"Sa-sayang." Efgan mendekati ranjang dengan langkah perlahan. Ia tidak percaya dengan apa yang sekarang ia lihat. "Anda keluarga pasien?!" tanya suster kepada Efgan.Efgan tidak berbicara dan hanya menaggukan kepalanya. Sungguh, ia sekarang tidak bisa berkata apa-apa."Tolong untuk segera diurus admintrasinya, sebelum pemulangan jenazah, ya, Pak," ucap suster itu yang sontak membuat Efgan diam mematung."I-istri saya gak mungkin meninggal sus. Ini semua pasti bohong, tadi kata asisten saya, istri saya baik-baik saja! Kenapa sekarang dia bisa jadi seperti ini?!" Efgan memeluk jenazah yang terbaring di atas ranjang itu."Istri? Ini, istri Bapak?" tanya suster itu dengan wajah terkejutnya."Iya sus, dia istri saya." Efgan masih memeluk erat jenazah itu."Bener, ini istri Bapak?" tanya suster itu memastikan.Efgan hanya menganggukan kepalanya sambil menangis meraung."Ssstt! Pak Bos, ngapain di sana?" tanya Glen dari balik gorden rumah sakit.Efgan menoleh ke arah Glen. "Kamu yang ngapai
Efgan mengerutkan dahinya. "Kamu nanya sama siapa, sayang?!" "Anda!" jawab Khania.Efgan semakin dalam mengerutkan dahinya ia tidak mengerti kenapa Khania menanyakan siapa pada dirinya."Aku, suami kamu! Masa kamu lupa?!" Efgan nampak berpikir beberapa saat. "Perasaan yang cedera itu kaki dan tangan kamu, bukan kepala! Kenapa bisa kamu jadi amnesia?!" "Hahaha! Bisa pake logika juga ternyata!" celetuk Khania sambil tertawa dengan renyah."Maksudnya?!" "Aku kira, kamu bakalan kayak tadi, nangis bombai, sampai meraung-raung," ejek Khania.Efgan mendelikan matanya. Ia kira Khania beneran amnesia. Nyatanya cuma mau ngeledek Efgan."Puas ketawanya?! Aku tadi beneran sedih, tau! Aku kira yang meninggal itu beneran kamu! Kamu malah ngetawain!" rajuk Efgan sambil memasang wajah cemberut."Utu ... utu ... utu, suami tampanku ini merajuk, ya!" goda Khania.Efgan semakin memajukan bibirnya ke depan. Ia merasa bahagia sebenarnya bisa berinteraksi seperti ini lagi dengan Khania. ia benar-benar se
Khania membekap mulutnya saat ia melihat Efgan yang kini memeluk wanita yang tiba-tiba datang itu. Ia mengeleng-gelengkan kepalanya. "Mas! Ternyata kamu memang sudah merencanakan semua ini?!" Efgan dan perempuan itu sontak menoleh ke arah Khania dan dapat Khania lihat jika wanita itu tersenyum menyeringai ke arah Khania."Ooh! Jadi ini istri kamu, honey! Apa sih yang kamu lihat dari dia! Masih cantikan aku lah, jauh!" ucapnya yang membuat Khania tidak percaya dengan apa yang ia dengar."Waah! Anda pelakor yang tidak tau diri ya! Hei. Biarpun saya tidak cantik, tapi ... tapi apa ya,"Khania nampak berpikir, apa yang bisa ia banggakan dari dirinya, yang bisa menjadikan ia lebih dari wanita di depannya ini. Setelah Khania berpikir cukup lama. Ia pun menyerah, karena tidak ada yang bisa ia banggakan dari dalam dirinya. Cinta? Ia belum cinta sama Efgan, begitu juga sebaliknya. Harta? Sudah jelas ia kalah. Cantik? Sudah jelas wanita di depannya ini jauh lebih cantik dari dia. Pintar? Sepe
Khania melihat ke arah yang ditunjuk Efgan. Ia tersenyum saat melihat seekor kucing yang manis dipangkuan nenek."Maksudnya, Mas. Sweetie itu kucing?!" tanya Khania.Efgan menganggukan kepalanya."He'em! Dia kucing kesayangan aku, cuma karena aku sibuk, jadi gak bisa ngurus dia, ya udah aku titip sama Monic aja. Biar dia yang urus si sweetie," ujar Efgan dengan tersenyum malu."Kamu gak lagi bo'ongin aku, kan?" Khania tidak bisa percaya begitu saja pada Efgan. Ia masih menyangsikan ucapan Efgan."Kamu gak percaya, sama suami kamu ini?!" "Hemm! Gimana ya! Kita kan, memang belum saling mengenal lebih dalam tentang karakter masing-masing," ucap KhaniaEfgan menatap Khania dengan dalam. Ia kadang berpikir, bagaimana nanti kedepannya saat Khania tau jika Efganlah yang sudah menabrak suaminya dulu! Apakah Khania akan memaafkannya atau malah membencinya. Ada rasa takut dalam diri Efgan. Namun. Ia ingin egois untuk kali ini saja."Baiklah! Kalau kamu tidak percaya. Kamu boleh tanya nenek sam
