“Makasih, Pak,” ucap Rena saat Tommy memuji hasil kerjanya.
Pria itu mengangguk, “Oh ya, ada pak GM juga di sini. Bukan Pak Tora lagi kayak yang biasa hadir.”
Senyum Rena yang tadinya merekah perlahan memudar saat mendengar penuturan dari sang manajer.
“Terusin kerjanya, saya mau nemenin pak GM dulu,” pamit Tommy yang segera berlalu meninggalkan Rena.
Perempuan dengan setelan pakaian merah maroon itu segera mengangguk pelan. Pasalnya dia juga belum tahu siapa sebenarnya sang GM yang dibicarakan. Apalagi baru tiga bulan hotel yang yang menjadi tempatnya bekerja itu beralih pimpinan. Entah mengapa perasaan tak nyaman muncul begitu saja karena mendengar penuturan dari sang manajer barusan.
Dugaan Rena sepertinya benar. Keadaan tidak sedang baik-baik saja. Salah satu waiter menyampaikan kendala hingga membuatnya harus berpikir cepat dan keras.
“Ini mungkin ulah Wiwid, Ren. Dia ‘kan suka banget mancing emosi kamu,” ujar Amel yang mendengar pembicaraan.
“Masa sih? Awas aja kalau emang dia dalangnya,” decak Rena hampir frustrasi.
Belum lagi gadis itu menentukan langkah, Tommy sang manajer langsung menampakkan raut wajah cemasnya. Rena tergagap lalu mendesah pelan.
“Kenapa bisa gini, Ren? Bukankah semua udah diatur?” tanya Tommy masih berusaha menunjukkan kesabarannya.
“I-iya, Pak. Maaf, saya juga enggak tahu. Dessert-nya udah dipesan sejak jauh hari, tetapi malah yang datang kenapa rasa cokelat ya. Saya akan tanya bagian chef langsung,” ucap Rena yang segera pamit undur diri.
Sementara di bagian barat ruangan pria berkulit putih tengah menyugar rambutnya ke belakang. Dia terus menikmati wajah Rena yang sudah menampakkan kegelisahan. Siapa lagi kalau bukan Bara orangnya. Satu-satunya lelaki yang justru baru menyadari kehadiran Rena di wilayah kekuasaannya saat ini.
Sempat terbesit di benaknya sebuah penyesalan karena tak pernah mengunjungi area restoran hotel Erlangga dengan segera. Kalau saja dia tahu bahwa sang mantan sudah di sana sejak awal maka dapat dipastikan ajang balas dendamnya lebih cepat terlaksana.
“Done?” tanya Bara yang kini melirik David sang bawahan.
“Ya, Tuan. Sesuai dengan intruksi,” jawab David sambil membungkukkan badan.
Dalam hati David terus bertanya mengapa justru sang GM yang ingin mengacaukan acara. Apalagi juga baru kali ini dia melihat lelaki yang sudah lama menjadi atasannya itu tersenyum penuh kemenangan. Sungguh terkesan lain dengan hari-hari biasanya. Bahkan kalau menang tender saja wajah yang terkenal dingin dan datar itu tak pernah secerah barusan.
Bagaikan disambar petir. Tuan Aaroon sang pemilik acara menampakkan raut wajah kecewanya. Sang putri semata wayang menumpahkan hidangan dessert yang tak sesuai dengan keinginan. Mungkin bagi kebanyakan bocah merupakan penggemar cokelat, sayangnya itu tak berlaku bagi dirinya sang penggemar rasa vanila.
“Fluffy vanilla cake. I don’t want another dessert,” ketus sang putri yang sudah melipat tangannya.
Acara yang tadinya meriah nan penuh warna kini sudah berubah menjadi suasana yang amat mencekam. Tuan Aaroon mengeluarkan sumpah serapahnya dan menuntut pihak hotel untuk mengganti rugi. Bukannya khawatir, Bara malah mengulum senyumnya. Oh, dia sukses membuat Rena merasa terpojokkan sekarang.
“Sorry, Ren. Tadi Pak Manajer bilang kalau kamu dipanggil ke ruangan Pak Direktur sekarang,” ujar Amel menampakkan wajah menyesalnya.
“It’s okay. Emang bakalan gitu juga, Mel. Sumpah deh. Aku bingung nih di mana titik salahnya. Sesimple itu loh padahal, hah,” keluh Rena yang kemudian segera menghilang dari pantry.
Jantung Rena semakin berdegup kencang saat melewati koridor hotel. Langkahnya semakin cepat karena penasaran dengan masalah pelik yang memang akan harus dihadapinya seorang diri.
