Share

Bab 2 Hello, My Ex!

“Makasih, Pak,” ucap Rena saat Tommy memuji hasil kerjanya.

Pria itu mengangguk, “Oh ya, ada pak GM juga di sini. Bukan Pak Tora lagi kayak yang biasa hadir.”

Senyum Rena yang tadinya merekah perlahan memudar saat mendengar penuturan dari sang manajer.

“Terusin kerjanya, saya mau nemenin pak GM dulu,” pamit Tommy yang segera berlalu meninggalkan Rena.

                Perempuan dengan setelan pakaian merah maroon itu segera mengangguk pelan. Pasalnya dia juga belum tahu siapa sebenarnya sang GM yang dibicarakan. Apalagi baru tiga bulan hotel yang yang menjadi tempatnya bekerja itu beralih pimpinan. Entah mengapa perasaan tak nyaman muncul begitu saja karena mendengar penuturan dari sang manajer barusan.

                Dugaan Rena sepertinya benar. Keadaan tidak sedang baik-baik saja. Salah satu waiter menyampaikan kendala hingga membuatnya harus berpikir cepat dan keras.

“Ini mungkin ulah Wiwid, Ren. Dia ‘kan suka banget mancing emosi kamu,” ujar Amel yang mendengar pembicaraan.

“Masa sih? Awas aja kalau emang dia dalangnya,” decak Rena hampir frustrasi.

                Belum lagi gadis itu menentukan langkah, Tommy sang manajer langsung menampakkan raut wajah cemasnya. Rena tergagap lalu mendesah pelan.

“Kenapa bisa gini, Ren? Bukankah semua udah diatur?” tanya Tommy masih berusaha menunjukkan kesabarannya.

“I-iya, Pak. Maaf, saya juga enggak tahu. Dessert-nya udah dipesan sejak jauh hari, tetapi malah yang datang kenapa rasa cokelat ya. Saya akan tanya bagian chef langsung,” ucap Rena yang segera pamit undur diri.

                Sementara di bagian barat ruangan pria berkulit putih tengah menyugar rambutnya ke belakang. Dia terus menikmati wajah Rena yang sudah menampakkan kegelisahan. Siapa lagi kalau bukan Bara orangnya. Satu-satunya lelaki yang justru baru menyadari kehadiran Rena di wilayah kekuasaannya saat ini.

Sempat terbesit di benaknya sebuah penyesalan karena tak pernah mengunjungi area restoran hotel Erlangga dengan segera. Kalau saja dia tahu bahwa sang mantan sudah di sana sejak awal maka dapat dipastikan ajang balas dendamnya lebih cepat terlaksana.

“Done?” tanya Bara yang kini melirik David sang bawahan.

“Ya, Tuan. Sesuai dengan intruksi,” jawab David sambil membungkukkan badan.

                Dalam hati David terus bertanya mengapa justru sang GM yang ingin mengacaukan acara. Apalagi juga baru kali ini dia melihat lelaki yang sudah lama menjadi atasannya itu tersenyum penuh kemenangan. Sungguh terkesan lain dengan hari-hari biasanya. Bahkan kalau menang tender saja wajah yang terkenal dingin dan datar itu tak pernah secerah barusan.

                Bagaikan disambar petir. Tuan Aaroon sang pemilik acara menampakkan raut wajah kecewanya. Sang putri semata wayang menumpahkan hidangan dessert yang tak sesuai dengan keinginan. Mungkin bagi kebanyakan bocah merupakan penggemar cokelat, sayangnya itu tak berlaku bagi dirinya sang penggemar rasa vanila.

“Fluffy vanilla cake. I don’t want another dessert,” ketus sang putri yang sudah melipat tangannya.

                Acara yang tadinya meriah nan penuh warna kini sudah berubah menjadi suasana yang amat mencekam. Tuan Aaroon mengeluarkan sumpah serapahnya dan menuntut pihak hotel untuk mengganti rugi. Bukannya khawatir, Bara malah mengulum senyumnya. Oh, dia sukses membuat Rena merasa terpojokkan sekarang.

“Sorry, Ren. Tadi Pak Manajer bilang kalau kamu dipanggil ke ruangan Pak Direktur sekarang,” ujar Amel menampakkan wajah menyesalnya.

“It’s okay. Emang bakalan gitu juga, Mel. Sumpah deh. Aku bingung nih di mana titik salahnya. Sesimple itu loh padahal, hah,” keluh Rena yang kemudian segera menghilang dari pantry.

