anyelir."Dia begitu mirip Adinagara di masa mudanya dulu. Lihatlah foto-foto itu. Lihat foto Adinagara saat ia berusia dua puluh lima tahun." Anjas dan Anyelir tak kalah takjub kala melihat foto-foto Adinagara muda yang tertata rapi di antara foto keluarga.Amira yang ikut bergabung spontan melafadzkan tasbih dan menahan diri sekuat tenaga agar tidak menangis haru di depan dua anak muda yang sedang tekun memperhatikan foto yang terpajang satu demi satu."Anyelir, jadi ini kah anak muda bernama Anjas yang kamu ceritakan kepada Oma dan Opa?" Amira mengonfirmasi. Anye mengangguk mantap sembari membawa Anjas mendekati wanita tua yang masih terlihat cantik di usianya yang telah memasuki kepala enam."Oma, saya Anjasmara calon suaminya Anyelir. Kami kemari karena hendak berpamitan. Saya akan membawa Anye untuk mengurusi beberapa urusan. Insyaa Allah kami akan datang kembali untuk mengunjungi Ibu Marisa--mami