“Seharusnya ... Ini dijelaskan bersama dengan orangtua juga,” ucap sang dokter yang kemudian menghela napasnya.
Rena mulai mengerutkan dahinya sembari terus menatap gerak-gerik dokter yang terlihat sedikit gusar.
“Udah, Dok. Jelasin sekarang aja. Orangtua saya udah lama pisah. Mereka sibuk dengan urusan masing-masing. Toh ini juga enggak akan ngerubah apapun kalau hasilnya jelek,” desaknya penasaran.
“Berdasarkan hasil USG tadi, saya melihat bahwa uterus kamu hmmm ...Maksud saya rahim kamu ukurannya kecil dan tidak berkembang sebagaimana mestinya. Jadi diagnosis yang ditegakkan oleh dokter Cintya tak salah lagi,” jelas dokter itu sembari menatap lekat kedua manik mata Rena.
Wajahnya berubah sendu dengan mata yang sudah memerah usai mendengar penjelasan barusan. Hasil diagnosis dokter kedua yang dia kunjungi tak ubahnya dengan yang pertama. Rena menggeleng lemah lalu menundukkan wajahnya perlahan.
Sebelumnya dokter Cintya sudah menjelaskan tentang sindrom MRKH yang sejatinya dialami oleh 1 banding 5000 wanita di dunia. Sindrom yang merupakan singkatan dari Mayer Rokitansky Kuster Hauser ini biasanya baru terdiagnosis setelah pasien mengeluh tidak kunjung mendapatkan menstruasi di usia pubertasnya. Pun hal itu yang menjadikan Rena untuk menerima saran Fina agar mengunjungi dokter sejak minggu lalu. Berkat saran dari sang kakak yang merupakan seorang dokter bedah, Fina segera mengajak sahabatnya untuk membuat janji dengan dokter Cintya.
“Untuk sindrom itu obatnya ...”
“Enggak ada obatnya ‘kan?” potong Rena yang sudah kembali mendongakkan wajahnya.
Sang dokter mengangguk, “Tetapi masih bisa ditangani dengan cara lain. Di Indonesia bisa dilakukan pembuatan saluran sehingga nanti pasien bisa melayani suami mereka. Yah, meskipun ...”
“Udah, Dok. Enggak usah diterusin. Enggak bakalan ada yang mau nerima aku. Kecuali nanti cuma dijadikan alat pemuas nafsu mereka aja. Cowok mana yang enggak mau punya anak setelah menikah? Dokter juga bakalan nolak ‘kan?” ujar Rena sembari menyeka air matanya yang hampir menetes.
“Ren, kamu yang sabar. Jangan ngomong gitu,” kata Fina yang sekarang sedang menemani sahabatnya itu.
Sang dokter hanya diam lalu menyodorkan hasil pemeriksaannya ke sisi meja yang berdekatan dengan Rena.
“Untuk lebih jelasnya akan dilakukan pemeriksaan MRI dan lainnya, silakan datang kalau sudah siap,” ucap sang dokter sebelum Rena dan Fina beranjak dari tempat duduk mereka.
“Thanks, Dok.”
Setelah mengucapkan kalimat itu Rena memilih meninggalkan ruangan terlebih dulu. Dia kemudian berlari ke arah taman hijau yang berada di belakang tempat praktik sang dokter. Niatnya yang tadi hendak mendinginkan pikiran malah tak tersampaikan saat melihat beberapa pasangan yang wara-wiri di sekitarnya.
Rena menatap nanar seorang perempuan yang tengah hamil tua bersama sang suami yang berada di sisinya. Jelas sudah senyum kebahagian tercetak sempurna dari sepasang calon orang tua itu. Sayang sekali keadaan demikian rasanya mustahil akan bisa ia rasakan. Mimpinya untuk bisa hidup bahagia bersama keluarga kecil di masa depan perlahan menguap begitu saja.
“Ren, kamu di sini ternyata,” kata Fina usai mengembuskan napasnya lega.
Fina tadi sempat khawatir kalau sahabatnya yang satu itu akan berbuat nekad. Entah melakukan hal aneh atau apapun yang dicemaskan akan membahayakan Rena sendiri. Kedua gadis yang sama-sama berusia 17 tahun itu hanya diam menatap hamparan rerumputan hijau yang menenangkan mata. Fina tak ingin banyak bicara untuk saat ini. Dia membiarkan Rena untuk menikmati pemandangan yang ada di hadapan mereka.
