Share

Bab 6 Cemburu

Dahinya sedikit berkerut saat melihat sang mantan begitu akrab dengan lelaki di hadapannya.

“Kalian?” Lelaki itu menunjuk ke arah Rena dan Bara secara bergantian.

Sang gadis mengangguk sementara Bara mengalihkan pandangannya.

“Sejak kapan kamu ganti sekretaris?” tanya lelaki itu penuh selidik.

Lagi-lagi Bara diam dan melenggang masuk ke ruangan rapat.

“Kak Tora kenal dia?” tanya Rena heran.

“Adik aku yang baru pulang dari London,” jawab lelaki yang bernama Tora itu.

Rena mengatup-ngatupkan bibirnya. Dia berpikir sejenak lalu mulai menatap layar ponsel yang berada di genggamannya. Suasana hening sesaat karena mereka menunggu kedatangan sang pemilik panti asuhan tempat mereka akan melakukan acara santunan.

Beberapa saat kemudian Rena menganggukkan kepala. Seolah paham dengan informasi yang baru saja didapatnya. Rossy Hotel dan Erlangga Hotel memiliki owner yang sama. Mendiang mama merupakan owner Rossy Hotel sesuai dengan nama depannya. Sementara tak perlu ditanyakan jika papa mereka merupakan owner di hotel tempat Rena bekerja sekarang. Kini gadis itu tak perlu penasaran lagi karena sudah merasa cukup dengan informasi yang ia peroleh.

“Selamat pagi, Bu Risa,” sapa Rena sambil mengulas senyumnya.

Acara pertemuan kedua kakak beradik lengkap dengan sekretaris dan sang pemilik panti tengah berjalan. Rena yang memang baru merasakan bagaimana jadi sekretaris tampak sedikit canggung awalnya. Namun selang setengah jam kemudian dia begitu cekatan mencatat segala sesuatu yang dibicarakan saat ini. Membuat Bara juga terheran dengan proses adaotasinya yang cukup cepat.

“Terima kasih atas undangannya, Pak. Semoga acaranya berjalan dengan lancar,” ucap sang pemilik panti seraya pamit undur diri.

“Masih sering ke markas, Ren?” tanya Tora tiba-tiba saat tamu mereka sudah menghilang dari ruangan.

“Umm, jarang. Terakhir tiga bulan yang lalu,” jawab Rena sambil tersenyum.

“Nanti kita cari waktu ke sana barengan ya,” tawar Tora yang segera diiyakan oleh gadis itu.

Melihat keakraban yang membuatnya jengah, Bara segera berdehem dan beranjak dari kursinya.

“Kita masih banyak urusan. Kamu tidak digaji untuk berbicara di luar pembahasan kerja,” serang sang GM dengan wajah yang sudah masam itu.

Rena tersenyum kecut lalu membungkukkan badan dan meninggalkan Tora begitu saja. Langkahnya semakin cepat mengiringi jalan sang atasan yang sudah lebih dulu berada di depannya.

Baru beberapa hari bekerja di bawah kekuasaan Bara, gadis berkulit putih itu sudah banyak tertekan. Malang sekali nasib Rena karena sang mantan bisa dengan mudah memperalatnya.

Ah seandainya waktu itu dia tak terkecoh dan mau membaca ulang kontrak kerja, pastilah takkan jadi serumit ini. Semua sudah terlambat dan tentu waktu takkan bisa diputar kembali. Begitu yang ada di benak Rena sekarang.

“Pantas kamu bisa masuk ke Erlangga. Godain Tora ternyata,” cibir Bara sambil membuang pandangannya ke kaca mobil.

Rena mengulum senyum sembari menegakkan wajahnya, “Aku bisa melakukan apa yang aku mau.”

“Berapa kamu dibayar untuk memuaskannya?”

Kekehan kecil lolos dari mulut Rena, “Kami melakukannya suka sama suka. Impas.”

Sang GM berdecak pelan, “Hati-hati. Calon kakak iparku menyeramkan.”

“Kita lihat aja nanti,” timpal Rena tak mau kalah.

Tak ada orang yang menatap Rena dengan bersahabat. Bahkan tak mungkin dia harus bertemu Amel yang departemennya berbeda lantai dari tempatnya sekarang. Jam istirahat makan siang bukannya membuat sekretaris itu terlihat senang. Cibiran datang silih berganti. Seolah semua memojokkan Rena dengan berita miring yang sepertinya semakin muncul ke permukaan. Rena si wanita murahan. Begitulah yang ada di grup gosip yang diketuai entah oleh siapa.

Beruntung otak Rena sadar diri. Dia sengaja membawa sebungkus biskuit untuk makan siangnya. Pun beberapa potong apel yang sudah disiapkan di paper bag bawaannya.

