Rena segera menoleh ketika mendengar suara ketukan dari arah luar. Lantas dia pun mengangguk seolah memberikan kode pada tim penatas rias yang baru saja memperindah penampilannya.
“Kau cantik,” gumam Jason sambil tersenyum. “Papi pasti senang kalau dia berada di sini sekarang.”
“Ya. Mungkin saja dia akan menghentikan acara ini. Apalagi kalau Papi tahu akan menikah dengan anak musuh bebuyutannya.”
Ucapan barusan membuat Jason terkekeh. “Kau memang sok tahu. Papi mana begitu. Dia akan melakukan apa saja untuk membuatmu bahagia. Bahkan ketika tahu bahwa kau pacaran dengan Bara waktu itu.”
Alis Rena langsung naik sebelah. Merasa heran dengan penuturan Jason beberapa detik yang lalu.
Lantas Abang angkatnya tersebut menarik kursi agar bisa berbicara lebih lama lagi. Tak pelak
Istri Tora yang merasa tersinggung itu hendak maju untuk menyerang Sandra, akan tetapi langkahnya terhenti ketika mengingat pengalaman pahit kehilangan bayinya beberapa bulan yang lalu.“Lebih baik Kakak fokus pada kehamilan saja. Sudah mau jadi ibu tetapi kelakuannya sama sekali tak berubah,” ketus Sandra yang segera menghilang dari pandangan Tita. Napasnya masih memburu hingga kembali menghampiri Jason yang masih tetap dalam posisi semula. Bahkan saking kesalnya dia merebut gelas pria itu dan menenggak isinya hingga tak bersisa.“Kenapa?” tanya sandra begitu melihat tatapan sinis Jason.“Kau mengambil gelasku,” cibir sang pria.Sandra langsung mengerjap cepat. Lantas memandang gelas kaca miliknya yang masih bersisi setengah. Jelas dia merasa malu bukan main. “Maaf. Aku akan gantikan gelasmu yang lain.”“Tak usah,” ketus Jason segera. Tak pelak dia menatap Sandra yang tampak seperti kehabisan tenaga. “Kau habis cakar-cakaran?” tanyanya kemudian. Sa
Pemandangan hijau nan asri membuat senyum Rena merekah sempurna. Gadis itu memapah sang tunangan dengan tangan kiri yang menenteng sebuah keranjang berisi kotak bekal yang dibawanya dari rumah. Parfum dengan aroma citrus blossom yang menguar dari tubuh tunangan Bara tersebut seolah menyatu dengan alam. Segar dan membuat perasaan yang menghidunya jadi menumbuhkan kesan positif. “Anaknya Tante Cintya itu emang top kasih terapi ke Kakak. Buktinya bisa terapi,” gumam Rena sambil tersenyum. “Suaranya mirip nyamuk. Melengking dan menyebalkan. Makanya mau tak mau Kakak terpaksa menurut saja,” kekeh Bara yang kini sedang menaik-turunkan pergelangan tangan kanannya. “Kalau enggak kayak gitu aku yakin Kakak pasti sembuhnya lama. Entar kalau kita nikah mana bisa gendong aku untuk photo shoot,” kata Rena sambil menahan tawanya. “Bisa. Harus bisa dong,” kata Bara dengan penuh keyakinan tingkat tinggi. “Dalam waktu dua bulan ke depan kamu akan lihat Kakak bisa kembali seperti dulu
“Aku percayakan semua sama Kakak aja ya.” “Enggak. Pokoknya Kakak mau kita yang urus sendiri untuk itu,” putus Bara yang sama sekali tak ingin mendengar adanya bantahan. “Please, Sayang!” Wajah puppy eyes dan penuh harap dari seorang Adibara Erlangga membuat Rena mengangguk sambil mengulum senyum. Tak pelak dia bergerak untuk melepaskan sabuk pengaman yang masih melekat di tubuh sang tunangan. CUP! “Makasih, Sayang,” gumam Bara tepat setelah gadisnya hendak beringsut mundur. “Enggak mau balas hemm?” “Enggak,” tolak Rena cepat. “Yang ada nanti kita enggak masuk-masuk. Tuh lihat Papa udah berdiri di balkon sana!” “Alasan saja,” cibir Bara. Rena seolah menulikan indera pendengarannya. Lantas membuka pintu mobilnya dengan segera. Pemandangan yang pertama kali dilihat membuatnya mengerling malas. Ada Tita yang tengah duduk bersantai di ruang tamu sembari menikmati susu hamilnya. “Jangan hiraukan dia. Ayo masuk!” “Enggak, Kak. Aku pulang saja ya.
