Pagi-pagi sekali Rena sudah melihat sang Mami yang sudah rapi dengan setelan pakaian bewarna putih susu. Kedua matanya mengerjap pelan sembari mengumpulkan nyawa selepas bangun tidur itu.“Morning, Sayang,” sapa Nyonya Adhisty yang kini mendaratkan kecupan ringannya di pipi kanan sang Putri. “Cuci muka dan sikat gigi gih. Mami udah siapin sarapan untuk kita.”“Hemm. Mami mau ke mana jam segini? Masih juga jam enam,” gumam Rena seraya mengusap pelan sebelah matanya.“Mau ketemu calon besan,” jawab sang Mami straight to the point. Jelas jawaban barusan membuat Rena langsung melebarkan indera penglihatannya. Selang beberapa menit kemudian dia pun mengerucutkan bibir.“Mami tunggu di bawah ya, Sayang. Mau lihat Jason dulu ke kamarnya.” Setengah jam sudah berlalu. Rena berjalan menuruni anak tangga dengan pakaian kerja seperti biasa. Membiarkan rambut panjangnya tergerai dengan sebuah jepitan rambut yang mempermanis bagian kiri kepalanya.“Anak Mami mema
Meskipun sudah diperingatkan oleh sang suami, Tita masih saja keras kepala. Dia sengaja tak ikut menjemput kepulangan Bara dari rumah sakit karena ingin bertemu dengan seseorang.“Sandra sini!!” Seruan tadi membuat sang empu nama menoleh ke arah sumber suara. Langkahnya langsung berpindah ke arah Tita.“Sorry, Kak. Tadi aku harus ngurusin perpanjangan kontrak yang da di Bali makanya lama.”“Loh. Bukannya kamu bilang sudah selesai?” tanya Tita heran.Sandra menggeleng pelan sambil tersenyum. “Aku haus nih. Kakak udah pesan?”“He eh. Udah,” gumam Tita. Model cantik yang duduk di seberangnya itu kemudian memanggil seorang pelayan lalu mengucapkan pesanannya dalam hitungan detik.“Kak Tita mau nambah yang lain?”“Enggak ah. Tadi Kakak udah makan di rumah. Makanya cuma pesan minuman aja. Takutnya mual. Bawaan si jabang bayi mungkin ya,” gumam Tita sambil mengelus perutnya yang masih rata.“Ya udah deh. Aku pesan salad sayur sama jus aja kalau gitu.”
“Dia itu aneh, Ma. Sumpah.” Rena dan sang Mami kemudian saling pandang lalu menoleh ke arah Sandra yang masih saja meluapkan emosinya. Sungguh gadis muda itu sangat mengutuk pertemuannya dengan Jason.“Minum dulu nih,” tawar Rena seraya menyerahkan segelas air hangat kepada anak sambung Maminya tersebut.“Makasih,” gumam Sandra yang langsung menenggak minuman tadi nyaris tak bersisa. Setelah memastikan Sandra tenang, Nyonya Adhisty pun mendekat lalu mengelus pundak sang gadis dengan lembut.“Mungkin cara komunikasi kalian aja yang salah. Makanya jadi begini.”“Maksud Mama?”“Jason itu baik loh sebenarnya.”“Jadi Mama enggak percaya sama kata-kata aku? Baru tinggal sebentar aja sama dia udah dicuci otaknya,” ketus
Semua orang sepertinya sudah ke luar dari sana. Pun Tora yang kini sedang berjalan ke arah Bara.“Papa mana?” tanya Bara yang masih tampak cemas.“Papa ...enggak ada di dalam.” Belum sempat Tora melanjutkan cara untuk mencari sang Papa lagi, derap langkah yang semakin mendekat membuat keduanya menoleh secara serempak.“Papa!!” Tuan William tampak bingung melihat raut wajah kedua Putranya yang begitu khawatir. Usai menyimpan gawainya di dalam saku celana, dia pun bergegas mendekat.“Papa baik-baik aja?” tanya Tora mendahului.“Iya tentu. Memangnya ada apa? Dan ... kenapa di toilet sana?” ucap sang Papa balik bertanya. Lantas Tora pun menjelaskan apa yang terjadi dengan cara singkat.“Papa tadi ke toilet yang ada di sudut yang sana,” tunjuk Tuan William ke arah barat daya mata angin. “Ada telepon dari teman main golf Papa tadi, makanya jalan agak jauhan,” terangnya kemudian.“Syukurlah. Kami sangat mencemaskan Papa tadinya,” gumam Tora. “A
