Pagi-pagi sekali Rena sudah meninggalkan rumah sakit. Tak lupa mengirimkan pesan pada Tora untuk menggantikannya berjaga.“Nona Rena sudah pergi, Bos,” lapor seorang pengawal pada Bara.“Shit. Kenapa kalian tidak bangunkan aku hah??” sentak Bara yang sudah tersulut emosi. Pria itu menggeram lantas menyugar rambutnya ke arah belakang dengan kasar. Pembicaraan dari hati ke hati malam tadi masih juga tak mampu meluluhkan Rena. Sungguh dia menjadi frustasi akibatnya. Malah lebih sakit daripada fraktur klavikula yang dialaminya saat ini.“Apa Bos butuh sesuatu?”“Tidak,” ketus Bara. “Keluarlah!” Sementara di sisi yang lain. Jason yang tengah berolah raga di atas balkon menyipitkan mata usai melihat kedatangan Rena. Langkah sang gadis yang berlari kecil seolah menjadi pertanda bahwa ia tak baik-baik saja. Buru-buru dia menyeka peluh. Lantas menuruni anak tangga untuk menyambut Adik angkatnya itu.“Morning!” sapa Jason seraya melebarkan senyumn
Sudah lima belas menit Jason menyudahi penjelasannya tentang Rena. Baik dia maupun sang Mami masih saling diam. Keduanya sibuk dengan pikiran masing-masing. Bahkan keramaian di seisi cafe sama sekali tak mengganggu mereka.“Mi,” ucap Jason yang akhirnya memulai memecah keheningan tersebut.Nyonya Adhisty mengerjapkan mata sembari menoleh cepat ke arah Putra angkatnya itu.“Maaf kalau aku baru bisa cerita sekarang ke Mami ya.” Senyuman tipis yang dipaksakan terbit dari wajah cantik sang Mami. Lantas dia menggeleng sembari menyeka air mata yang mulai membasahi Pipi. Pun Jason yang turut serta mendekat kemudian memeluknya.“Mami hiks hiks,” isak Nyonya Adhisty yang kini malah menangis sesenggukan. Tempat duduk mereka yang sengaja dipilih memang tak mudah dilihat banyak orang. Ada sekat yang menjadi pembatas meskipun masih bisa dilalui oleh staf tertentu saja. Jelas untuk publik figur seperti Mami Rena itu haruslah pandai melihat keadaan sebelum memutus
Jawaban barusan membuat dahi Rena berkerut. “Apa, Mi? Suara Mami terlalu pelan. Aku enggak dengar.” Gadis cantik itu menoleh sembari menegakkan tubuhnya.Buru-buru Nyonya Adhisty mengusap air mata yang mulai mengalir. “Sini, Sayang. Dengarkan Mami ya.” Rena mengangguk. Lantas mendaratkan kepala ke pangkuan sang Mami. Menerima elusan lembut di puncak kepalanya yang diperlakukan dengan penuh kasih sayang.“Jason pasti marah ke Mami,” ucap wanita paruh baya itu memulai kalimatnya lagi.“Kenapa? Dia tak pernah begitus setahuku. Mami bilang apa?”“Hemm Mami udah maksa dia.”Sang Putri justru terkekeh mendengarnya. “Maksain apa emangnya? Nikah?”“Enggak. Mami yang paksa dia bicara ...”“... Tentang kamu yang sebenar-benarnya,” lanjut sang Mami kemudian. Hening. Rena masih berusaha mencerna perkataan tadi. Tak ingin menebak apa yang telah dijelaskan Jason hingga akhirnya dia bangkit untuk duduk dan memeluk erat tubuh sang Mami. Percayalah. Hati ibu mana ya
Bara pun tergelak. “Kau ini tuli atau apa sih? Mau berapa kali kukatakan kalau aku tak tertarik denganmu. Aku hanya menginginkan Rena. Titik. Apa masih tak mengerti juga? Hah??” Sandra langsung menghentakkan kaki lantas menatap kembali Nyonya Adhisty. Seolah ingin mencari pembelaan dari ibu sambungnya itu.“Ma, please. Katakan sesuatu. Aku enggak terima diperlakukan begini sama Bara,” rengek Sandra kemudian.“Sayang. Mama enggak sudi kalau Putri Mama mengemis cinta seperti ini. Kamu berhak dapat yang lebih baik dari Bara.”“Kenapa, Ma? Apa karena wanita itu Rena hah??” sentak Sandra yang mulai emosi. “Dia hanya anak yang tak diinginkan!”“Jaga bicaramu!!” Bara menatap tajam Sandra. Sementara Nyonya Adhisty menggeleng pelan. Memberikan isyarat pada pria itu untuk tak lagi bersuara.“Baiklah. Kami pergi dulu. Semoga lekas sembuh,” pamitnya yang langsung menarik paksa lengan Sandra untuk ke luar dari sana. Sandra terus meluapkan uneg-uneg di dalam hati sepanjang p