“Duh, capek banget kayaknya,” sapa lelaki berperawakan berbeda.

Tingkahnya bak cacing kepanasan dengan gaya feminim sebagai ciri khas intonasi suara bariton yang dibuat-buat. Siapa lagi kalau bukan Anton, staf dari departemen HRD yang letaknya tepat di samping departemen tempat Rena bekerja. Tentu Rena mengenalnya karena memang melalui bagian HRD-lah para karyawan hotel direkrut.

“Makan siang bareng, yuk ah,” tawar Anton sambil meliukkan tubuhnya.

“Thanks, Mas. Aku lagi nggak mood. Banyak mulut bawel soalnya. Next time aja kayaknya,” tolak Rena secara halus.

“Oke, entar kalo makan siang kita barengan ya,” kata Anton yang berjalan meninggalkan Rena.

Sebenarnya dia ingin sekali menerima tawaran tadi, namun sayang lagi-lagi beban kerjanya semakin tak bisa diajak kompromi. Rena mendesah pelan lalu menyandarkan kepalanya ke belakang kursi. Habis sudah persediaan makanannya. Pun buah-buahan potong yang ada di kotak bekalnya. Kalau begini sibuknya Rena akan terserang penyakit. Jelas itu akan menambah hari buruknya menjadi sekretaris di lain hari.

“Heh, biasanya kalo sekretaris eksekutif sekelas asisten GM itu dikagumi. Nah, nih cewek kok nggak ada harga dirinya ya,” cibir beberapa orang yang berjalan melewati meja kerjanya.

“Kenapa? Kalo aku bilang berapa hargaku, entar kamu merasa rendah,” serang Rena yang memang tak pernah ingin terlihat rapuh di mata siapapun.

“Jangan rusak citra buruk rupamu karena ada CCTV di sana,” gumam Rena seraya melambaikan tangan ke arah yang ia maksud.

Tangan yang tadinya hendak melayang ke udara perlahan turun. Seulas senyuman terlihat dari wajah Rena. Jelas saja itu pertanda kemenangan baginya.

Sementara itu usai jam makan siang, Jenny langsung berjalan menuju ruangan sang GM. Dia menyerahkan beberapa file dan data sesuai dengan titah sang atasan.

“Semua berkas udah kamu kasih tahu ke Rena?” tanya sang GM yang kini sedang memeriksa dokumen di hadapannya.

“Sudah, Pak,” jawab Jenny.

Bara mengangguk singkat, “Senin depan kamu boleh ambil cuti. Ajari dia sebaik mungkin. Jangan sampai kerjaan hancur di tangannya.”

“I-iya, Pak. Makasih, Pak,” sahut Jenny dengan wajah yang sudah ceria.

Bara hanya bergumam sembari mengembalikan dokumen yang sudah ditandatanganinya. Aji mumpung memang karena sudah sebulan Jenny mengajukan ijin cuti untuk mengurus persiapan pernikahannya. Jadilah membuat sang GM itu memutar otak hingga bisa menyiasati Rena untuk bekerja di bawah tekanannya.

Selang beberapa saat ponselnya berdenting.

[Bar, aku lupa save kontak Rena. Tolong kirim ya.]

Bara meremas benda keras nan pipih itu. Entah mengapa ada perasaan tak suka jika sang kakak mengirimkan pesan barusan. Alih-alih membalas, lelaki itu kini melihat punggung Rena yang sedang asyik menyimak penjelasan dari Jenny.

“Kamu nggak akan bisa lepas dari genggaman aku, Ren,” ucapnya bermonolog diri.

Sebelah alisnya terangkat dengan senyuman smirk seolah sedang merencanakan sesuatu. Sayangnya itu langsung dirusak karena pesan singkat dari orang yang sama pula.

[Nggak perlu repot-repot balas pesan aku. Ada tim HRD yang bisa bantu kasih tahu nomor Rena.]

Seketika sang GM menggertakkan giginya. Jelas terlihat dia benar-benar marah sekarang. Kini tangan kanannya menyambar telepon yang terletak di atas meja. Terdengar suara sahutan Jenny menyapa dari arah seberang.

Selang beberapa detik Jenny langsung melirik Rena, “Dipanggil pak GM ke ruangan.”

Rena menghela napas pelan. Dia mengetuk pintu lalu masuk saat mendengar sahutan dari sang GM.

“Berhenti godain kak Tora. Dia udah mau nikah,” ujar lelaki itu sembari menusukkan pandangannya ke arah Rena.

“Kalau aku nggak mau?”

Spontan Bara bertindak cepat dengan mencengkram kuat leher sang mantan. Tatapannya begitu nyalang. Ada perasaan sakit hati yang kembali ke permukaan saat melihat iris mata gadis itu. Apa dia tengah cemburu?

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status