Fina langsung tergelak saat mendengar penuturan dari sang sahabat. Ternyata usaha Rena untuk kabur dari masalah benar-benar bukan pilihan yang tepat. “Kamu yang sabar ya, Ren. Mau resign juga nggak bisa. Aku harus bantu apa?” Fina mengeratkan genggamannya pada tangan Rena. Hanya helaan napas dan senyuman tipis sebagai jawaban dari pertanyaan tadi. Gadis itu sebenarnya tak ingin meminta bantuan apapun. Dia hanya ingin sahabat lamanya mendengar isi hati yang takkan pernah ia sampaikan pada orang lain. Bahkan memang hanya Fina yang tahu kondisi dirinya hingga saat ini. Rena menyeka air matanya, “Oh ya gimana persiapan pernikahan kamu? Ada yang kurang nggak? Kali aja aku bisa bantu. Maaf ya aku harus ke sini nyamperin kamu. Untung kamunya enggak sibuk.” “Ih, kamu ini ya. Semua udah kuserahin ke WO. Kamu tinggal datang aja. By the way, Mas Arlan bilang kalo dia kenalan lama kak Bara loh. Mereka pernah terlibat kerja sama gitu.” “Terus hubungannya sama aku apa?” tanya Rena acuh tak acu
Dahinya sedikit berkerut saat melihat sang mantan begitu akrab dengan lelaki di hadapannya. “Kalian?” Lelaki itu menunjuk ke arah Rena dan Bara secara bergantian. Sang gadis mengangguk sementara Bara mengalihkan pandangannya. “Sejak kapan kamu ganti sekretaris?” tanya lelaki itu penuh selidik. Lagi-lagi Bara diam dan melenggang masuk ke ruangan rapat. “Kak Tora kenal dia?” tanya Rena heran. “Adik aku yang baru pulang dari London,” jawab lelaki yang bernama Tora itu. Rena mengatup-ngatupkan bibirnya. Dia berpikir sejenak lalu mulai menatap layar ponsel yang berada di genggamannya. Suasana hening sesaat karena mereka menunggu kedatangan sang pemilik panti asuhan tempat mereka akan melakukan acara santunan. Beberapa saat kemudian Rena menganggukkan kepala. Seolah paham dengan informasi yang baru saja didapatnya. Rossy Hotel dan Erlangga Hotel memiliki owner yang sama. Mendiang mama merupakan owner Rossy Hotel sesuai
Kejadian kemarin benar-benar membuat Rena ketakutan. Tampaknya dia melihat sosok iblis saat sang mantan hampir membunuhnya dengan tangan kosong. Beruntung kemunculan David bisa mencegah adegan percobaan pembunuhan itu. Bara segera membebaskan leher jenjang sang sekretaris. Pagi ini dia kembali dibuat kebingungan. Rena menghentakkan kakinya ke lantai usai mendengar ucapan sang atasan yang seenak jidatnya saja. Gadis itu harus meninjau ulang panti asuhan sesuai dengan kesepakatan beberapa hari yang lalu. Kalau saja lokasinya mudah dijangkau Rena takkan keberatan sama sekali. Sayangnya dia harus melewati perjalanan yang tak biasa. Harus menggunakan perahu untuk menjangkau kawasan terpencil itu. Jadilah dia uring-uringan sembari mengetuk-ngetuk meja kerja di depannya. Pemandangan ini sukses membuat sang GM menerbitkan senyum devilnya. “Kak Tora?” gumam Rena saat melihat nama pengirim pesan di layar ponselnya. Dahinya sedikit berkerut saat membaca kalimat
Mata Rena memerah saat melihat benda pipih yang ada di genggamannya terjatuh. Senyum penuh kemenangan tercetak di wajah sang GM. Pria itu segera meninggalkan Rena yang membungkuk untuk menyambar ponselnya yang memang sengaja dijatuhkan Bara. “Kenapa harus gini?” isak Rena yang tak dapat membendung air matanya. Dia berjalan tertatih-tatih menuju toilet. Wajahnya masih mampu melengkungkan senyuman usai mendapat perlakuan buruk dari sang atasan. Ah, bukankah ini yang dia mau? Semenjak mengetahui kondisi tubuhnya yang mengidap sindrom MRKH, gadis itu menghapuskan kata pernikahan dalam kamus hidupnya. Sangat mustahil ada pria yang mau menikahi perempuan yang tak bisa melahirkan. Begitulah isi pikiran Rena. Usai membenarkan penampilannya yang sempat berantakan, Rena segera melangkah ke luar. Melakukan pemesanan taksi online dan menenangkan diri di rumah saja. **** “Kakak yakin kak Tita nggak bakalan curiga? Aku kesannya kayak pelakor jadi