Hingga turunnya hujan membuat Fina segera menarik lengan Rena yang mungkin tak menyadari air yang perlahan turun itu.
“Kenapa hidup aku kacau gini ya? Bahkan kedua orangtua juga kayaknya enggak aware kalau aku mati,” decak Rena usai menepikan diri dari hujan.
“Ren, kamu masih punya aku.” Fina menarik tubuh mungil sang sahabat ke pelukannya.
“Hiks, a-aku enggak tahu harus gimana lagi. Rasanya hancur, Fin. Padahal bulan lalu aku senang banget karena Kak Bara ada niatan serius buat ke depannya. Sekarang semua berubah. Rasanya ...Ah,” decak Rena frustrasi.
“Sabar ya, Ren,” isak Fina yang juga merasakan bagaimana hancurnya perasaan Rena.
***
“Masih belum terlambat. Aku harus bisa akhiri hubungan ini,” gumam Rena yang sedang mematut dirinya di depan cermin.
Tangan kanan lentiknya menyambar ponsel yang berada di atas nakas. Nama kontak Fina menjadi tujuannya saat ini.
[“Halo, Ren. Tumben banget weekend udah nelepon, hoamm.”]
“Iya, sorry kalau ganggu. Please bantuin aku, Fin.”
[“Bantuin apaan?”]
Jam sudah menunjukkan pukul sepuluh pagi. Rena sudah duduk santai dengan pakaian atas yang sedikit terbuka pada bagian dadanya. Tak lupa rok pink cerah bergaris dengan ukuran mini yang panjangnya hanya sejengkal tangan orang dewasa saja.
“Jeno, makasih ya udah bantu. Meskipun aku sempat nolak jadian, kamu enggak nyimpan dendam sama sekali,” ucap Rena sembari menggenggam tangan si pria dengan senyuman manisnya.
“Rena!!” pekik seorang pria lain dengan rahang yang sudah mengeras.
Jakunnya naik-turun usai mengamati tingkah sang kekasih dengan pria yang merupakan saingannya sedari dulu.
Rena seolah tergagap namun seringai kecil berhasil ia berikan, “Kak Bara, uhmm. Sorry kalau akhirnya ketahuan juga.”
Pria bernama Bara itu hanya berdecih sembari menatap tubuh mungil Rena yang dibungkus dengan pakaian serba kekurangan di hadapannya.
“Cewek murahan kamu. Dasar matre,” hardik Bara dengan mata berapi-api.
Rena berusaha melengkungkan bibirnya, “Well. Aku cuma mau realistis aja. Enggak mungkin kayaknya aku bisa bertahan sama cowok dari pengusaha yang hampir bangkrut.”
Baru saja Bara hendak mengangkat tangannya ke udara, pria yang ada di samping Rena menghentikannya seketika.
“Jangan kasar, Bro sama cewek.”
Bara menggeram, “Shit. Aku benci kamu, Ren. Kamu lihat aja, bahkan semua wanita nanti akan tunduk di bawahku. Termasuk kamu si cewek matre.”
Bara menunjukkan jari telunjuknya ke wajah Rena yang masih setia dengan senyuman tipisnya. Selang beberapa detik pria itu pergi setelah menumpahkan air mineral ke hadapan si gadis.
“Ya ampun, are you okay?” tanya si pria bernama Jeno yang menemani Rena sebelumnya.
Rena menggeleng sambil tersenyum, “Aku baik-baik saja. Thanks ya, Jen.
“Cara ini tapi salah, Ren.”
“Aku tetap enggak peduli.”
***
Sebelas tahun kemudian ...
