Efgan baru tiba di depan rumah. Ia melangkahkan kakinya dengan gontai. Entah bagaimana nasib Khania sekarang. Efgan tidak tau. Ia hanya mampu berdo'a, agar Khania baik-baik saja dan pulang dengan selamat tanpa kekurangan apapun.Nenek menghampiri Efgan saat ia melihat Efgan masuk. "Gimana? Kamu sudah ketemu Khania?!" tanya nenek dengan khawatir.Efgan menggelengkan kepalanya dengan lesu. "Ya Allah! Semoga cucuku baik-baik saja. Semoga tidak terjadi sesuatu yang buruk padanya," Nenek berdo'a sambil menangis. Ia tidak menyangka akan ada kejadian seperti ini. "Maafkan Nenek Efgan, Nenek salah! Andai Nenek tau jika perempuan itu jahat. Nenek tidak akan pernah mengijinkan Khania pergi bersamanya.""Ini semua bukan salah Nenek! Efgan yang tidak bisa melindungi Khania!" Nenek mendekatkan tubuhnya pada cucunya itu. Lalu membawanya ke dalam dekapan. Ia memelih Efgan dan mengusap-usap pelan punggungnya. " Aku harus cari Khania kemana lagi, Nek? Aku takut! Benar-benar takut. Jika sampai terja
Khania sangat panik, saat ia melihat depan bangunan itu sudah terbakar. Khania berusaha membuka tali yang mengikat tangannya. Sampai akhirnya ia berhasil membukanya walaupun dengan dipaksa sampai tangannya terluka.Khania tidak memedulikan tangannya yang terluka. Ia mencari jalan agar ia bisa keluar dari bangunan yang terbakar itu. Ia tersenyum saat melihat ada celah di sebelah kirinya. Khania berjalan menuju celah itu. Namun, langkahnya terhenti saat sebuah balok kayu terjatuh tepat di kakinya. AAAKKKHHH!Khania merintih kesakitan. Rasa nyeri ia rasakan di kakinya. Akan tetapi ia tidak menghiraukan rasa sakit yang ada di kaki dan tangannya. Ia hanya ingin keluar dari bangunan yang terbakar itu.Dengan susah payah Khania melepas balok kayu yang ada di kakinya. Setelah terlepas ia berjalan menuju celah itu. Sampai akhirnya ia berhasil keluar dari bangunan yang terbakar itu.Khania menangis sambil terduduk di tanah. Ia tidak menyangka, jika ibu Astika dengan tega ingin membunuhnya. Kh
Di rumah sakit.Khania mengerjapkan matanya. Ia menyipitkan mata saat ia melihat tempat yang asing baginya.Eugh!Khania mencoba menggerakan tubuhnya yang terasa sakit.Seorang wanita yang Khania tidak kenal datang menghampiri Khania. "Kamu sudah sadar? Sebentar, saya akan panggilkan dokter!" ucapnya sambil pergi berlalu meninggalkan Khania.Tak lama kemudian dokter datang dan memeriksa kondisi Khania."Bagaimana kondisi dia, Dok?" tanya orang itu dengan wajah yang Khawatir."Kondisi pasien baik-baik saja. Untungnya tidak ada luka yang serius," sahut sang dokter menjelaskan."Syukur Alhamdulillah! Terima kasih Dokter," ucapnya lagi pada sang dokter.Dokter itu hanya menganggukan kepalanya sebagai jawaban. Setelahnya ia pergi dari sana.Orang yang tadi menanyakan kondisi Khania menoleh ke arah Khania dan menghampirinya."Kamu baik-baik saja?! Apa ada yang sakit?!" tanyanya pada Khania.Khania hanya menggelengkan kepalanya sebagai jawaban. Walau sebenarnya ia merasakan sekujur tubuhnya s
"Sa-sayang." Efgan mendekati ranjang dengan langkah perlahan. Ia tidak percaya dengan apa yang sekarang ia lihat. "Anda keluarga pasien?!" tanya suster kepada Efgan.Efgan tidak berbicara dan hanya menaggukan kepalanya. Sungguh, ia sekarang tidak bisa berkata apa-apa."Tolong untuk segera diurus admintrasinya, sebelum pemulangan jenazah, ya, Pak," ucap suster itu yang sontak membuat Efgan diam mematung."I-istri saya gak mungkin meninggal sus. Ini semua pasti bohong, tadi kata asisten saya, istri saya baik-baik saja! Kenapa sekarang dia bisa jadi seperti ini?!" Efgan memeluk jenazah yang terbaring di atas ranjang itu."Istri? Ini, istri Bapak?" tanya suster itu dengan wajah terkejutnya."Iya sus, dia istri saya." Efgan masih memeluk erat jenazah itu."Bener, ini istri Bapak?" tanya suster itu memastikan.Efgan hanya menganggukan kepalanya sambil menangis meraung."Ssstt! Pak Bos, ngapain di sana?" tanya Glen dari balik gorden rumah sakit.Efgan menoleh ke arah Glen. "Kamu yang ngapai