Gadis dengan bola mata cokelat kehitaman itu langsung menundukkan wajah usai dipersilakan masuk. Tampak Sang Direktur menatap tajam ke arahnya.
Rena hanya mengangguk sembari mengucapkan kata maaf tiada henti. Dia tak tahu lagi harus berbuat apa. Bahkan posisinya terancam saat ini. Baru saja diangkat empat bulan menjadi seorang asisten manajer, Rena sudah mengecewakan Sang Direktur F&B.
Sudah lama gadis itu menunduk namun dia belum juga mendengar keputusan dari atasannya. Hingga sebuah ketukan terdengar dari arah luar membuat Rena mendongak sesaat.
“Masuk,” sahut sang direktur.
Dia bergumam saat sang sekretaris menyerahkan sebuah map biru lalu mengucapkan sesuatu yang tak terdengar oleh Rena sama sekali. Rena berusaha tersenyum miring saat melihat sang sekretaris menunjukkan seringai kecilnya.
Oh, gadis ini memang memiliki banyak musuh perempuan di sekitar tempatnya bekerja. Apalagi tatapan sinisnya yang jelas tak bersahabat. Itulah Rena yang memang sudah terbiasa dengan wajah angkuhnya. Apalagi sekarang dia hanya tinggal seorang diri di perumahan mungil tanpa bantuan dari orangtuanya. Kasus perceraian keduanya membuat Rena berubah menjadi sosok yang ketus dan tak suka berdekatan dengan banyak orang. Dia lebih memilih mendekatkan diri dengan teman tertentu saja. Seperti Fina dan Amel.
“Kamu disuruh untuk memilih. Keluar dengan cara tidak hormat atau mengganti kerugian hotel. Kalau keluar dengan cara tidak hormat bisa saja akan berakhir di penjara. Saran saya lebih baik gaji kamu yang dikurangi,” kata sang direktur.
Rena terhenyak sesaat. Menarik napas perlahan lalu membuangnya. Jelas saja kalau diberhentikan dengan cara tak hormat akan membuat dirinya kesulitan mencari pekerjaan baru. Belum lagi reputasinya akan hancur karena kasus yang baru saja dibuatnya. Tak ada pilihan lain selain amunisi kedua.
“Berapa kisaran biaya yang harus saya ganti, Pak?” tanya gadis berkulit putih itu memberanikan diri.
“Berdasarkan gaji kamu di sini tertulis kalau kamu hanya menerima gaji sebesar 30 persen saja. Sisanya akan bisa terlunasi setelah dua tahun kamu bekerja. Bagaimana?” papar Sang Direktur.
Rena menurunkan kedua bahunya yang sedari tadi tegang. Tak ada yang bisa dilakukan selain mengiyakan kalimat itu. Pastilah pesta sekelas tuan Aaroon memang menghabiskan banyak biaya. Malang sekali nasibnya hari ini.
“Besok pagi datanglah ke kantor GM. Saya juga akan ke sana. Kamu boleh pergi.”
***
Di sinilah Rena dan sang direktur menanti kedatangan sang GM. Gadis itu sudah menandatangani isi kontrak kerja yang baru tanpa berpikir lebih lanjut. Tentunya tak lagi membaca kalimat yang tertera di dalam dokumen itu.
“Pagi, Pak,” sapa sang direktur pada sang atasan tertinggi di hotel tempat mereka bekerja.
Beda halnya dengan Rena. Dia mematung diri dengan posisi bibir yang terkatup rapat. Wajahnya memucat karena menyaksikan pemandangan yang lama tak dilihatnya setelah sebelas tahun berlalu. Luka itu kembali menganga setelah dia menutupnya dengan susah payah. Pun begitu juga dengan si pria yang sekarang sudah berada tepat di hadapannya.
“Tinggalkan kami berdua, Pak. Saya ingin bicara empat mata dengan nona Serena Queen Adhisty,” tegas Bara tanpa mengalihkan pandangannya dari wajah anggun Rena.
Sesuai dengan perintahnya. Tak ada satu pun yang berada di ruangan. Hanya Rena dan Bara yang saling menatap satu sama lain. Bahkan dalam hitungan detik mereka masih sama-sama menyelami kenangan yang telah terkubur lama itu.
“Hello, My Ex!” sapa Bara sembari menampilkan senyum devilnya.
Perlahan tubuh lelaki itu semakin mendekat hingga jarak yang tercipta hanya satu jengkal saja di antara mereka.