Usai melakukan pemeriksaan table set up yang diperintah oleh sang manager, perempuan dengan rambut yang dicepol ke atas itu segera mendudukkan diri di tepi meja. Senyumnya langsung terbit sembari menghela napas pelan setelahnya.Sudah empat bulan dia bekerja di hotel bintang lima sebagai seorang asisten dari manajer Food and Beverage yang lebih akrab disebut dengan manajer F&B. Membantu sang atasan dalam mengkoordinasikan kegiatan yang dilakukan antara bagian dapur, layanan, dengan bagian depan yang bertugas menjamu tamu. Tentu saja awalnya itu tidaklah mudah bagi perempuan yang bernama Serena Queen Adhisty. Banyak orang mengira dia sengaja menjual tubuhnya pada sang direktur agar mendapatkan posisi sebagai asisten manajer.Seolah tak peduli dengan berita miring yang menerpa dirinya, perempuan yang akrab dipanggil Rena itu tetap saja bekerja seperti biasa. Seperti sekarang dia terus saja fokus pada acara ulang tahun salah satu pemilik usaha kilang minyak di Indonesia yang akan segera dilangsungkan.“Gimana, Ren? Semua udah oke?” tanya Tommy-sang manajer.“Everyting is okay, Sir. Saya sudah melakukan semua sesuai dengan perintah Anda,” jawab Rena sambil mengulum senyumnya.Tommy bergumam lalu meninggalkan bawahannya itu tanpa berkata apa-apa lagi.Sementara itu di waktu yang bersamaan seorang laki-laki berkulit putih dengan dimples yang sedikit terlihat di wajahnya sedang menaik-turunkan kedua alis secara bergantian. Menatap para divisi hotel yang sedang mengemukakan hasil laporan akhir bulan mereka. Tak lama kemudian senyum tipisnya terbit karena tak ada masalah pelik yang membutuhkan penanganan khusus.“Ada lagi agenda untuk hari ini?” tanyanya dengan raut wajah datar.Sang sektertaris yang sekarang menjadi pusat perhatiannya menjadi salah tingkah. Dia menahan napas sejenak usai menatap kedua manik mata tajam milik sang atasan.“Tidak ada, Pak. Semua sudah sesuai dengan yang diagendakan sebelumnya,” jawab sang sekretaris.Rapat usai setelah lelaki yang bertindak sebagai seorang general manager itu ke luar dari ruangan. Disusul oleh sang sekretaris yang kini mengekorinya dari arah belakang.“Pak,” seru sang sekretaris dengan sedikit ragu.Sang atasan tak menjawab dan segera bergegas menuju kantornya.“Katakan,” ucapnya usai mendudukkan diri di kursi.“Hari ini ada acara ulang tahun Putri dari Tuan Aroon di hotel kita. Beliau mengundang Bapak untuk turut hadir. Saya rasa alangkah lebih baik Anda menghadirinya. Sudah lima tahun beliau mempercayakan hotel ini untuk merayakan pesta keluarganya,” terang sang sekretaris.“Well, aku akan menyapanya. Jam berapa acara itu dimulai?” tanyanya.“Jam tujuh malam ini, Pak. Untuk jadwal Bapak ke depan sudah saya kosongkan,” jawab sang sekretaris dengan singkat.“Kau —”“Maaf, Pak. Saya hanya —” ucapan itu segera terpotong saat melihat tatapan tajam dari sang atasan.“Sudahlah. Lain kali tanya dulu sebelum bertindak. Aku benci diatur seperti ini,” tandas lelaki yang sekarang sudah berwajah masam itu.“Keluar sekarang!” titahnya tanpa memandang lagi sang bawahan.Tak lama kemudian ponselnya berdering. Dia menatap sinis ke arah layar lalu mengabaikannya begitu saja. Hingga yang ke sekian kali barulah dia menerimanya dengan terpaksa.[“Kenapa lama sekali mengangkat telepon? Aku dengar dari Jenny ...Kau yang akan menghadiri pesta itu bukan?”] tanya seseorang dari arah seberang.[“Iya.”][“Baguslah. Setidaknya aku tak lagi perlu menggantikanmu untuk menghadiri pesta. Bara, mulai sekarang bertindaklah seperti seorang pemimpin yang bertanggung jawab. Jangan terus menyusahkanku.”]Tak ada jawaban selain gumaman belaka.