Keesokan harinya.
Khania mengerjapkan matanya dan tersenyum saat melihat Efgan yang kini tengah menatapnya sambil tersenyum cerah."Pagi sayang!" sapa Efgan sambil mencium kening istrinya."Pagi juga, Mas!" balas Khania sambil menenggelamkan wajahnya ke bawah bantal karena ia merasakan malu bila ditatap intens begitu oleh sang suami."Kenapa?" tanya Efgan dengan kening mengkerut saat melihat Khania yang malah menenggelamkan wajahnya ke dalam bantal."Malu!" ucapnya dibalik bantal.Efgan tersenyum lalu membawa wajah Khania agar menghadap dan menatapnya."Kenapa malu, hmm?""Aku masih muka bantal gini Mas! Pasti aku jelek karena belek!" jawab Khania sambil menundukan kepalanya. Ia tak berani menatap Efgan yang sepertinya sudah mandi, karena ia mencium aroma wangi di tubuh sang suami. Berbeda dengan dirinya yang masih bau jigong.Efgan terkekeh lalu mengecup kedua mata Khania dengan lembut."Kata siapa kamu jelek? Kamu cantik gini kok dibilangEfgan menghentikan langkahnya kala ia mendengar jawaban Khania. Ia menolehkan kepalanya ke belakang dan mengorek-ngorek kupingnya, karena ia takut salah mendengar."Kamu barusan bilang apa?" tanya Efgan memastikan jika tadi ia tak salah mendengar."I love you too!" sahut Khania lagi sambil tersenyum lebar.Efgan langsung membalikan badannya dan berlari ke arah sang istri, ia lalu memeluk Khania. Ia senang bukan main. Ternyata ia tak salah mendengar."I love you so much, sayang!" ucapnya sambil mencium seluruh wajah Khania."Mas! Udah ih! Mau sampai kapan kamu seperti ini? Ini itu udah siang lho!" ucap Khania memperingati Efgan."Gak apa-apa! Orang Mas bosnya. Jadi bebas mau berangkat kerja jam berapa juga!" jawab Efgan masih dengan memeluk Khania. "Mas! Kalau kamu gak berangkat sekarang! Kita gak jadi makan malam di luar!" ancam Khania pada suaminya.Efgan dengan enggan melepaskan pelukannya, lalu menatap Khania dengan intens. "Baiklah! Aku
Efgan terus menggerutu karena kedatangan seorang klien yang tiba-tiba ingin membuat kesepakatan dengannya. Dan itu membuatnya terlambat untuk makan malam bersama sang istri. Begitu juga dengan Glen yang telat menjemput Khania. Jika saja ia tak membutuhkan klien ini. Sudah pasti ia akan meninggalkan orang itu! Namun ia sadar, jika ia harus profesional dan tak boleh mencampuradukan urusan pribadi dan pekerjaan.Tiba di restoran ia tersenyum saat melihat Khania yang tengah duduk di meja yang sudah ia pesan. Ia bergegas menghampiri istrinya."Sayang, maaf ya aku telat! Tadi ada klien yang tiba-tiba datang pas aku mau pulang! Jadinya aku telat!" ucapnya saat tiba di hadapan Khania lalu ia mencium pumcak kepala istrinya.Khania tak menjawab. Ia hanya diam memandang Efgan dengan sorot mata yang sedih."Kamu kenapa sayang?!" tanya Efgan yang heran melihat Khania hanya diam saja. Khania menggelengkan kepalanya."Kamu marah? Maaf, aku gak tau kalau bakalan ada klien!" ucapnya dengan penuh sesal
Khania pergi dari hadapan Efgan dan menyeret dua koper di tangannya."Sayang ... sayang, kamu mau kemana? Kenapa kamu bawa koper?" tanya Efgan dengan panik. Ia tak bisa membiarkan Khania pergi dari sisinya.Khania tak menjawab dan terus menyeret koper itu keluar.Efgan menahan tangan Khania dan memeluknya dari belakang. Ia benar-benar tak akan membiarkan Khania pergi dari hidupnya. Apalagi sekarang ada anak di antara mereka."Sayang! Aku mohon kamu jangan pergi, aku minta maaf. Benar-benar minta maaf! Kamu boleh hukum aku, kamu mau apa? Mau siksa aku? Kamu mau pukul aku sampai babak belur? Atau kalau kamu mau, kamu sekarang ambil pisau lalu tusuk aku. Aku rela mati asal kamu mau memaafkanku! Lebih baik aku mati daripada harus kehilangan kamu dan anak kita! Bunuh saja aku, Khania! Bunuh aku!" ucap Efgan sambil membawa tangan Khania dan memukul-mukulkan tangan Khania pada wajahnya. Ia menangis saat membayangkan hidupnya tanpa Khania. Ini yang ia takutkan selama ini. Da
Tiga hari kemudian."Efgan! Kamu sarapan dulu! Dari kemarin kamu makan cuma sedikit. Kalau kamu sakit bagaimana?" seru nenek saat melihat Efgan yang akan pergi keluar.Efgan menghentikan langkahnya dan menoleh ke arah nenek."Nanti aja Nek, aku makannya di kantor!" sahutnya sambil melangkahkan kembali kakinya.Nenek hanya menatap sedih pada cucunya itu. Semenjak Khania pergi dari rumah ini. Efgan selalu menyibukan dirinya dengan pekerjaan. Nenek tau hati cucunya itu pasti sedang terluka. Namun cucunya itu tak ingin menunjukannya pada siapapun termasuk padanya.Efgan tiba di kantor. Ia berjalan dengan wajah dingin dan garangnya, ia berubah kembali seperti semula saat ia belum mengenal Khania. "Sstt, itu si Pak Bos kenapa? mukanya nyeremin, jadi merinding disko," tanya Arya pada Glen, saat Glen sudah duduk di mejanya.Glen tak menjawab ia hanya mengedikkan bahunya. Ia tak mungkin membicarakan permasalahan rumah tangga bosnya pada orang lain. Cukup ia saj
