Barangkali Pak Dosen satu itu tersindir dan mengakui kesalahannya sehingga ketika Aluna terang-terangan menunjuk-nunjuk wajahnya, lelaki itu hanya bergeming. Baguslah ...Lagipula ini sudah malam dan Aluna lelah untuk memperpanjang urusan dengan orang-orang aneh 'seperti suaminya' ini. Di kamar ketika hendak tidur, Bima tiba-tiba meminta maaf. Lelaki itu hanya berkata 'maaf' tanpa menjelaskan kesalahan yang diakuinya. "Kamu tahu Bim, aku marah bukan karena cemburu suamiku masih hidup di masa lalunya." Aluna berbicara hanya ingin menekankan hal itu. "Tapi kemarahanku ini ... karena mereka lancang hina aku. Ayo gunakan akal sehat dan enggak ada satupun alasan yang membenarkan tingkah mereka 'mengunjungi rumah ini' menemuiku, menghina fisikku, dan merendahkan harga diriku sebagai istri kamu.""Mereka udah lancang melanggar hakku di pernikahan ini Bim. Kalau kamu waras, kamu tahu kan apa yang harus kamu lakuin?""Aku enggak tahu harus ngapain," kata Bima menjawab pertanyaan Aluna. "K
Belum 24 jam Aluna pergi, Bima sudah dua kali memegang handle pintu ruangan perempuan itu. Refleks tubuhnya membuat dia bertanya-tanya; kenapa dia melakukannya? Bima mengusap wajahnya secara kasar. Lelaki itu putuskan tetap membuka pintu ruangan kerja Aluna kendati penghuninya pun tidak ada. Pandangannya menyapu kursi putar yang ada di depan meja. Biasanya Aluna duduk dengan kaki kanan terangkat, perempuan itu akan berputar-putar saat pekerjaan telah berhasil menyeretnya ke lubang kesuntukkan. Bima menghidupkan laptop dan mendapati Aluna menggunakan background hitam sebagai wallpaper depan dan juga kunci.Kuncinya dengan mudah Bima ketik, sebab Aluna memang pernah mengatakannya. Entah perempuan itu sadar atau tidak. Bima menatap quick access laptop Aluna yang berisi banyak file. Perempuan itu menghandle banyak pekerjaan dan selalu pintar mengerjakannya. Aluna terlihat 'tidak peduli' terhadap apapun, tetapi mengenalnya secara lebih dekat membuat Bima paham istrinya itu sangat pek
Aluna menceritakan banyak hal; tripnya di Bali yang melibatkan banyak tempat-tempat eksotis dan menyenangkan. Bima terdiam. Bukan ini yang dia inginkan ketika Aluna pulang. Dia ingin penjelasan kenapa Aluna berlama-lama di Bali. Tujuh hari bukan waktu yang singkat. Bima punya kedua mata berkantung, bibir pecah-pecah karena sariawan kurang tidur serta riwayat rasa malu di kelasnya mengajar. Semua itu adalah efek khawatir memikirkan Aluna. Dan perempuan ini bertingkah seolah mereka tidak ada masalah? "Kenapa kamu diem aja? Bosen ya?" tanya Aluna menghentikan ucapannya. "Kamu sadar udah berapa hari pergi?" tanya Bima dengan nanar. Dia sama sekali tidak menghapuskan tatapannya. Semua yang dia tampilkan apa adanya; betapa Bima tersiksa dengan raut wajah bahagia Aluna. Ketika dirinya uring-uringan, Aluna malah bersenang-senang? "Tahu, 7 hari. Tapi aku sama sekali enggak berhutang penjelasan karena sejak awal aku enggak menjanjikan pulang cepat," jawab Aluna lagi-lagi dengan raut w
Aluna tahu, keputusannya untuk bahagia 'sendiri' akan menimbulkan tanya bagi Bima. Terlebih Aluna memang pergi ke Bali dalam keadaan sangat marah. Namun seperti kata Bagaspati, hidup hanya sekali, sangat sia-sia jika dihabiskan memikirkan satu perkara kecil. Aluna telah membebaskan diri dari masalah Bima dan sekarang dia benar-benar bahagia. Tanpa kepura-puraan tentu saja. Satu masalah selesai, masalah lainnya datang. Ya, masalah Bima yang sering marah-marah. Pasca kejadian foto pernikahan mereka Aluna turunkan dari dinding, Bima pergi ke kampus dalam keadaan marah. Lelaki itu tersinggung karena Aluna mengartikan pujiannya sebagai bujukan berhubungan badan, padahal dari itu semua, seharusnya Bima mengevaluasi semua ucap dan tindakannya. Bukannya mengedepankan emosi. Seolah waktu yang bergulir tak membilas kemarahannya, lelaki itu pulang 'masih' dalam keadaan marah. Padahal cuaca di luar sangat indah. Sangat bagus dipakai untuk bersepeda mengelilingi jalanan perumahan yang asri.