[“Bara, apa kau mendengarku hah?”][“Sudahlah. Kakak terlalu banyak bicara.”]Tuut ...Tuut...Panggilan itu terputus secara sepihak.Adibara Erlangga. Lelaki yang kerap disapa Bara itu bukan lagi sosok manis yang ramah pada setiap orang yang dia temui. Sebelas tahun ternyata tak mampu membuatnya beralih pada kehidupan yang sudah lama dilaluinya hingga seperti sekarang. Dia hanya mampu bersikap lembut pada sang Mama yang sayangnya sudah tiada sekarang.Sebenarnya dia masih memiliki Tora sebagai sang Kakak dan seorang Ayah yang masih bisa dijadikan tempat untuk berbagi. Sayangnya Bara bahkan tak pernah mengutarakan masalahnya pada kedua lelaki yang merupakan keluarganya itu.Lima belas menit lagi acara akan segera dimulai. Bara yang sama sekali tak keluar dari ruangannya sejak tadi sore mulai mematut diri di depan cermin. Aroma parfum maskulin menyeruak hingga ke setiap sudut ruangan. Tampak sekali sang GM sudah mengganti pakaiannya setelah menyegarkan diri di ruang pribadi yang berada tepat di samping ruang kerjanya.“Malam, Pak,” sapa beberapa orang yang berpapasan dengannya.Hanya gumaman yang diberikan tanpa memandang siapa sang penyapa. Begitulah yang selalu dilakukan oleh sang atasan berwajah dingin itu.“David,” seru Bara sambil menoleh sang asisten yang tetap setia di sampingnya.“Ya, Tuan, hadiah yang Anda pesankan sudah saya berikan ke bagian sesi acara,” lapor David seolah tahu apa yang hendak ditanyakan oleh sang atasan.“Good job. Ayo kita percepat kehadiran di pesta itu,” ujarnya yang segera memasuki lift khusus para petinggi hotel.Meskipun kota Medan sedang diguyur hujan deras, kemeriahan acara tidak terganggu sama sekali. Apalagi memang konsep keseluruhannya diadakan di dalam hotel Erlangga yang super mewah di kawasan ibu kota Sumatera Utara ini.Sementara di bagian selatan arah mata angin, Rena tampak sedang berbicara dengan para waiter dan waitress dalam meeting singkat yang dibentuknya. Memastikan kembali agar idenya dapat berjalan sesuai dengan rencana sedari awal. Jujur saja dia begitu gugup karena ini adalah kali pertamanya mendapatkan tantangan langsung dari sang direktur dan manajer.“Tegang banget,” sapa seorang perempuan yang baru saja menepuk pundaknya.Rena tercekat sejenak, “Amel, jangan buat aku jadi tambah panik nih.”“Calm down, Ren. Acara ini bakalan seru. Apalagi kamu udah ngatur konsepnya beda dari tahun kemarin. Mister Aroon bakalan suka. Enggak monoton kayak yang udah-udah. Keren,” puji Amel- teman Rena semenjak dirinya memulai karir sebagai waitress hingga sekarang.Rena terus saja memantau acara yang sudah berlangsung sejak setengah jam yang lalu. Bahkan dia juga tak segan untuk menggantikan peran waitress untuk sekadar memberi contoh pada para bawahannya.“Bagaimana Tuan acaranya? Apakah menurut Anda bagus? Konsepnya ditawarkan langsung oleh asisten baru pak Tommy,” kata sang direktur bagian divisi B&F pada Bara.Anggukan diberikan oleh sang atasan. Dia pun tersenyum pada Tommy sekilas.“Meskipun baru diangkat empat bulan, dia melakukan tugasnya dengan baik. Pilihan Bapak Direktur benar-benar amazing,” puji Tommy yang kini sudah melirik ke arah sang direktur divisi itu.“Sebentar ya, Pak, saya ingin mengucapkan terima kasih secara langsung padanya,” pamit Tommy.“Sampaikan salam saya juga ya,” sahut Pak Direktur.Tommy pamit undur diri lalu menghampiri Rena yang tengah asyik mengobrol dengan para tamu undangan.Awalnya Bara hanya memalingkan wajahnya sekilas pada sang pemilik acara. Namun seketika alisnya bertaut dan dahinya pun mengerut. Rahangnya mulai mengeras saat melihat sosok yang pernah ada dalam hidupnya. Perempuan itu tengah tersenyum pada salah seorang tamu.Di saat yang bersamaan Tommy sudah tiba di dekat Rena pun kini mengucapkan rasa terima kasihnya. Pemandangan itu sukses membuat membuat Bara tersenyum devil. Tangannya mengepal diiringi dengan anggukan kepala sekaligus.“Welcome to my kingdom,” ujarnya sambil terus menatap sosok itu dari kejauhan. “David, kemarilah. Ada tugas penting untukmu sekarang. Lakukan dengan benar dan jangan sampai gagal.”