Sadar bahwa posisinya sedang dalam keadaan tak aman, Rena semakin melangkah mundur. Selang beberapa detik kedua bulu mata lentiknya bergerak cepat membuat kerjapan berkali-kali. Tubuhnya sudah mendarat sempurna di atas sofa. Beruntung lengan kanan Pak GM menyanggah ke sandaran tempat yang empuk itu. Entah apa yang terjadi kalau keduanya bertubrukan secara tak sengaja barusan. Dengan susah payah gadis itu berusaha bangkit hingga berhasil membuat tubuhnya tegak berdiri. Helaan napas lolos begitu saja saat dirinya berhasil bergerak sedikit menjauh dari sang mantan sekaligus atasan tertingginya saat ini. “Kenapa hmmm?? Kau terkejut 'kah?” tebak Bara dengan posisi bersidekap. Dia tersenyum miring memandangi tubuh mungil Rena yang putih dan menawan itu. Merasa ditatap dengan keanehan jelas membuat sang empu tak nyaman. Dia tak tahu harus mengatakan apa. Menyapa atau malah kabur dari sang GM yang berkuasa penuh di tempatnya bekerja. Keduanya jelas merupakan pilihan yang membingungkan bag
Rena hanya mengulum senyumnya sebagai respon atas titah tak wajar dari sang atasan. Tepat saat pintu lift terbuka semua mata tertuju padanya. Rumor miring pun sepertinya sudah mulai tersebar. Terbukti dari banyaknya tatapan tajam sebagai tanda tak suka saat melihat gadis itu berjalan bersisian dengan orang nomor satu di hotel itu. “Nikmati masa kesenanganmu hingga sore tiba, Nona Rena,” ucap sang GM saat keduanya berpisah di pertigaan koridor. Tak ada kata-kata lagi selain helaan berat napas dari Rena. Gadis itu kini berjalan dengan menegakkan wajahnya tanpa menolehkan pandangan pada orang di sekitarnya. Masih ada waktu hingga beberapa jam sebelum tugasnya dialihkan. Rena kembali melanjutkan langkahnya menuju lantai 2. Departemen Food and Beverage yang selama ini menjadi tempatnya bekerja. Amel yang menyadari kedatangan sang sahabat segera melepas apronnya lalu menghampiri gadis itu. “Serius, Ren? Kamu bakalan pindah ke departemen Admin and General?” tanya Amel seolah tak percaya
Fina langsung tergelak saat mendengar penuturan dari sang sahabat. Ternyata usaha Rena untuk kabur dari masalah benar-benar bukan pilihan yang tepat. “Kamu yang sabar ya, Ren. Mau resign juga nggak bisa. Aku harus bantu apa?” Fina mengeratkan genggamannya pada tangan Rena. Hanya helaan napas dan senyuman tipis sebagai jawaban dari pertanyaan tadi. Gadis itu sebenarnya tak ingin meminta bantuan apapun. Dia hanya ingin sahabat lamanya mendengar isi hati yang takkan pernah ia sampaikan pada orang lain. Bahkan memang hanya Fina yang tahu kondisi dirinya hingga saat ini. Rena menyeka air matanya, “Oh ya gimana persiapan pernikahan kamu? Ada yang kurang nggak? Kali aja aku bisa bantu. Maaf ya aku harus ke sini nyamperin kamu. Untung kamunya enggak sibuk.” “Ih, kamu ini ya. Semua udah kuserahin ke WO. Kamu tinggal datang aja. By the way, Mas Arlan bilang kalo dia kenalan lama kak Bara loh. Mereka pernah terlibat kerja sama gitu.” “Terus hubungannya sama aku apa?” tanya Rena acuh tak acu
Dahinya sedikit berkerut saat melihat sang mantan begitu akrab dengan lelaki di hadapannya. “Kalian?” Lelaki itu menunjuk ke arah Rena dan Bara secara bergantian. Sang gadis mengangguk sementara Bara mengalihkan pandangannya. “Sejak kapan kamu ganti sekretaris?” tanya lelaki itu penuh selidik. Lagi-lagi Bara diam dan melenggang masuk ke ruangan rapat. “Kak Tora kenal dia?” tanya Rena heran. “Adik aku yang baru pulang dari London,” jawab lelaki yang bernama Tora itu. Rena mengatup-ngatupkan bibirnya. Dia berpikir sejenak lalu mulai menatap layar ponsel yang berada di genggamannya. Suasana hening sesaat karena mereka menunggu kedatangan sang pemilik panti asuhan tempat mereka akan melakukan acara santunan. Beberapa saat kemudian Rena menganggukkan kepala. Seolah paham dengan informasi yang baru saja didapatnya. Rossy Hotel dan Erlangga Hotel memiliki owner yang sama. Mendiang mama merupakan owner Rossy Hotel sesuai