                Jantung Rena semakin berdegup kencang saat melewati koridor hotel. Langkahnya semakin cepat karena penasaran dengan masalah pelik yang memang akan harus dihadapinya seorang diri.

Gadis dengan bola mata cokelat kehitaman itu langsung menundukkan wajah usai dipersilakan masuk. Tampak Sang Direktur menatap tajam ke arahnya.

                Rena hanya mengangguk sembari mengucapkan kata maaf tiada henti. Dia tak tahu lagi harus berbuat apa. Bahkan posisinya terancam saat ini. Baru saja diangkat empat bulan menjadi seorang asisten manajer, Rena sudah mengecewakan Sang Direktur F&B.

                Sudah lama gadis itu menunduk namun dia belum juga mendengar keputusan dari atasannya. Hingga sebuah ketukan terdengar dari arah luar membuat Rena mendongak sesaat.

“Masuk,” sahut sang direktur.

                Dia bergumam saat sang sekretaris menyerahkan sebuah map biru lalu mengucapkan sesuatu yang tak terdengar oleh Rena sama sekali. Rena berusaha tersenyum miring saat melihat sang sekretaris menunjukkan seringai kecilnya.

Oh, gadis ini memang memiliki banyak musuh perempuan di sekitar tempatnya bekerja. Apalagi tatapan sinisnya yang jelas tak bersahabat. Itulah Rena yang memang sudah terbiasa dengan wajah angkuhnya. Apalagi sekarang dia hanya tinggal seorang diri di perumahan mungil tanpa bantuan dari orangtuanya. Kasus perceraian keduanya membuat Rena berubah menjadi sosok yang ketus dan tak suka berdekatan dengan banyak orang. Dia lebih memilih mendekatkan diri dengan teman tertentu saja. Seperti Fina dan Amel.

“Kamu disuruh untuk memilih. Keluar dengan cara tidak hormat atau mengganti kerugian hotel. Kalau keluar dengan cara tidak hormat bisa saja akan berakhir di penjara. Saran saya lebih baik gaji kamu yang dikurangi,” kata sang direktur.

                Rena terhenyak sesaat. Menarik napas perlahan lalu membuangnya. Jelas saja kalau diberhentikan dengan cara tak hormat akan membuat dirinya kesulitan mencari pekerjaan baru. Belum lagi reputasinya akan hancur karena kasus yang baru saja dibuatnya. Tak ada pilihan lain selain amunisi kedua.

“Berapa kisaran biaya yang harus saya ganti, Pak?” tanya gadis berkulit putih itu memberanikan diri.

“Berdasarkan gaji kamu di sini tertulis kalau kamu hanya menerima gaji sebesar 30 persen saja. Sisanya akan bisa terlunasi setelah dua tahun kamu bekerja. Bagaimana?” papar Sang Direktur.

                Rena menurunkan kedua bahunya yang sedari tadi tegang. Tak ada yang bisa dilakukan selain mengiyakan kalimat itu. Pastilah pesta sekelas tuan Aaroon memang menghabiskan banyak biaya. Malang sekali nasibnya hari ini.

“Besok pagi datanglah ke kantor GM. Saya juga akan ke sana. Kamu boleh pergi.”

***

                Di sinilah Rena dan sang direktur menanti kedatangan sang GM. Gadis itu sudah menandatangani isi kontrak kerja yang baru tanpa berpikir lebih lanjut. Tentunya tak lagi membaca kalimat yang tertera di dalam dokumen itu.

“Pagi, Pak,” sapa sang direktur pada sang atasan tertinggi di hotel tempat mereka bekerja.

                Beda halnya dengan Rena. Dia mematung diri dengan posisi bibir yang terkatup rapat. Wajahnya memucat karena menyaksikan pemandangan yang lama tak dilihatnya setelah sebelas tahun berlalu. Luka itu kembali menganga setelah dia menutupnya dengan susah payah. Pun begitu juga dengan si pria yang sekarang sudah berada tepat di hadapannya.

“Tinggalkan kami berdua, Pak. Saya ingin bicara empat mata dengan nona Serena Queen Adhisty,” tegas Bara tanpa mengalihkan pandangannya dari wajah anggun Rena.

                Sesuai dengan perintahnya. Tak ada satu pun yang berada di ruangan. Hanya Rena dan Bara yang saling menatap satu sama lain. Bahkan dalam hitungan detik mereka masih sama-sama menyelami kenangan yang telah terkubur lama itu.

“Hello, My Ex!” sapa Bara sembari menampilkan senyum devilnya.

                Perlahan tubuh lelaki itu semakin mendekat hingga jarak yang tercipta hanya satu jengkal saja di antara mereka.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status