“Makasih, Pak,” ucap Rena saat Tommy memuji hasil kerjanya.Pria itu mengangguk, “Oh ya, ada pak GM juga di sini. Bukan Pak Tora lagi kayak yang biasa hadir.”Senyum Rena yang tadinya merekah perlahan memudar saat mendengar penuturan dari sang manajer.“Terusin kerjanya, saya mau nemenin pak GM dulu,” pamit Tommy yang segera berlalu meninggalkan Rena. Perempuan dengan setelan pakaian merah maroon itu segera mengangguk pelan. Pasalnya dia juga belum tahu siapa sebenarnya sang GM yang dibicarakan. Apalagi baru tiga bulan hotel yang yang menjadi tempatnya bekerja itu beralih pimpinan. Entah mengapa perasaan tak nyaman muncul begitu saja karena mendengar penuturan dari sang manajer barusan. Dugaan Rena sepertinya benar. Keadaan tidak sedang baik-baik saja. Salah satu waiter menyampaikan kendala hingga membuatnya harus berpikir cepat dan keras.“Ini mungkin ulah Wiwid, Ren. Dia ‘kan suka banget mancing emosi kamu,” ujar Amel yang mendengar pembicaraan.“Masa
Sadar bahwa posisinya sedang dalam keadaan tak aman, Rena semakin melangkah mundur. Selang beberapa detik kedua bulu mata lentiknya bergerak cepat membuat kerjapan berkali-kali. Tubuhnya sudah mendarat sempurna di atas sofa. Beruntung lengan kanan Pak GM menyanggah ke sandaran tempat yang empuk itu. Entah apa yang terjadi kalau keduanya bertubrukan secara tak sengaja barusan. Dengan susah payah gadis itu berusaha bangkit hingga berhasil membuat tubuhnya tegak berdiri. Helaan napas lolos begitu saja saat dirinya berhasil bergerak sedikit menjauh dari sang mantan sekaligus atasan tertingginya saat ini. “Kenapa hmmm?? Kau terkejut 'kah?” tebak Bara dengan posisi bersidekap. Dia tersenyum miring memandangi tubuh mungil Rena yang putih dan menawan itu. Merasa ditatap dengan keanehan jelas membuat sang empu tak nyaman. Dia tak tahu harus mengatakan apa. Menyapa atau malah kabur dari sang GM yang berkuasa penuh di tempatnya bekerja. Keduanya jelas merupakan pilihan yang membingungkan bag
Rena hanya mengulum senyumnya sebagai respon atas titah tak wajar dari sang atasan. Tepat saat pintu lift terbuka semua mata tertuju padanya. Rumor miring pun sepertinya sudah mulai tersebar. Terbukti dari banyaknya tatapan tajam sebagai tanda tak suka saat melihat gadis itu berjalan bersisian dengan orang nomor satu di hotel itu. “Nikmati masa kesenanganmu hingga sore tiba, Nona Rena,” ucap sang GM saat keduanya berpisah di pertigaan koridor. Tak ada kata-kata lagi selain helaan berat napas dari Rena. Gadis itu kini berjalan dengan menegakkan wajahnya tanpa menolehkan pandangan pada orang di sekitarnya. Masih ada waktu hingga beberapa jam sebelum tugasnya dialihkan. Rena kembali melanjutkan langkahnya menuju lantai 2. Departemen Food and Beverage yang selama ini menjadi tempatnya bekerja. Amel yang menyadari kedatangan sang sahabat segera melepas apronnya lalu menghampiri gadis itu. “Serius, Ren? Kamu bakalan pindah ke departemen Admin and General?” tanya Amel seolah tak percaya
Fina langsung tergelak saat mendengar penuturan dari sang sahabat. Ternyata usaha Rena untuk kabur dari masalah benar-benar bukan pilihan yang tepat. “Kamu yang sabar ya, Ren. Mau resign juga nggak bisa. Aku harus bantu apa?” Fina mengeratkan genggamannya pada tangan Rena. Hanya helaan napas dan senyuman tipis sebagai jawaban dari pertanyaan tadi. Gadis itu sebenarnya tak ingin meminta bantuan apapun. Dia hanya ingin sahabat lamanya mendengar isi hati yang takkan pernah ia sampaikan pada orang lain. Bahkan memang hanya Fina yang tahu kondisi dirinya hingga saat ini. Rena menyeka air matanya, “Oh ya gimana persiapan pernikahan kamu? Ada yang kurang nggak? Kali aja aku bisa bantu. Maaf ya aku harus ke sini nyamperin kamu. Untung kamunya enggak sibuk.” “Ih, kamu ini ya. Semua udah kuserahin ke WO. Kamu tinggal datang aja. By the way, Mas Arlan bilang kalo dia kenalan lama kak Bara loh. Mereka pernah terlibat kerja sama gitu.” “Terus hubungannya sama aku apa?” tanya Rena acuh tak acu