Efgan terkejut saat ia melihat orang yang tak asing lagi baginya. Ia lalu dengan cepat berjalan menghampiri Khania yang kini tengah berdiri menatapnya."Sayang kenapa ada Pak Dani di sini?" tanya Efgan dengan wajah yang panik.Khania tak menjawab. Ia lalu menyuruh Pak Dani untuk masuk ke dalam rumah. Efgan celingukan ke kanan dan ke kiri. Ia seperti sedang mencari sesuatu.Khania yang melihat Efgan celingukan kayak orang yang tengah mengintai situasi sebelum mencuri pun mendekati suaminya dan bertanya."Kamu ngapain Mas celingukan kayak gitu? Cari apaan?" tanya Khania yang heran melihat kelakuan suaminya itu."Cari si Udin! Perasaan tadi dia ada di sini. Sekarang dia ke mana? Apa jangan-jangan dia ada di dalam ya? Kamu umpetin dia di dalam?" sahut Efgan sambil pergi nyelonong begitu saja masuk ke dalam rumah.Khania mengerutkan keningnya. Ia tak paham dengan apa yang suaminya itu katakan. "Udin? Siapa Udin? Perasaan aku gak kenal sama yang namanya Udin!"
Hari demi hari berlalu dan tak terasa sudah satu bulan lebih Khania dan Efgan hidup terpisah. Usaha yang nenek lalukan selama ini selalu gagal dan menemui jalan buntu. Tekad Khania yang bulat untuk bercerai dengan Efgan dan Efgan yang seakan sudah tak peduli dengan Khania membuat nenek semakin sulit menyatukan mereka berdua. Seakan ada jarak yang memisahkan mereka. "Nenek nyerah! Nenek gak sanggup lagi untuk menyatukan mereka. Mereka sama-sama egois!" keluh nenek pada Monic.Monic tak menjawab dan hanya menatap nenek dengan pandangan yang entah apa artinya. Sedetik kemudian ia tersenyum ke arah nenek."Kamu ngapain senyam senyum gitu?" Tangan nenek terangkat dan memegang kening Monic, "Kamu sehat, Kan?" "Ih Nenek! Aku masih waras Nek!" ucap Monic sambil menurunkan tangan nenek yang ada di keningnya."Terus kenapa kamu senyam senyum gak jelas kayak tadi?" tanya nenek terheran."Aku punya ide bagus Nek buat menyatukan mereka berdua!" ucap Monic sambil menaikan sebelah alisnya dan terse
Khania yang sudah selesai dengan pemeriksaannya keluar dengan wajah yang berseri-seri karena dalam hitungan hari anaknya akan lahir ke dunia ini. Senyuman Khania luntur kala ia mengingat jika Efgan kini tak ada di sampingnya. Tak ada sosok suami yang akan menjaganya dan menemaninya untuk bersalin. "Aku kangen kamu Mas!" ucap Khania sambil memandang ponselnya yang menampilkan foto sang suami. "Udah selesai pemeriksaannya? Apa kata dokter?" Khania terperanjat saat mendengar suara dari arah sampingnya. Ia lalu menoleh dan tersenyum paksa pada orang yang sudah mengantarnya hari ini."Udah Mas! Tadi kata dokter bayinya baik-baik aja," jawab Khania."Bagus lah kalau baik-baik saja. Kamu juga harus jaga kesehatan, jangan banyak pikiran. Kasihan anak kamu nanti akan ikut merasakan apa yang ibunya rasakan," ucap Rizal memberi nasihat pada Khania. Ia lalu mambawa tangan Khania untuk pergi dari sana.Khania hanya diam saja tak menepis ataupun menolak genggaman tangan Rizal.Sampai di depan mob
Khania terkejut saat melihat apa yang sedang suaminya lakukan di depannya itu. Dengan langkah yang cepat ia mendekati Efgan."Mas," teriak Khania dengan lantang.Efgan menghentikan gerakan tangannya dan menoleh ke arah Khania. "Sayang!" ucapnya dengan napas yang memburu. "Apa-apaan kamu ini Mas?" ucap Khania dengan murka sambil berjalan menghampiri Efgan. "Sayang dengerin penjelasanku dulu, orang in—" "Stop! Aku gak butuh penjelasan kamu. Lebih baik sekarang kamu pergi dari sini, Mas!" usir Khania pada Efgan.Efgan yang tak terima mencoba menjelaskan. "Tapi sayang! Dia it—" "Pergi! Aku bilang pergi ya pergi," teriak Khania dengan wajah murkanya.Efgan yang tak ingin menambah kemarahan Khania padanya memutuskan untuk pergi dari sana. Dengan langkah gontai dan hati yang kesal, ia pergi meninggalkan restoran itu."Kamu gak apa-apa Mas?" tanya Khania pada Rizal yang kini sudah berdiri. Ia meringis saat melihat wajah Rizal yang babak belur."Aku gak apa-apa!" jawab Rizal dengan ekspre