Khania pergi dari hadapan Efgan dan menyeret dua koper di tangannya."Sayang ... sayang, kamu mau kemana? Kenapa kamu bawa koper?" tanya Efgan dengan panik. Ia tak bisa membiarkan Khania pergi dari sisinya.Khania tak menjawab dan terus menyeret koper itu keluar.Efgan menahan tangan Khania dan memeluknya dari belakang. Ia benar-benar tak akan membiarkan Khania pergi dari hidupnya. Apalagi sekarang ada anak di antara mereka."Sayang! Aku mohon kamu jangan pergi, aku minta maaf. Benar-benar minta maaf! Kamu boleh hukum aku, kamu mau apa? Mau siksa aku? Kamu mau pukul aku sampai babak belur? Atau kalau kamu mau, kamu sekarang ambil pisau lalu tusuk aku. Aku rela mati asal kamu mau memaafkanku! Lebih baik aku mati daripada harus kehilangan kamu dan anak kita! Bunuh saja aku, Khania! Bunuh aku!" ucap Efgan sambil membawa tangan Khania dan memukul-mukulkan tangan Khania pada wajahnya. Ia menangis saat membayangkan hidupnya tanpa Khania. Ini yang ia takutkan selama ini. Da
Tiga hari kemudian."Efgan! Kamu sarapan dulu! Dari kemarin kamu makan cuma sedikit. Kalau kamu sakit bagaimana?" seru nenek saat melihat Efgan yang akan pergi keluar.Efgan menghentikan langkahnya dan menoleh ke arah nenek."Nanti aja Nek, aku makannya di kantor!" sahutnya sambil melangkahkan kembali kakinya.Nenek hanya menatap sedih pada cucunya itu. Semenjak Khania pergi dari rumah ini. Efgan selalu menyibukan dirinya dengan pekerjaan. Nenek tau hati cucunya itu pasti sedang terluka. Namun cucunya itu tak ingin menunjukannya pada siapapun termasuk padanya.Efgan tiba di kantor. Ia berjalan dengan wajah dingin dan garangnya, ia berubah kembali seperti semula saat ia belum mengenal Khania. "Sstt, itu si Pak Bos kenapa? mukanya nyeremin, jadi merinding disko," tanya Arya pada Glen, saat Glen sudah duduk di mejanya.Glen tak menjawab ia hanya mengedikkan bahunya. Ia tak mungkin membicarakan permasalahan rumah tangga bosnya pada orang lain. Cukup ia saj
Efgan terkejut saat ia melihat orang yang tak asing lagi baginya. Ia lalu dengan cepat berjalan menghampiri Khania yang kini tengah berdiri menatapnya."Sayang kenapa ada Pak Dani di sini?" tanya Efgan dengan wajah yang panik.Khania tak menjawab. Ia lalu menyuruh Pak Dani untuk masuk ke dalam rumah. Efgan celingukan ke kanan dan ke kiri. Ia seperti sedang mencari sesuatu.Khania yang melihat Efgan celingukan kayak orang yang tengah mengintai situasi sebelum mencuri pun mendekati suaminya dan bertanya."Kamu ngapain Mas celingukan kayak gitu? Cari apaan?" tanya Khania yang heran melihat kelakuan suaminya itu."Cari si Udin! Perasaan tadi dia ada di sini. Sekarang dia ke mana? Apa jangan-jangan dia ada di dalam ya? Kamu umpetin dia di dalam?" sahut Efgan sambil pergi nyelonong begitu saja masuk ke dalam rumah.Khania mengerutkan keningnya. Ia tak paham dengan apa yang suaminya itu katakan. "Udin? Siapa Udin? Perasaan aku gak kenal sama yang namanya Udin!"