Efgan mengerutkan dahinya. "Kamu nanya sama siapa, sayang?!" "Anda!" jawab Khania.Efgan semakin dalam mengerutkan dahinya ia tidak mengerti kenapa Khania menanyakan siapa pada dirinya."Aku, suami kamu! Masa kamu lupa?!" Efgan nampak berpikir beberapa saat. "Perasaan yang cedera itu kaki dan tangan kamu, bukan kepala! Kenapa bisa kamu jadi amnesia?!" "Hahaha! Bisa pake logika juga ternyata!" celetuk Khania sambil tertawa dengan renyah."Maksudnya?!" "Aku kira, kamu bakalan kayak tadi, nangis bombai, sampai meraung-raung," ejek Khania.Efgan mendelikan matanya. Ia kira Khania beneran amnesia. Nyatanya cuma mau ngeledek Efgan."Puas ketawanya?! Aku tadi beneran sedih, tau! Aku kira yang meninggal itu beneran kamu! Kamu malah ngetawain!" rajuk Efgan sambil memasang wajah cemberut."Utu ... utu ... utu, suami tampanku ini merajuk, ya!" goda Khania.Efgan semakin memajukan bibirnya ke depan. Ia merasa bahagia sebenarnya bisa berinteraksi seperti ini lagi dengan Khania. ia benar-benar se
Khania membekap mulutnya saat ia melihat Efgan yang kini memeluk wanita yang tiba-tiba datang itu. Ia mengeleng-gelengkan kepalanya. "Mas! Ternyata kamu memang sudah merencanakan semua ini?!" Efgan dan perempuan itu sontak menoleh ke arah Khania dan dapat Khania lihat jika wanita itu tersenyum menyeringai ke arah Khania."Ooh! Jadi ini istri kamu, honey! Apa sih yang kamu lihat dari dia! Masih cantikan aku lah, jauh!" ucapnya yang membuat Khania tidak percaya dengan apa yang ia dengar."Waah! Anda pelakor yang tidak tau diri ya! Hei. Biarpun saya tidak cantik, tapi ... tapi apa ya,"Khania nampak berpikir, apa yang bisa ia banggakan dari dirinya, yang bisa menjadikan ia lebih dari wanita di depannya ini. Setelah Khania berpikir cukup lama. Ia pun menyerah, karena tidak ada yang bisa ia banggakan dari dalam dirinya. Cinta? Ia belum cinta sama Efgan, begitu juga sebaliknya. Harta? Sudah jelas ia kalah. Cantik? Sudah jelas wanita di depannya ini jauh lebih cantik dari dia. Pintar? Sepe
Khania melihat ke arah yang ditunjuk Efgan. Ia tersenyum saat melihat seekor kucing yang manis dipangkuan nenek."Maksudnya, Mas. Sweetie itu kucing?!" tanya Khania.Efgan menganggukan kepalanya."He'em! Dia kucing kesayangan aku, cuma karena aku sibuk, jadi gak bisa ngurus dia, ya udah aku titip sama Monic aja. Biar dia yang urus si sweetie," ujar Efgan dengan tersenyum malu."Kamu gak lagi bo'ongin aku, kan?" Khania tidak bisa percaya begitu saja pada Efgan. Ia masih menyangsikan ucapan Efgan."Kamu gak percaya, sama suami kamu ini?!" "Hemm! Gimana ya! Kita kan, memang belum saling mengenal lebih dalam tentang karakter masing-masing," ucap KhaniaEfgan menatap Khania dengan dalam. Ia kadang berpikir, bagaimana nanti kedepannya saat Khania tau jika Efganlah yang sudah menabrak suaminya dulu! Apakah Khania akan memaafkannya atau malah membencinya. Ada rasa takut dalam diri Efgan. Namun. Ia ingin egois untuk kali ini saja."Baiklah! Kalau kamu tidak percaya. Kamu boleh tanya nenek sam
Dua minggu kemudian.Khania yang kini tengah bersiap-siap pulang, menekukan wajahnya. Ia merasa kesal dengan sang suami, yang kini sedang packing baju. Ia menatap suaminya itu dengan tatapan permusuhan."Kenapa cemberut gitu, hmm! Dari kemarin wajahnya ditekuk mulu!" Efgan menowel hidung Khania.Khania hanya diam dan memalingkan wajahnya saat Efgan tengah mengodanya."Kamu masih mau di rumah sakit? Oke! Kita menginap di sini satu minggu lagi!" ujar Efgan yang sontak membuat Khania menoleh ke arah Efgan."Jangan! Aku pengen pulang! Udah gak betah aku di sini!" sahut Khania dengan cepat."Terus kenapa kamu cemberut begitu?! Aku kira kamu gak mau pulang!" Efgan duduk di samping Khania, lalu ia membawa wajah Khania untuk menghadapnya. "Kenapa? Hmm!""Kamu nyebelin! Ini itu rumah sakit, Mas. Bukan hotel, yang bisa sesuka hati kita menginap di sini! Lagian, aku hanya tinggal pemulihan saja, di rumah juga bisa, gak harus menginap di sini! " oceh Khania panjang lebar.Khania merasa kesal pada