Dua minggu kemudian.Khania yang kini tengah bersiap-siap pulang, menekukan wajahnya. Ia merasa kesal dengan sang suami, yang kini sedang packing baju. Ia menatap suaminya itu dengan tatapan permusuhan."Kenapa cemberut gitu, hmm! Dari kemarin wajahnya ditekuk mulu!" Efgan menowel hidung Khania.Khania hanya diam dan memalingkan wajahnya saat Efgan tengah mengodanya."Kamu masih mau di rumah sakit? Oke! Kita menginap di sini satu minggu lagi!" ujar Efgan yang sontak membuat Khania menoleh ke arah Efgan."Jangan! Aku pengen pulang! Udah gak betah aku di sini!" sahut Khania dengan cepat."Terus kenapa kamu cemberut begitu?! Aku kira kamu gak mau pulang!" Efgan duduk di samping Khania, lalu ia membawa wajah Khania untuk menghadapnya. "Kenapa? Hmm!""Kamu nyebelin! Ini itu rumah sakit, Mas. Bukan hotel, yang bisa sesuka hati kita menginap di sini! Lagian, aku hanya tinggal pemulihan saja, di rumah juga bisa, gak harus menginap di sini! " oceh Khania panjang lebar.Khania merasa kesal pada
Efgan menatap tajam pada seorang lelaki yang kini sedang berjongkok di depan istrinya itu. Darahnya mendidih saat ia melihat perlakuan manis lelaki itu pada istrinya. Ia kemudian menjauhkan Khania dari orang itu."Anda sedang apa di sini?!" tanya Efgan dengan suara yang dingin dan datar.Pertanyaan Efgan tidak digubris oleh lelaki itu. Lelaki itu hanya diam memandang Khania dengan senyuman penuh arti.Khania menoleh ke arah Efgan yang tengah menahan amarahnya. Ia lalu membawa tangan suaminya itu dan menggenggamnya dengan erat. "Mas, jangan meladeninya! Sudah biarkan saja! Lebih baik kita pulang. Anggap saja ODGJ yang baru lepas RSJ!" Efgan akan mendorong kursi roda Khania. Namun, langkahnya tertahan saat lelaki itu berdiri menghadang jalan mereka."Kamu mau apa lagi, sih? Belum puas kamu menghancurkan kehidupanku dulu? Apa belum cukup? Sekarang kamu mau apa lagi? Mau menghancurkan aku lagi?" seru Khania yang geram melihat lelaki yang sangat ia benci."Enggak Khania, aku hanya ingin me
Tiba di kediaman Efgan segera membawa Khania ke kamar tamu yang ada di bawah."Lho! Mas, kita kok ke kamar ini?!" tanya Khania yang heran saat Efgan membawanya ke kamar tamu."Untuk sementara kamu tidur di sini ya, biar kamu gak harus naik turun tangga. Kaki kamu kan masih belum pulih sepenuhnya," sahit Efgan sambil memindahkan Khania ke atas ranjang."Iya, Mas!" jawab Khania dengan tersenyum manis.Setelah Efgan selesai membaringkan Khania ke atas kasur. Ia langsung keluar dari kamar itu. Khania yang melihat Efgan keluar begitu saja terheran, saat melihat Efgan yang bersikap dingin. Ada apa dengan suaminya itu, pikir Khania.Sampai malam tiba. Efgan belum juga masuk kembali ke kamarnya. Dan Khania mulai resah. "Mas Efgan kemana, ya?!" Khania terus melihat jam di dinding, ia khawatir dengan suaminya itu. Karena tidak biasanya Efgan seperti ini. Lama Khania menunggu Efgan, hingga tengah malam, Efgan tak kunjung kembali. Khania pun memutuskan untuk tidur, karena hari sudah sangat larut
Khania merenungi semua ucapan Efgan. Apa yang salah. Pikirnya, ia ingin menyusul Efgan yang sudah pergi dari meja makan itu, namun urung, saat ia merasakan nyeri di kakinya.Khania memutuskan untuk pergi ke kamarnya saja. Karena tidak ada siapa-siapa di rumah itu. Karena nenek kemarin menginap di rumah Monic. Bi Sumi sedang keluar entah kemana. "Kenapa Mas Efgan bicara gitu ya? Aku salah apa?!" gumamnya saat ia sudah tiba di kamar. Ia lalu membaringkan tubuhnya di atas kasur sambil terus berpikir kesalahan apa yang sudah ia perbuat pada suaminya itu."Apa mungkin karena kemarin kita ketemu sama mas Adhi? Tapi kemarin dia biasa aja! Terus apa dong, ah. Pusiiiing!" Khania beruling-guling di atas kasur. Hingga, beberapa saat kemudian ia terdiam. Saat sesuatu terlintas di kepalanya. "Apa mungkin karena aku gak pernah balas ucapannya yang selalu bilang I love you? Tapi masa sih, dia sampai semarah itu. Kemarin dia biasa aja! Aah, pasti bukan itu," Khania terus bermonolog. Ia terus berpik