“Papa udah tahu ‘kan sekarang?” gumam Sandra dengan wajah yang sudah ditekuk masam. “Pokoknya aku mau hari ini juga Papa dan Mama udah baikan.”“Sayang, Papa minta maaf. Papa cuma mau tegasin ke Mama kamu kalau dia enggak boleh pilih kasih antara Rena dan kamu. Itu aja.”“Iya, tapi cara Papa tadi udah kelewatan. Mama sedih loh. Jangan sampai gara-gara ini Mama jadi berubah,” kata Sandra. Tuan Jimmy mengangguk sambil melengkungkan sudut bibirnya. Ada perasaan bersalah karena di perdebatan tadi dia seolah menuduh yang tidak-tidak pada sang istri. Hatinya semakin tak tenang karena mengingat janjinya yang selalu mempercayai Nyonya Adhisty kapanpun. Bahkan dia juga yang pernah menawarkan untuk menghubungi Rena.“Gimana, Pa?”“Enggak diangkat,” keluhnya dengan raut wajah cemas.“Kirim pesan aja, Pa. Kasihan Mama. Selama ini Mama enggak pernah bantah Papa ‘kan?”“Iya, Sayang. Jangan terus belain dia dong. Papa jadi semakin tersudutkan begini.”“Biarin,” ketus Sandra. “Papa sih. K
Pagi-pagi sekali Rena sudah melihat sang Mami yang sudah rapi dengan setelan pakaian bewarna putih susu. Kedua matanya mengerjap pelan sembari mengumpulkan nyawa selepas bangun tidur itu.“Morning, Sayang,” sapa Nyonya Adhisty yang kini mendaratkan kecupan ringannya di pipi kanan sang Putri. “Cuci muka dan sikat gigi gih. Mami udah siapin sarapan untuk kita.”“Hemm. Mami mau ke mana jam segini? Masih juga jam enam,” gumam Rena seraya mengusap pelan sebelah matanya.“Mau ketemu calon besan,” jawab sang Mami straight to the point. Jelas jawaban barusan membuat Rena langsung melebarkan indera penglihatannya. Selang beberapa menit kemudian dia pun mengerucutkan bibir.“Mami tunggu di bawah ya, Sayang. Mau lihat Jason dulu ke kamarnya.” Setengah jam sudah berlalu. Rena berjalan menuruni anak tangga dengan pakaian kerja seperti biasa. Membiarkan rambut panjangnya tergerai dengan sebuah jepitan rambut yang mempermanis bagian kiri kepalanya.“Anak Mami mema
Meskipun sudah diperingatkan oleh sang suami, Tita masih saja keras kepala. Dia sengaja tak ikut menjemput kepulangan Bara dari rumah sakit karena ingin bertemu dengan seseorang.“Sandra sini!!” Seruan tadi membuat sang empu nama menoleh ke arah sumber suara. Langkahnya langsung berpindah ke arah Tita.“Sorry, Kak. Tadi aku harus ngurusin perpanjangan kontrak yang da di Bali makanya lama.”“Loh. Bukannya kamu bilang sudah selesai?” tanya Tita heran.Sandra menggeleng pelan sambil tersenyum. “Aku haus nih. Kakak udah pesan?”“He eh. Udah,” gumam Tita. Model cantik yang duduk di seberangnya itu kemudian memanggil seorang pelayan lalu mengucapkan pesanannya dalam hitungan detik.“Kak Tita mau nambah yang lain?”“Enggak ah. Tadi Kakak udah makan di rumah. Makanya cuma pesan minuman aja. Takutnya mual. Bawaan si jabang bayi mungkin ya,” gumam Tita sambil mengelus perutnya yang masih rata.“Ya udah deh. Aku pesan salad sayur sama jus aja kalau gitu.”
“Dia itu aneh, Ma. Sumpah.” Rena dan sang Mami kemudian saling pandang lalu menoleh ke arah Sandra yang masih saja meluapkan emosinya. Sungguh gadis muda itu sangat mengutuk pertemuannya dengan Jason.“Minum dulu nih,” tawar Rena seraya menyerahkan segelas air hangat kepada anak sambung Maminya tersebut.“Makasih,” gumam Sandra yang langsung menenggak minuman tadi nyaris tak bersisa. Setelah memastikan Sandra tenang, Nyonya Adhisty pun mendekat lalu mengelus pundak sang gadis dengan lembut.“Mungkin cara komunikasi kalian aja yang salah. Makanya jadi begini.”“Maksud Mama?”“Jason itu baik loh sebenarnya.”“Jadi Mama enggak percaya sama kata-kata aku? Baru tinggal sebentar aja sama dia udah dicuci otaknya,” ketus