"Kamu enggak makan Bim?" tanya Aluna setelah sekian lama dia menghitung hari apakah harus menyapa Bima atau tidak. Keputusan akhir, jari kelingkingnya memberi keputusan paling bijak; dia harus menanyakan soal kondisi perut lelaki itu. Semata hanya agar dia terlihat manusiawi bukan karena perhatian. Akan kentara menghindar, jika Aluna benar-benar menutup mata dari lelaki tersebut. Bima yang belum tidur dan sedang memangku laptop di pahanya, mendongak mendengar pertanyaan Aluna. Lelaki itu melepas kacamata dan mengurut pangkal hidungnya. Aluna menunggu jawaban. Dia masih mematung di depan pintu. "Kalau enggak makan, aku masukin ayam kamu ke kulkas," tambah Aluna. Bima melongo dibuatnya. Mungkin lelaki itu berpikir pertanyannya berkonteks khawatir, padahal Aluna hanya 'khawatir' ke ayamnya. Lebih aman bagi ayam madu itu di dalam kulkas dengan suhu dingin alih-alih di microwave semalaman. "Biarin aja nanti a
"Kamu terlalu kurus Al."Kalimat itu lagi. Aluna mengeratkan belitan tangannya di leher Bima—sedikit mencekik, agar suaminya ini lekas tutup mulut. Ya, setelah 3 kali permainan yang menghabiskan waktu kurang lebih 90 menit, akhirnya Aluna melompat ke punggung Bima agar menggendongnya ke lantai atas. Bima menghentikan langkahnya di tengah tangga karena dia kesulitan bernafas. Aluna melonggarkan belitan tangannya karena jika Bima pingsan, sudah dipastikan dia juga ikut terguling. Tangan Bima yang menahan bokong Aluna sedikit mendorongnya agar tidak merosot. Lelaki itu tanpa kesulitan membawa Aluna naik ke lantai atas. Aluna diturunkan di atas ranjang. Namun belum sampai disana, Aluna lagi-lagi menyiksa sang Suami dengan membelit lehernya—sengaja—keras. "Aku jadi mikir kamu cuma ngeles aja sengaja kalah biar bisa gendong aku Bim.""Kenapa emangnya?" tanya Bima kesulitan berbicara dengan leher dibelit dari belakang. "Al, longgarin tangannya! Kamu enggak bakal jatuh!"Aluna melakukan
Abimanyu Basudewa tahu banyak hal tentang Aluna. Lelaki itu tahu pekerjaannya, hobinya, jurusan kuliahnya sampai kebiasaannya. Dengan track record seteliti itu, seharusnya nama 'Cakrawala' sudah hapal di luar kepala. Praduga kasar Aluna dibenarkan oleh tatapan menajam Bima ke arahnya. Ya, Bima mengenal Cakra. "Mantan pacar kamu itu?" tanya Bima memastikan. "Mantan calon suami," jawab Aluna tanpa menutup-nutupi apapun. Sejatinya, Aluna memang berpacaran untuk menikah. Aluna bahkan sampai menunggu sebelas tahun lamanya, kendati ujungnya Cakra berselingkuh dan membuat Aluna berakhir bersama Bima—lelaki yang background hidupnya lebih baik dari Cakra, tetapi kenyataannya sama saja dengan Cakra. Keduanya sama-sama membuat Aluna sakit hati karena menduakannya dengan perempuan lain—yang lebih anggun dan feminim. "Oh.""Iya."Bima mengangguk. Bima terlihat hendak pergi, tetapi tidak tahu kenapa lelaki itu
"Kamu kangen aku enggak Al?" tanya Bima dengan bola mata menatap Aluna. Tatapannya begitu lain, sarat frustasi seolah Aluna membuat lelaki itu tersiksa akan sesuatu. Aluna yang mendengar pertanyaan itu sontak terbatuk oleh oksigen yang dia hirup. "Seriously? Kamu pakai kalimat itu buat ngisi pertanyaan yang kamu dapatkan setiap 30 menit sekali?" salaknya lantang. Bima mengedikkan bahunya. "Itu penting buatku. Aku penasaran dengan itu.""Kamu ngerasa harus bertanya itu Bim disaat semuanya udah jelas?"Bima menaikkan sebelah alisnya. Lelaki itu menunggu. "Aku sama sekali enggak kangen," jawab Aluna menekan semua kata di kalimatnya agar kepala suaminya yang super pintar ini bisa mencerna ucapannya. "Oh."Aluna mendelik. Hening. Aluna jadi kikuk sendiri karena Bima seperti tak diam saja. "Lanjut enggak?" tanya Aluna. "Oke. Tapi taruhannya selesai.""Cih."