Di dalam ruangannya, sang GM sedang bergelut dengan pikirannya sendiri. Terlebih lagi Tita yang terang-terangan memberitahu bahwa hubungannya terancam kandas. Apalagi kalau bukan stigma negatif yang ditujukan tentang kedekatan Tora dan Rena. Sebenarnya seorang Bara tak perlu ambil pusing dengan aduan Tita. Tetapi saat mendengar nama Rena entah mengapa hatinya berkecamuk. Seolah ingin membuat sang mantan benar-benar hancur. Hingga suara ketukan membuyarkan lamunan dirinya. “Pagi, Pak. Dua hari lagi acara di panti asuhan akan dilangsungkan. Ada yang perlu saya benahi atau hal lain?” tanya Rena tanpa membalas tatapan sinis sang atasan. “No,” jawab Bara yang kini sudah memalingkan wajahnya. Rena menghela napas pelan lalu mengambil kembali berkas yang sudah ditandatangani oleh sang GM. Bahkan hingga sekarang gadis itu tak tahu tugas mana sebenarnya yang merupakan pure dari seorang sekretaris. Dia selalu ditugaskan hal yang aneh hingga tak masuk akal sama sekal
"Hah. Apa-apaan ini?" Rena yang baru tiba di depan mejanya sudah dikagetkan dengan hadiah yang jelas tak diharapkan. Sesosok wanita sudah menatap nyalang dirinya. Siapa lagi kalau bukan Tita.BYUR!! Benar kata Bara kalau calon kakak iparnya itu sangat menyeramkan. Pagi-pagi sekali Rena sudah dihadiahi dengan siraman rohani oleh Tita. Lebih tepatnya siraman air mineral yang ada di mejanya sendiri. “Puas kamu ngebuat anak aku enggak ada papanya?? Berapa kamu dibayar tidur sama dia??” tuduh Tita berapi-api. Rena menghela napas pelan. Berusaha mengumpulkan keberaniannya setelah mendapatkan perlakuan yang mengejutkan barusan. Di waktu yang bersamaan sang GM yang menyadari kekacauan di luar kantornya segera menghubungi sang kakak. Lelaki yang menjadi alasan mengapa Tita datang menghardik sekretaris luarannya itu. Semenjak munculnya Ami menggantikan Rena, Bara memanggilnya dengan seketaris luaran. “Lepas, Bar. Aku mau ngasih pelajaran sama jalang ini,” decak Tita saat Bara menghentik
“Sorry,” ucap Rena dengan maksud menolak ajakan pria di sampingnya. “Jalang. Jangan jual mahal kau,” hardik si pria. Dia menarik rambut Rena sembari merengkuh erat pinggangnya. Menghirup aroma parfum orange blossom gadis itu. Lalu mengenduskan wajahnya ke ceruk leher Rena. Menjijikkan. Itulah yang sedang dirasakan oleh seorang Rena. “Lepas atau kau akan mati di tanganku,” ancam Rena sembari menendang sepatu pantofel si pria dengan ujung high heels miliknya. “Kurang ajar.” Helaan napas berat kini sudah berembus dari indera pernapasan Rena. Sebelumnya dia tak pernah mendapatkan perlakuan gila semacam ini. Tampaknya ada yang mengamati gerak-gerik gadis itu sejak menemani banyak pria di club malam. Tentunya sang GM jugalah menjadi penyebab dari akar masalahnya sekarang. “Jangan main-main denganku,” bisik pria tadi yang masih tak mau kalah dengan ambisinya. “Lepas kataku,” ketus Rena sembari menjauhkannya dari wajah
Tangan Bara segera mengepal lalu meninju setir yang ada di hadapannya. “Di mana kamu, Ren? Jangan buat aku gila, shit,” umpat Bara seketika. Antara benci dan cinta memang begitu tipis bedanya. Pikiran Bara saat ini benar-benar kacau. Sementara di waktu yang bersamaan Rena sedang sibuk mencari tumpangan untuk membawa dirinya menuju panti asuhan. Dia sudah tahu kabar banjir bandang yang letaknya tak jauh dari tempat ini. Namun rasa takutnya akan kehilangan pekerjaaan mirisnya jauh lebih tinggi lagi. “Duh, ini gimana sih malah jadinya kacau gini,” keluh Rena usai meraup wajahnya dengan kesal. Gadis itu hampir menangis karena takut tak bisa datang ke sana tepat waktu. Segala perlengkapan dan kebutuhan lain terkait acara sudah berada di sana satu hari yang lalu. Beruntung sekalia dia karena tinggal membawa diri sendiri saja. Namun sayangnya kejadian ini sama sekali tak terbayangkan oleh Rena si gadis malang.