Khania terkejut saat melihat apa yang sedang suaminya lakukan di depannya itu. Dengan langkah yang cepat ia mendekati Efgan."Mas," teriak Khania dengan lantang.Efgan menghentikan gerakan tangannya dan menoleh ke arah Khania. "Sayang!" ucapnya dengan napas yang memburu. "Apa-apaan kamu ini Mas?" ucap Khania dengan murka sambil berjalan menghampiri Efgan. "Sayang dengerin penjelasanku dulu, orang in—" "Stop! Aku gak butuh penjelasan kamu. Lebih baik sekarang kamu pergi dari sini, Mas!" usir Khania pada Efgan.Efgan yang tak terima mencoba menjelaskan. "Tapi sayang! Dia it—" "Pergi! Aku bilang pergi ya pergi," teriak Khania dengan wajah murkanya.Efgan yang tak ingin menambah kemarahan Khania padanya memutuskan untuk pergi dari sana. Dengan langkah gontai dan hati yang kesal, ia pergi meninggalkan restoran itu."Kamu gak apa-apa Mas?" tanya Khania pada Rizal yang kini sudah berdiri. Ia meringis saat melihat wajah Rizal yang babak belur."Aku gak apa-apa!" jawab Rizal dengan ekspre
"Sayang! Khania tunggu!" Efgan keluar dari mobilnya dan mennyusul Khania. Ia tak ingin ancaman Khania yang selama ini ia takutkan terjadi."Sayang! Aku mohon tarik kembali kata-katamu itu. Beri aku satu kesempatan lagi! Aku janji tak akan pernah membohongimu lagi," pinta Efgan."Cukup Mas! Tidak ada kesempatan kedua untuk hubungan kita," ucap Khania final."Apa karena sekarang kamu sudah ada Rizal? Apa semudah itu kamu berpaling, Khania?" tuduh Efgan.Khania menatap Efgan dengan sorot mata tak percaya. Ia tidak percaya suaminya ini tega menuduh dirinya."Terserah apa katamu Mas! Yang jelas aku tak akan kembali lagi padamu!" Khania pergi berlalu meninggalkan Efgan dengan hati yang tak karuan. Di satu sisi. Ia sangat ingin kembali pada pelukan hangat suaminya itu. Tapi, di sisi lain. Ada yang berbisik jika ia tak boleh bahagia bersama pembunuh Albi.Efgan menatap sendu punggung Khania. "Maafkan aku Mas!" ucap Khania dengan lirih. Ia lalu masuk ke dalam mobil Rizal."Udah selesai urusann
"Kamu jangan bercanda Mas!" ucap Khania dengan raut wajah yang takut. Ia tidak menyangka jika Rizal akan berubah seperti ini. Karena yang ia tau, Rizal itu orangnya lembut dan ramah."Aku tidak sedang bercanda Khania. Aku benar-benar mencintai kamu! Dari dulu, sebelum kamu mengenal Albi!" ucap Rizal dengan lirih sambil menundukan kepalanya.Khania mengerutkan keningnya, ia tak paham dengan apa yang diucapkan Rizal. Dulu? Sebelum ia mengenal Albi? Perasaan Khania itu mengenal Rizal saat ia sudah berpcaran dengan Albi. Ia tak habis pikir bagaimana bisa Rizal mencintainya sebelum ia mengenal Albi."Maksud kamu apa Mas? Bukannya kita kenal saat aku sudah pacaran sama mas Albi?!" tanya Khania yang tidak bisa memendam rasa penasarnya."Aku mencintai kamu jauh sebelum kamu mengenal Albi Khania! Apa kamu ingat Khania. Kamu pernah menolong pria berseragam SMA yang berlumuran darah dan kamu membawa pria itu ke rumah sakit! Kamu ingat?" tanya Rizal.Khania nampak berpikir. Ia mengingat-ingat ke
Keesokan harinya.Glen heran melihat Efgan yang masih santai masuk kantor. Ia yang tak bisa menahan rasa penasarannya memilih untuk bertanya saat mereka sudah tiba di ruangan Efgan."Pak Bos. Kok masuk kantor, bukannya cari bu bos?" pertanyaan itu pun lolos dari bibir Glen. Efgan bergeming dan terus berjalan ke arah meja kerjanya. Ia kemudian duduk dan mengambil berkas yang ada di meja tanpa memedulikan Glen yang masih menatapnya kebingungan."Pak Bos!" seru Glen lagi.Efgan yang tengah fokus membaca laporan pun mendongak dan menatap Glen. "Kenapa pertanyaan saya gak dijawab Pak Bos?" Glen bertanya kembali pada bosnya itu."Pertanyaan yang mana?" Efgan mengangkat sebelah alisnya. "Kenapa Pak Bos masuk kantor?" "Lha! Ini kantorku, kenapa aku gak boleh masuk kantor? Kamu itu ngaco! Sebagai atasan ya aku harus ke kantor lah buat bekerja. Gak mungkin aku ongkang ongkang kaki di rumah!" jawab Efgan sambil menggelengkan kepalanya."Bukan itu Pak Bos! Maksud saya itu. Kenapa Pak Bos gak c