“Sayang, ayo dong. Jangan kelamaan. Nanti kita bisa telat.” Suara sang Papa barusan membuat Sandra memutar malas bola matanya. Sungguh dia sangat berat hati untuk kembali menginjakkan kaki ke rumah kediaman keluarga Rhaksana. Bukan karena Rena atau yang lainnya, wanita itu enggan melihat Jason sejak kejadian siang tadi.“Papa pergi sendiri aja kenapa sih? Harus ya ditemani sama aku?” gerutu Sandra yang kemudian mengerucutkan bibirnya.Tuan Jimmy mengangguk cepat. “Iya dong. Papa enggak enak kalau ke sana sendirian.” Mau tak mau akhirnya dia mendampingi sang Papa untuk menjenguk Mama sambungnya seperti yang sudah disepakati. Sandra hanya mengulum senyum ketika mereka singgah untuk membelikan sebuket bunga mawar dan beberapa buah tangan di perjalanan.Tampak bahwa cinta yang tumbuh di hati kedua orangtuanya seolah tak lekang dimakan oleh waktu. Dalam hati dia bisa berharap semoga kelak akan menemukan pasangan sebaik Papanya untuk hal memanjakan seorang istri.“Ke
Hal yang begitu dinantikan namun juga dikhawatirkan oleh seorang Serena Queen Adhisty pun tiba. Gadis itu masih menatap dirinya di depan cermin meskipun sudah menyelesaikan riasannya seperempat jam yang lalu. Hingga suara derit pintu yang berbunyi barulah mengalihkan atensinya.“Sayang,” sapa sang Mami sambil tersenyum. Setelah dua hari sempat pulang ke rumah sang suami, kini Nyonya Adhisty kembali lagi menemani Putrinya.“Aku ‘kan udah bilang bisa pergi sendiri,” gumam Rena. “Kita bisa bertemu di klinik dokter saja nanti.”“Sayang, Mami ‘kan udah bilang akan menemani kamu. Jadi mulai sekarang please jangan tolak Mami lagi ya.”“Bukannya gitu, Mi. Aku enggak enak sama Om Jimmy,” keluh Rena.Sang Mami justru menggeleng cepat. “It’s okay. Sejak kami memutuskan untuk menikah, dia sudah berjanji akan menerima Mami dan segala yang bersangkutan dengan hidup Mami. Termasuk kamu, Nak.” Rena hanya tersenyum samar lalu menghamburkan diri ke pelukan wanita yan
"Maafin Tante ya, Ganteng. Tante enggak tahu kalau yang kamu maksud itu ternyata ... Rena."Bara mengangguk lalu menghela napasnya sejenak. Satu telapak tangan besarnya mengusap wajah karena tak tahu harus berbuat apalagi."Sekarang jelasin ke aku, Tan. Apa benar dia mengidap sindrom itu?" tanya Bara yang tak bisa lagi menyembunyikan rasa penasarannya. Diamnya Adik dari almarhumah Mamanya itu membuat Bara langsung mengerti."Apapun yang terjadi aku tetap ingin bersama Rena, Tan," ucapnya kemudian dengan penuh keyakinan.Dokter Cintya mengangguk sambil tersenyum. "Kamu sudah tahu apa risikonya 'kan, Bar? Kamu takkan bisa punya anak kalau menjadikannya istri.""Aku tak peduli. Aku hanya ingin bersamanya," tegas Bara lagi."Tante bangga sama kamu. Semoga Rena mau cepat berdamai dengan keadaan ya. jangan paksa dia.”Bara mengiyakan dengan lirih.“Kalau gitu sekarang pergi kejar dia. Mungkin saja dia salah paham dengan kedatangan kamu kemari.""Tante benar. Aku tak ingin membuang waktu lag