Singkat, padat dan jelas. Itulah yang diutarakan Tita barusan. Istri Tora yang semula bersifat kasar dan egois itu menggenggam tangan Rena lalu membawanya menyentuh perut yang sedikit membuncit. “Kita besarkan anak ini sama-sama ya, Ren.” Rena masih bergeming. Kedua matanya berkaca-kaca karena tak tahu harus mengatakan apa untuk membalas permintaan sang calon Kakak Iparnya. “Kamu mau ‘kan? Anak ini akan punya dua orang ibu dan ayah. Dia pasti senang sekali,” gumam Tita. “I-iya, Kak,” jawab Rena akhirnya. Lantas keduanya saling berpelukan untuk menyalurkan perasaan kasih antar sesama wanita. Tak berapa lama Bara pun datang untuk memisahkan mereka. “Cepatlah, Sayang. Nanti kamu akan terlambat,” bisik Bara kemudian. Rena mengangguk pelan. Senyumnya mengembang sempurna ketika menuruni eskalator yang menjadi fasilitas menuju langkahnya ke arah gate maskapai penerbangan. Sang Mami mengusap pelan lengannya untuk memberikan ketenangan. *** [“Lihat nih! Kakak udah bisa main
Rena tampak begitu anggun mengenakan kebaya putih dengan desain yang terlihat elegan membungkus tubuhnya. Sang Mami menuntunnya berjalan menuruni gundukan anak tangga tanpa melepas tangannya sama sekali. Gugup. Itulah yang tengah dirasakan oleh gadis cantik tersebut. Dirinya didudukkan tak jauh dari sang pria yang sebentar lagi akan melaksanakan ijab kabul dalam hitungan menit. Tak ubahnya dengan Rena, Bara bahkan tak berani menatap sang calon istrinya itu karena sibuk mengingat lafal yang dikatakan Pak Penghulu tadi. Jelas dia tak mau mengulang kesalahan saat melangsungkan ikrar suci pernikahannya nanti. Jadilah sang GM Erlangga Hotel tersebut memilih untuk menundukkan pandangan.“Bagaimana? Apa ada lagi yang mau ditunggu?” tanya Pak Penghulu. Kedua pihak calon mempelai pengantin sepakat untuk memulai proses akad nikah. Karena tak ada keluarga dari pihak sang Papi yang tersisa, jadilah wali hakim ditunjuk untuk menjadi perantaranya.
“Seharusnya ... Ini dijelaskan bersama dengan orangtua juga,” ucap sang dokter yang kemudian menghela napasnya. Rena mulai mengerutkan dahinya sembari terus menatap gerak-gerik dokter yang terlihat sedikit gusar. “Udah, Dok. Jelasin sekarang aja. Orangtua saya udah lama pisah. Mereka sibuk dengan urusan masing-masing. Toh ini juga enggak akan ngerubah apapun kalau hasilnya jelek,” desaknya penasaran. “Berdasarkan hasil USG tadi, saya melihat bahwa uterus kamu hmmm ...Maksud saya rahim kamu ukurannya kecil dan tidak berkembang sebagaimana mestinya. Jadi diagnosis yang ditegakkan oleh dokter Cintya tak salah lagi,” jelas dokter itu sembari menatap lekat kedua manik mata Rena. Wajahnya berubah sendu dengan mata yang sudah memerah usai mendengar penjelasan barusan. Hasil diagnosis dokter kedua yang dia kunjungi tak ubahnya dengan yang pertama. Rena menggeleng lemah lalu menundukkan wajahnya perlahan. Sebelumnya dokter Cintya sudah menjel
“Makasih, Pak,” ucap Rena saat Tommy memuji hasil kerjanya.Pria itu mengangguk, “Oh ya, ada pak GM juga di sini. Bukan Pak Tora lagi kayak yang biasa hadir.”Senyum Rena yang tadinya merekah perlahan memudar saat mendengar penuturan dari sang manajer.“Terusin kerjanya, saya mau nemenin pak GM dulu,” pamit Tommy yang segera berlalu meninggalkan Rena. Perempuan dengan setelan pakaian merah maroon itu segera mengangguk pelan. Pasalnya dia juga belum tahu siapa sebenarnya sang GM yang dibicarakan. Apalagi baru tiga bulan hotel yang yang menjadi tempatnya bekerja itu beralih pimpinan. Entah mengapa perasaan tak nyaman muncul begitu saja karena mendengar penuturan dari sang manajer barusan. Dugaan Rena sepertinya benar. Keadaan tidak sedang baik-baik saja. Salah satu waiter menyampaikan kendala hingga membuatnya harus berpikir cepat dan keras.“Ini mungkin ulah Wiwid, Ren. Dia ‘kan suka banget mancing emosi kamu,” ujar Amel yang mendengar pembicaraan.“Masa
Sadar bahwa posisinya sedang dalam keadaan tak aman, Rena semakin melangkah mundur. Selang beberapa detik kedua bulu mata lentiknya bergerak cepat membuat kerjapan berkali-kali. Tubuhnya sudah mendarat sempurna di atas sofa. Beruntung lengan kanan Pak GM menyanggah ke sandaran tempat yang empuk itu. Entah apa yang terjadi kalau keduanya bertubrukan secara tak sengaja barusan. Dengan susah payah gadis itu berusaha bangkit hingga berhasil membuat tubuhnya tegak berdiri. Helaan napas lolos begitu saja saat dirinya berhasil bergerak sedikit menjauh dari sang mantan sekaligus atasan tertingginya saat ini. “Kenapa hmmm?? Kau terkejut 'kah?” tebak Bara dengan posisi bersidekap. Dia tersenyum miring memandangi tubuh mungil Rena yang putih dan menawan itu. Merasa ditatap dengan keanehan jelas membuat sang empu tak nyaman. Dia tak tahu harus mengatakan apa. Menyapa atau malah kabur dari sang GM yang berkuasa penuh di tempatnya bekerja. Keduanya jelas merupakan pilihan yang membingungkan bag