Krek!!Tanpa sengaja Khania menginjang ranting pohon yang ada di dekatnya saat ia akan keluar dari gerbang.Spontan Rizal yang tengah berbicara serius dengan seseorang pun menoleh dan alangkah terkejutnya ia saat melihat Khania yang kini berlari keluar dari gerbang."Khania!" teriak Rizal sambil pergi menyusul Khania yang sudah berlari ke arah jalan.Khania yang mendengar teriakan Rizal dengan sekuat tenaga mengencangkan larinya. Ia tak berpikir akan kondisinya yang tengah hamil besar. Karena yang ada dalam pikirannya kini hanya ingin membebaskan diri dari Rizal. "Khania tunggu!" Rizal terus berteriak sambil mengejar Khania.Khania tak mengindahkan teriakan Rizal dan terus berlari ke arah jalan raya. Berharap ada kendaraan yang lewat. Namun sayang tak ada satupun kendaraan yang melewati tempat itu.Sampai akhirnya Khania pun berhasil ditanggap oleh Rizal.Rizal mencengkram erat tangan Khania dan membawa Khania kembali ke rumahnya."Lepas!" teriak Khania. Ia terus memberontak dan berus
"Rumah sakit? Rumah sakit mana Pak Kalau boleh tau?" tanya Efgan dengan wajah yang panik bercampur khawatir. Ternayata benar firasatnya tak salah. Istri dan anaknya kini sedang tak baik-baik saja.Bapak itu tak menjawab dan hanya menatap Efgan dengan wajah yang keheranan. "Pak, rumah sakit mana?" tanya Efgan yang sudah tak sabar."Maaf Pak sebelumnya. Kenapa bapak ingin tau di mana rumah sakit tempat istri bos saya di rawat?" Bapak itu bukannya segera menjawab pertanyaan Efgan. Ia malah balik bertanya."Karena kemungkinan besar! Wanita yang sedang Bapak bicarakan itu istri saya. Khania," balas Efgan dengan raut wajah hang sedih."Ih, si Bapak ngomongnya ngaco! Masa ostrinya pak Rizal punya dua suami. Gak mungkin lah pak." Bapak itu terkekeh mendengar penuturan Efgan."Sebentar." Efgan merogoh sakunya dan mengeluarkan ponsel. Ia dengan cepat mencari foto sang istri dan menunjukannya pada bapak tadi, "ini foto istri saya! Apa wanita ini, yang Bapak maksud?"
Rizal terkejut dengan apa yang dilakukan Khania. Dengan cepat ia menepikan lagi mobilnya dan mengunci puntu mobilnya secara otomatis. Ia dengan cepat membawa sapu tangan yang sudah ia siapkan di dalam laci dashboard untuk berjaga-jaga. Ia pun membekap Khania dengan sapu tangan yang sudah ia kasih obat bius."Maafkan aku Khania. Bukan maksudku untuk menyakitimu. Aku hanya ingin kamu diam dan ikut bersamaku." Rizal kembali mengemudikan mobilnya. Sekilas ia menoleh ke belakang."Tak akan ku biarkan kau menemui lelaki brengsek itu. Beruntungnya kau tadi meminta pulang. Jadi dia gak bisa menemukanmu," sambungnya sambil tersenyum menyeringai.Ia melajukan mobilnya ke arah yang berbeda dari sebelumnya. Ia tak akan membawa Khania ke rumah yang tadi. Karena sudah pasti Efgan tau lokasi rumah itu. Namun, yang menjadi pertanyaanya. Darimana Efgan tau lokasinya. Ia pun menatap Khania sekilas."Gak ... gak mungkin! Ini pasti hanya kebetulan saja," gumam Rizal sambil mengeleng-gelengkan kepalanya. T
Khania mengerjapkan matanya. Samar-samar ia melihat suaminya kini ada di hadapannya. Ia lalu mengucek matanya untuk memastikan jika penglihatannya tidak salah dan ia tidak sedang berhalusinasi. Ia tersenyum kala masih melihat sosok suaminya yang kini tengah berdiri di depan mobil. Namun senyuman Khania luntur saat ia melihat Rizal yang tengah menodongkan pistol ke arah Efgan.Khania bergegas keluar dari dalam mobil dan berniat ingin menghampiri Efgan. Akan tetapi langkahnya terhenti kala ia mendengar ucapan Rizal yang membuat ia syok dan terkejut."Heh! Ternyata tak perlu repot-repot untuk bunuh lo. Karena lo sendiri yang udah mengantarkan nyawa lo sendiri ke sini. Syukur lah. Jadi gue gak perlu capek-capek bikin skenario pembunuhan seperti dulu saat gue bunuh si Albi," ucap Rizal yang membuat Khania terkejut bukan main.Khania menutup mulutnya dan membelalakan matanya. Ia sungguh tak percaya jika kematian suaminya dulu itu adalah ulah jahat dari Rizal. Sepupu dari Albi sendiri. Mata K