Karena tak ingin sang gadis menjadi semakin marah, Bara pun menyudahi aksi jahilnya. Lantas dia pun bergumam pelan untuk memulai percakapan mereka.“Dokter Cintya itu Tanteku.”“Aku sudah tahu,” ketus Rena.Bara mengulum senyum lalu mencondongkan sedikit tubuhnya. “Ternyata dunia memang sempit ya. Kau datang sendiri kepadanya. Aku dengan mudah bisa mencari info tentangmu.”“Jangan salah paham dulu,” gumam Bara lagi ketika Rena menatapnya sinis. Mantan tampan Rena itu pun kembali menjelaskan. Memberitahu tujuannya datang ke klinik sang Tante untuk mendapatkan informasi seputar sindrom yang diderita oleh permata hatinya tersebut.“Apapun yang terjadi aku takkan mundur,” lanjut Bara di akhir penjabarannya. “Jangan egois.”“Egois?” Dahi Rena mengernyit seketika.“Iya. Kau bahkan langsung menutup diri tanpa mau memberikan kesempatan untukku,” sahut Bara cepat. “Tak ada yang akan menghalangi kita lagi. Jadi ...tolong buka hatimu.” Rena masih bergeming kar
Rena tampak begitu anggun mengenakan kebaya putih dengan desain yang terlihat elegan membungkus tubuhnya. Sang Mami menuntunnya berjalan menuruni gundukan anak tangga tanpa melepas tangannya sama sekali. Gugup. Itulah yang tengah dirasakan oleh gadis cantik tersebut. Dirinya didudukkan tak jauh dari sang pria yang sebentar lagi akan melaksanakan ijab kabul dalam hitungan menit. Tak ubahnya dengan Rena, Bara bahkan tak berani menatap sang calon istrinya itu karena sibuk mengingat lafal yang dikatakan Pak Penghulu tadi. Jelas dia tak mau mengulang kesalahan saat melangsungkan ikrar suci pernikahannya nanti. Jadilah sang GM Erlangga Hotel tersebut memilih untuk menundukkan pandangan.“Bagaimana? Apa ada lagi yang mau ditunggu?” tanya Pak Penghulu. Kedua pihak calon mempelai pengantin sepakat untuk memulai proses akad nikah. Karena tak ada keluarga dari pihak sang Papi yang tersisa, jadilah wali hakim ditunjuk untuk menjadi perantaranya.
Singkat, padat dan jelas. Itulah yang diutarakan Tita barusan. Istri Tora yang semula bersifat kasar dan egois itu menggenggam tangan Rena lalu membawanya menyentuh perut yang sedikit membuncit. “Kita besarkan anak ini sama-sama ya, Ren.” Rena masih bergeming. Kedua matanya berkaca-kaca karena tak tahu harus mengatakan apa untuk membalas permintaan sang calon Kakak Iparnya. “Kamu mau ‘kan? Anak ini akan punya dua orang ibu dan ayah. Dia pasti senang sekali,” gumam Tita. “I-iya, Kak,” jawab Rena akhirnya. Lantas keduanya saling berpelukan untuk menyalurkan perasaan kasih antar sesama wanita. Tak berapa lama Bara pun datang untuk memisahkan mereka. “Cepatlah, Sayang. Nanti kamu akan terlambat,” bisik Bara kemudian. Rena mengangguk pelan. Senyumnya mengembang sempurna ketika menuruni eskalator yang menjadi fasilitas menuju langkahnya ke arah gate maskapai penerbangan. Sang Mami mengusap pelan lengannya untuk memberikan ketenangan. *** [“Lihat nih! Kakak udah bisa main