Hari demi hari berlalu dan tak terasa sudah satu bulan lebih Khania dan Efgan hidup terpisah. Usaha yang nenek lalukan selama ini selalu gagal dan menemui jalan buntu. Tekad Khania yang bulat untuk bercerai dengan Efgan dan Efgan yang seakan sudah tak peduli dengan Khania membuat nenek semakin sulit menyatukan mereka berdua. Seakan ada jarak yang memisahkan mereka. "Nenek nyerah! Nenek gak sanggup lagi untuk menyatukan mereka. Mereka sama-sama egois!" keluh nenek pada Monic.Monic tak menjawab dan hanya menatap nenek dengan pandangan yang entah apa artinya. Sedetik kemudian ia tersenyum ke arah nenek."Kamu ngapain senyam senyum gitu?" Tangan nenek terangkat dan memegang kening Monic, "Kamu sehat, Kan?" "Ih Nenek! Aku masih waras Nek!" ucap Monic sambil menurunkan tangan nenek yang ada di keningnya."Terus kenapa kamu senyam senyum gak jelas kayak tadi?" tanya nenek terheran."Aku punya ide bagus Nek buat menyatukan mereka berdua!" ucap Monic sambil menaikan sebelah alisnya dan terse
Khania yang sudah selesai dengan pemeriksaannya keluar dengan wajah yang berseri-seri karena dalam hitungan hari anaknya akan lahir ke dunia ini. Senyuman Khania luntur kala ia mengingat jika Efgan kini tak ada di sampingnya. Tak ada sosok suami yang akan menjaganya dan menemaninya untuk bersalin. "Aku kangen kamu Mas!" ucap Khania sambil memandang ponselnya yang menampilkan foto sang suami. "Udah selesai pemeriksaannya? Apa kata dokter?" Khania terperanjat saat mendengar suara dari arah sampingnya. Ia lalu menoleh dan tersenyum paksa pada orang yang sudah mengantarnya hari ini."Udah Mas! Tadi kata dokter bayinya baik-baik aja," jawab Khania."Bagus lah kalau baik-baik saja. Kamu juga harus jaga kesehatan, jangan banyak pikiran. Kasihan anak kamu nanti akan ikut merasakan apa yang ibunya rasakan," ucap Rizal memberi nasihat pada Khania. Ia lalu mambawa tangan Khania untuk pergi dari sana.Khania hanya diam saja tak menepis ataupun menolak genggaman tangan Rizal.Sampai di depan mob
Khania terkejut saat melihat apa yang sedang suaminya lakukan di depannya itu. Dengan langkah yang cepat ia mendekati Efgan."Mas," teriak Khania dengan lantang.Efgan menghentikan gerakan tangannya dan menoleh ke arah Khania. "Sayang!" ucapnya dengan napas yang memburu. "Apa-apaan kamu ini Mas?" ucap Khania dengan murka sambil berjalan menghampiri Efgan. "Sayang dengerin penjelasanku dulu, orang in—" "Stop! Aku gak butuh penjelasan kamu. Lebih baik sekarang kamu pergi dari sini, Mas!" usir Khania pada Efgan.Efgan yang tak terima mencoba menjelaskan. "Tapi sayang! Dia it—" "Pergi! Aku bilang pergi ya pergi," teriak Khania dengan wajah murkanya.Efgan yang tak ingin menambah kemarahan Khania padanya memutuskan untuk pergi dari sana. Dengan langkah gontai dan hati yang kesal, ia pergi meninggalkan restoran itu."Kamu gak apa-apa Mas?" tanya Khania pada Rizal yang kini sudah berdiri. Ia meringis saat melihat wajah Rizal yang babak belur."Aku gak apa-apa!" jawab Rizal dengan ekspre
"Sayang! Khania tunggu!" Efgan keluar dari mobilnya dan mennyusul Khania. Ia tak ingin ancaman Khania yang selama ini ia takutkan terjadi."Sayang! Aku mohon tarik kembali kata-katamu itu. Beri aku satu kesempatan lagi! Aku janji tak akan pernah membohongimu lagi," pinta Efgan."Cukup Mas! Tidak ada kesempatan kedua untuk hubungan kita," ucap Khania final."Apa karena sekarang kamu sudah ada Rizal? Apa semudah itu kamu berpaling, Khania?" tuduh Efgan.Khania menatap Efgan dengan sorot mata tak percaya. Ia tidak percaya suaminya ini tega menuduh dirinya."Terserah apa katamu Mas! Yang jelas aku tak akan kembali lagi padamu!" Khania pergi berlalu meninggalkan Efgan dengan hati yang tak karuan. Di satu sisi. Ia sangat ingin kembali pada pelukan hangat suaminya itu. Tapi, di sisi lain. Ada yang berbisik jika ia tak boleh bahagia bersama pembunuh Albi.Efgan menatap sendu punggung Khania. "Maafkan aku Mas!" ucap Khania dengan lirih. Ia lalu masuk ke dalam mobil Rizal."Udah selesai urusann
"Kamu jangan bercanda Mas!" ucap Khania dengan raut wajah yang takut. Ia tidak menyangka jika Rizal akan berubah seperti ini. Karena yang ia tau, Rizal itu orangnya lembut dan ramah."Aku tidak sedang bercanda Khania. Aku benar-benar mencintai kamu! Dari dulu, sebelum kamu mengenal Albi!" ucap Rizal dengan lirih sambil menundukan kepalanya.Khania mengerutkan keningnya, ia tak paham dengan apa yang diucapkan Rizal. Dulu? Sebelum ia mengenal Albi? Perasaan Khania itu mengenal Rizal saat ia sudah berpcaran dengan Albi. Ia tak habis pikir bagaimana bisa Rizal mencintainya sebelum ia mengenal Albi."Maksud kamu apa Mas? Bukannya kita kenal saat aku sudah pacaran sama mas Albi?!" tanya Khania yang tidak bisa memendam rasa penasarnya."Aku mencintai kamu jauh sebelum kamu mengenal Albi Khania! Apa kamu ingat Khania. Kamu pernah menolong pria berseragam SMA yang berlumuran darah dan kamu membawa pria itu ke rumah sakit! Kamu ingat?" tanya Rizal.Khania nampak berpikir. Ia mengingat-ingat ke