Dahinya sedikit berkerut saat melihat sang mantan begitu akrab dengan lelaki di hadapannya. “Kalian?” Lelaki itu menunjuk ke arah Rena dan Bara secara bergantian. Sang gadis mengangguk sementara Bara mengalihkan pandangannya. “Sejak kapan kamu ganti sekretaris?” tanya lelaki itu penuh selidik. Lagi-lagi Bara diam dan melenggang masuk ke ruangan rapat. “Kak Tora kenal dia?” tanya Rena heran. “Adik aku yang baru pulang dari London,” jawab lelaki yang bernama Tora itu. Rena mengatup-ngatupkan bibirnya. Dia berpikir sejenak lalu mulai menatap layar ponsel yang berada di genggamannya. Suasana hening sesaat karena mereka menunggu kedatangan sang pemilik panti asuhan tempat mereka akan melakukan acara santunan. Beberapa saat kemudian Rena menganggukkan kepala. Seolah paham dengan informasi yang baru saja didapatnya. Rossy Hotel dan Erlangga Hotel memiliki owner yang sama. Mendiang mama merupakan owner Rossy Hotel sesuai
Kejadian kemarin benar-benar membuat Rena ketakutan. Tampaknya dia melihat sosok iblis saat sang mantan hampir membunuhnya dengan tangan kosong. Beruntung kemunculan David bisa mencegah adegan percobaan pembunuhan itu. Bara segera membebaskan leher jenjang sang sekretaris. Pagi ini dia kembali dibuat kebingungan. Rena menghentakkan kakinya ke lantai usai mendengar ucapan sang atasan yang seenak jidatnya saja. Gadis itu harus meninjau ulang panti asuhan sesuai dengan kesepakatan beberapa hari yang lalu. Kalau saja lokasinya mudah dijangkau Rena takkan keberatan sama sekali. Sayangnya dia harus melewati perjalanan yang tak biasa. Harus menggunakan perahu untuk menjangkau kawasan terpencil itu. Jadilah dia uring-uringan sembari mengetuk-ngetuk meja kerja di depannya. Pemandangan ini sukses membuat sang GM menerbitkan senyum devilnya. “Kak Tora?” gumam Rena saat melihat nama pengirim pesan di layar ponselnya. Dahinya sedikit berkerut saat membaca kalimat
Mata Rena memerah saat melihat benda pipih yang ada di genggamannya terjatuh. Senyum penuh kemenangan tercetak di wajah sang GM. Pria itu segera meninggalkan Rena yang membungkuk untuk menyambar ponselnya yang memang sengaja dijatuhkan Bara. “Kenapa harus gini?” isak Rena yang tak dapat membendung air matanya. Dia berjalan tertatih-tatih menuju toilet. Wajahnya masih mampu melengkungkan senyuman usai mendapat perlakuan buruk dari sang atasan. Ah, bukankah ini yang dia mau? Semenjak mengetahui kondisi tubuhnya yang mengidap sindrom MRKH, gadis itu menghapuskan kata pernikahan dalam kamus hidupnya. Sangat mustahil ada pria yang mau menikahi perempuan yang tak bisa melahirkan. Begitulah isi pikiran Rena. Usai membenarkan penampilannya yang sempat berantakan, Rena segera melangkah ke luar. Melakukan pemesanan taksi online dan menenangkan diri di rumah saja. **** “Kakak yakin kak Tita nggak bakalan curiga? Aku kesannya kayak pelakor jadi
Di dalam ruangannya, sang GM sedang bergelut dengan pikirannya sendiri. Terlebih lagi Tita yang terang-terangan memberitahu bahwa hubungannya terancam kandas. Apalagi kalau bukan stigma negatif yang ditujukan tentang kedekatan Tora dan Rena. Sebenarnya seorang Bara tak perlu ambil pusing dengan aduan Tita. Tetapi saat mendengar nama Rena entah mengapa hatinya berkecamuk. Seolah ingin membuat sang mantan benar-benar hancur. Hingga suara ketukan membuyarkan lamunan dirinya. “Pagi, Pak. Dua hari lagi acara di panti asuhan akan dilangsungkan. Ada yang perlu saya benahi atau hal lain?” tanya Rena tanpa membalas tatapan sinis sang atasan. “No,” jawab Bara yang kini sudah memalingkan wajahnya. Rena menghela napas pelan lalu mengambil kembali berkas yang sudah ditandatangani oleh sang GM. Bahkan hingga sekarang gadis itu tak tahu tugas mana sebenarnya yang merupakan pure dari seorang sekretaris. Dia selalu ditugaskan hal yang aneh hingga tak masuk akal sama sekal