“Aku percayakan semua sama Kakak aja ya.” “Enggak. Pokoknya Kakak mau kita yang urus sendiri untuk itu,” putus Bara yang sama sekali tak ingin mendengar adanya bantahan. “Please, Sayang!” Wajah puppy eyes dan penuh harap dari seorang Adibara Erlangga membuat Rena mengangguk sambil mengulum senyum. Tak pelak dia bergerak untuk melepaskan sabuk pengaman yang masih melekat di tubuh sang tunangan. CUP! “Makasih, Sayang,” gumam Bara tepat setelah gadisnya hendak beringsut mundur. “Enggak mau balas hemm?” “Enggak,” tolak Rena cepat. “Yang ada nanti kita enggak masuk-masuk. Tuh lihat Papa udah berdiri di balkon sana!” “Alasan saja,” cibir Bara. Rena seolah menulikan indera pendengarannya. Lantas membuka pintu mobilnya dengan segera. Pemandangan yang pertama kali dilihat membuatnya mengerling malas. Ada Tita yang tengah duduk bersantai di ruang tamu sembari menikmati susu hamilnya. “Jangan hiraukan dia. Ayo masuk!” “Enggak, Kak. Aku pulang saja ya.
Pemandangan hijau nan asri membuat senyum Rena merekah sempurna. Gadis itu memapah sang tunangan dengan tangan kiri yang menenteng sebuah keranjang berisi kotak bekal yang dibawanya dari rumah. Parfum dengan aroma citrus blossom yang menguar dari tubuh tunangan Bara tersebut seolah menyatu dengan alam. Segar dan membuat perasaan yang menghidunya jadi menumbuhkan kesan positif. “Anaknya Tante Cintya itu emang top kasih terapi ke Kakak. Buktinya bisa terapi,” gumam Rena sambil tersenyum. “Suaranya mirip nyamuk. Melengking dan menyebalkan. Makanya mau tak mau Kakak terpaksa menurut saja,” kekeh Bara yang kini sedang menaik-turunkan pergelangan tangan kanannya. “Kalau enggak kayak gitu aku yakin Kakak pasti sembuhnya lama. Entar kalau kita nikah mana bisa gendong aku untuk photo shoot,” kata Rena sambil menahan tawanya. “Bisa. Harus bisa dong,” kata Bara dengan penuh keyakinan tingkat tinggi. “Dalam waktu dua bulan ke depan kamu akan lihat Kakak bisa kembali seperti dulu
Istri Tora yang merasa tersinggung itu hendak maju untuk menyerang Sandra, akan tetapi langkahnya terhenti ketika mengingat pengalaman pahit kehilangan bayinya beberapa bulan yang lalu.“Lebih baik Kakak fokus pada kehamilan saja. Sudah mau jadi ibu tetapi kelakuannya sama sekali tak berubah,” ketus Sandra yang segera menghilang dari pandangan Tita. Napasnya masih memburu hingga kembali menghampiri Jason yang masih tetap dalam posisi semula. Bahkan saking kesalnya dia merebut gelas pria itu dan menenggak isinya hingga tak bersisa.“Kenapa?” tanya sandra begitu melihat tatapan sinis Jason.“Kau mengambil gelasku,” cibir sang pria.Sandra langsung mengerjap cepat. Lantas memandang gelas kaca miliknya yang masih bersisi setengah. Jelas dia merasa malu bukan main. “Maaf. Aku akan gantikan gelasmu yang lain.”“Tak usah,” ketus Jason segera. Tak pelak dia menatap Sandra yang tampak seperti kehabisan tenaga. “Kau habis cakar-cakaran?” tanyanya kemudian. Sa