Kejadian kemarin benar-benar membuat Rena ketakutan. Tampaknya dia melihat sosok iblis saat sang mantan hampir membunuhnya dengan tangan kosong. Beruntung kemunculan David bisa mencegah adegan percobaan pembunuhan itu. Bara segera membebaskan leher jenjang sang sekretaris. Pagi ini dia kembali dibuat kebingungan. Rena menghentakkan kakinya ke lantai usai mendengar ucapan sang atasan yang seenak jidatnya saja. Gadis itu harus meninjau ulang panti asuhan sesuai dengan kesepakatan beberapa hari yang lalu. Kalau saja lokasinya mudah dijangkau Rena takkan keberatan sama sekali. Sayangnya dia harus melewati perjalanan yang tak biasa. Harus menggunakan perahu untuk menjangkau kawasan terpencil itu. Jadilah dia uring-uringan sembari mengetuk-ngetuk meja kerja di depannya. Pemandangan ini sukses membuat sang GM menerbitkan senyum devilnya. “Kak Tora?” gumam Rena saat melihat nama pengirim pesan di layar ponselnya. Dahinya sedikit berkerut saat membaca kalimat
Mata Rena memerah saat melihat benda pipih yang ada di genggamannya terjatuh. Senyum penuh kemenangan tercetak di wajah sang GM. Pria itu segera meninggalkan Rena yang membungkuk untuk menyambar ponselnya yang memang sengaja dijatuhkan Bara. “Kenapa harus gini?” isak Rena yang tak dapat membendung air matanya. Dia berjalan tertatih-tatih menuju toilet. Wajahnya masih mampu melengkungkan senyuman usai mendapat perlakuan buruk dari sang atasan. Ah, bukankah ini yang dia mau? Semenjak mengetahui kondisi tubuhnya yang mengidap sindrom MRKH, gadis itu menghapuskan kata pernikahan dalam kamus hidupnya. Sangat mustahil ada pria yang mau menikahi perempuan yang tak bisa melahirkan. Begitulah isi pikiran Rena. Usai membenarkan penampilannya yang sempat berantakan, Rena segera melangkah ke luar. Melakukan pemesanan taksi online dan menenangkan diri di rumah saja. **** “Kakak yakin kak Tita nggak bakalan curiga? Aku kesannya kayak pelakor jadi
Di dalam ruangannya, sang GM sedang bergelut dengan pikirannya sendiri. Terlebih lagi Tita yang terang-terangan memberitahu bahwa hubungannya terancam kandas. Apalagi kalau bukan stigma negatif yang ditujukan tentang kedekatan Tora dan Rena. Sebenarnya seorang Bara tak perlu ambil pusing dengan aduan Tita. Tetapi saat mendengar nama Rena entah mengapa hatinya berkecamuk. Seolah ingin membuat sang mantan benar-benar hancur. Hingga suara ketukan membuyarkan lamunan dirinya. “Pagi, Pak. Dua hari lagi acara di panti asuhan akan dilangsungkan. Ada yang perlu saya benahi atau hal lain?” tanya Rena tanpa membalas tatapan sinis sang atasan. “No,” jawab Bara yang kini sudah memalingkan wajahnya. Rena menghela napas pelan lalu mengambil kembali berkas yang sudah ditandatangani oleh sang GM. Bahkan hingga sekarang gadis itu tak tahu tugas mana sebenarnya yang merupakan pure dari seorang sekretaris. Dia selalu ditugaskan hal yang aneh hingga tak masuk akal sama sekal
"Hah. Apa-apaan ini?" Rena yang baru tiba di depan mejanya sudah dikagetkan dengan hadiah yang jelas tak diharapkan. Sesosok wanita sudah menatap nyalang dirinya. Siapa lagi kalau bukan Tita.BYUR!! Benar kata Bara kalau calon kakak iparnya itu sangat menyeramkan. Pagi-pagi sekali Rena sudah dihadiahi dengan siraman rohani oleh Tita. Lebih tepatnya siraman air mineral yang ada di mejanya sendiri. “Puas kamu ngebuat anak aku enggak ada papanya?? Berapa kamu dibayar tidur sama dia??” tuduh Tita berapi-api. Rena menghela napas pelan. Berusaha mengumpulkan keberaniannya setelah mendapatkan perlakuan yang mengejutkan barusan. Di waktu yang bersamaan sang GM yang menyadari kekacauan di luar kantornya segera menghubungi sang kakak. Lelaki yang menjadi alasan mengapa Tita datang menghardik sekretaris luarannya itu. Semenjak munculnya Ami menggantikan Rena, Bara memanggilnya dengan seketaris luaran. “Lepas, Bar. Aku mau ngasih pelajaran sama jalang ini,” decak Tita saat Bara menghentik