Rena segera menoleh ketika mendengar suara ketukan dari arah luar. Lantas dia pun mengangguk seolah memberikan kode pada tim penatas rias yang baru saja memperindah penampilannya.“Kau cantik,” gumam Jason sambil tersenyum. “Papi pasti senang kalau dia berada di sini sekarang.”“Ya. Mungkin saja dia akan menghentikan acara ini. Apalagi kalau Papi tahu akan menikah dengan anak musuh bebuyutannya.”Ucapan barusan membuat Jason terkekeh. “Kau memang sok tahu. Papi mana begitu. Dia akan melakukan apa saja untuk membuatmu bahagia. Bahkan ketika tahu bahwa kau pacaran dengan Bara waktu itu.”Alis Rena langsung naik sebelah. Merasa heran dengan penuturan Jason beberapa detik yang lalu. Lantas Abang angkatnya tersebut menarik kursi agar bisa berbicara lebih lama lagi. Tak pelak
“Jangan membantah. Atau aku culik kamu sekarang,” gumam Bara dengan sorotan mata tajamnya. “Siapkan dirimu, Sayang. Lusa acara tunangan kita akan digelar di hotel Erlangga jam 7 malam.” Setelahnya pria itu mengecup singkat pipi Rena lalu bergerak ke luar dari mobil. Memanggil sopir Rena sebelum akhirnya melambaikan tangan sambil mengerdipkan mata. Baru saja menghempaskan diri atas ranjang, gadis itu kembali dikejutkan dengan panggilan video dari sang kekasih. Senyumnya mengembang sempurna usai membersihkan diri pulang dari acara tadi.[“Hai, Cantik. Sedang apa?”] Rena tak menjawab. Hanya menunjukkan deretan gigi putihnya yang bersih dan rapi.[“Kamu cosplay jadi iklan pasta gigi ya?”]
Acara utama syukuran tujuh bulanan untuk kehamilan Fina sudah berakhir. Para tamu dipersilakan berbaur dan mencicipi hidangan yang telah tersedia.“Selamat ya, Fin. Semoga kamu sehat sampai lahiran nanti,” gumam Rena sambil mengelus lembut perut buncit sahabat karibnya itu. Ada perasaan gembira bercampur iri yang sedang dipendamnya sendiri. Sedangkan Fina yang paham betul bagaimana perubahan raut wajah sendu tersebut segera menggenggam tangannya.“Anak aku akan jadi anak kamu juga. Dia akan manggil kamu Mama juga, Ren. Ini hanya perkara mengandung dan melahirkan. Kamu juga akan dianggap sebagai ibunya,” ucap Fina dengan air mata yang sudah menggenang. Keduanya saling berpelukan erat. Tak ada yang berbicara hingga suami Fina menghampiri mereka.“Cemburu nih aku sama kalian. Udah kayak Kakak Adik aja.”Buru-buru Fina menyeka air matanya, lalu menyikut pelan lengan sang suami. “Anak kita bakalan punya dua Mama. Iya ‘kan, Mas?”Suami Fina yang tahu bagaimana kondis
CUP! Bukannya menjawab pertanyaan Rena, Bara malah mendaratkan kecupannya di bibir ranum mantan cantiknya itu. Jelas membuat sang empu terkejut bukan main.“Kau!!”CUP! CUP!! Sontak kedua manik mata kecokelatan milik gadis cantiknya sukses membelalak dengan sempurna. Bibirnya menganga hendak mengucapkan sesuatu, namun sayangnya lidah pun mendadak kelu.“Aku tak sabar menghabiskan sisa hidup denganmu. Makanya ayo cepat-cepat menikah,” gumam Bara kemudian. Sang gadis berubah manyun sambil mengubah posisi duduknya menjadi lurus ke depan. Tak lagi saling berhadapan dengan sang mantan yang akhir-akhir ini selalu bisa membuat jantungnya berdebar tidak karuan. Sementara Nyonya Adhisty yang hendak memanggil Putrinya turut menghentikan langkah di ambang pintu. Sadar bahwa keduanya sedang terlibat percakapan serius, dia pun kembali mengurungkan niat tadi. Bara mendekat, mengikis jarak di antara mereka. Tak lagi pedulikan bagian klaviku